Pertama-tama, membaca bilangan fu adalah keinginan yang
sudah lama tapi tertunda. Pernah sekali –sekali meliriknya di toko buku ketika
masih kuliah di tahun 2011, bahasanya menarik, kisahnya seperti ‘lelaki banget;
tetapi harga bukunya mahal; akhirnya tak terbeli. Kini di sela kesibukan yang
sangat sibuk, aku membacanya dengan gaya tergesa, berharap besar, dan sering
mengulang membaca karena beberapa kali tersilap dengan kisah yang tiba-tiba
sampai di suatu tempat yang asing dan berbeda.
Di samping sekeranjang kelebihannya, novel ini tentu punya
kelemahan di bagian narasi. Bagiku, narasi dalam sebuah novel menjadi sesuatu
yang mutlak karena karya sastra harus melesat di benak pembaca, mengubah dengan
lembut kecerdasan bahasanya, dan nikmat serta mengalir dalam pembacaannya. Aku
lebih banyak mengulang karena satu hal: ingin lebih paham apa yang dimaksud penulis
dengan berbagai pertarungan wacana yang ingin dibangun, dan lompatan kisah yang
ke sana kemari. Jadinya, membaca novel ini melelahkan pikir dan tenaga.
Kelemahan itu segera tertutupi jika kita ingin menganggap
bahwa novel tidak hanya berjalan dalam tataran imajinasi, tetapi juga berkait fakta
dan amukan terhadap realitas. Tampak dalam novel ini, keinginan penulis yang
ingin menggugat banyak hal yang sudah terlampau diyakini, padahal merusak. Ia
menggugat modernisme, monoteisme, dan militerisme yang dianggap banyak merusak
alam, atau yang dengan bahasa lain: lebih banyak jelek dari pada baiknya. Penulis
ingin membuat agama baru yang menghormati kebudayaan masa lalu, dan kembali mencintai
bumi, yaitu Spiritualisme Kritis.
Persoalan langit dan bumi dalam novel ini, secara sederhana
bisa dijelaskan demikian: bahwa sejak kedatangan agama di Pulau Jawa pada
khususnya, lebih khusus lagi Agama Islam dengan ajaran yang sering mengafirkan,
menyirikkan, mengkhrafatkan, membid’ahkan, maka segala penyembahan terhadap
alam dibinasakan. Sesajen, yang dalam novel disebut sebagai bea cuka kepada
penunggu pohon besar, dibabat habis. Karena dianggap menduakan tuhan, akhirnya
penyembahan semacam itu dihancurkan, lalu orang-orang mulai menganggap tidak
ada lagi tulah jika menggergaji pohon besar.
Parang Jati, yang seakan mewakili sebagian diri penulis,
ingin menampar ‘untuk menyadarkan’ si Yuda yang mewakili generasi pemuda
idealis, kritis, sinis, dan rasional. Yuda menolak segala sesuatu yang
irrasional, dan selalu mempertanyakan segala sesuatu dengan niat memalukan
pihak lawan, atau mencari kepuasan logikanya sendiri. Tetapi bukan Yuda yang
menjadi antagonis, dia malah protagonis yang bisa digambarkan sebagai batu
granit yang tak akan goyah oleh puting beliung pemikiran, tetapi toh akhirnya
harus kalah dengan angin sepoi-sepoi yang dibawa Parang Jati.
Yuda, seperti yang telah disebutkan, memiliki watak yang kaku
dan kritis, adalah seorang pemanjat gunung sejati. Ia digambarkan sebagai sosok
lelaki yang lelaki banget, tapi menurutku gagal karena saya selalu terbayang
penulis yang perempuan. Ia memanjat dengan khusyuk, penuh kedalaman, dan
mencintai pekerjaannya secara sungguh-sungguh. Lalu datanglah Parang Jati
melalui perkenalan singkat, dan membawa ajaran baru bagi pemanjat: sacret climbing (pemanjatan suci)
–maksudnya adalah pemanjatan bersih. Jika pemanjat biasanya membawa paku, bor,
dan alat lain yang malah merusak dinding tebing, mka sacred climbing tidak memperbolehkan alat-alat yang merusak alam.
Jika ingin menjadikan rock
climbing sebagai tantangan, mengapa bukan memanjat gedung saja? “pemanjat sejati
harus berdialog dengan tebingnya” begitu kata Parang Jati. Dengan lihai,
penulis membawa kisah-kisah ini menjadi nyawa yang mendebarkan hingga akhirnya
Yuda harus mengakui bahwa scared climbing
memang harus dilakukan. Banyak kisah yang sebenarnya menarik, termasuk berbagai
kiasan yang digunakan Parang Jati di setiap omongannya. Bahkan, penulis tampak
terus-menerus berbuat bijak dengan berbagai argumentasi yang tidak tunggal,
tapi beragam dengan imajinasi yang tidak pernah habis.
Misalnya, Parang Jati ingin menunjukkan bahwa manusia selalu
ingin memerkosa alam. Digabungkan dengan logika sacred climbing, ia menjelaskan kepada Yuda tentang pemburu di
hutan. Menurutnya, seorang pemburu yang tidak bisa memanah tidaklah pantas
membawa pulang kepala banteng atau harimau lalu di pasang di ruang tamu. Seorang
pemburu yang membawa senjata modern (senapan, bius, atau alat lain) bukanlah
pemburu hebat, sebab ia menghajar tradisionalis dengan modernitas. Banteng yang
terbiasa hidup di alam dihadapkan dengan senapan akan keok, dan itu tidak bukan
cara pemburu jantan.
Jadi musuh sesungguhnya dari penulis adalah modernitas, dan
juga mototeisme yang diwakili oleh tokoh Kupu, sang agamawan bersorban, yang
menjadikan agama sebagai tameng untuk berbuat aniaya terhadap alam. Kepada Kupu
inilah, penulis ingin menggugat monoteisme yang membawa kerusakan di bumi, dan ingin
mengembalikan mitos ke kepercayaan masyarakat yang adilihung. Berulang kali
Kupu ditampilkan oleh penulis sebagaimana gambaran di masyarakat mengenai kaum
agamawan yang kaku, tidak menerima perubahan, dan setiap omongannya menyakiti
anggota masyarakatnya.
Membaca buku ini kita akan dihadapkan pada banyak keajaiban
tentang memahami mitos dan legenda, lalu memasangkan hal-hal yang tidak masuk
akal itu pada rasionalitas manusia modern. Hebat sekali buku ini. Kita diajak
berfikir sangat terbuka, menerima segala sesuatu di dunia ini sebagai takdir
yang dibaliknya ada sesuatu yang pantas ditunggu. Sungguh sangat tidak modern,
mengingat di zaman ini kita dituntut untuk merekonstruksi realitas berdasarkan
rasio murni. Hal-hal yang tidak masuk akal sudah dibakar habis sejak
renaissance –maka buku ini berada di tempat yang membahayakan.
Jika kita penasaran dengan ‘Bilangan Fu’ yang menjadi judul
novel ini, menurutku, penulis lebih banyak bertutur dengan jalan sok dimistis-mistiskan. Makna yang
tersingkap dari kosakata bilangan fu memang luar biasa: mulai alat musik di
papua hingga perhitungan ke 12 dalam mitologi India dan Jawa. Semuanya
disampaikan dalam kesemrawutan yang sulit digambarkan, apalagi disisipi dengan
kisah Parang Jati-Yuda-Marja, kliping pemberitaan dari berbagai koran yang
mungkin dimaksudkan untuk menggabungkan kisah fiksi dan realitas, lalu cerita
masa lalu Kupu dan Parang Jati sebagai anak buangan yang silang sengkarut
dengan mitos dan tanda-tanda alam.
Sungguh, novel ini harus disederhanakan jika ingin memiliki
tingkat keterbacaan seperti Laskar Pelangi atau The Davinci Code. Bagi
sastrawan besar Indonesia, membandingkan Bilangan Fu dengan Laskar Pelangi akan
dianggap penghinaan dan ditertawakan. Tetapi kita harus melihat bahwa karya
sastra yang baik adalah yang enak dibaca. Karya sastra harus bisa membawa langit
lebih rendah, dan mengangkat bumi lebih tinggi, sehingga siapapun orangnya bisa
menyenangi karya sastra. Jangan memuji langit karena orang bumi akan
menganggapnya mantra, juga jangan merendahkan bumi karena orang langit akan
menginjaknya.
Dalam sebuah resensi semacam ini, bilangan fu akan sulit
dijelaskan karena memiliki kompleksitas yang tinggi. Bilangan fu bukanlah novel
sastra magis yang bisa dengan sungguh-sungguh menghadirkan nuansa sihir dalam
kisahnya, tanpa dapat diprotes. Menurutku, bilangan fu adalah novel realistis
yang ingin menggugat realitas yang keliru. Maka ia harus jelas, tidak berbayang dengan kelindan cerita yang kesana-kemari.
Tetapi novel ini harus diakui jernih,
karena mengusung ideologi penulisnya yang murni, ingin membawa suatu olahan
pemikiran ke dalam sastra meski melewati proses yang ruwet dan berkeringat.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.