Abad ini, filsafat lebih banyak dipenuhi dengan debat
persoalan bahasa. Dan persoalan bahasa yang paling mendasar adalah kegagapan
manusia mengutarakan peristiwa dengan kalimat yang cacat. Misalnya, menggunakan
kalimat-kalimat bertendensi dan judgement
dalam ujaran keseharian maupun pemberitaan media massa. Penelitian tentang
penggunaan kata, kalimat aktif-pasif, keberulangan, font khusus, penggunaan bold atau italic, hingga penyediaan ruang di media massa, sudah banyak
dilakukan; tetapi hal-hal semacam itu merupakan aktivitas yang sulit dipahami
oleh masyarakat umum sebagai kesalahan penggunaan bahasa.
Secara sederhana, kita bisa melihat bahwa kita tidak bisa memahami
apapun tanpa bahasa. Menurut Heideggar (Ahmala, 2013) language is the house of being - bahasa adalah rumah bagi manusia. Artinya,
dengan menggunakan bahasa kita bisa paham maksud dari tempat tinggal kita di
dunia ini. Tanpa bahasa, kita akan kesulitan berkomunikasi dengan sesama manusia,
juga kita tidak akan bisa memahami dunia ini dengan baik. Maka realitas yang
ada ini berjalan dalam pemahaman kita melalui bahasa. Rotasi bumi dan takdir
manusia ini dapat diketahui karena ada bahasa yang menerjemahkannya melalui
teks-teks yang bisa dibaca, dan teks-teks suara yang kita dengar.
Meskipun jarang dipikirkan, tetapi bahasa memanglah persoalan
paling penting dalam kehidupan ini. Pemahaman kita tentang Pilkada yang
dilaksanakan pada 27 Juni mendatang adalah pemahaman melalui bahasa. Pada kasus
penyerangan bom di Surabaya dan Sidoarjo beberapa waktu lalu, diinformasikan oleh
media massa menggunakan bahasa. Maka, begitu bahasa yang digunakan menyampaikan
informasi ini salah atau disalahgunakan, akan mengakibatkan pertikaian massal. Itulah
yang terjadi dalam kasus Ahok, yang terbukti di pengadilan bersalah karena telah
menistakan Agama Islam dalam pidatonya –yang tentu saja menggunakan bahasa.
Tapi dalam Ilmu Komunikasi, bahasa tidak cukup untuk menjadi
rumah manusia. Karena bahasa penuh kekurangan untuk menerjemahkan setiap
peristiwa, perasaan, dan pikiran-pikiran manusia yang liar (lihat Mulyana,
2007:269). Bahasa seringkali tidak bisa menerjemahkan secara pas, atau secara
persis apa yang sedang terjadi. Saat terjadi kebakaran di suatu pasar, wartawan
yang paling jago tetap akan kesulitan menggambarkan situasinya secara keseluruhan.
Karena yang ditangkap panca indera mengenai kengerian, teriakan, dan kekhawatiran,
sulit dibahasakan dalam teks koran maupun video.
Kekurangan bahasa dalam mengungkapkan kondisi dunia ini juga
terjadi dalam percintaan. Seorang gadis seringkali melontarkan pertanyaan yang
menjengkelkan kepada lelaki; “apa yang kamu cintai dari aku?”. Lelaki di
manapun di dunia ini akan bingung menjawab pertanyaan itu, tidak peduli
seberapa banyaknya dia membaca jurnal ilmiah. Tetapi bahasa, betapapun terbatas
caranya mengungkapkan dunia ini, tetaplah merupakan jembatan yang paling
potensial antara kenyataan dan pemahaman. Tidak ada yang lebih penting di dunia
ini selain bahasa, karena itu, bahasa menjadi bahasan filsafat abad ini.
Mengingat amat pentingnya bahasa, maka kita harus memelajari
bahasa yang kita gunakan sehari-hari agar tidak menyalahgunakannya, atau
mengerti ketika bahasa disalahgunakan. Kemampuan berbahasa kita memang rendah
karena sejarah penggunaan Bahasa Indonesia juga baru diteriakkan selepas 1928
–itupun belum menasional. Kita tentu sering kesulitan ketika hendak menyebut
sesuatu dalam Bahasa Indonesia, tetapi begitu mudahnya menemukannya dalam
bahasa daerah. Sama ketika kita ingin mengetahui arti suatu istilah, pasti
merujuk ke Yunani, Latin, atau Arab. Hal ini menunjukkan bahwa usia bahasa juga
menentukan pengertian penggunanya terhadap bahasa itu.
Sebagaimana Jawa, pun Madura, dan mungkin bahasa daerah
lainnya, memiliki istilah bermacam-macam untuk membahasakan ‘membawa’ benda.
Ada junjung, mikul, nyunggi, jinjing,
nyekel, nggowo, ngindit, nggendong, dan lainnya. Dengan kondisi bahasa yang
baru ini, Bahasa Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan peristiwa
yang semakin kompleks. Apalagi bisa dipastikan, Bahasa Indonesia banyak
menyerap bahasa lainnya untuk di-Indonesiakan, dan kita tidak pernah tahu. Yang
terbaru dan sekarang menjadi tren adalah siber untuk cyber, gawai untuk gadget,
warganet untuk netizen. Jadi bahasa menjadi kekalahan paling mutlak bagi orang
Indonesia ketika ingin membahasakan sesuatu, terutama ketika kita sering
menyampur-campur bahasa Indonesia-inggris seperti artis.
Bahasa akan menjadi semakin sakti jika diletakkan pada media
massa. Maka dari itu, media massa sebagai panglima informasi di zaman modern
ini seyogyanya menggunakan bahasa jurnalistik yang baik dan benar. Karena bahasa
yang baik menunjukkan kualitas teks yang baik. Ia harus memedomani dengan baik
etika pemberitaan kriminal, etika pemberitaan bencana alam, hingga panduan infotainment
dan kasus terorisme. Kode etik jurnalistik tentu tidak cukup untuk menyegah
wartawan berbuat onar dalam bahasa pemberitaannya. Hampir selalu dapat
dibuktikan dalam penelitian perguruan tinggi, karena itu wartawan sendirilah
yang harus menyadari bahwa profesi wartawan harus dijaga marwahnya.
Filsafat bahasa memang tidak akan sampai mengorek-orek
kesalahan berbahasa media massa, tetapi filsafat bahasa telah mengantarkan
kebenaran dan metode yang menarik untuk menganalisis media massa. Karena itu,
banyak analisis tentang bahasa di media massa, seperti analisis wacana,
framing, naratif, analisis isi, hingga semiotik. Semuanya berkepentingan
terhadap bahasa dan tanda-tanda lain (simbol, gambar, indeks, grafik, dll) yang
digunakan di media massa.
Maka jangan heran jika orang-orang kritis –biasanya
beraliran kiri- menyuarakan ‘bahasa adalah kekuasaan’. Bahasa, dengan struktur
dan penekanan tertentu mampu menunjukkan identitas golongan yang
mengucapkannya, dan bisa juga menjadi jalan mencapai kekuasaan. Kekuasaan
bukanlah sesuatu yang negatif, meskipun cenderung kekuasaan disalahgunakan
sehingga menimbulkan kesan buruk. Menurut Foucoult, kekuasaan bisa terjadi di
mana saja dan pada siapa saja dalam level yang berbeda-beda. Seorang presiden
adalah penguasa di suatu negara, begitupula seorang perempuan dalam struktur
rumah tangga, dan kiyai dalam pondok pesantren.
Dalam perkuliahan, ada upaya dosen untuk dianggap cerdas
sehingga menggunakan bahasa ilmiah. Dengan anggapan cerdas itu, seorang dosen
dapat menggunakan kekuasaannya untuk memerintah mahasiswa agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu. Seorang dokter terutama, menggunakan bahasa kesehatan
untuk menunjukkan tingkat kependidikannya, pengetahuan, dan keahliannya,
meskipun dalam waktu yang sama ia juga menjelaskan dengan bahasa yang bisa
dipahami pasien. Ada kepuasan yang didapatkan oleh orang yang berkuasa. Bahasa
menunjukkan pengetahuan, pengetahuan menuntun pada kekuasaan, dan kekuasaan
menghasilkan bahasa yang tak mampu ditolak oleh si lemah.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.