2019-10-01

Mahasiswa Baru; Sebuah Transformasi Intelektual


Menjadi mahasiswa semakin digemari, bukan hanya karena intelektualnya yang mumpuni, tetapi juga karena gengsi. Orang tua, om, tante, kakek, dan nenek, sudah menyadari bahwa menyekolahkan anak hingga jenjang kuliah sudah menjadi kewajiban. Kuliah menjadi semacam standar sosial baru di lingkungan kampung yang sarjananya masih bisa dihitung jari. Apalagi di daerah Jawa Timur masih didominasi oleh pedesaan sehingga sarjana memiliki potensi dihormati yang tinggi.

Di kampung, sarjana tidak hanya dipandang mampu mengurusi persoalan yang sesuai dengan jurusannya. Seorang sarjana Ilmu Komunikasi tidak hanya dituntut untuk bisa mendesain banner atau menjadi MC suatu acara, tetapi ia juga harus bisa memberikan komentar soal hukum jika ada anggota keluarga yang berurusan dengan polisi. Seorang sarjana pertanian bisa jadi diminta berdoa di pernikahan saudara. Sama dengan sarjana teknik arsitektur harus bisa membenahi handphone dan printer jika rusah.

Kondisi ini bisa dianggap lucu, tetapi kondisi itu betul-betul terjadi di kampung. Sehingga tanggung jawab mahasiswa semakin besar untuk menjadi manusia serba bisa demi nama baiknya dan keluarga. Bulan April sampai Agustus seperti sekarang, merupakan momen siswa SMA/Sederajat bertransformasi menjadi mahasiswa. Mereka akan belajar menjadi manusia intelektual baru yang berbeda dengan cara-cara belajar konvensional semasa pelajar. Mahasiswa sudah bisa memilih mata kuliah yang bermanfaat atau kurang bermanfaat –alih-alih memilih mata kuliah yang disenangi atau tidak.

Berubahnya status intelektualitas ini harus diimbangi dengan semangat perubahan oleh mahasiswa baru. Jangan sampai mahasiswa menjadi beban pendidikan karena ketidaksiapannya menghadapi tantangan hidup di jenjang yang berbeda. Tugas mahasiswa yang berat akan mulai dikenalkan dalam Orientasi Mahasiswa Baru dengan sebutan Trifungsi Mahasiswa; Agent of Change, Man of Analysis, dan Social Control. Tetapi selama proses pembelajaran normal yang empat tahun, trifungsi mahasiswa ini hampir pasti tidak akan diingat lagi, berganti dengan tugas-tugas kuliah, pacaran, main game, hingga malas-malasan di kamar kos.

Kualitas Mahasiswa

Mahasiswa perlu mengingat bahwa tugasnya tidak hanya belajar di jenjang akademik, tetapi juga beraktivitas dalam masyarakat. Semua itu tercermin dalam proses pendidikan yang akan ditempuhnya di perguruan tinggi. Ketika membahas teori-teori di dalam kelas, mahasiswa punya tanggung jawab penuh untuk belajar –mungkin juga menghafalkan- berbagai macam teori beserta contoh-contohnya. Tetapi ketika ia dihadapkan dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) maka mahasiswa punya tanggung jawab penuh mengaplikasikan teori dan keilmuannya ke dalam masyarakat.

Untuk menentukan kualitas mahasiswa memang sulit-sulit gampang. Masing-masing orang memiliki perspektifnya sendiri yang dipengaruhi oleh latar belakang dan preferensinya. Apalagi secara umum kualitas perguruan tinggi di Indonesia dianggap tertinggal dari negara lain. Dari setiap variable kualitas pendidikan, baik mahasiswa maupun dosennya, juga selalu mendapat ranking buruk. Contoh yang paling mencolok adalah membaca, berdasar penelitian dari Central Connecticut State University (CCSU) dengan tajuk “World's Most Literate Nations” menempatkan Indonesia nomor 60 dari 61 negara di dunia yang rajin membaca.

Penelitian sejenis dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2015-2016 dengan nama program The Program for International Student Assesment (PISA) yang meranking seluruh negara di dunia untuk skor nilai matematika, science, dan membaca. Untuk ranking membaca, Indonesia sebagaimana yang bisa kita tebak berada di urutan paling akhir dengan skor 386. Skor paling tinggi diraih Singapura dengan angka 525 disusul negara Ireland (5151), dan Kanada (514).

Untuk mempersempit pembahasan ini, kita bisa lihat kualitas mahasiswa dari tiga aspek, pertama, dari sisi akademik. Salah satu capaian besar sebuah perguruan tinggi adalah apabila mahasiswanya lulus tepat waktu dengan rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4.0. Hal ini bisa menjadi salah satu aspek penilaian mahasiswa berkualitas di bidang akademik. Mahasiswa dengan kualitas akademik tinggi hampir selalu berkaitan dengan kemampuan membaca yang tinggi. Sedihnya, Perpustakaan Nasional (2017) merilis bahwa orang Indonesia hanya membaca 5-9 buku setiap tahunnya yang tergolong sangat rendah.

Kemampuan akademik mahasiswa harus ditingkatkan melalui membaca sehingga kualitas hidup masyarakat juga turut meningkat. Karena membaca adalah dasar dari semua pengetahuan. Sehingga ketika mahasiswa jarang membaca ia tidak akan mampu menilai persoalan sosial dengan obyektif. Padahal sebagai man of analysis mahasiswa harus mampu menganalisa persoalan dari sebab-sebab hingga solusinya. Mahasiswa yang rajin membaca akan bisa membuat perbedaan yang besar dalam mencari solusi dibandingkan mahasiswa yang malas membaca.

Kedua, dari sisi keorganisasian. Mahasiswa harus mampu mengorganisir diri dan lingkungannya dalam sebuah wadah organisasi yang memiliki tujuan bersama. Saat ini perusahaan multinasional banyak menerapkan syarat karyawan yang memiliki kualifikasi : komunikatif, kolaboratif, kompetitif, dan sanggup bekerja di bawah tekanan. Kesemuanya itu tidak didapatkan mahasiswa di dalam kelas tetapi melalui organisasi yang diikutinya. Karena berorganisasi akan mengajarkan mahasiswa untuk memiliki daya tempa berkompetisi dengan mahasiswa lainnya.

Mahasiswa yang berorganisasi akan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka dan suka tantangan. Karena itu mahasiswa organisatoris memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berkompetisi di berbagai lini dibandingkan mahasiswa yang tidak berkecimpung dalam organisasi apapun. Kondisi-kondisi ini harus dipahami oleh mahasiswa secara mendalam sehingga mereka tidak meninggalkan organisasi hanya karena faktor akademik. Kemampuan berorganisasi akan membawa mahasiswa pada kompetisi-kompetisi di luar dirinya secara fair dan terbuka sehingga dapat membangun daya kolaborasi yang mumpuni.

Ketiga, mahasiswa berkualitas bisa diukur dari kemampuannya untuk bekerja dalam berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan. Bekerja di sini dapat diartikan dalam unsur ekonomis bisa juga sosial. Mahasiswa yang bekerja dan menghasilkan uang untuk mensupport kehidupannya memiliki nilai plus guna memahami realitas yang sesungguhnya. Bekerja dan berwirausaha bisa menjadikan mahasiswa dewasa untuk menghargai jerih payah siapapun yang membantunya kuliah. Bekerja di versi lain adalah untuk kepentingan sosial yang tidak menghasilkan kapital. Membangun komunitas baca, sekolah anak jalanan, hingga aktif menjadi volunteer di berbagai komunitas juga membuat mahasiswa jadi jempolan.

Tetapi rumusnya jelas, mahasiswa harus selalu kembali ke tugasnya untuk menyelesaikan studi. Jangan sampai aktivitas bernilai ekonomis maupun sosial ini kemudian menghambat akademik mahasiswa lalu membuatnya jadi beban. Ketiga syarat di atas harus dilakukan dalam rangka membangun pribadi mahasiswa yang berkualitas sehingga akan bermanfaat bagi masyarakatnya kelak. Sering kali mahasiswa terpaksa harus memilih satu; ketika ia rajin kuliah, organisasi tidak ikut. Ketika ia rajin berorganisasi maka nilai akademik jeblok. Mahasiswa harus menjadi siswa yang superpower untuk bisa berprestasi dalam bidang akademik, organisasi, dan lingkungan sosial. Inilah yang membedakan mahasiswa dengan pelajar di tingkat SMP-SMA.

(Tulisan ini telah dimuat oleh Indotribun, berikut linknya : https://www.indotribun.id/mahasiswa-baru-sebuah-transformasi-intelektual/)


2019-09-05

Membangun Sustainable Tourism di Malang Raya


Masyarakat modern tidak lagi menganggap wisata sebagai kebutuhan tersier yang hanya dilakukan satu tahun sekali ketika musim liburan. Wisata saat ini merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh –terutama- generasi milleneal dan seluruh anggota keluarganya. Moment wisata bersama keluarga sudah menjadi agenda rutin yang akan terus-menerus menghidupkan potensi ekonomi penduduk yang tinggal di kawasan wisata. Tinggal bagaimana konsep wisata ini dikemas sehingga menyedot perhatian publik di seluruh Indonesia.

Desa Pujon Kidul, Kabupaten Malang, misalnya telah sukses menjadi tempat penyelenggaraan Advocacy Horizontal Learning (AHL) pada Agustus 2019 lalu. Seluruh anggota Aliansi Kabupaten Kota Peduli Sanitasi (AKKOPSI) terpesona dengan cara Pujon Kidul menyulap area persawahan menjadi ikon wisata di Malang Raya. Tentu saja konsep itu tidak sehari jadi, tetapi membutuhan waktu bertahun-tahun dengan konsistensi memegang visi desa. Bahkan di tahun 2017, Desa Pujon Kidul memperoleh dua award, Desa Wisata Agro Terbaik Nasional dari Kemendesa PDTT, dan Pokdarwis Mandiri dari Menteri Pariwisata.

Di Malang Raya sendiri kita tentu tidak asing dengan istilah ‘desa wisata’ dan ‘kampung wisata’ yang digagas pemerintah daerah. Selain Pujon Kidul, ada juga Kampung Jodipan yang tidak kalah aktraktif mendandani rumah, jalan, lorong, dan jembatan dengan warna-warna cerah dan ceria. Kemudian di Kota Batu, ada Kampung Wisata Kungkuk yang juga menyediakan wisata ala kampung yang adem dan penuh ketenangan. Semuanya membangun konsep sendiri-sendiri sesuai dengan potensi desa tersebut sehingga tidak akan bersaing dengan potensi dari desa lain yang juga mengembangkan pariwisata.

Pariwisata sebenarnya menjadi pondasi perekonomian di Indonesia sejak lama. Tetapi perkembangan teknologi digital saat ini membuat pariwisata tumbuh kembali menjadi sumber perekonomian baru yang lebih menjanjikan. Media online yang tumbuh menyebar ke seluruh perangkat elektronik masyarakat menyediakan akses informasi yang massif dan menggiurkan. Hadirnya media sosial seperti Facebook dan Instagram juga membawa budaya baru konsumsi pariwisata; yang dulu sekadar melepas penat dari pekerjaan harian, sekarang menjadi ajang eksistensi diri dan narsistik di Generasi Y dan Z.

Karena itu pembangunan pariwisata saat ini menemukan momentnya yang luar biasa. Sebagaimana prinsip ekonomi; industri pariwisata juga meminimalisasi pengeluaran tetapi tetap bisa meraup keuntungan yang besar. Tinggal melakukan polesan di berbagai tempat yang instagramable maka pengunjung akan berdatangan dengan sendirinya. Mereka yang datang ini pun akan sekaligus menjadi duta wisata melalui berbagai postingan media sosialnya. Tetapi bagaimanapun mudahnya pemasaran wisata saat ini, prinsip pembangunan kawasan pariwisata tidak bisa parsial dan setengah-setengah.

Pemerintah dan pemangku kebijakan harus memperhatikan beberapa hal yang merupakan prinsip pembangunan industri pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). United Nation World Tourism Organization (UNWTO) menggarisbawahi beberapa cara membangun industri ini agar bisa bersinergi dengan warga; pertama, memanfaatkan sumber daya lingkungan secara optimal. Lingkungan tempat tinggal manusia merupakan salah satu realitas yang akan bertahan lama hingga ratusan tahun. Karena itu memanfaatkan apapun yang ada di lingkungan sekitarnya bisa menjadi sumber obyek wisata yang tidak ada habisnya, sekaligus menguatkan masyarakat yang tinggal di sana.

Desa Jaddih di Kabupaten Bangkalan memanfaatkan bongkahan-bongkahan batu pegunungan yang selesai ditambang hingga menjadi wisata paling banyak dikunjungi di sana. Desa Pujon Kidul juga secara percaya diri memanfaatkan persawahan yang dimilikinya hingga membuat wisatawan terkesan. Mungkin desa-desa wisata seperti di Dieng Kulon, Banjarnegara, beruntung karena berada di atas awan sehingga secara alami menarik. Tetapi apa yang dimanfaatkan oleh Desa Jaddih bisa menjadi contoh kegigihan warga setempat untuk tetap mencari potensi dari desanya; apalagi di sana udara panas, berdebu, dan pintu masuknya jauh dari jalan raya.

Kedua, menghormati keaslian warisan sosial-budaya masyarakat setempat. Pariwisata memang terkesan dengan hura-hura dan menghabiskan uang sehingga tempat yang cocok adalah wisata-wisata buatan seperti Dufan atau Marina Bay Sands. Tetapi siapa nyana wisata petik apel di Kota Batu juga menarik ribuan wisatawan untuk mencoba menjadi seorang petani. Wisatawan tertarik untuk memetik Apel Malang yang terkenal, apalagi diiming-imingi dengan makan sepuasnya di dalam kebun. Tradisi warga setempat akan selalu menarik perhatian wisatawan karena mereka ingin mencoba hal baru.

Karena itu konsep pariwisata yang berkelanjutan ini jangan malah memangkas aktivitas warga desa setempat. Jika memungkinkan wisatawan bisa diajak bersosialisasi secara natural oleh warga untuk menanam padi sebagaimana di Pujon Kidul dan Wisata Kampung Tani. Wisatawan juga bisa diajak tinggal bersama, memasak dan makan makanan khas warga yang tidak mungkin ada di tempat lain. Pengalaman ini akan sangat berkesan bagi wisatawan karena mereka tidak bisa menemukan hal yang sama di daerah asalnya. Dalam konteks ke-Indonesia-an, wisata semacam ini bisa memperkuat nilai kebhinekaan warga sehingga nasionalisme Indonesia tetap terjaga.

Ketiga, memastikan perekonomian jangka panjang yang layak dan stabil. Kemajuan pariwisata yang pesat harus berdampak langsung ke warga sekitar dengan peningkatan kehidupan yang layak secara ekonomi. Hal ini penting karena warga yang mendapatkan manfaat secara langsung dari industri pariwisata di desanya akan memiliki sense of belonging tinggi sehingga turut menjaga keutuhan pariwisatanya. Konsep kepastian memperoleh pendapatan dari hasil wisata ini harus diatur secara ketat dan berkeadilan sehingga semua warga mendapatkan hak yang sama dengan kontribusi yang sama besar.

Beberapa pemanfaatan pariwisata di bidang ekonomi misalnya dengan membuat buah tangan khas dari desa tersebut. Selain itu area industri pariwisata secara otomatis harus menyediakan berbagai akomodasi; rumah makan, toko snack dan minuman, penginapan, hingga sarana transportasi. Dengan penataan yang cermat dan dukungan dari berbagai pihak yang berkepentingan maka perekonomian warga akan terdongkrak dengan sendirinya. Jika semua saling menjaga karena seluruh warga dapat merasakan manfaatnya, maka datangnya wisatawan secara terus-menerus akan membuat perekonomian warga ikut stabil.

Sustainable tourism ini cocok diterapkan di Malang Raya yang sejak lama mengembangkan desa-desa wisata. Dengan sedikit sentuhan yang disesuaikan dengan masing-masing potensi desa, maka simsalabim, seluruh desa akan berdaya dan mampu menghidupi warganya sendiri.

2019-08-19

Sarjana dan Problem Manusia Dewasa



Banyak hal di dunia ini yang membutuhkan keberanian. Beberapa hanya keberanian di level remah-remah rengginang, misalnya berani mandi di pagi hari, berani bertanya di dalam kelas, atau berani beol ketika sedang naik gunung. Beberapa hal lainnya membutuhkan keberanian level sultan, seperti menjadi sarjana dan pada akhirnya adalah menjadi dewasa. Kita akan menanggung beban beserta semua konsekuensinya sendirian –tidak ada manusia lainnya yang bisa kita jadikan kambing hitam.

Menjadi sarjana adalah sebuah kesalahan. Menjadi dewasa adalah sebuah pilihan. Mengapa sarjana bersalah? karena sebagian besar sarjana di dunia ini akan berakhir menjadi sampah; sebagian lainnya memunguti sampah-sampah tersebut lalu membuangnya ke laut; dan sebagian kecil lainnya mengais sisa-sisa sampah di laut untuk dihancurkan atau diolah menjadi barang berguna. Kondisi ini tampaknya bombastis dan halusinasi –terutama bagi saya- sebagai pengajar perguruan tinggi, tetapi percayalah itu kondisi sebenarnya.

Karena pada dasarnya, banyak pengajar di perguruan tinggi –sama seperti saya, yang juga seorang sarjana- bermental rendahan, yang menjadikan tridharma perguruan tinggi sebagai kegiatan administratif, dan menjadikan profesi dosen sebagai pekerjaan untuk menghasilkan uang. Sampah akan menghasilkan sampah. Demikian dosen, demikian pula mahasiswanya yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dan tidak ambil pusing dengan tugas intelektualitasnya sama sekali.

Setiap kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan hampir dapat dipastikan hanya diisi oleh beberapa mahasiswa. Memang betul banyak organisasi mahasiswa yang menyelenggarakan seminar, workshop, pelatihan, juga diskusi-diskusi dan pemutaran film, tetapi rata-rata hanya untuk menggugurkan program kerja organisasi. Hal itu bisa dilihat dari rencana tindak lanjut dari setiap kegiatan itu, hampir dipastikan tidak akan berjalan sebagaimana yang dimaksud oleh proposal. Semuanya hilang tiba-tiba dan tidak berbekas.

Kondisi ini pada akhirnya akan melahirkan sarjana yang pintar membuat acara tetapi tidak substantif dalam menyelesaikan persoalan sosial. Mereka hanya akan menjadi tukang-tukang penyelenggara kegiatan tanpa manfaat yang membumi. Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh sarjana kita adalah pekerjaan teknis, bukan pekerjaan berfikir, menemukan dan menganalisis, tidak juga memberikan solusi. Kita akan terus memproduksi anak-anak bangsa yang bermental pekerja –yang dari sana kita bisa dibodohi, atau mereka membodohi, agar bisa makan uang banyak.

Jika masyarakat yang dihasilkan oleh perguruan tinggi tidak bisa memberikan harapan maka manusia dewasa kita juga loyo; tidak berbobot, dan cenderung korup. Kita bisa bertanya kepada diri sendiri fungsi dan kegunaan apa kita diciptakan sampai sekarang? Memang jawabannya bakal beragam dan penuh percaya diri. Tetapi jika kita merasa bahwa manfaat kita besar, pertanyaan berikutnya yang harus dijawab adalah: apakah jika kita tidak diciptakan, atau kita mati sesegera mungkin, akan ada yang menggantikan posisi itu? jawabannya; tentu saja banyak.

Posisi dan kegunaan kita akan selalu bisa digantikan oleh orang lain semudah kita mencari ganti makanan di aplikasi Go/Grab Food. Itu adalah bukti bahwa kita tidak sehebat yang kita kira. Barangkali kita adalah manusia yang dipaksa dewasa lalu harus melakukan aktivitas-aktivitas menjengkelkan yang tidak sesuai dengan kesenangan. Menjadi mahasiswa, bagi mahasiswa, adalah pekerjaan yang sulit. Tetapi jika dilihat dari sisi manusia dewasa yang telah meninggalkan bangku perkuliahan, menjadi mahaisiswa adalah persoalan sepele. Pekerjaan mahasiswa hanya belajar, berorganisasi jika mau, dan bekerja jika tidak punya uang.

Persoalan enggan belajar adalah persoalan mahasiswa sendiri. Persoalan tidak mendapatkan posisi di organisasi adalah karena ketidakaktivan mahasiswa di organisasi tersebut. Karena jaman sekarang mencari anggota aktif organsisasi sudah seperti mencari jarum di tumpukan taik kuda. Dan persoalan tidak memiliki uang ketika kuliah adalah persoalan klasik yang bisa diselesaikan dengan belajar serius untuk mendapatkan beasiswa, atau bekerja. Banyak pekerjaan yang bisa dipilih ketika kuliah, semuanya sah dan dimaklumi. Kesemuanya ini membutuhkan keseriusan, mengikis sifat manja, juga niat berjuang luar biasa dari mahasiswa itu sendiri.

Ketika masih mahasiswa, semuanya bisa selesai dengan kerja keras. Tetapi menjadi dewasa tidak sesimpel itu. Begitu sarjana sudah tersemat dalam toga di kepala mahasiswa, dia harus bisa bekerja profesional, dan ketidaksiapannya untuk bekerja akan mendapatkan gempuran secara real time. Saat KKN di desa-desa kita masih bisa belajar mengajar di sekolah, belajar membantu menyabit rumput petani, belajar membuat alamat desa, kesemuanya dimaknai belajar sehingga kekeliruannya, kejelekannya, ketidakrapiannya bisa dimaklumi.

Jangan kira KKN adalah potret kehidupan di perkampungan yang membahagiakan. Ketika KKN mahasiswa tidak memikirkan pekerjaan dan uang karena pekerjaannya hanya membantu warga, dan uang sudah dibayarkan di muka sehingga urusan makan sudah beres. Semua warga tersenyum karena kalian suka membantu. Tetapi menjadi dewasa tidak semanja itu. Kita harus bekerja dan menghasilkan uang, uang menghasilkan baju dan makanan, juga pendidikan bagi anak sendiri dan adik-adik yang masih sekolah.

Menjadi dewasa kita akan diberikan tanggung jawab untuk dikerjakan secara sempurna; tanpa kesalahan, dan tanpa ampun. Seorang pekerja konstruksi, tidak membuat palang pintu masuk desa yang serampangan; seorang penginput data di bank tidak akan diberi toleransi jika ada kesalahan huruf dan angka ke dalam sistem; seorang pekerja pemasaran harus berwajah cantik, kulit kuning, tinggi, bokong semok, berpakaian terbuka untuk bisa datang menawarkan rokok ke klien; dan seorang manager harus bisa memanajemen perusahaan agar bisa selalu profit.

Jika ketika mahasiswa kita masih baca buku, maka setelah dewasa buku hanya menjadi lambang kebanggaan di ruang tamu. Ketika mahasiswa masih bisa ngopi dengan kawan, tertawa terbahak, mengumpat presiden, dan mengepalkan tangan ke penindasan, maka setelah dewasa warung kopi menjadi tempat keluh kesah karena kontrak kerja akan berakhir seminggu lagi. Mahasiswa masih bisa meminta keringanan ke dosen agar nilainya diperbaiki, tetapi orang dewasa akan didepak bahkan sebelum mengetuk pintu pimpinan.

Menjadi dewasa adalah pilihan, tapi pilihan yang buruk. Maka sarjana harus menguatkan dirinya berjalan di bawah terik matahari dan tetap berlari di tengah hujan badai. Tangisan-tangisan sarjana akan membawa kepada penyadaran bahwa hidup harus diperjuangkan. Jika hidup kemudian manis padamu, teriakkan matursuwun kepada Sang Gusti, lalu pikirkan teman yang masih berjuang. Mereka akan malu meminta bantuan, tetapi tawaran tetap harus diberikan. Meski dunia bakal jahat padamu, wahai sarjana, tetaplah menjadi baik.

2019-08-17

Gunung Penanggungan



Kami melakukan perjalanan dengan penuh keyakinan di suatu Sabtu. Tentu setelah browsing tentang jalur pendakian, estimasi waktu, dan biaya ditambah sedikit drama karena ketidaktepatan janji. Mata menyala, otot menguat, dan teriakan seperti remaja kota, kami seakan hendak mencari sebuah kebijaksanaan yang berada di puncak gunung; barangkat dari sana kami akan menjadi resi yang sakti mandraguna.

Tetapi sebuah perjalanan sakral sekalipun akan terkotori dengan pertanyaan-pertanyaan profan. Misalnya, untuk apa sebenarnya kita naik gunung? Atau dengan siapa kita harus naik gunung? Dengan pacar atau teman? Itu pertanyaan remeh yang harusnya tidak usah ditanyakan karena malah membuat perjalanan sangat duniawi. Kami sepakat untuk tidak yakin dengan jawaban klise semacam; naik gunung untuk mencari jati diri, atau naik gunung untuk belajar tentang kehidupan.

Karena itu, tanpa perhitungan yang matang, 10 bungkus mie instan kami masukkan ke tas carrier yang penuh dengan baju hangat. Hitung-hitungan dimulai, di mana beras harus diletakkan, dan kompor, dan nesting, dan tenda, juga matras, harus ditenggelamkan ke tasnya siapa. Semua harap-harap cemas agar tidak kebagian barang banyak dan berat. Di situlah seni menata isi tas carrier, juga seni berjalan bareng. Semua ingin enteng, semua ingin menuju puncak dengan beban ditanggungkan ke pundak kawannya.



Dari pengetahuan di internet, kami menjadi tahu bahwa di Gunung Penanggungan ada satu jalur khusus yang sepanjang menuju puncak terdapat candi-candi peninggalan jemaat hindu-budha; namanya Jalur Jolotundo. Namanya juga khas dan angker, tidak seperti jalur pendakian lewat Tamiajeng yang ramai. Tetapi google rupanya menyesatkan kami, karena setibanya kami di sana, bukan Jalur Jolotundo yang kami jejak, malah jalur yang baru dibuka; yaitu melalui Desa Ngurirejo.



Tapi rejeki tidak jauh juga tampaknya, karena di jalur ini terdapat 6 candi yang dapat membuat foto selfie kita jempolan hingga membuat sebal haters. Dengan ragu-ragu, sekitar pukul 15.00 WIB kami mulai menanjak pelan. Saya sebagai slow climber garis keras harus berkali-kali berhenti untuk mencari nafas. Maklum!. Sementara remaja lainnya yang bareng dalam pendakian, penuh semangat dan bergegas seakan hendak mengejar matahari yang mulai meredup. Kuteriaki mereka dan kuminta untuk pelan-pelan, tapi mereka tetap kencang di depan.

Pos Pendaftaran - Pos 2

Perjalanan dari pos pendaftaran menuju pos 2 cenderung menanjak santai. Di sinilah harusnya saya mulai beradaptasi. Karena otot pegawai memang terbuat dari agar-agar sehingga musti banyak penyesuaian. Karena itu, baru 15 menit kemudian kami sampai di Pos 2 -yang bangunannya berupa gubuk tanpa dinding. Kalau pendaki pro, menuju pos 2 tidak akan berkeringat, dan mungkin hanya memakan waktu 5 menit.


Oya, pos pendaftaran ini tampaknya tidak resmi karena uang yang kami berikan tidak berbalas kwitansi atau tiket apapun. Hanya ada list nama asal-asalan, peta yang habis sehingga harus diambilkan ke desa, dan air yang mengalir semacam kencing batu. Sempat khawatir karena sepeda motor rentalan kami harus ditaruh di sana selama 2 hari. Tetapi tawakal kami kepada Allah semesta alam, maka hati kami kuatkan. Kami pasrahkan sepeda motor itu kepada penduduk desa tanpa jaminan apapun.

Pos 2 - Candi Carik

Kami hampir putus asa dan merasa salah jalan karena tidak bertemu Candi Carik hingga 2 jam. Menurut perkiraan kami yang asal-asalan, harusnya kami sampai di Candi Carik sekitar setengah jam. Karena itulah kami ragu dan akhirnya, tepat sebelum magrib kami berbahagia karena bertemu candi. Kami langsung melakukan ritual foto-foto dibarengi dengan semangat 45 karena merasa jalurnya sudah benar.


Carik, dalam terminologi Jawa, adalah sekretaris desa yang bertugas mengurusi seluruh administrasi -sering juga mengurusi segala macam persoalan- yang ada di kampung. Tapi untuk arti dari Candi Carik sendiri saya tidak tahu menahu. Candi ini bentuknya menggunung ke atas dengan sekitar 20 undakan. Kami tidak berhenti lama karena matahari mengejar di belakang. Tas segera kami panggul, bergerak menuju ketinggian.



Candi Carik - Candi Lurah

Perjalanan menuju Candi Lurah tidak begitu mengesalkan karena hanya dalam waktu 10 menit kita sudah sampai. Itu membuat kami takjub dan sangat bersemangat. Tapi malam sudah menjelang sehingga foto-foto tidak berguna. Kami hanya istirahat secukupnya lalu kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan malam memang lebih aman bagi pendaki. Karena suasana yang temaram, hawa dingin, dan julang pegunungan tidak kelihatan, perjalanan menjadi lebih mudah.


Candi Lurah - Candi Siwa

Menuju ke Candi Siwa tidak begitu berat karena jalanan agak landai. Hanya membutuhkan 10 menit untuk sampai Siwa. Bonusnya gunung penanggungan memang ada beberapa, salah satunya menuju Candi Siwa. Tetapi candi ini letaknya di bawah jalan sehingga tidak akan kelihatan ketika malam. Sehingga ketika mau ke Candi Siwa kita harus turun sedikit. Dengan beberapa pertimbangan kami akhirnya hanya istirahat sebentar lalu melanjutkan perjalanan tanpa mampir ke Candi Siwa.


Candi Siwa - Candi Wisnu - Candi Guru

Dua candi terakhir ini berada di ketinggian yang lumayan sehingga beban berat akan semakin kerasa. Dalam peta yang diberi oleh petugas di Pos 1 nama candi Wisnu tidak ada sehingga membuat kita pusing. Kami ragu untuk melanjutkan perjalanan karena begitu tersesat di pegunungan, jalan kembali tidak akan mudah ditemukan. Jika tersesat di hutan atau gunung, maka kembalilah ke bawah, bukannya terus melanjutkan perjalanan. Keyakinan ini pula yang membuat kami bingung.


Lalu kami bersepakat untuk terus maju dengan perasaan was-was. Kami berjanji akan kembali jika perjalanan buntu. Jadi, selama jalan setapak masih kelihatan jelas, kami yakin itulah jalan yang benar menuju ke puncak. 20 menit perjalanan yang meragukan itu akhirnya berhenti di Candi Guru. Ini menunjukkan bahwa jalan kami benar karena sesuai dengan peta. Lumayan melegakan untuk meneguk air botol yang kami bawa bersama.

Candi Guru - Gua Butol

Setelah kami melewati Candi Guru, semak semakin tebal dan savana tampaknya sudah terlihat di beberapa tempat. Perjalanan kami teruskan sampai kembali bertanya-tanya dimana Gu Butol yang ada dalam peta. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 2 jam sehingga pikiran semakin kalut. Kami meyakini harusnya Gua Butol tidak jauh. Waktu itu di Kota Malang seringkali suhu menunjukkan angka 15 derajat sehingga sangat dingin. Di perjalanan malam ini, kami juga merasakan hal yang sama, dingin sangat terasa menembus jaket dan kaos yang kami pakai.


Kami akhirnya berhenti di suatu tanah lapang yang tidak cukup untuk dua tenda. Kami ragu mau melanjutkan. Dua orang yang masih setrong mencoba mendaki lagi untuk mendapatkan petunjuk. Tapi mereka turun lagi setelah mendapati beberapa pepohonan yang muncul tiba-tiba. Agak ambigu karena di sekeliling hanya ada ilalang. Beberapa dari kami memutuskan untuk membuat camp di tempat ini karena melanjutkan perjalanan tampaknya berbahaya.

Setelah hampir setengah jam mendekap tubuh yang kedinginan, dari bawah ada senter dari pendaki lain yang berkilat-kilat. Kami teriak, mereka teriak. Semakin lama kami semakin yakin bahwa mereka sedang menuju ke arah kami. Dengan keyakinan itu, berarti jalan ini jalan yang benar. Dengan semangat tinggal separuh, kami memutuskan melanjutkan perjalanan. 15 menit kemudian kami sampai di wilayah pepohonan yang rapat.

Wilayah ini agak menyenangkan karena banyak pohon untuk dipakai pegangan. Istirahat juga bisa bersandar ke pepohonan. Perjalanan berlanjut dengan nafas yang memburu karena tanjakan semakin sadis. Kami saling membantu untuk mendaki karena beberapa tanjakan cenderung curam. Setelah 30 menit, teman yang berjalan duluan berteriak kalau ada gua gelap di bebatuan. Kami yang di bawah bersemangat lalu berhamburan sampai tiba di depan gua.

Gua Butol

Goa ini bisa menampung sekitar 3 tenda ukuran sedang. Malam itu dingin sekali. Jadi beruntung kami bermalam di gua sehingga tidak seberapa dingin, bahkan cenderung hangat. Kami membawa lontong dari Pasar Landungsari sehingga tidak perlu memasak nasi malam itu. Keuntungan membawa lontong ini juga bisa menghemat air, karena tidak perlu bersihkan beras, dan memasak beras dengan air yang lumayan.


Tetapi memakan lontong saja tidak menarik jadi kami tetap masak mie instan sebagai penambah rasa. Hmm...nyam nyam. Kaki yang menegang sepanjang perjalanan akhirnya bisa istirahat dengan leluasa. Kami seduh kopi dan minum pelan-pelan sambil menikmati suasana di atas pegunungan. Kondisi istirahat semacam ini akan sangat dirindukan ketika sudah turun. Hingga larut kemudian, lampu tenda meredup karena kehabisan baterai. Kami tidur lelap hingga jam 04.00 WIB alarm berbunyi.

Gua Butol - Puncak

Perjalanan di pagi hari merupakan perjalanan yang paling malas. Bagaimana tidak, enak-enak tidur harus bangun dengan mata terbuka lebar. Bukan hanya bangun, tetapi harus melakukan perjalanan menuju puncak yang tanjakannya cukup untuk membuat nyari menciut. Tetapi apapun kondisinya, kalau kepalang tanggung sudah di sana ya akan tetap dilakukan. Bagaimana lagi.


Dua botol air kami siapkan di satu tas yang di bawa satu orang. Kami mendaki dengan semangat baru karena ada beberapa perempuan yang juga bersemangat di depan. Seolah-oleh kita tidak mau kalah dengan mereka. Pendakian menuju puncak sangat berbeda karena tiba-tiba banyak orang yang sekarang menuju ke titik yang sama. Lampu senter berkilau dari bawah, atas, dan segala arah. Mengherankan karena kemarin tak satupun orang kami. temui.

Dalam waktu 40 menit perjalanan kami ternyata sudah sampai puncak. Jam 5 yang masih terlalu dini, tetapi di puncak sudah penuh orang. Beberapa tenda juga terpasang di sana. Rupanya mereka menginap di puncak gunung, wow, pasti dingin dan berangin. Camp di puncak gunung sebenarnya tidak disarankan karena langsung beratapkan langit dan tidak ada apapun yang bisa menghalau angin.

Matahari muncul pukul 05.30 pelan-pelan. Tiba-tiba puncak gunung penanggungan seperti pasar dadakan yang ramai dan bergerombol di mana-mana. Naik gunung sekarang bukan aktivitas eksklusif lagi, tetapi sudah menjadi kegiatan populer sebagaimana ke pantai atau pusat wisata lainnya. Kamera bersiap, orang memperebutkan monent matahari terbit di setiap bagian gunung. Penuh sesak dan menggemaskan.

Kami juga bagian dari budaya populer tersebut. Foto-foto di setiap moment, lalu jengah dan duduk saja sambil ngobrol. Sekitar satu setengah jam kemudian kami turun dari puncak menuju Gua Botol. Turun dari puncak cukup cepat karena hanya 15 menit saja. Saya yang masuk Gua Butol duluan langsung menyiapkan makanan; nasi, mie instan, tempe goreng, dan sarden. Teman-teman yang datang belakangan packing sekadarnya, lalu makan bersama sebelum benar-benar turun gunung.

Setelah semuanya merasa siap, kami packing dengan cepat, memastikan semua api telah padam, memastikan semua sampah telah terangkut ke dalam tas, lalu turun dengan cita-cita makan mie ayam beserta es teh lengkap dengan gorengan dan tambahan nasi pecel.

2019-07-31

Kuliah Itu Gak Penting


Kuliah itu gak penting. Kesimpulan ini paling banyak disukai karena rata-rata kita malas kuliah, malas disuruh baca buku, malas mengerjakan tugas, malas bikin skripsi dan macam-macam kerjaan yang diberi dosen. Untuk mendukung asumsi kuliah tidak penting ini, disajikanlah data orang terkaya di dunia yang tidak makan bangku sekolah; terutama yang sering disebut adalah Bill Gates, dan tentu Susi Pudjiastuti.

Bahkan ada ilustrasi yang menggemaskan, bahwa suatu hari hidup seorang terpelajar, sarjana ekonomi. Dia membawa seluruh teori pemasaran yang jempolan, kemudian melamar pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Ketika ia telah bekerja, bosnya ternyata adalah temannya yang tidak kuliah. Kata si bos, ketika si pekerja susah payah mencari teori pemasaran, ia langsung bekerja dan belajar hingga punya usaha besar. Uang kuliahnya dipakai modal wirausaha hingga sekarang dapat mempekerjakan sarjana.

Sampai di titik ini kita harus paham bahwa kuliah memang tidak sepenting itu. Siapa sih yang masih mengingat materi kuliah ketika seorang mahasiswa sudah semester delapan? Hampir tidak ada bahkan untuk yang IPK 4.00. Teori yang diajarkan di kelas-kelas ibaratnya dongeng orang tua tentang masa depan yang sulit dibuktikan. Teori itu seperti saran-saran orang miskin kepada orang kaya tentang tips dan trik menghasilkan miliaran rupiah dengan ikut MLM.

Apa lagi kebobrokan perkuliahan? Banyak. Mahasiswa tidak diberi kesempatan yang luas untuk berkreasi, kreatifitas dikekang, kebebasan berfikir dilarang, bahkan sikap kritis mahasiswa selalu berakhir dengan ancaman nilai dan pemutusan beasiswa. Kondisi-kondisi semacam ini, jika terjadi di kampus kalian, maka harus menggerakkan massa mahasiswa guna berunjuk rasa menggaungkan keadilan berpendidikan. Karena pendidikan harusnya membebaskan bukan malah mengekang.

Jika masih belum cukup, akan saya sebutkan lagi. Bahwa perkuliahan tidak mengajari mahasiswa untuk secara mandiri hidup dengan kemampuannya sendiri. Berdasarkan pengalaman, sarjana melamar ke 10 perusahaan dan hanya 1 yang dipanggil atau tidak mendapatkan panggilan sama sekali. Perkuliahan tidak mengajari mahasiswa menjadi kaya, menjadi orang hebat seperti Mark Zuckerberg atau Sukarno, juga tidak mengajari mahasiswa hidup penuh karya semacam Pramoedya Ananta Toer dan Anggun C Sasmi.

Kualitas kampus kita di Indonesia berkali-kali disorot karena tidak ada perkembangan yang berarti. Kehidupan kampus ibarat aliran sungai yang mau tidak mau, daun-daun kering yang jatuh harus mengikuti arusnya sampai ke muara. Melihat kondisi ini, kita ingin melimpahkan kesalahan pada orang lain; rektor, dosen, sistem pendidikan Indonesia, gaji dosen yang kecil, mahasiswa yang pemalas, sarana kurang, hingga kesempatan berpendidikan yang tidak ada ruang.

Kehidupan Kampus

Jadi apa yang penting dari perkuliahan sesungguhnya? Jawabannya jelas; ruang-ruang publik yang diciptakan oleh kampus membuat mahasiswa menjadi intelektual yang mumpuni dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Klise, tetapi inilah yang terjadi. Perkuliahan membuat banyak hal yang tadinya tertutup, sekarang menjadi terbuka. Kuliah membuat mahasiswa yang tadinya abai terhadap lingkungan sekitarnya, menjadi peduli.

Yang mahal dalam perkuliahan adalah aktivitas di luar perkuliahan itu sendiri. Ketika anda di kelas ngantuk, maka bisa jadi ketika demo di balai kota mata melotot tanpa kantuk demi membela korban kekerasan. Ketika teori susah dipahami di kelas, maka kajian yang dilakukan mahasiswa terhadap hoax dan fake news akan menjadi ajang terbukanya pemahaman yang jauh lebih berguna dari sekadar teoritis.

Dengan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa, mereka akhirnya bisa gabung menjadi aktivis HMI, PMII, GMNI, PMKRI, dan sebagainya, lalu melupakan kuliah (ups), dan bersikap kritis terhadap sivitas akademik juga kampus sebagai institusi. Dengan menyandang gelar mahasiswa, kalian akhirnya bersikap lebih dewasa dan bisa menjadi contoh penting bagi adik-adik di kampung. Kehidupan di kampus membuat mahasiswa memiliki banyak relasi, berkompetisi, hingga berprestasi di bidang lain yang sebelumnya tak mungkin dijamah.

Kampus dan perkuliahan merupakan bagian paling kecil dari kehidupan. Sehingga mahasiswa yang gupuh gara-gara nilainya mendapat C, B, dan B+ dan ingin berlomba-lomba mendapatkan A, sejatinya telah melupakan esensi perkuliahan dan terjebak dalam rutinitas kesialan seumur hidup. Mahasiswa harus berdiri melebihi khawatirnya terhadap UAS dan absensi yang kelewat merah, karena kehidupan kampus akan membentuk masa depan kalian; sadar ataupun tidak.

Sehingga ketika kuliah, mahasiswa harus berorganisasi secara serius untuk mendapatkan pengalaman kolaboratif, kompetitif, kerja sama, kompromi, manajemen emosi dan kesan, hingga belajar kepemimpinan. Untuk bisa bekerja sama dengan orang lain, mahasiswa tidak cukup dengan mengikuti materi di kelas. Bahkan hal sepele seperti menulis surat pun tidak diajari di kelas -kecuali kalian jurusan kantor pos. Jalin komunikasi dengan banyak orang, belajar dari mereka, dan dewasalah.

Jadi apa yang harus diperbaiki?

Saya akan menyajikan kenyataan pahit di dunia perkuliahan. Rata-rata mahasiswa jika diberi kesempatan ghibah dosennya, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan yang bobrok adalah salah dosen. Mahasiswa dalam rasan-rasanya di warung kopi sering mencemooh dosen, menertawai gaya jalan dosen, bahkan menirukan gaya bicara dosen lalu terbahak-bahak sampai kentut. Dosen dianggap tidak punya kompetensi untuk mengajar sehingga menyebabkan mahasiswa pasif dan gagal.

Di sisi lain, dosen-dosen yang berkumpul di ruang makan mewah dengan uang kampus -uang mahasiswa juga- tidak membahas teori terbaru atau praktikum apa yang menarik buat mahasiswa. Mereka membicarakan mahasiswa yang manja ketika diberi tugas, mahasiswa yang sok pintar di kelas lalu sok membuat pertanyaan yang menyulitkan dosen, juga meledek mahasiswa yang tidak pernah masuk kelas tapi minta nilai bagus.

Mahasiswa mengejek dosen, dosen mendikte mahasiswa, karyawan menyumpahi bos, dan bos selalu tidak puas dengan kinerja pegawainya; adalah realita kehidupan yang sedang kita jalani. Jangan heran banyak mahasiswa sok cerdas dan kritis di warung kopi tapi gagap ketika berhadapan dengan dosen, dan jangan heran juga dosen yang menjadi raja kecil di ruang kelas yang titahnya tidak boleh ditolak karena bisa menyebabkan angka merah di raport mahasiswa.

Catatan Penting: jika ingin berhasil selama menempuh pendidikan tinggi, jangan banyak alasan. Melimpahkan kesalahan pada dosen dan sistem pendidikan, menuding fasilitas dan pelayanan kampus, tidak akan membuat mahasiswa sukses. Mahasiswa harus berusaha mati-matian untuk membaca banyak buku, mahasiswa juga musti bergerak, berfikir, berorganisasi, bentrok dengan pemikiran orang lain, sehingga kepalanya tidak berisi debu peradaban.

Mahasiswa yang sudah banyak membaca, bisa menulis dengan baik, bergeraklah dalam dunia tulisan dan sebarkan pikiran kritis melalui berbagai media. Jika kalian jurusan komunikasi, maka lulus lah ketika sudah bisa menulis berita yang baik, luluslah ketika sudah bisa berbicara di depan publik yang jago, atau bisa bikin film meskipun sendirian. Kebanyakan kita tidak dapat mencapai target dari perkuliahan, tapi sudah berani lulus dan mengecam kampus yang tidak memberinya apa-apa.

Yang dapat saya temui saat ini, hanya 3-5 orang di kelas yang bisa diandalkan. Selebihnya adalah pasir di lautan, buih yang terombang-ambing di gelombang. Mereka hanya datang ke kampus untuk kuliah, ke kantin, ngopi, shopping, main game, pulang ke kos wifian youtub-an, lalu setiap akhir pesan bersama pacar ke car free day dan pantai. Bagaimana mungkin mereka akan lulus dengan kualitas seperti yang tertera dalam visi prodi?

Jadi inti yang paling inti dari suksesnya pendidikan adalah pada mahasiswanya sendiri. Dosen, sebagai entitas suci di dalam kelas memang susah-susah gampang dijinakkan. Kepada mereka cukup lah kalian berhormat karena mereka adalah orang yang berilmu. Berbicara yang santun dengan tata krama sebagaimana murid kepada guru. Dosen tidak meminta mahasiswa harus menyembahnya. Jika ada dosen yang keliru maka dia adalah manusia biasa yang dapat diingatkan dengan cara yang baik.

2019-07-10

Mendamba Menteri Usia Muda



(Dimuat di Malang Post, edisi 6 Juli 2019)

Berbicara pemuda mengingatkan kita pada ungkapan presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno; “Beri aku seribu orang tua, niscaya kucabut semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya kuguncang dunia”. Quote tersebut mampu menggambarkan semangat pemuda yang luar biasa sehingga banyak orang berharap besar terhadapnya. Karena itulah, Presiden ke 7 Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dalam pemberitaan akhir-akhir ini juga berkeinginan merangkul pemuda untuk menjadi menteri di dalam kabinetnya.

Jika melihat perhelatan politik tanah air, dominasi senior memang sangat terlihat. Sebut saja misalnya; Jokowi (58), Prabowo Subianto (67), Ma’ruf Amin (76), Jusuf Kalla (77), Mahfud MD (62), Wiranto (72), SBY (69), dan Luhut (71). Karena itu, melihat Jokowi ingin mengangkat generasi muda dan menggeser para veteran ini merupakan berita yang heboh meski tidak terlalu mengagetkan. Pemuda selama ini selalu diasosiasikan sebagai anak-anak yang tanpa pengalaman, labil, sluman-slumun-slamet, dan emosional. Sehingga kontroversi dari isu yang direncanakan oleh presiden asli Solo tersebut pasti ada.

Tetapi Jokowi tampaknya memiliki rencana khusus sehingga memilih pemuda untuk menjadi menteri di kabinetnya yang kedua. Dalam pemberitaan di Malang Pos (Rabu, 3 Juli 2019) disebutkan, Jokowi menginginkan pemuda karena mereka bisa mengeksekusi program-program pemerintah dengan cepat, tepat, dan kuat. Ungkapan ini bisa dimaknai bahwa Jokowi ingin mengubah birokrasi pemerintah yang selama ini dikritik karena lamban dalam menanggapi berbagai masalah. Pemerintah lebih tercermin seperti pemadam kebakaran tetapi tidak tanggap untuk mencegah datangnya api.

Sehingga keberadaan pemuda dalam jajaran menteri tersebut, akan mengubah kebiasaan menjalankan program pemerintah yang awalnya terseok menjadi trengginas. Sebagai mantan pengusaha, Jokowi menginginkan pemerintahan bekerja seefektif mungkin dengan memangkas seluruh birokrasi yang menyulitkan gerak kerja. Di sanalah dibutuhkan pemuda yang fleksibel, bekerja dengan cepat, lebih berorientasi hasil dari pada berpusing dengan prosedur. Dengan alasan yang demikian, pilihan Jokowi untuk mengakomodir pemuda menjadi penting dan masuk akal.

Namun memilih pemuda untuk menjadi menteri juga harus hati-hati. Jangan sampai pemuda yang dipilih semuanya berasal dari partai koalisi atau dari organisasi masyarakat yang ketat menghitung untung-rugi. Sehingga memilih pemuda yang berasal dari kalangan profesional dan akademisi memiliki argumentasi lebih kuat, dan bakal menepis anggapan bahwa pemerintahan selalu bagi-bagi kursi menteri. Karena sosok yang menjadi menteri seringkali dipilih berdasarkan pilihan politis, bukan kapasitas dan kapabilitas. Dengan langkah ini, Jokowi akan membuat negara mendapatkan legitimasi dari masyarakat sehingga memperkuat posisi pemerintahan.

Surplus Pemuda

Pemuda memang bukan malaikat penolong yang akan mengubah wajah birokrasi Indonesia seperti jin aladin, bim salabim. Tetapi ini adalah salah satu ikhtiar memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang masih memegang idealisasi bangsa dan belum tercemar oleh intrik politik praktis. Tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru sepanjang percobaan ini telah dilakukan kajian yang matang. Apalagi pemilihan menteri ini bukan untuk mendampingi Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di perguruan tinggi, tetapi di sebuah negara sehingga tidak mungkin percobaan ini bersifat asal-asalan.

Mengapa pemuda bisa menjadi salah satu solusi mempercepat kemajuan bangsa? Karena pemuda bisa membunuh salah satu penyakit birokrasi negara Indonesia; berbelit-belit. Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Asman Abnur, pernah mengungkapkan bahwa organisasi pemerintah di pusat maupun daerah seringkali membesarkan struktur organisasinya padahal tidak dibutuhkan dalam tugas nyata keseharian. Struktur yang terlalu besar ini cenderung memperlambat proses kerja serta berbanding terbalik dengan reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintah.

Indonesia mengalami surplus pemuda yang jauh lebih banyak dibanding dengan negara lain di dunia ini. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2018 menyebutkan, seperempat penduduk Indonesia adalah pemuda, yaitu sekitar 63,82 juta jiwa. Ini angka yang besar mengingat pemuda adalah calon pemimpin di masa mendatang. Yang lebih mengesankan dari jumlah tersebut adalah angka partisipasi sekolah (APS) mencapai 71,99 persen sehingga bisa dikatakan pemuda Indonesia adalah pemuda berpendidikan. Dengan pendidikan ini diharapkan kualitas pemuda di masa mendatang akan melampaui generasi baby boomer yang cenderung menyukai hierarki dalam tatanan pemerintahan.

Kenyataan ini membuat kita yakin dan bisa dengan bebas mengungkapkan ‘mengapa tidak jika pemuda diberi peran lebih di bidang sosial, politik, dan kenegaraan?’. Menguatkan hal itu, majalah bergengsi seperti Forbes memasukkan 23 pemuda Indonesia menjadi pemuda yang memiliki prestasi penting di Asia pada tahun 2019. Padahal sebelumnya, di tahun 2018 hanya ada 10 pemuda yang masuk dalam program ‘Forben 30 Under 30 Asia’ itu. Kondisi ini menunjukkan bahwa surplus pemuda di Indonesia tidak hanya bergerak di statistik (kuantitatif) tetapi juga di kualitas.

Usia dan Pengalaman

Data dan argumen di atas bisa jadi tidak cukup untuk meyakinkan berbagai pihak agar lebih banyak memasukkan pemuda dalam jajaran menteri. Alasan yang sederhana dan mencurigakan adalah karena yang berpendapat yang demikian rata-rata berusia di atas 50 tahun. Sehingga ketika pemuda banyak mendapat jatah menteri dan atau minimal posisi-posisi selevel dengan menteri, maka generasi tua tidak akan mendapatkan kesempatan lagi. Memang banyak alasan yang menghubungkan usia muda sama dengan kurang pengalaman. Atau usia muda cenderung masih labil sehingga tidak cocok di posisi pengambil kebijakan.

Perlu ditagaskan bahwa pemuda memiliki pemikiran yang terus berkembang dan tidak stagnan pada satu titik. Hidup itu tidak berjalan linier dan transaksional sehingga siapapun di posisi manapun akan belajar. Sehingga pemuda juga pasti belajar dari sistem yang telah berjalan di kementrian lalu mengembangkannya menjadi lebih efektif dan efisien. Paling tidak itulah yang kita damba dari pemuda yang digadang-gadang bisa memperbaiki kinerja pemerintah. Itu pun jika memang pemuda yang diambil oleh tim Jokowi menggunakan pemuda non-pengalaman –yang menurut hemat saya kondisi itu tidak akan terjadi.

Sebaliknya, Jokowi yang sudah berpengalaman menjadi presiden selama lima tahun, Wali Kota Solo, juga Gubernur DKI, akan lebih selektif dalam memilih menteri yang bisa bekerja seirama dengannya. Tentu saja orang-orang profesional sebagaimana Jokowi, akan memilih partner kerja yang dapat menjalankan visi-misi negara dengan tangkas. Tidak heran Jokowi memiliki tekat ‘kerja! kerja! kerja!’ yang identik dengan pemuda dalam bayangan Jokowi; cepat, tepat, kuat.

Apalagi dalam kabinet jilid dua-nya ini, Jokowi ingin mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang berdaya saing sehingga pemuda-pemuda pilihan Jokowi akan dapat berperan penting. Jika pertanyaannya kembali pada kurangnya pengalaman pemuda untuk berinteraksi, membaur, dan memerintah di lingkungan kementrian, maka Jokowi sudah punya jawabannya : akan ada Menteri Koordinator yang memberi arahan. Dari sini sudah tepat jika pemuda diberi kesempatan untuk melakukan perubahan dari dalam sistem, bukan luar sistem sehingga Indonesia dapat cepat berubah dari industri 4.0 menuju 5.0.

*Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di www.fathulqorib.com

2019-06-13

Review Film Breaking Bad

Poster Serial TV Terbaik : Breaking Bad

Seseorang bisa berbalik menuju versi yang sangat bertolak belakang jika menghadapi kondisi yang sangat mendesak. Bayangkan, seorang guru kimia SMA, yang seharusnya mendidik dan mengajari kebaikan-kebaikan, lalu memutuskan menggunakan keahlian kimianya untuk membuat satu jenis narkoba 'methamphetamine', didistribusikan, dijual, dan memiliki keuntungan yang besar. Terlihat seperti film yang keren bukan? 

Kenyataannya, ketika Vince Gilligan, penulis dan produser Breaking Bad, menawarkan ide film itu ke studio Sony America, ia malah mendapat penolakan. Kata sang CEO, ide film ini adalah yang terburuk dari seluruh ide serial tv yang pernah ia dengar. Tapi toh ide ini tetap diakomodir meski tidak dengan keyakinan penuh. Lalu tiba-tiba 'Boom!!!', Breaking Bad menjadi serial TV terbaik sepanjang masa, mendapatkan 26 nominasi internasional, dan serial tv dengan rating tertinggi dari Guinnes World Records.

Galligan sebenarnya mendapatkan inspirasi menulis naskah film ini dari kejadian nyata adanya laboratorium sabu di Brooklyn. Dari ceplosan santai bersama rekannya, jadilah Breaking Bad. Bagi Galligan yang bukan seorang kimiawan, tantangan berikutnya adalah bagaimana agar benda-benda di dalam film ini -yant berhubungan dengan kimia- tetap masuk akal. Ia kemudian menjalin kerjasama dengan salah seorang doktor kimia dari universitas untuk membantunya merumuskan bahan kimia yang tepat di film tersebut.

Tapi serius, film ini memang keren, karena film semacam ini hanyalah sebuah angan-angan bodoh dari setiap siswa yang membayangkan garam (NaCl) menjadi sebuah bom. Yang keren dari film ini bukan hanya preview seorang guru yang menjadi produsen narkoba, tapi juga proses dan perjalanannya yang gagap menuju tempat yang sangat berbeda; bandar methamphetamine (meth) bernama Heisenberg.

Plot yang terjalin dalam film ini mirip seperti Game of Throne, yang hampir terjebak dalam kebingungan mengakhiri sekuelnya. Untungnya Breaking Bad segera berakhir sehingga tepuk tangan masih meriah. Ibarat Curt Cobain yang mati ketika Nirvana sedang jaya-jayanya di tahun 1990-an. Menurut pengakuan penulisnya, karakter dan bangunan ceritanya sering ada yang disesuaikan dengan improvisasi di lapangan, baik oleh pemain maupun sutradara. Barangkali ini yang membuat suatu cerita akhirnya tidak akan berakhir mengenaskan.

Di awal season, saya merasa keren ketika mengetahui bahwa ilmu kimia yang membosankan akhirnya bisa dibikin film yang keren. Di film ini, selain kimia bisa digunakan untuk membuat meth (sejenis sabu-sabu), juga dibuat untuk membentuk suatu bom berkekuatan tinggi untuk mengintimidasi bandar narkoba. Lalu juga, kimia digunakan oleh tokoh utama, Walter White (Bryan Carnston) untuk menghancurkan tubuh manusia yang dibunuhnya.

Film ini berjalan semi lambat tapi kadang cepat, khas serial tv yang bakal menghabiskan waktu yang panjang. Walter digambarkan sebagai sosok guru protagonis yang naif, baik hati untuk menyebarkan ilmu, bekerja serabutan sebagai pencuci mobil karena istrinya berhenti bekerja karena hamil besar. Anak satu-satunya cacat dan Walter merasa bertanggung jawab terhadap seluruh keluarganya. Tipikal pemain utama dalam sinetron Indonesia; baik hati, banyak tanggungan, lalu dijahati orang. Persis, ia dikerjai oleh siswa berandalan yang kaya, ketika ia mencucikan mobilnya ke Walter.

Sebagai sosok yang baik dan lemah, Walter tidak cocok menjadi penjahat. Ia lebih pantas berubah dari guru menjadi seorang pastor atau pendeta. Tetapi nasib berkata lain, ia didiagnosa menderita kanker yang akan membunuhnya dalam beberapa minggu ke depan. Walter ketakutan, bukan takut mati, tapi takut ketika keluarga ditinggalkannya dalam kemiskinan dan hutang. Melalui plot yang aneh dan kebetulan konyol, dia bertemu dengan mantan murid SMA-nya yang jago membuat meth dengan ciri khas 'chili powder'.

Ia kemudian bekerja sama dengannya, Jessie Pinkman (diperankan oleh Aaron Paul) untuk membuat meth. Jangan dibayangkan bahwa ajakan kerja sama itu berjalan lancar, tentu dengan tawar menawar alot, dialog dan aksi, saling ancam dan sebagainya. Hasil akhirnya, mereka membeli satu mobil box besar untuk dijadikan dapur membuat meth. Mobil itu dibawa ke padang sabana yang kering di Meksiko, lalu mereka mulai memasak meth. 

Sebagai ahli bahan kimia, Walter sangat percaya diri. Ketika kristal-kristal meth sudah jadi, Jessie yang juga seorang pemadat berpengalaman, terkagum-kagum dengan meth buatan Walter. Ia melihat bahwa meth buatan Walter sangat murni, berbeda dengan meth yang sekarang beredar di pasaran. Dari sana, Jessie dan Walter berpetualang untuk menjadi pengedar (diwarnai kematian Intel polisi), pemasok (bom canggih yang diciptakan Walter dan memporak-porandakan markas Tuco sang bos narkoba), hingga akhirnya Film ini sangat sibuk merangkai seluruh kisah agar tetap masuk akal dan menarik.

Satu hal lagi yang patut dicatat dalam film ini adalah alurnya yang tidak mudah ditebak. Sebagai tokoh sentral, seharusnya Walter menjadi sosok yang superpower, tidak mudah dikalahkan, juga penuh keberuntungan. Tetapi berkali-kali malah Walter terjebak dengan kehidupan complicated, hampir tertangkap kakak iparnya sendiri yang seorang anggota DEA (semacam polisi narkoba), bercerai, juga berurusan dengan pengacara maniak, dan persoalan lain yang tidak berhubungan dengan narkoba.

Kisah tentang bagaimana pergolakan pengedar hingga bandar narkoba di sini lebih realistis dan terang benderang. Menjadi bandar narkoba tidak semudah di film-film kriminal lainnya. Pembunuhan memang pasti akan mewarnai, bakal ada bom yang meledak, adegan tembak-tembakan, dan darah kemana-mana. Di breaking bad memang ada moment itu tapi tidak difilm kan secara lebai dan penuh drama. Bandar narkoba Tuco Salamanca, misalnya, pernah tembak-tembakan dengan Hank, ipar Walter yang juga anggota DEA (polisi narkoba) secara wajar, penuh emosi, dan Tuco tertembak. Masuk akal dan bagus.

Film dengan genre semi kriminal semi drama harus memiliki kekuatan di realitas ceritanya. Sekali ia terjebak dalam aksi superhero, maka ia akan sulit keluar dari kenyataan yang sesungguhnya. Persoalan moral juga menjadi penting dalam film ini, bahkan terjadi pertarungan yang kuat, antara kebaikan Walter sebagai guru dan keinginannya untuk menjadi bandar narkoba. Sepanjang film, sering saya merasa tidak tega akan nasib Walter, ingin menyudahi menonton ketika Walter mendapat kesempatan menjadi orang yang bahagia.

Tetapi kemudian saya berhenti khawatir, saya persilakan kepada Gilligan untuk mengatur film ini sedemikian rupa, dan saya tidak akan menuntut banyak hal tentang bagaimana penulis akan mengakhiri nasib Walter dan Jessie. Selamat menonton!.

2019-06-01

Lelaki


Kita didefinisikan oleh banyak hal. Biasanya terkait kekuatan otot, pikiran yang cemerlang, atau adrenalin yang berpacu menembus pegunungan dan lautan. Lelaki tidak boleh feminim. Ia boleh jadi berambut gondrong, tetapi harus garang. Ia bisa mencuci, memasak, dan menjahit tetapi musti melakukan segalanya dengan cara-cara maskulin. Tidak menye-menye, gak boleh nangis, dan menyelesaikan persoalan dengan baku hantam.

Betapa pernyataan di atas mengandung bias yang teramat. Beberapa definisi seorang lelaki memang penuh problem. Lelaki suka ngomong seenaknya dan bisa tidak ambil peduli dengan perasaan orang. Kata Alexander Supertramp dalam In to The Wild, "Fuck Society". Kita dibentuk oleh masyarakat kita melalui praktek bahasa yang maskulin, kita juga mengamininya, dan sesekali kita harus berontak dari masyarakat yang membentuk diri lelaki. Atau sebagai lelaki, seringkali kita lebih bangga dengan arogansi, menang sendiri, suka-suka, dan mengacungkan jari tengah kepada masyarakat.

Tapi di tempat yang jauh, di jiwa-jiwa yang damai dan tenang, di mana palung laut membeku pada otot dan otak lelaki, kita musti insaf. Bahwa menjadi lelaki tidak serendah itu. Kita musti menjadi ubermench -meminjam Nietzsche, menjadi pribadi yang menolak pakem-pakem yang dibuat oleh siapapun kepada diri kita. Manusia bebas yang benar-benar bebas, tidak didikte oleh keyakinan yang tak pernah kita ketahui kebenarannya. Kita memilih kebaikan karena baik itu muara kebijaksanaan.

Seorang lelaki harus bersikap 'ja sagen' -nietzsche lagi, yakni selalu mengatakan 'iya' untuk segala kehidupan yang datang. Kenikmatan yang kita peroleh, keluh kesah yang mengiringi keesokan harinya, kelahiran dan kematian yang mengelilingi sehari-hari, harus kita terima dengan : ya, kondisi itu datang untuk tidak dihindari. Lelaki musti menerima kodrat itu dan tidak pernah berpaling dari kehidupan. Lagi pula manusia macam apa yang lari dari segala konsekuensi kelahirannya sendiri?

Ketika kuliah dan kita tidak punya uang, miskin, terlunta-lunta, setiap semester harus datang ke Biro Keuangan Kampus demi meminta perpanjangan waktu; ya, kita harus menerimanya. Itulah kondisi yang ada dan musti kita selesaikan. Jika kita adalah lelaki jomblo yang sudah berupaya sekuat tenaga tetapi tetap gak laku, no problemo, no woman no cry. Kita yang setiap hari mendapat kebahagiaan, tidak pernah susah dan cenderung beruntung, ya, terima itu dengan suka cita.

Apapun yang datang, bahagia atau sedih, jangan lari. Sekali kita lari dari masalah itu maka kita akan lari selamanya dari kehidupan. Apakah ucapan saya sudah seperti motivator?

Oh tidak, karena motivator akan menyarankan anda untuk bertahan dengan berkata ; ya, saya yakin bisa, maka pasti bisa. Sedangkan saya akan memberikan saran dengan jalan serasional mungkin akibat dari konsekuensi mengatakan 'ya'. Mari menengok masalah pertama, persoalan ekonomi yang selalu menghantui mahasiswa di berbagai kampus, solusinya adalah : pertama, kerja lebih keras dari siapapun karena anda harus melawan ketidakmampuan ekonomi yang ditakdirkan oleh tuhan atau alam. Kau adalah alam itu sendiri, dan tuhan, tentu tidak akan serta merta memberikanmu uang jika tidak bekerja keras.

Kita cenderung lebih mudah menerima semua dengan pasrah, kalau tidak demikian maka kita lebih suka menyelesaikan masalah dengan mengumpat, menghujat, atau yang lebih lemah: curhat. Kita enggan berubah karena berubah itu membutuhkan tekad yang luar biasa sulit. Perubahan seorang penghujat dan pemalas menjadi orang yang paling bekerja keras ibaratnya memikul taurat dari atas tursina ke lembah berisi manusia sembrono gara-gara patung sapi emas.

Lihat saja di sekeliling kita berapa banyak yang mencoba berubah? Hampir tidak ada. Kita akan lebih banyak menemui orang-orang yang berencana berubah, hanya berencana beribah tetapi tidak ada realisasi apapun.

Kedua, pergi yang jauh dari kampus. Pergi dari kampus bukan untuk kabur lalu memaki dunia pendidikan yang semakin kapitalistik. Kau pergi yang jauh untuk memperoleh kesuksesan lainnya. Apakah kau yakin akan mengikuti persepsi umum bahwa jalan kesuksesan satu-satunya adalah melalui pendidikan tinggi? Fuck society. Jika kau berada di lingkungan yang memuja ijazah dan gelar akademis, hancurkan! Kau harus marah karena pendidikan tidak bisa ditempuh hanya bermodalkan belajar sungguh-sungguh. Ia butuh uang, waktu yang panjang, dan juga tekad.

Katakan ya pada seluruh yang datang kepadamu, jangan pergi, jangan lari. Menjadi lelaki harus lebih kuat dari beton dan baja yang membentuk gedung tinggi dan jalan tol di Indonesia. Jika semua terasa memuakkan, bising, dan stagnan, pergilah yang jauh. Rumah adalah tempat di mana kau lahir, bukan tempat di mana kau besar, bahkan bukan tempat kematian kita. Jika kau banyak berutang budi pada rumah, bayar secepatnya dengan seluruh yang kau punya. Lalu tinggalkan kotamu, tinggalkan rumahmu, mencari kekuatan superpower sebagaimana yang dimiliki Thanos.

Memang, hutang budi ke orang tua tidak akan pernah terbayar, tapi ingat satu hal : orang tua lebih bahagia jika kau sukses di negeri yang jauh, sesekali pulang membawa kebanggaan, bikin orang tua takjub, dibanding kau kembali ke pelukan mereka dengan kondisi mengenaskan, pulang beralibi menjadi anak yang berbakti. Itu adalah pilihan yang bertolak belakang yang harus dipilih oleh kalian para lelaki. Karena sejauh yang kukenal, lelaki masa kini banyak yang takut berkompetisi di luar wilayahnya, lalu pulang ketakutan dengan alasan membangun desa.

Jika kedua pilihan itu serasa janggal dan melankolis, maka okelah. Pulanglah dengan seluruh kebanggaan yang kau punya, kemudian jangan pernah merantau lagi. Hiduplah dari dan untuk desa yang menjadi ladang seumur hidupmu. Tumbuhkan dari ladang di kampung itu masyarakat mandiri dan tangguh, bangun menjadi basis kekuatan sosial yang baru dan tak kenal rasa takut terhadap modernisme, kau jaga kampung itu dari pembangunan wisata berkedok sosialis karena sesungguhnya hasil akhirnya adalah eksploitasi.

Menjadi lelaki itu sulit, tapi barangkali menjadi perempuan di negeri ini jauh lebih sulit. Maka sudah saatnya pemuda memilih jalan hidupnya akan seperti apa, karena jika lelaki tidak tegar seperti menantu yang tinggal serumah dengan mertua, maka kualitas macam apa yang akan diturunkan ke anak cucunya.