2015-02-20

Ulasan Buku: Muhammad Sang Nabi - Karen Armstrong


Jika saya percaya bahwa Muhammad adalah manusia biasa yang menggunakan akal dan budinya sebagaimana manusia biasa, dan melakukan segala sesuatu sebagaimana manusia biasa, apakah saya akan dicap murtad? Sebab, sesungguhnya dengan mengetahui bahwa Muhammad adalah manusia biasa, saya merasa lebih percaya, lebih beriman bahwa dia memang benar diterangi oleh nur Allah dan bahwa dia adalah Rasulullah.

Ketika membaca buku berjudul Muhammad Sang Nabi yang ditulis oleh Karen Armstrong, saya menyadari bahwa ada banyak hal yang tidak kita ketahui tentang Nabi kita sendiri. Aneh rasanya mengetahui bahwa Armstrong, seorang non-Muslim, mampu menyajikan sosok Muhammad dengan begitu mengagumkan. Dia berhasil menghadirkan Muhammad sebagai sosok yang istimewa, meskipun dalam sifatnya yang tampak sederhana dan cuek.

Kepiawaian Armstrong dalam menyusun narasi terletak pada pendekatannya yang berbasis sejarah bangsa Arab. Dia menjelaskan Islam pada masa awal dengan membandingkannya dengan dua agama Samawi lainnya, yaitu Kristen dan Yahudi. Praktis, pendekatan semacam ini tidak pernah kita dapatkan, bahkan dalam pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dari sekolah dasar hingga menengah atas.

Selama ini, sosok Muhammad yang kita pahami dalam konteks Islam lebih cenderung pada dimensi teologis. Artinya, segala kisah yang disampaikan bertujuan untuk membangkitkan keimanan, seperti mukjizat Nabi yang mampu membelah bulan atau peristiwa ketika dadanya dibelah oleh Jibril dan Mikail saat masih menggembala kambing. Kisah-kisah seperti ini mustahil untuk diverifikasi secara historis menggunakan ilmu modern.

Mukjizat-mukjizat tersebut hanya dimaksudkan untuk menguatkan dimensi teologis kita tentang Muhammad yang luar biasa. Oleh sebab itu, kisah-kisah tersebut tidak ditelusuri dalam sejarah karena mustahil menemukan bukti sejarah yang mendukung mukjizat seperti itu. Bahkan, Munim Sirry pernah berpendapat bahwa sirah Nabi yang ditulis oleh umat Muslim lebih merupakan refleksi imajinasi kaum Muslim tentang sosok ideal seorang Nabi.

Memahami Muhammad sebagai manusia biasa menjadi penting. Dengan melihat bahwa Muhammad melakukan segala sesuatu sebagaimana manusia lainnya, kita bisa mengetahui kualitas luar biasa yang dimiliki oleh beliau. Hal ini cukup masuk akal ketika Armstrong mengulasnya dalam bukunya. Nabi Muhammad berhasil mengubah suku Arab yang barbar menjadi umat yang penuh kasih sayang dan bermartabat.

Yang menarik, sumber-sumber penulisan Armstrong sebagian besar bukan berasal dari Al-Qur'an atau sirah nabawiyah yang ditulis umat Muslim, tetapi dari karya-karya seperti Muhammad at Mecca dan Muhammad at Medina oleh W. Montgomery Watt, serta Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources oleh Martin Lings. Sebagian lainnya berasal dari karya Muhammad bin Ishaq, yang hidup 150 tahun setelah Nabi wafat.

Dalam pandangan saya, sejarah Nabi Muhammad yang ditulis oleh umat Muslim sering kali masih mengandalkan unsur-unsur di luar nalar yang sulit dipahami oleh orang lain. Hal-hal yang bersifat mistis, seperti dipeluk malaikat Jibril di Gua Hira ketika menerima wahyu pertama, dibelah dadanya oleh dua malaikat, hingga kehadiran malaikat dalam Perang Badar, masih ditulis dengan begitu gamblangnya. Kisah-kisah semacam ini tentu sulit diterima oleh nalar modern.

Karena itu, sumber-sumber Islam kemudian dibatasi demi kepentingan penulisan sejarah Nabi Muhammad yang lebih ilmiah, yang tidak melibatkan hal-hal yang tidak masuk akal. Ketika orang meminta penjelasan rasional, sering kali jawaban yang diberikan adalah bahwa kita hanya perlu beriman, sebagaimana kita percaya pada angin yang tidak dapat dilihat. Jawaban seperti ini, meskipun benar secara teologis, sering kali terasa menjengkelkan, seperti yang kerap saya dengar dari beberapa kiai.

Kebaruan

Apa yang kita cari dari sebuah buku yang temanya telah kita baca ratusan kali? Jawabannya adalah kebaruan. Dan saya merasa puas dengan kebaruan yang ditawarkan oleh buku Muhammad karya Armstrong ini. Armstrong menjelaskan bahwa tujuan utama penulisan buku ini adalah untuk menjembatani pemahaman antara kaum Muslim dan Kristen Barat, yang sering kali saling tidak sepakat dan saling memandang sebagai rival yang mengerikan.

Hal pertama yang diungkap oleh Armstrong adalah kebingungan orang Kristen Barat dalam memahami kemurkaan umat Islam terhadap novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie. Umat Islam mencemooh, menggugat, bahkan membakar buku ini. Menurut pandangan Kristen Barat, umat Islam tidak memberikan kebebasan terhadap perkembangan seni sastra.

Bahkan, dalam karya sastrawan besar seperti Dante, The Divine Comedy, terdapat polemik yang memperburuk posisi Nabi Muhammad. Armstrong mencatat bahwa Dante sendiri gagal menggambarkan Muhammad sebagai tokoh religius yang mandiri. Kesalahpahaman-kesalahpahaman seperti ini menjadi-jadi, hingga banyak yang memandang Islam sebagai sesuatu yang sulit dicerna.

Peran Armstrong menjadi penting sebagai jembatan pemahaman. Ketika umat Islam di Inggris membakar novel Rushdie, Armstrong mengingatkan bahwa selama berabad-abad, umat Kristen Barat juga membakar buku-buku yang bertentangan dengan keyakinan mereka, bahkan diorganisir oleh kerajaan. Tidak hanya buku, tetapi ratusan pria dan wanita juga dibakar hidup-hidup karena dianggap heretik.

Hal-hal yang tampaknya tidak masuk akal dalam Islam juga kerap dibandingkan dengan praktik dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Misalnya, kebiasaan Nabi Muhammad bangun malam untuk bertahajud dikaitkan dengan kebiasaan rabbi Yahudi yang bangun sepertiga malam untuk membaca kitab Talmud. Bahkan cara Nabi menerima wahyu di Gua Hira, yang digambarkan sulit dan berat, juga memiliki kesamaan dengan pengalaman spiritual Nabi Isa.

Dengan memahami pendekatan seperti yang dilakukan Armstrong, kita belajar untuk melihat bahwa Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi juga sebuah tradisi yang berakar kuat pada konteks sejarah dan budaya. Bagi saya Armstrong berhasil menunjukkan bahwa Islam dan Nabi Muhammad bukanlah sesuatu yang sepenuhnya terputus dari dunia yang lebih luas. Nabi Muhammad adalah bagian dari sejarah besar manusia yang melibatkan interaksi dengan tradisi-tradisi lain, juga memahami bahwa Islam adalah agama dan kebudayaan.

Memahami Nabi Muhammad sebagai manusia biasa yang memiliki keistimewaan luar biasa justru membuat kita lebih menghargai ajarannya. Dengan cara ini, kita, atau lebih khusus saya, tidak hanya memahami beliau sebagai utusan Allah, tetapi juga sebagai seorang manusia yang melalui perjuangan berat demi memperjuangkan nilai-nilai kebenaran. Buku ini memberikan perspektif baru dan unik untuk memandang Nabi Muhammad dengan penuh rasa hormat sekaligus mendalam secara intelektual.

3 komentar:

  1. tidak ada amir, haha....cari di gramedia, :D

    BalasHapus
  2. Udah dapet mas.,,,, keren bukunya..... Eeeh mas, postingannya amir taruh di blog amir boleh ya mas....

    BalasHapus

semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.