Setiap orang memiliki masa dimana dirinya merasa bahwa
kehidupannya telah berakhir. Nasib mempecundanginya seperti teman sebangku yang
jahat, atau takdir membawanya kepada jalan menurun yang tidak ada harapan untuk
menanjak. Dalam masa itu, tiba-tiba ada sebuah tangan-tangan gaib (invisible hands) yang mengangkatmu
pelan-pelan, memberimu pegangan, memberimu kekuatan untuk bernafas lalu
meredakan setiap rintangan yang membelenggu. Jika benar itu ada, maka tentunya
orang tersebut tidak akan melupakan invisible
hands tersebut.
Bagiku, invisible
hands ini adalah lembaga pendidikan yang pertama-tama memberikan inspirasi
bahwa pendidikan adalah hal yang utama. Lembaga ini, kita biasa menyebutnya
dengan MA Roudlotul Mutaabbidin, yang telah membentukku sedemikian rupa, dari
lempengan besi menjadi bola pingpong. Kenapa lempengan besi bisa
bermetamorfosis menjadi bola pingpong?
Ketika aku masih kelas tiga (sekarang kelas XII) di Madrasah
Aliyah yang bersahaja itu, aku pernah memberikan materi motivasi kepada
siswa-siswi yang baru datang –MOS istilahnya. Aku memberikan gambaran bahwa
menjadi manusia itu bukan hanya menjalani takdir sebagaimana mestinya, namun
harus bisa merubah takdir dan berdamai dengannya, sehingga menaikkan kita
kepada derajat yang tinggi. Dalam mencapai itu, aku memberikan analogi kekuatan
jiwa kita dengan ranting kayu, lempengan besi, dan bola pingpong.
Jika kekuatan jiwa kita adalah ibarat ranting kayu,
sedangkan takdir adalah sebuah hentakan mendadak pada ranting tersebut, maka tentu
kita akan kalah. Orang yang jiwanya seperti ranting kayu, akan mudah patah jika
mendapatkan tekanan. Ranting kayu tidak akan pernah tersambung lagi, sekali
patah, dia akan patah selamanya. Sama dengan manusia, ada kalanya jiwa kita
seperti ranting kayu kering, yang ketika ada takdir jahat mendatangi kita, jiwa
kita langsung ambruk tanpa bisa bangun lagi.
Bebeda dengan ranting kayu, lempengan besi lebih mampu
menghadapi setiap tekanan dengan kekuatan sempurna. Setiap hempasan palu
kehidupan, dia akan menahannya terus menerus. Namun ketika tekanan semakin
keras dan bertubi-tubi, akhirnya lempengan besipun akan bengkok. Begitulah jiwa
manusia, jika kekuatannya sama seperti halnya lempengan besi, dia akan kuat
menghadapi segala halangan dan rintangan dalam satu waktu. Itu adalah awalnya,
tapi ketika rintangan tersebut semakin berat lalu berhasil menghancurkan jiwa
lempengan itu, maka kita juga akan kalah.
Yang terakhir adalah prinsip bola pingpong yang seharusnya
kita anut. Karena bola pingpong, semakin dia ditekan dan dilemparkan ke lantai,
semakin dia terbang tinggi melampaui saat dimana dia berasal. Ada orang-orang
seperti bola pingpong ini, ketika dia mendapatkan masalah, dia lalu melejitkan
potensi dirinya sehingga sang penekan
sendiri tidak sanggup menyusulnya.
Bagaimanapun, aku telah mencoba menjadi bola pingpong yang
ingin terbang jauh menyusuri setiap mimpi yang ada. Mimpi-mimpi yang pernah
tenggelam ketika masa sekolah begitu sulit, rumit, dan seperti menghadapi jalan
buntu. Lalu MA Roudlotul Mutaabbidin ini, dengan salah seorang guru yang paling
getol menyengat kita bagai lebah, memberikan keyakinan-keyakinan terhadap mimpi
itu –berkali-kali. Mimpi-mimpi yang memang harus diperjuangkan melalui setiap
masalah dan kegelisahan, mimpi-mimpi yang memang tidak akan terwujud sebelum
kita berani melangkahkan kaki lebih jauh –lebih jauh dari ketakutan kita
sendiri.
Semuanya sudah jelas, jejak awal yang menjadikanku begitu
memahami kehidupan ini justru ketika aku berada di sekolah swasta yang pernah
mendapatkan predikat paling butut –ibarat sepatu, dia sepatu usang dengan tumit
telah terbuka laksana buaya. Dianggap paling butut itu, tidak membuat kami
patah semangat, justru ingin membuktikan diri bahwa kitalah yang paling hebat.
Meskipun hal seperti itu tidak akan berjalan instant, kita telah memulainya.
Maka dari itu, generasi berikutnya harus terus mengucap
janji bahwa lembaga kita tercinta ini akan tetap melekat hingga kita menjadi
pingpong sesungguhnya. Ini bukan warisan yang menyakitkan, menjadi siswa Aliyah
adalah kebahagiaan tertinggi yang bisa didapatkan oleh seorang “aku” yang
datang dari pelosok desa, memeras mata dan telinga, hanya untuk belajar menjadi
dewasa. Jadi, sesungguhnya, ucapan terimakasih saja tidak layak kita layangkan
karena masih banyak –seharusnya- yang bisa kita sumbangkan untuk almamater ini.
Namun lebih dari apapun, MA Roudotul Mutaabbidin harus tetap bisa
mempertahankan dirinya sendiri –itu adalah tugas dan janji kita semua.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.