“Jika pemimpin baik akan dicintai rakyatnya dan jika buruk maka dosa sosial yang akan dihasilkannya” –Gandhi (1869-1948)
Dalam amatan penulis, di Indonesia saat
ini banyak sekali gerakan sosial/organisai sosial-kemasyarakatan yang
bermunculan di Indonesia dengan iming-iming mengentas kemiskinan, menjangkau
masyarakat yang tidak terjangkau, membuka jendela pendidikan di pelosok, dan
lain sebagainya. Gerakan tersebut sudah tidak digawangi lagi oleh tokoh agama
atau pekerja sosial, namun malah didirikan oleh calon politikus dan bahkan oleh
politikus itu sendiri.
Untuk tidak menyebut semuanya, marilah
kita melihat beberapa contoh: Ormas Nasional Demokrat didrikan oleh tokoh politik
Surya Paloh yang gagal menjadi Ketua Umum Golkar lalu menjadi Parpol dengan
nama yang sama. Kemudian ada organisasi sosial Barisan Indonesia (Barindo) yang
meskipun tidak didirikan dengan niat politik, saat ini diketuai oleh Gita
Wirjawan sebagai peserta Konvensi Partai Demokrat. Lalu ada Rumah Pergerakan
Indonesia yang didirikan oleh Anas Urbaningrum bahkan ketika menjadi tersangka
kasus Hambalang.
Masih ada lagi, Anies Baswedan membuat
Gerakan Indonesia Mengajar dan kemudian membuat lagi yang lebih khusus dengan
nama Relawan Turun Tangan. Lalu Relawan Demi Indonesia yang diprakarsai oleh
Dahlan Iskan yang juga bersama-sama Anies dan Gita menjadi rival dalam Konvensi
Partai Demokrat. Dan satu lagi, Pergerakan Indonesia (Perindo) yang didirikan
oleh Bos MNC Group Harry Tanoesudibyo yang akhirnya menjadi Cawapres Partai
Hanura.
Jika kita mau curiga, maka ke depannya,
masyarakat umum akan bertambah apatis terhadap segala sesuatu yang berbau
organisasi. Sebelum ini, masyarakat pada akar rumput telah muak dengan adanya
parta politik dan segala macam sistem politik yang ada di Indonesia. Bahkan
pemuda, jika kita melihat di kampus-kampu yang ada di kota besar di Indonesia,
sudah tidak ada lagi yang mau terjun dalam organisasi politik seperti PMII yang
menjadi basis partai kaum nahdliyin, IMM bagi partai berbasis muhammadiyah,
GMNI yang menjadi basis PDI-P/PNI, serta organisasi ekstra kampus lainnya yang
lebih banyak bermain dalam tataran politik kampus –mereka kekurangan generasi.
Bramkhacharya
Tentu saja pembaca sudah bica menebak
kemana arah tujuan dari masing-masing organisasi massa (ormas) yang penulis
sebut di atas. Kita sebaga masyarakat umum berhak untuk mencurigai setiap hal
yang dibuat oleh politikus Indonesia, apalagi melihat track record politikus di Indonesia yang terjebak dalam lubang
korupsi jauh lebih banyak daripada yang bersih.
Jika kita cermati, sesungguhnya tujuan
organisasi massa/organisasi masyarakat dibentuk untuk menjadi lawan dari partai
politik yang biasanya mengabaikan kepentingan masyarakat. Ormas juga didirikan
sebagai bentuk kepedulian perorangan atau kelompok terhadap masyarakat yang
berdasarkan prinsip-prinsip kerelaan. Antara ormas dan parpol bisa sangat
berbeda karena parpol bertujuan meraup suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat
yang mungkin diberikan bantuan olehnya, sedangkan ormas sama sekali tidak
mengharapkan demikian.
Pamrih inilah yang mendasari setiap
kegiatan yang bersifat politis. Partai politik selalu menuntut pamrih atas apa
yang dilakukannya, berbeda dengan organisasi sosial yang melakukan segala
sesuatu untuk masyarakat demi kesejahteraan mereka saja. Jika orang-orang
politik kemudian masuk ke dalam organisasi massa ini, maka bisa berlamat buruk
dengan tidak dipercayainya lagi ormas tersebut oleh masyarakat. Lihat saja,
berapa banyak orang yang kemudian mengatakan : nah benar kan apa yang saya curigai, kalau Nasdem itu akhirnya jadi
kendaraan politik, dan lain sebagainya.
Inilah apa yang disebutkan oleh Gandhi[1]
sebagai salah satu dari tujuh dosa sosial, yakni Politik tanpa Prinsip,
Kekayaan Tanpa Bekerja, Kenikmatan Tanpa Nurani, Ilmu Pengetahuan Tanpa
Kemanusiaan, Pengetahuan Tanpa Karakter, Bisnis Tanpa Moralitas, Agama Tanpa
Pengorbanan. Dosa sosial ini merupakan sebuah dosa yang diciptakan oleh
seseorang ataupun kelompok karena mengkhianati kepentingan publik. Politikus
inilah yang seringkali menggunakan berbagai kesempatan untuk mendapatkan
saranya, sehingga tidak mendasari apa yang dilakukannya dengan prinsip bramkhacharya yang juga dikenalkan oleh
Gandhi.
Bramkhacharya
yang dalam arti sebenarnya adalah mengendalikan hasrat seksual, yang dalam
catatan harian milik Gandhi disebutkan sebagai cikal bakal segala kejahatan.
Hasrat seksual inilah yang menyebabkan seorang politikus tidak lagi menghormati
kesucian niatnya untuk benar-benar membantu masyarakat dimanapun ia berada,
dalam keadaan apapun kondisinya. Dan bramkhacharya
ini bisa ditakhlukkan dengan menolak seluruh pamrih yang hampir selalu
menyertai dalam perbuatan kepada orang lain.
Mencermati ajaran
Mahatma Gandhi ini, bisa kita lihat bahwa keberadaan organisasi sosial yang
dibuat oleh politikus merupakan salah satu dosa sosial yang dilakukannya; jika
hasrat meminta pamrih/imbalan ada di dalam setiap kegiatannya. Seorang
politikus, mau tidak mau adalah public
figure yang akan dilihat masyarakat secara umum setiap perbuatannya. Sekali
dia berkhianat kepada masyarakatnya dengan penipuan berkedok organisasi sosial
ini, maka selamanya masyarakat akan mencatatnya. Kata Nelson Mandela[2],
masyarakat bisa saja memaafkannya, tapi tidak akan bisa melupakannya.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.