Aku mengenal satu perempuan dalam hidupku, yang menjadikanku
mengerti tentang segala sesuatu selain membaca buku. Aku, tentu saja kurang
sekali bergaul dengan beberapa orang yang memiliki ketertarikan terhadap dunia.
Beberapa malam ini aku kembali memutar film dimana aku pernah hidup di
dalamnya, dan menemukan bahwa dia termasuk tokoh terpenting dalam sejarah
hidupku. Tokoh yang semoga suatu nanti ada yang menggantikannya dan tidak
pernah meninggalkanku.
Ketika menulis ini, mungkin ada beberapa orang yang akan
sakit hati karena kecemburuan. Tapi itu tidaklah penting, karena hidup memang
penuh dengan sesuatu yang tidak kita senangi. Namun jika kita bisa
mengkonfirmasi segala kesakitan tersebut, kita akan menemukan jalan keluar. Aku
dengan perempuan itu, adalah salah contoh kesalahan komunikasi. Kami merasa
saling mengintimidasi padahal kami berdua saling membutuhkan. Kami gagal
berkomunikasi, itulah awal dari kegagalan sebuah hubungan.
Pertama dia merupakan perempuan yang paling diharapkan dari
segi kesalehan dan kecerdasan. Aku pernah membayangkan bahwa dia hidup dalam
sebuah komunitas di mana komunitas tersebut hanya mampu berbuat kebaikan,
bahkan untuk memikirkan kejahatan saja merupakan suatu kejahatan. Dia juga
persis apa yang dimitoskan dalam diri Gus Dur, seorang yang mampu mendapatkan
nilai memuaskan tanpa harus bersusah payah. Intinya, dia saleh dan cerdas.
Kami saling mengenal, aku merayu, dan pada akhirnya saling
melempar tanda sebagai sebuah start akan dimulainya segala sesuatu tentang
kami. Tidak ada lagi aku atau dia, semuanya tentang kami. Hingga kami melakukan
segala kebajikan bersama, atau keburukan bersama. Tapi bukan karena itu semua,
dialah yang menguatkanku dalam separuh hidupku waktu itu.
Hidupku tidak semudah yang ada dipikiranku. Meskipun waktu
itu aku menganut faham motivasi yang menyangka bahwa segala sesuatu bisa
dilakukan hanya dengan memikirkannya. Tapi sesungguhnya dialah yang membuatku
beruntung pernah hidup. Dia memberiku segalanya, perhatian, kasih sayang, uang,
perjalanan, tidur yang nyaman, juga ketentraman. Kami berjalan bersisian tanpa
tujuan, kami juga bersepeda berboncengan tanpa tujuan, bahkan pergi dari
kota-ke-kota tanpa tujuan. Kami hidup dalam mimpi, aku hidup dalam mimpinya,
dan dia hidup dalam mimpiku. Kami saling mendukung sebagai seorang sahabat,
kami saling memberikan pengertian sebagaimana kekasih, dan kami saling membantu
sebagaimana sebuah keluarga.
Apa yang bisa kau harapkan dari seseorag, begitulah dia
bagiku. Hingga suatu hari kami harus memutuskan sesuatu untuk hidup lebih lama,
untuk menikmati semua keindahan ini lebih lama. Aku tidak bisa menjadi sahabat
yang baik, dan dia juga dipenuhi ketergesaan. Kami memisahkan diri, memutuska
jalan masing-masing. Mungkin dia merasa bersalah, namun diatas segalanya, sesungguhnya
akulah yang paling bersalah. Dia perempuan, aku laki-laki, siapa yang patut
dipersalahkan kalau bukan laki-laki?
Namun semua itu, baik kebersamaan ataupun perpisahan,
memberiku banyak hal untuk dimasukkan ke otakku. Aku jadi mempelajari bagaimaa
psikologi persahabatan, mempelajari bagaimana cinta sejati, mempelajari
bagaimana sifat perempuan dan laki-laki. Semua menjdi terang, bahwa ini adalah
salahku sebagai seorang lelaki, itu benar. Kami akhirnya benar-benar melakukan
segalanya sendirian. Kami sama-sama pulang kepada jalan yang pernah kami kenal
masing-masing ketika masih belum saling mengenal.
Ada banyak hal yang kusesali. Masa-masa ketika aku tidak
membalas pesannya sama sekali dan sok sbuk dengan segala buku yang kubaca,
sampai sekarang masih membuat pikiranku kalut. Itu adalah masa-masa terakhir
kami, dan aku meninggalkannya jauh ke Pare. Aku tidak melarikan diri darinya,
tapi aku melarikan diri dari kehidupanku sendiri, karena aku tahu bahwa masa
depanku tidak akan bergantung pada kehadirannya lagi. Aku faham bahwa kami
tidak akan bisa duduk bersama menikmati matahari sore sejak pertemuan kami yang
terakhir, malam itu, di rumahnya, ketika aku marah karena kebohongannya.
Pagi-pagi aku keluar rumah, dan sorenya mendapati bahwa ia mengigau lagi –aku
menganggapnya sebagai kebohongan.
Mungkin jika di tulis, dia akan mampu menunjukkan ribuan
kesalahanku tentang menjalin hubungan, berbanding denganku yang mungkin hanya
akan menyebutkan sebanyak jemariku. Baik pertemuan awal ataupun yang terakhir,
yang patut meminta maaf adalah aku. Aku telah mencemari setiap kesucian yang
kami bentuk sejak kecil. Kami yang berdosa, kami yang tertawa, kami yang
menikmati rerumputan hijau sepanjang perjalanan.
Ketika aku bangun sore ini, aku sadar bahwa ia telah
memblokir semua hal tentangku. Dan aku juga sadar bahwa dia telah memberiku
kehidupan. Ia telah datang padaku ketika aku masih menjadi seorang manusia
polos tanpa pengetahuan. Tangannya masuk dalam ke tubuhku, membuka
jendela-jendela, mengisi gelas-gelas yang kosong, juga membersihkannya dari
sampah dan kecoa. Sekarang aku berdiri di sini, menjadi manusia yang mengenal
dunia ini, lalu mencoba melupakannya. Apakah aku sudah gila?
Kini aku mengingatnya lagi meskipun ia tidak mungkin
mengingatku. Aku menuliskannya, meminta maaf atas segala prasangkaku tentang
keburukannya. Aku sadar bahwa ia telah menyelamatkan hidupku, dan mempersiapkan
aku untuk masa depanku sendiri. Bersinarlah kau di sana. Ku yakin kita akan
semakin jauh melangkah, aku meningalkanmu, dan kau meninggalkanku, tapi
sesungguhnya, aku terus mendoakanmu agar menjadi jiwa yang tenang hingga kau
kembali kepada kesucianmu –persis sebelum kita saling mengenal.
Jadi untuk yang terakhir, terimakasih. Terimakasih.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.