Dalam tubuhku, sekarang mengalir dua cabang sungai yang
membahayakan kepercayaanku pada sesuatu. Dua hal ini saling bertentangan, tidak
bisa didamaikan, bahkan cenderung saling membasmi. Aku mengenal keduanya
sebagai anak-anak pengetahuanku, tercipta dari proses panjang, akibat terlalu
sering membaca berbagai hal dari dua sisi –yang tujuan awalnya untuk membuat
pengetahuanku seimbang. Dan ternyata, semua hal yang kita inginkan kadang tidak
sesuai dengan hasilnya. Termasuk keinginanku untuk menjadi obyektif, malah
membingungkanku.
Pertama, tubuhku, pikiranku, emosiku, mengenal adaanya sikap
optimisme hidup yang luar biasa. Pertama kali kutahu diriku menganut faham ini
adalah ketika berada di Madrasah Aliyah, aku gandrung membaca buku-buku tentang
Intelegensi Tanpa Batas. Semacam buku The
Secret by Rhonda Byrne, dan buku-buku self
motivation. Aku memiliki banyak buku tentang hal tersebut, ditambah
artikel-artikel di internet yang bisa dengan mudah kita dapatkan.
Ini sistem kepercayaan yang mengatakan bahwa dalam dunia ini
ada law of attraction (hukum
tarik-menarik) yang mana, jika kita mengucapkan bahwa kita bisa, maka kita akan
bisa. Sudah tidak asing bukan? Jadi konsep hidup dalam kepercayaan ini
sederhana saja, yaitu anda meminta, anda ikhlas, bersyukur, maka anda akan
mendapatkannya. Ini sangat sesuai denga konsep shodaqoh, semakin banyak kita
memberi, maka semakin banyak kita mendapatkannya kembali. Karena pikiran orang
yang memberi, pasti “aku punya lebih, jadi aku memberi”, maka ia benar-benar
punya hal lebih setelah itu.
Bagian diriku yang satu ini pernah hidup melegenda,
seakan-akan mengantarku pada kekuasaan mutlak kehidupan. Aku menjadi sangat
yakin, percaya diri, idealis, dan semua kata postif yang lain, bahwa aku mampu
merubah apapun yang kuinginkan. Sungguh, tipe pemuda berbakat dengan seabrek
prestasi. Dari sini aku mulai berbicara kepada orang-orang, bahwa suatu rumusan
hukum alam yang memang diciptakan untuk membuat kita berhasil bahkan
menjalankannya hanya dari pikiran –meditasi, dan lain sebagainya.
Untungnya, semua orang, pada dasarnya suka hal-hal yang
berbau motivasi. Suka kepada kehidupan yang optimis, suka mendengarkan bahwa
mereka bisa membentuk kehidupan seperti apa yang diinginkannya. Orang-orang ini
senang jika merasa bahwa cita-citanya bukanlah omong kosong, bahwa kebahagiaan
itu dekat sekali, hanya dari merubah pikirannya, maka kebahagiaan hakiki akan
diraih. Kita semua, hampir, menyukai hal-hal yang seperti ini. Untuk itulah,
pada tahun-tahun lalu dan mendatang, motivator-motivator Internasional dan
Nasional mendapatkan sambutan yang luar biasa.
Kita langsung mengenal berbagai macam slogan dari motivator
yang berbeda. Bahkan tidak jarang kita ketagihan untuk mendengarkan
ceramah-ceramah mereka. Ada Adrie Wongso yang terkenal sebagai motivator yang
tidak tamat sekolah dasar. Ada Mario Teguh yang terkenal dengan Golden
Ways-nya. Ada Tung Desem Waringin yang terkenal dengan Marketing Revolution.
Ada Merry Riana yang terkenal dengan Mimpi Sejuta Dolar. Bahkan buku tetralogi
Laskar Pelangi, Negeri Lima Menara, 5cm, serta buku-buku biografi; Anak
Singkong dan Sepatu Dahlan, masuklah
dalam wilayah ini. Lihat, semuanya best
seller.
Aku pernah hidup dari kata-kata dalam buku-buku dan
kalimat-kalimat mereka.
Kedua. Bagia kedua
dalam diriku ini lebih gelap. Bukan kegelapan, perlu kuralat. Karena aku belum
benar-benar mengerti untuk bagian yang satu ini. Hanya saja, aku merasa seluruh
pemikiranku kadang tertumbuk pada pesimisme, realistis, dan emang lu siapa? Hanya lebih gelap dari
pikiran yang pertama di atas.
Aku menengarai bahwa pertama kali aku mendapatkannya adalah
ketika semester enam, tapi mulai menggerogoti kepercayaan pertamaku ketika
lulus kuliah. Waktu itu, dengan masih menggenggam semangat mahasiswa yang
meletup-letup, aku dijegal di jalan oleh orang-orang –untuk tidak menyebutkan
nama. Lalu ketika lulus kuliah, semua rencana yang telah aku susun hingga
detil, juga mengalami kegagalan yang aku sendiri tidak percaya bahwa aku kan
gagal menghadapinya.
Begitulah semuanya berawal, kemudian aku menjadi apatis
terhadap semua cita-cita, dan kepada semua orang yang memiliki cita-cita. Yang
penting adalah yang ada dihadapanmu, kerjakan dengan sebaik-baiknya. Itulah
yang bisa kamu lakukan, karena kau tidak akan pernah tahu takdirmu. Jika masih
percaya pada kekuatan-kekuatan diluar nalarmu sendiri, maka bersiaplah untuk
putus asa. Namun sayang sekali, kita manusia masih sering terninabobokan dengan
motivas seperti yang kusebutkan di atas.
Motivasi selalu bisa menyelamatkan keputus-asaan kita. Coba
kalau kita gagal, maka kita akan di ucapkan kata-kata “kegagalan adan
kesuksesan yang tertunda”. Lalu mulai mengigau tentang percobaan Edison yang
juga gagal sampai 9.999 kali, dan alamat pertanyaannya kepada kita adalah
“Sudah berapa kali kau gagal?” kita menggeleng dan terpaksa harus yakin sekali
lagi. Yakin?
Itu adalah sesuatu yang di luar sana, sesuatu yang di luar
kemampuanmu. Dan semua ini hanyalah awal dari seluruh kebobrokan di dunia ini.
Jika kita melihat kepada sesuatu yang lebih besar maka kita akan tahu bahwa
kita sedang dikontrol oleh sesuatu yang sungguh, saking besarnya, kita tidak
sanggup menyelamatkan apapun. Kita menyebutnya konspirasi, menyebutnya kekuatan
setan, kapitalis, media massa, multinaional corporation, dan lain sebagainya.
Kita mengalamatkan semua kebobrokan ini kepada orang lain. Emang lu siapa?
Dirimu gak salah apa-apa?
Kita mengenal berbagai macam sistem, teori, disiplin
pengetahuan, tapi semua rasa-rasanya hanya manis ketika di buku. Tidak ada yang
benar-benar mampu menerapkannya, dan menjadikan masyarakat adil dan makmur.
Lihatlah bagaimana baiknya sistem sosialis, begitu megahnya demokrasi, atau
betapa pentingnya pancasila, namun tidak satupun yang bisa menyelenggarakan
pemerintahan yang bersih. Lihat di desa-desa, orang-orang kota membangun
gedung-gedung, mengeruk tanah, mengambil sesuatu yang tidak diketahui oleh
pemilik tanah.
Lalu mana optimisme hidup itu? Motivasi hanya bisa
menyelamatkan dirimu sendiri dari putus asa tapi tidak bisa memperbaiki semua
hal. Berhentilah menjadi sok suci, berkata seolah-olah hidup adalah sebuah
keluhuran. Sekali-kali lakukanlah perjalanan, jangan hanya berkutat kepada
orang tuamu yang sudah lelah terhadap tingkahmu, tapi kepada setiap pengamen di
jalanan, pengemis, petani yang hasil panennya selalu harus membayar hutang
hingga tidak ada yang tersisa. Sapalah orang yang memilih hidup menjauh dari
semua keruwetan hidup, orang-orang yang bertapa di pegunungan berteman angin
dan hujan. Sungguh, kita masih belum faham tentang hidup dan kehidupan.
Dan diriku, jika memikirkan tentang bagian yang ini, hanya
bisa menangis dan pasrah. Ingin segera mengakhiri kesakitan ini, pergi ke desa
yang sepi, menjadi gembala, berteman padi dan kapas, dan tidak lagi
mempedulikan apapun yang ada di luar sana. Dadaku sesak berkali-kali melihat
kehidupan orang-orang yang penuh derita. Itulah sesungguhnya dunia ini. Di
pedalaman, orang-orang hidup penuh dengan penghayatan. Karena di kota, yang
tampak hanyalah permukaan yang dibuat-buat. Orang kaya yang santun,
peminta-minta di sepanjang stasiun dan pelabuhan, juga pengamen yang
sesungguhnya tidak membutuhkan uang dari pekerjaannya.
Aku memiliki dua bagian ini, memahami diriku sendiri,
membuatku perfikiran bahwa kadang aku menjadi sosok yang berbeda. Kadang aku
menjadi orang lain yang melihat tubuhku berjalan diantara kepulan asap di
jalanan. Kadang aku menjadi orang lain yang melihat tubuhku tidur di gubuk
pinggir sawah. Kadang aku menjadi orang lain yang melihat tubuhku sedang
menikmati mall dan bioskop di kegelapan. Aku, kadang melihat diriku sendiri
tidak sadarkan diri.
Inilah diriku.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.