2018-11-02

Spiderman


Beberapa hari ini leher kananku terasa gatal. Aku tidak pernah melihatnya di cermin atau mencoba mencari tahu mengapa. Karena aku membayangkan bahwa besok pagi ketika bangun tidur, tanganku bisa lengket ke dinding, lalu tiba-tiba aku merayap di atap rumah. Aku menjadi spiderman.

Tapi jika memang aku memiliki kekuatan super, aku akan ikhlas menerimanya. Tentu saja, menjadi kuat dan keren, bisa melakukan apa yang tidak bisa manusia biasa lakukan; its cool. Berbeda dengan manusia kebanyakan adalah berkah yang kini digunakan motivator untuk kliennya.

Kita semua orang biasa, yang kadang ego membuat kita sok menjadi orang luar biasa padahal palsu. Kita rata-rata akrab dengan seorang lelaki biasa, memiliki istri biasa, anak lima, 2 nakal, 1 pasif, 1 penurut, 1 paling bisa diandalkan. Atau kalian adalah mahasiswa biasa yang berdebar-debar ketika pembayaran semester akan dimulai.

Maka ketika lelaki biasa, mahasiswa biasa, tukang bangunan yang membenahi kusen jendela, atau dia anggota dewan yang rajin ikut rapat tapi minim berpendapat: memiliki kekuatan super bisa menembus tembok, bisa sekuat hulk dan kapten marvell, alangkah bahagia orang biasa tersebut. Bahagia yang paling kecil misalnya bangga dengan diri sendiri, itu juga cukup bagus.

Kekuatan super yang aku kepengen ini bukan dengan rencana menjadi pahlawan. Superhero Spiderman yang terkenal dengan ungkapan 'dibalik kekuatan yang hebat ada tanggungjawab yang besar' memang inspiratif tapi juga lebai. Jijik jijik gimana begitu. Jika aku bisa terbang belum tentu aku juga pengen menyelamatkan pesawat yang mau jatuh gara-gara sistem penerbangan Indonesia yang amburadul.

Kalau gatal di leher kananku ini benar-benar dari laba-laba yang bisa menjadikanku Spiderman, tidak akan menjadi masalah bagi siapapun. Tidak ada yang dirugikan. Keuntunganku hanya bisa merayap tembok. Tapi merayapi tembok tidak bisa digunakan untuk menghasilkan uang banyak karena aku pengajar, bukan tukang sirkus yang dibayar karena melakukan pekerjaan yang lucu atau tipuan canggih.

Tidak akan ada yang berubah dariku, kecuali mungkin agak sombong sedikit karena merayap di tembok adalah sesuatu yang tak lazim. Jika kalian membayangkan menjadi spiderman kemudian bisa loncat indah dari gedung ke gedung menggunakan jaring laba-laba, maka bersiaplah kecewa. Karena di kota ini, atau bahkan Jakarta, tidak ada gedung yang bersisian kanan-kiri jalan sehingga loncatan tampak memukau.

Dengan kondisi ini maka Spiderman jelas dapat dikalahkan oleh Doflamingo, antagonis di anime One Piece yang memiliki kekuatan benang. Benangnya bisa ditarik atau digantungkan di awan sehingga bisa loncat kemanapun asal ada awan. Karena itu, sia-sia juga kekuatan spiderman jika tidak ada gedung-gedung seperti yang ditampilkan Hollywood.

Dan jika memang aku spiderman lalu daftar caleg, mungkin agak repot. Karena di Indonesia, spiderman akan kalah dengan politisi. Bahkan jika Spiderman membantu menumpas kejahatan, semisal korupsi atau menggarong tanah orang untuk korporasi, Spiderman akan kalah dengan tentara. Karena Spiderman tentu saja bisa dituntut secara hukum. Jika tidak percaya, sebaiknya kita tonton superhero beberapa waktu terakhir yang  Spiderman asli yang dihujat media massa, atau Batman dan Superman yang disuruh mundur jadi pahlawan.

Karena itu, aku tidak banyak berharap jika gen laba-laba kemudian menjadikanku punya kekuatan super, yang kemudian bisa digunakan untuk memberantas kejahatan. Sungguh Indonesia lebih dikuasai pemodal yang menanamkan uangnya ke seluruh capres siapapun itu, sehingga superhero juga akhirnya kalah.

Lagipula, bagaimana mungkin spiderman yang pahlawan, baik hati, berbudi pekerti luhur, akan bentrok dengan aparat keamanan? Tidak bisa.

Jadi siap-siap putus asa jika menjadi superhero di Indonesia. Karena melawan gelombang oligarki yang sudah mencengkeram Indonesia butuh atta ashiap dan ria ricis untuk membuatnya jadi lucu. Undang-undang bisa dibuat sesuai pesanan, penjara bisa dibeli fasilitasnya, termasuk hukum yang bisa dibeli, menjadikan superhero pun akan terkejoet dengan sistem tata kelola kenegaraan Indonesia.

2018-09-27

Ruang Kelas


Pikiran-pikiran manusia intelektual perguruan tinggi di Indonesia mudah ditebak : kubus, berisi coretan yang tidak teratur, keras seperti kursi kayu, pendiam seperti anak semester satu. Pikiran-pikiran kita dibatasi hanya 8 x 9 meter dan tidak boleh keluar dari ruangan itu. Dosen setuju dan merasa aman jika pikiran seluruh anggota kelas tidak liar, mengikuti metode yang telah dipatenkan dengan argumentasi kaku yang tak (boleh) terbantahkan.

Semua berjalan sesuai dengan kontrak kuliah, dan yang boleh melanggar kontrak hanyalah dosen. Keterlambatan mahasiswa adalah amunisi bagi dosen untuk marah sepanjang 3 SKS pertemuan, yang akhirnya membuat seluruh kelas terlihat bodoh dan terancam. Sedangkan keterlambatan dosen bisa dimaklumi; dosen itu sibuk dan banyak aktivitas yang tidak bisa dikalahkan oleh ruang kelas.

Pendidikan semacam ini adalah versi terbaik dari yang pernah didapatkan mahasiswa sepanjang masa. Untungnya, perjalanan kuliah semacam itu sudah dilaksanakan selama ratusan tahun. Karena itu tidak akan ada yang protes. Sebagai mahasiswa kita akrab dengan kejadian-kejadian tersebut sehingga tidak memermasalahkannya. Kita selalu menjadi asing terhadap rutinitas, karena itu rutinitas harus digugat karena tidak menumbuhkan kekritisan se-senti pun.

Sebagai ruang publik, kelas harusnya menjadi tempat diskusi yang memuja akal dan argumentasi. Di dalamnya tidak ada lagi dogma dan struktur kekuasaan yang mengekang kebebasan berpikir mahasiswa. Meskipun kondisi ini –tampaknya- tidak indonesiawi, tetapi hal itu perlu karena mental bangsa jajahan harus segera dipatahkan. Sebagai dosen, mereka sangat takut untuk dilawan lalu diketahui kedunguannya, dan sebagai mahasiswa, mereka juga takut jika nilai luntur warnanya.

Gejala ruang kelas yang tidak layak menjadi raung intelektualitas ini merembet ke seluruh perguruan tinggi. Argumen lain yang popular adalah mahasiswa harusnya tidak mengharapkan apapun dari ruang kelasnya, tetapi harus mencari sendiri di luar akademik kampus. Dia harus berorganisasi, beradu debat dan pikir di organisasi mahasiswa di luar kampus, termasuk menyelenggarakan kuliah-kuliah tamu mini mengundang sarjana dan ahli untuk diskusi.

Lalu apa gunanya ruang kelas jika kita harus mencari segala sesuatunya di luar kelas? perkuliahan harus menjadi lembaga pendidikan yang berisi orang-orang kritis sehingga bisa memikirkan negara dan bangsa ini lebih baik. Ruang kelas harus bisa mengevaluasi keadaan sehingga bisa melahirkan pemikiran baru. Mahasiswa dan dosen sebagai pemilik ruang kelas, harus dapat berkolaborasi memunculkan opini yang menumbangkan otoritarianisme dan menumbuhkan optimisme berpolitik dan berbangsa.

Mahasiswa merupakan manusia yang paling beruntung karena bisa menikmati pendidikan sampai perguruan tinggi. Karena itu beban berat bagi pemuda yang bisa kuliah untuk dapat melakukan perubahan sekecil-kecilnya hingga sebesar-besarnya. Mahasiswa tidak boleh picik, manja, mengikuti pendapat umum yang keliru, apalagi membuat kerumunan sendiri yang bisa dibawa arus ke sana-kemari seperti buih.

Memang tanggung jawab ini berat, terutama mahasiswa yang baru saja keluar dari rumah untuk menjalani pendidikan tingkat tinggi di perantauan. Tetapi mahasiswa harus cepat beradaptasi karena perkuliahan dihitung dari waktu dan kebanggaan akan lulus tujuh semester. Waktu benar-benar menjadi pisau tajam yang mengiris nadi mahasiswa semester akhir. Mahasiswa akan merasakan waktu yang menjalar serba mendadak; tiba-tiba sudah perkuliahan minggu kelima, dan tiba-tiba sudah semester delapan.

Ruang kelas harus dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh mahasiswa untuk membangun basis pengetahuan yang kuat. Persoalan klasik mengenai dosen otoriter dan mau menang sendiri bisa dilawan dengan pertanyaan-pertanyaan santun sehingga tidak tampak melawan, apalagi menggurui dan justifikasi. Dosen juga manusai, sebagaimana mahasiswa yang manusia. Jika pertanyaan mahasiswa terlihat marah dan berapi-api, dosen pun akan bersiap dengan meningkatkan kewaspadaan pengetahuannya, atau pertahanan diri semacam rusa di alam bebas.

2018-08-10

Ulasan Buku: Lelaki Harimau


Sinopsis

Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.”

Overview

Judul novel ini begitu sastrawai, termasuk kisah di dalamnya. Sastrawi dalam pemahaman saya adalah gambaran karya fiksi Indonesia yang bisa membuat pembaca tidak hanya menikmati kisahnya, tapi juga mengagumi gaya kepenulisannya, dan yang paling utama, menakar penulisnya dalam kancah sastra nusantara. Maka dari itu, sulit bagi sebagian besar sastrawan menimbang sosok Andrea Hirata atau Tere Liye sebagai sastrawan; keduanya adalah novelis, sama seperti Denny JA yang bersusah payah membuat ‘puisi-esai’ yang dikagumi sebagian kalangan yang diduga ‘bayaran’.

Membaca karya sastra di Indonesia memang harus pilih-pilih supaya tidak terjebak dalam kisah membosankan, atau kisah luar biasa tetapi penuturannya membuat pembaca bodoh. Kisah dalam novel ini sangat memesona penalaran kita yang terbiasa dengan fakta-fakta biasa saja. Padahal di sekeliling kita yang hidup di pedesaan, banyak kejadian nyata, fakta, aseli, tetapi tampak seperti fiksi karena penuturan masyarakat yang terbayangi mitos dan legenda. Contohnya adalah ketika Margio, seorang remaja tanggung, membunuh Anwar Sadat, lelaki paruh baya, dengan cara menggigit lehernya hingga putus.

Begitulah kisah Lelaki Harimau bermula. Lalu kisah berjalan cepata ke kisah masing-masing tokoh beserta keluarganya: Margio, Anwar Sadat, Kyai Jahro, Mayor Sadrah, Ma Soma, hingga ke sebab musabab Margio menggigit Anwar Sadat. Meskipun terkesan cepat, tetapi bagi saya tetap lambat untuk segera mengetahui alasan Margio melakukan pembunuhan dengan cara yang tidak masuk akal tersebut. Bayangkan, kejadian Margio menggigit Sadat di halaman 1 itu baru jelas terdeskripsikan di halaman 31. Maka itu, membaca novel ini kita harus benar-benar fokus mengingat nama dan tempat, mengingat kisah satu orang lalu menimbunnya dengan kisah orang lainnya, serta tetap duduk hingga novel selesai.

Kekuatan Eka Kurniawan, selain pada kisahnya yang memukau, juga terletak pada bahasanya yang detil dan unik. Misalnya ia menulis : “Ia hampir memenggalnya, menggergaji leher itu hingga batang tenggorokan Anwar Sadat telah tampak, sekilas berwarna gading sebelum banjir oleh merah, saat pintu kamar tidur terkuak dan Maesa Dewi berdiri di sana, mengenakan pakaian tidur satin putih dengan motif bunga peoni, pipinya berhias garis peninggalan lipatan bantal, matanya setengah redup namun bersegera insaf, dan tangannya yang ramping terangkat, jemari menutup bibirnya yang terkuak kecil melontarkan kata tanpa bunyi,” (lhat halaman 33).

Paragraf di atas adalah penjelasan Eka semenit pasca Maesa Dewi mendapati Margio menggigit mati ayahnya di ruang tamu, di depan kamarnya. Ada cetak miring dalam paragraf di atas sengaja saya lakukan untuk menunjukkan detilitas yang unik dalam penuturan penulis. Tentu saja jarang ada penulis yang bisa mendeskripsikan detilitas yang amat bertolak belakang – kasus pembunuhan tetapi detil ke motif bunga peoni. Ditambah, satu paragraf panjang itu sebenarnya hanyalah satu kalimat. Hanya penulis yang telah melampaui penulis pemula yang mampu membuat paragraf panjang tanpa putus tapi tetap enak dibaca.

Yang paling menarik dari seluruh novel ini, adalah jawaban Margio atas pertanyaan bagaimana dan mengapa ia bisa membunuh Anwar Sadat dengan cara yang sedemikian? : “Bukan aku,” kata Margio tenang dan tanpa dosa. “Ada harimau di dalam tubuhku.” Jawaban ini membuat tubuhku seperti tersengat listrik dan whuus, ada angin yang lewat di bawah telinga. Tentu itu bukan fakta, tetapi aku membayangkan jawaban seperti itu keluar dari mulut seseorang setelah memutuskan leher lelaki dewasa hanya dengan giginya, adalah sesuatu yang ajaib.

Mistisisme dari jawaban Margio, sangat diterima di pedesaan, bahkan jika ada kisah yang lebih suram dari itu. Mistis lanjutan diceritakan dalam bagian 2, tentang bagaimana Margio berkenalan dengan hewan mistis ‘harimau putih’ yang merupakan peninggalan kakeknya itu. Kisah mengenai Margio dan harimaunya memang khas pedesaan yang percaya bahwa manusia bisa memiliki kekuatan yang biasanya direpresentasikan kepada hewan-hewan. Karena itu, kisah mengenai harimau mendapatkan tempat tersendiri dalam novel ini, seakan ingin memberikan konteks yang lebih luas bagaimana seorang remaja bisa memiliki jawaban memukau tentang pembunuhan.

Kisah dan Tragedi

Hidup kita adalah sebuah tragedi yang tidak ada henti-hentinya. Hidup liar, penuh dengan tantangan, kegilaan, dan kesenangan yang segera berlalu dengan cepat; seperti matahari sore yang akan tenggelam sepanjang malam. Pembicaraan atas berbagai tragedi kehidupan, lebih sering saya omongkan dengan beberapa tetangga kos yang memiliki macam-macam profesi: supir truk, dukun pengasihan, pegawai humas pemkot batu, tukang bakso, dan seorang guru bahasa inggris. Mereka semua tentu saja hanya mengangguk-angguk karena tidak memahami kalimat saya. Dan ketidakpahaman adalah tragedi yang paling mengenaskan di dunia ini.

Padahal orang yang jelas menagalami tragedi dalam kehidupan ini adalah para tetangga saya yang terhormat. Tapi biarlah mereka tidak paham; meskipun gaji guru tidak pernah memuaskan, meskipun supir truk selalu berurusan dengan preman dan polisi, atau teman saya yang dukun pengasihan malah keterlaluan tragis karena tidak kunjung beristri. Tragedi semacam ini, bagi orang desa adalah hal yang lumrah. Mereka tidak pernah membicarakan bagaimana Jokowi harusnya begini begitu, atau mereka juga tidak pernah mempermasalahkan mengapa Khofifah yang memang di Jawa Timur. Ketidaktahuan mereka terhadap tragedi telah cukup untuk dilakukan tanpa pikiran curiga kepada tuhan.

Dan, hidup yang dialami oarng-orang di dalam novel Lelaki Harimau kesemuanya adalah sebuah tragedi pula. Tidak ada nasib baik yang dialami hingga bisa membawa kesenangan terus menerus. Margio adalah sosok remaja yang memiliki dendam kesumat kepada ayahnya –yang menghidupi Margio dengan ancaman dan pukulan. Maka ketika Margio malah membunuh Anwar Sadat –yang adalah bapak dari Maharani, gadis pujaan Margio, semua orang kaget. Seharusnya Margio membunuh ayahnya, bukan Sadat. Maharani bernasib buruk, begitu juga kedua saudarinya. Ibu Margio bernasib buruk, tak terkecuali hidup Sadat bersama istri dan mertuanya adalah suatu tragedi yang berkelindan dengan nafsu dan pengkhianatan.

Tetapi kita tidak cukup membicarakan tragedi tanpa membicarakan nilai-nilai dalam kehidupan. “Deskripsi perkembangan psikologis para tokoh Lelaki Harimau membuat kita menyadari betapa nilai-nilai moral yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari ternyata terlalu sederhana, tak memadai untuk memnilai kehidupan manusia yang penuh liku-liku.” Itu adalah kutipan tulisan Katrin Bandel, di Kompas, yang menjadi salah satu testimoni di cover belakang. Saya kira penggalan komentar ini sangat pas untuk diletakkan dalam kehidupan nyata di Indonesia; dengan berbagai macam kejadian criminal unik, menyeramkan, hingga yang sadistik.

Informasi Buku
Eka Kurniawan. 2014. Lelaki Harimau. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 204 halaman

2018-07-23

Era Digital; Kembalikan Pendidikan ke Orang Tua!


Mendikbud, Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, M.AP saat memantau hari pertama sekolah di Abepura, Papua (sumber : Siaran Pers BKLM di https://www.kemdikbud.go.id/)

Pendidikan di Indonesia masih terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan membahayakan. Setiap kita bicara tentang dunia pendidikan, rasa pesimis dan kecaman selalu ada. Nasib para siswa ini, mirip dengan siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) dalam film Tare Zameen Paar bernama Ikhsaan Awasthi. Ikhsaan bernasib buruk karena gangguan dyslexia, yaitu ketidakmampuan membaca seperti yang banyak diharapkan guru dan orang tua. Setiap dia melihat tulisan dan angka, semuanya berubah menjadi bintang di langit dan bebek yang berenang di kolam. Di sekolah maupun di rumah, ia dituntut dalam perkataan yang sama: harus bisa membaca dan menghitung!

Apa yang dialami ikhsaan, dialami juga oleh seluruh siswa kita, bahkan siswa yang sehat secara fisik dan mental. Ahli pendidikan dari Amerika Serikat, Sir Ken Robinson, ketika mengisi ceramah di Ted (2006), menyebutkan bahwa kita semua terjebak dalam rutinitas dunia pendidikan yang tanpa tujuan. Mengajar yang harusnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak tercapai karena rutinitas yang apatis. Bagi siswa, belajar sepanjang hayat untuk living together juga tidak tercapai karena rutinitas belajar yang monoton. Termasuk yang terpenting, orang tua di rumah juga terjebak rutinitas pekerjaannya sehingga tidak memberikan waktu untuk pendidikan karakter anak-anaknya.

Jika ditelusuri, sesungguhnya yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak adalah orang tua. Tanpa mengecilkan peran sekolah, ada sebuah riset yang secara drastis mengubah pandangan kita tentang pendidikan, dari school based menjadi parent based. Riset yang dilakukan oleh Mikaela J. Dufur, Toby L. Parcel, dan Kelly P. Troutman (2012) ini mengambil data lebih dari 10.000 siswa beserta orang tua, guru, dan pihak sekolah. Dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anaknya sangat berperan dalam kesuksesan mereka secara akademik di sekolah.

Seorang siswa dengan modal sosial keluarga (family social capital) yang tinggi serta modal sosial sekolah (school social capital) yang rendah, memiliki tingkat keberhasilan akademik lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki modal sosial sekolah tinggi tetapi modal sosial keluarga rendah. Penelitian lain oleh Professor Gianni De Fraja, Tania Oliveira, dan Luisa Zanchi, (2010) mengemukakan, kerja keras orang tua jauh lebih penting dari kerja keras dan upaya sekolah untuk pencapaian pendidikan anak, yang pada gilirannya, juga lebih penting dari kerja keras anak itu sendiri. Dalam dua penelitian itu jelas menyimpulkan peran besar orang tua untuk mendukung kesuksesan akademik siswa, yang bakal menentukan masa depan anak-anak.

Karena itu orang tua harus sadar bahwa mereka wajib menyisihkan sebagian waktu mereka untuk berkomunikasi dengan anak-anak mengenai pendidikan. Dalam salah satu informasi di website sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id, disebutkan dengan apik bahwa “Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Pola pengasuhan dan pendidikan yang diterapkan orang tua akan menentukan karakter dan kepribadian, motivasi berprestasi dan kondisi kesehatan serta kebugaran anak-anak,”. Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua bersama anaknya ketika di rumah, misalnya bertanya tentang tugas dan pekerjaan rumah dari sekolah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sang anak yang selalu penasaran, hingga menghadiri kegiatan-kegiatan sekolah bersama anak.

Konsep tentang pendidikan anak yang baik telah berkembang jauh melebihi masa lampau, meskipun masih ada paradox ‘siapa penanggung jawab penuh terhadap keberhasilan pendidikan?’. Misalnya, pendidikan kini lebih menghargai hak-hak siswa dengan mendeteksi sejak dini kebutuhan siswa agar pendidikan dapat disesuaikan dengan kondisi mereka. Tetapi yang tidak disadari, kita sebenarnya menganggap bahwa kepandaian, sikap yang baik, kemampuan beribadah, toleransi dan penghormatan kepada orang lain, semuanya menjadi tanggung jawab sekolah. Orang tua masih belum diikutkan dalam proses pendidikan padahal konsep dan teori peran orang tua telah banyak dipercaya mampu meningkatkan proses akademik siswa.

Dunia Digital, Pendidikan dalam Genggaman

Kondisi lain yang menyebabkan kita harus segera mengembalikan pendidikan yang awalnya menjadi tanggung jawab sekolah ke orang tua adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang tidak dapat ditolak. Di setiap rumah sekarang telah tersedia akses menuju internet, baik melalui handphone maupun wifi. Teknologi digital yang berkembang bersama anak-anak masa kini banyak menyediakan berbagai macam konten, mulai dari yang positif hingga negatif. Mereka sudah terbiasa menggunakan gawai yang canggih bahkan melebihi orang tuanya karena mereka adalah digital native atau Generasi Z, yaitu generasi yang sejak kelahiran sudah disambut dengan gawai.

Generasi sebelumnya, yang masih harus belajar berbagai jenis teknologi terbaru disebut sebagai digital immigrant sehingga seringkali gagap ketika menghadapi teknologi. Tentunya, Generasi Z yang sudah tergantung dengan teknologi, memiliki kebiasaan yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Cara mereka membaca dan menulis, cara mereka bermain, bahkan cara bersosialisasi dengan lingkungannya juga berbeda. Hampir semua orang tua mengeluh karena anaknya selalu memegang handphone, bermedia sosial, tertawa dan menangis karena handphone, dan semakin sulit diajak bersosialisasi.

Setiap orang tua juga punya sikap ragu-ragu terhadap dunia digital yang bisa diakses bahkan oleh anak usia 3 tahun. Inilah tantangan orang tua zaman now yang harus bisa mengendalikan interaksi anak dengan gawai jika tidak ingin terbawa arus negatif. Banyak cara yang bisa dikembangkan oleh orang tua untuk menjaga anak-anaknya. Mari diskusikan beberapa langkah dasar yang perlu dilakukan orang tua dalam menghadapi anak-anaknya yang sudah berkenalan dengan gawai. Jangan sampai, teknologi yang bisa digunakan untuk memudahkan pendidikan malah menjadi malapetaka bagi generasi masa depan bangsa.

Pertama, perlu dipahami bahwa gawai tidak untuk dihujat kemudian dihindarkan dari anak-anak. Kita tidak bisa menafikan kehadiran gawai karena perkembangan dunia menghendaki itu. Sebagai orang tua yang sedang menyiapkan anak-anaknya untuk kehidupan masa depan –bukan masa lampau- maka seharusnya orang tua terbuka. Kekhawatiran kita tidak boleh dijadikan alasan untuk mengekang anak-anak dari teknologi apapun, bahkan teknologi video game.

Kedua, selalu dampingi anak-anak dalam penggunaan gawai. Pendampingan dilakukan untuk melihat seberapa jauh anak-anak dalam memanfaatkan teknologi. Pada intinya, teknologi digunakan untuk memudahkan  kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Maka selama teknologi digunakan untuk tujuan itu, jangan larang anak-anak. Apalagi saat ini banyak aplikasi yang sangat bagus untuk mengembangkan pendidikan mereka, mulai dari matematika, bahasa, hingga logika.

Perlu diperhatikan bahwa orang tua juga harus belajar bagaimana menggunakan semua teknologi yang digunakan anaknya. Termasuk fungsi media sosial hingga penelurusan riwayat website di gawai mereka. Orang tua juga bisa bertindak sebagai pengawas. Anak harus dipahamkan bahwa orang tua memiliki hak penuh untuk mengakses gawai anaknya kapanpun di manapun ketika dibutuhkan. Sehingga tidak ada alasan bagi orang tua kecolongan tindakan-tindakan negatif yang dilakukan anak di gawainya.

Ketiga, orang tua harus membicarakan batas waktu penggunaan setiap teknologi kepada anak. Teknologi ini bisa berupa televisi, video game, dan handphone. Harus ada aturan yang tegas untuk tetap menjaga sikap disiplin anak-anak. Hal yang sulit dihindari adalah ketika waktunya berhenti main gawai, tetapi orang tua malah enjoy dengan handphone-nya. Karena itu, diperlukan komitmen bersama antara anak dan orang tua, serta seluruh anggota keluaraga, jika ingin benar-benar menjadikan teknologi sebagai penolong manusia, bukan malah menjadi tumpuan hidup.

Keempat, meskipun dunia digital sangat penting, namun jangan pernah meninggalkan kegiatan offline, seperti membaca buku bersama, komunikasi terkait persoalan sehari-hari, jalan pagi bersama, termasuk mengajak anak-anak untuk berkunjung ke orang-orang di lingkungan sekitar. Banyak hal yang dilupakan oleh generasi milleneal ketika menjadi orang tua, yaitu melupakan kehidupan nyatanya dan memberikan porsi berlebih kepada dunia online. Sebagai orang tua yang baik, maka aktivitas di luar gawai harus ditetap dipelihara jangan sampai hilang bersama dengan cara hidup online.

Selain empat hal di atas, tentunya masing-masing orang tua dapat mengembangkan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan. Karena latar belakang keluarga juga memengaruhi bagaimana pola komunikasi dan pendidikan keluarga. Anak-anak merupakan aset bangsa yang tidak ada padanannya dengan teknologi manapun. Semua teknologi yang ada bisa berguna dan memberi manfaat yang besar karena manusia yang mengoperasikannya. Jika kualitas manusianya tidak produktif maka teknologi secanggih apapun akan berakhir dengan menjadi barang rongsokan.

Perlu ditekankan bahwa peran orang tua dalam mendidik anaknya bukanlah upaya mengesampingkan peran sekolah. Lebih dari itu, keterlibatan orang tua diperlukan untuk memaksimalkan hasil akademik di sekolah. Sehingga kita bisa menyebutnya sebagai program bersama yang sinergis, antara sekolah dengan orang tua. Di rumah, orang tua mengajari karakter yang kuat kepada anak, sedangkan di sekolah, guru menyempurnakannya dengan pengetahuan. Karena inti dari pendidikan adalah pembentukan kebiasaan baik hingga menjadi karakter. Sekolah hanya memiliki sedikit kesempatan membentuk karakter siswa, sebaliknya yang memiliki banyak waktu harusnya orang tua.

Beberapa cara bisa dilakukan oleh orang tua yang ingin membangun kepribadian prima anaknya, antara lain:

Pertama, jadilah contoh yang sempurna untuk anak-anak. Sebagai peniru ulung, kita harus yakin bahwa anak-anak meniru sosok yang benar. Role model ini bisa diekspresikan dalam berbagai cara kehidupan, mulai dari dasar kependidikan seperti membaca dan berhitung, eksplorasi lingkungan, hingga pembentukan karakter. Sebagai guru yang pertama, orang tua harus menjadikan dirinya sebagai ibu yang penuh kasih sayang dan ayah yang menjadi pahlawan. Beberapa aktivitas bisa dilakukan bersama, misalnya membaca dongeng, memasak, hingga eksplorasi alam bersama-sama.

Seorang anak yang sudah mendapatkan contoh di dalam keluarga akan merasa senang dan tidak berharap pada model selain itu. Perkembangan remaja yang menjadikan artis sebagai idola selalu mencemaskan orang tua. Apalagi jika idola yang digunakan sebagai basis cita-cita tidak memiliki karakter yang baik. Karena itu, idola anak harus dibentuk sejak dini agar anak-anak tidak salah memilih idola di masa depan. Kisah-kisah teladan dari para nabi dan orang suci, cerita kejujuran seorang ksatria dan fabel dalam berbagai buku cerita anak, penting dibacakan sehingga mengetahui karakter mana yang bisa dicontoh. Begitu anak sudah menentukan role model-nya sendiri maka ia akan berusaha mencapai sebagaimana model yang dicontohkan tersebut.

Kedua, membangun karakter anak yang kuat. Selain aktivitas fisik, orang tua juga harus membangun atmosfer positif di dalam keluarga. Banyak sikap yang bisa dikembangkan untuk anak-anak, misalnya, jujur, disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab. Sikap-sikap ini, ketika sudah menjadi kebiasaan maka akan menjadi karakter yang dapat menentukan proses pendidikannya di masa mendatang. Menurut survey The National Association of Colleges and Employers (NACE), perusahaan lebih membutuhkan pekerja yang memiliki karakter bagus dari pada hanya nilai akademik. Karakter yang paling diinginkan perusahaan adalah kemampuan kerja sama, kemampuan menyelesaikan masalah, dan kemampuan berkomunikasi.

Ketiga, kenali segala sesuatu yang disenangi anak-anak, terutama untuk mengenali bakat mereka. Seorang anak rata-rata memiliki rasa penasaran yang tinggi sehingga membuat orang tua tidak sabar untuk meladeninya. Orang tua harus selalu bisa menjawab pertanyaan anak sehingga pengetahuan seorang anak selalu bertambah. Ujiannya adalah ketika orang tua kesulitan menjawab sedangkan si anak sudah tidak sabar menemukan jawabannya. Kita harus menjelaskan dengan pelan dan penuh perhatian, bahwa mereka lebih baik mencari bersama-sama sehingga seorang anak akan belajar karakter penuh simpatik.

Moment-moment awal ini bisa digunakan untuk mengetahui aktivitas yang disukai anak-anak, serta sikap apa yang tampaknya menonjol dan siap dikembangkan. Karakter anak juga akan berkembang dengan baik karena orang tua telah membangun suasana yang menyenangkan dalam keluarga. Seorang anak tidak lagi takut untuk mengungkapkan pendapatnya, karena kekeliruan akan selalu menemukan solusi. Seorang anak juga akan belajar jujur karena orang tua mengapresiasi kejujurannya dengan pujian dan tepuk tangan, lalu memaafkan dengan ikhlas. Dengan mengenali bakat terpendam anak, maka orang tua akan lebih mudah memberikan bimbingan pendidikan ke depannya. #sahabatkeluarga


Daftar Pustaka

Gianni De Fraja, Tania Oliveira, Luisa Zanchi. 2010. Must Try Harder: Evaluating the Role of Effort in Educational Attainment. Journal Review of Economics and Statistics. Vol. 92, No. 3. P.577.


Mikaela J. Dufur, Toby L. Parcel, Kelly P. Troutman. 2013. Does Capital at Home Matter more than Capital at School? Social Capital Effects on Academic Achievement. Journal Research in Social Stratification and Mobility. Volume 31, P.1-21

Robinson, Sir Ken. 2006. Do Schools Kill Creativity?. diakses di https://www.ted.com/talks/ken_robinson_says_schools_kill_creativity pada 12 Juli 2018


2018-07-13

Ulasan Buku: Bilangan Fu


Pertama-tama, membaca bilangan fu adalah keinginan yang sudah lama tapi tertunda. Pernah sekali –sekali meliriknya di toko buku ketika masih kuliah di tahun 2011, bahasanya menarik, kisahnya seperti ‘lelaki banget; tetapi harga bukunya mahal; akhirnya tak terbeli. Kini di sela kesibukan yang sangat sibuk, aku membacanya dengan gaya tergesa, berharap besar, dan sering mengulang membaca karena beberapa kali tersilap dengan kisah yang tiba-tiba sampai di suatu tempat yang asing dan berbeda.

Di samping sekeranjang kelebihannya, novel ini tentu punya kelemahan di bagian narasi. Bagiku, narasi dalam sebuah novel menjadi sesuatu yang mutlak karena karya sastra harus melesat di benak pembaca, mengubah dengan lembut kecerdasan bahasanya, dan nikmat serta mengalir dalam pembacaannya. Aku lebih banyak mengulang karena satu hal: ingin lebih paham apa yang dimaksud penulis dengan berbagai pertarungan wacana yang ingin dibangun, dan lompatan kisah yang ke sana kemari. Jadinya, membaca novel ini melelahkan pikir dan tenaga.

Kelemahan itu segera tertutupi jika kita ingin menganggap bahwa novel tidak hanya berjalan dalam tataran imajinasi, tetapi juga berkait fakta dan amukan terhadap realitas. Tampak dalam novel ini, keinginan penulis yang ingin menggugat banyak hal yang sudah terlampau diyakini, padahal merusak. Ia menggugat modernisme, monoteisme, dan militerisme yang dianggap banyak merusak alam, atau yang dengan bahasa lain: lebih banyak jelek dari pada baiknya. Penulis ingin membuat agama baru yang menghormati kebudayaan masa lalu, dan kembali mencintai bumi, yaitu Spiritualisme Kritis.

Persoalan langit dan bumi dalam novel ini, secara sederhana bisa dijelaskan demikian: bahwa sejak kedatangan agama di Pulau Jawa pada khususnya, lebih khusus lagi Agama Islam dengan ajaran yang sering mengafirkan, menyirikkan, mengkhrafatkan, membid’ahkan, maka segala penyembahan terhadap alam dibinasakan. Sesajen, yang dalam novel disebut sebagai bea cuka kepada penunggu pohon besar, dibabat habis. Karena dianggap menduakan tuhan, akhirnya penyembahan semacam itu dihancurkan, lalu orang-orang mulai menganggap tidak ada lagi tulah jika menggergaji pohon besar.

Parang Jati, yang seakan mewakili sebagian diri penulis, ingin menampar ‘untuk menyadarkan’ si Yuda yang mewakili generasi pemuda idealis, kritis, sinis, dan rasional. Yuda menolak segala sesuatu yang irrasional, dan selalu mempertanyakan segala sesuatu dengan niat memalukan pihak lawan, atau mencari kepuasan logikanya sendiri. Tetapi bukan Yuda yang menjadi antagonis, dia malah protagonis yang bisa digambarkan sebagai batu granit yang tak akan goyah oleh puting beliung pemikiran, tetapi toh akhirnya harus kalah dengan angin sepoi-sepoi yang dibawa Parang Jati.

Yuda, seperti yang telah disebutkan, memiliki watak yang kaku dan kritis, adalah seorang pemanjat gunung sejati. Ia digambarkan sebagai sosok lelaki yang lelaki banget, tapi menurutku gagal karena saya selalu terbayang penulis yang perempuan. Ia memanjat dengan khusyuk, penuh kedalaman, dan mencintai pekerjaannya secara sungguh-sungguh. Lalu datanglah Parang Jati melalui perkenalan singkat, dan membawa ajaran baru bagi pemanjat: sacret climbing (pemanjatan suci) –maksudnya adalah pemanjatan bersih. Jika pemanjat biasanya membawa paku, bor, dan alat lain yang malah merusak dinding tebing, mka sacred climbing tidak memperbolehkan alat-alat yang merusak alam.

Jika ingin menjadikan rock climbing sebagai tantangan, mengapa bukan memanjat gedung saja? “pemanjat sejati harus berdialog dengan tebingnya” begitu kata Parang Jati. Dengan lihai, penulis membawa kisah-kisah ini menjadi nyawa yang mendebarkan hingga akhirnya Yuda harus mengakui bahwa scared climbing memang harus dilakukan. Banyak kisah yang sebenarnya menarik, termasuk berbagai kiasan yang digunakan Parang Jati di setiap omongannya. Bahkan, penulis tampak terus-menerus berbuat bijak dengan berbagai argumentasi yang tidak tunggal, tapi beragam dengan imajinasi yang tidak pernah habis.

Misalnya, Parang Jati ingin menunjukkan bahwa manusia selalu ingin memerkosa alam. Digabungkan dengan logika sacred climbing, ia menjelaskan kepada Yuda tentang pemburu di hutan. Menurutnya, seorang pemburu yang tidak bisa memanah tidaklah pantas membawa pulang kepala banteng atau harimau lalu di pasang di ruang tamu. Seorang pemburu yang membawa senjata modern (senapan, bius, atau alat lain) bukanlah pemburu hebat, sebab ia menghajar tradisionalis dengan modernitas. Banteng yang terbiasa hidup di alam dihadapkan dengan senapan akan keok, dan itu tidak bukan cara pemburu jantan.

Jadi musuh sesungguhnya dari penulis adalah modernitas, dan juga mototeisme yang diwakili oleh tokoh Kupu, sang agamawan bersorban, yang menjadikan agama sebagai tameng untuk berbuat aniaya terhadap alam. Kepada Kupu inilah, penulis ingin menggugat monoteisme yang membawa kerusakan di bumi, dan ingin mengembalikan mitos ke kepercayaan masyarakat yang adilihung. Berulang kali Kupu ditampilkan oleh penulis sebagaimana gambaran di masyarakat mengenai kaum agamawan yang kaku, tidak menerima perubahan, dan setiap omongannya menyakiti anggota masyarakatnya.

Membaca buku ini kita akan dihadapkan pada banyak keajaiban tentang memahami mitos dan legenda, lalu memasangkan hal-hal yang tidak masuk akal itu pada rasionalitas manusia modern. Hebat sekali buku ini. Kita diajak berfikir sangat terbuka, menerima segala sesuatu di dunia ini sebagai takdir yang dibaliknya ada sesuatu yang pantas ditunggu. Sungguh sangat tidak modern, mengingat di zaman ini kita dituntut untuk merekonstruksi realitas berdasarkan rasio murni. Hal-hal yang tidak masuk akal sudah dibakar habis sejak renaissance –maka buku ini berada di tempat yang membahayakan.

Jika kita penasaran dengan ‘Bilangan Fu’ yang menjadi judul novel ini, menurutku, penulis lebih banyak bertutur dengan jalan sok dimistis-mistiskan. Makna yang tersingkap dari kosakata bilangan fu memang luar biasa: mulai alat musik di papua hingga perhitungan ke 12 dalam mitologi India dan Jawa. Semuanya disampaikan dalam kesemrawutan yang sulit digambarkan, apalagi disisipi dengan kisah Parang Jati-Yuda-Marja, kliping pemberitaan dari berbagai koran yang mungkin dimaksudkan untuk menggabungkan kisah fiksi dan realitas, lalu cerita masa lalu Kupu dan Parang Jati sebagai anak buangan yang silang sengkarut dengan mitos dan tanda-tanda alam.

Sungguh, novel ini harus disederhanakan jika ingin memiliki tingkat keterbacaan seperti Laskar Pelangi atau The Davinci Code. Bagi sastrawan besar Indonesia, membandingkan Bilangan Fu dengan Laskar Pelangi akan dianggap penghinaan dan ditertawakan. Tetapi kita harus melihat bahwa karya sastra yang baik adalah yang enak dibaca. Karya sastra harus bisa membawa langit lebih rendah, dan mengangkat bumi lebih tinggi, sehingga siapapun orangnya bisa menyenangi karya sastra. Jangan memuji langit karena orang bumi akan menganggapnya mantra, juga jangan merendahkan bumi karena orang langit akan menginjaknya.

Dalam sebuah resensi semacam ini, bilangan fu akan sulit dijelaskan karena memiliki kompleksitas yang tinggi. Bilangan fu bukanlah novel sastra magis yang bisa dengan sungguh-sungguh menghadirkan nuansa sihir dalam kisahnya, tanpa dapat diprotes. Menurutku, bilangan fu adalah novel realistis yang ingin menggugat realitas yang keliru. Maka ia harus jelas, tidak berbayang dengan kelindan cerita yang kesana-kemari. Tetapi novel ini harus diakui jernih, karena mengusung ideologi penulisnya yang murni, ingin membawa suatu olahan pemikiran ke dalam sastra meski melewati proses yang ruwet dan berkeringat.

2018-06-22

Filsafat Bahasa


Abad ini, filsafat lebih banyak dipenuhi dengan debat persoalan bahasa. Dan persoalan bahasa yang paling mendasar adalah kegagapan manusia mengutarakan peristiwa dengan kalimat yang cacat. Misalnya, menggunakan kalimat-kalimat bertendensi dan judgement dalam ujaran keseharian maupun pemberitaan media massa. Penelitian tentang penggunaan kata, kalimat aktif-pasif, keberulangan, font khusus, penggunaan bold atau italic, hingga penyediaan ruang di media massa, sudah banyak dilakukan; tetapi hal-hal semacam itu merupakan aktivitas yang sulit dipahami oleh masyarakat umum sebagai kesalahan penggunaan bahasa.

Secara sederhana, kita bisa melihat bahwa kita tidak bisa memahami apapun tanpa bahasa. Menurut Heideggar (Ahmala, 2013) language is the house of being - bahasa adalah rumah bagi manusia. Artinya, dengan menggunakan bahasa kita bisa paham maksud dari tempat tinggal kita di dunia ini. Tanpa bahasa, kita akan kesulitan berkomunikasi dengan sesama manusia, juga kita tidak akan bisa memahami dunia ini dengan baik. Maka realitas yang ada ini berjalan dalam pemahaman kita melalui bahasa. Rotasi bumi dan takdir manusia ini dapat diketahui karena ada bahasa yang menerjemahkannya melalui teks-teks yang bisa dibaca, dan teks-teks suara yang kita dengar.

Meskipun jarang dipikirkan, tetapi bahasa memanglah persoalan paling penting dalam kehidupan ini. Pemahaman kita tentang Pilkada yang dilaksanakan pada 27 Juni mendatang adalah pemahaman melalui bahasa. Pada kasus penyerangan bom di Surabaya dan Sidoarjo beberapa waktu lalu, diinformasikan oleh media massa menggunakan bahasa. Maka, begitu bahasa yang digunakan menyampaikan informasi ini salah atau disalahgunakan, akan mengakibatkan pertikaian massal. Itulah yang terjadi dalam kasus Ahok, yang terbukti di pengadilan bersalah karena telah menistakan Agama Islam dalam pidatonya –yang tentu saja menggunakan bahasa.

Tapi dalam Ilmu Komunikasi, bahasa tidak cukup untuk menjadi rumah manusia. Karena bahasa penuh kekurangan untuk menerjemahkan setiap peristiwa, perasaan, dan pikiran-pikiran manusia yang liar (lihat Mulyana, 2007:269). Bahasa seringkali tidak bisa menerjemahkan secara pas, atau secara persis apa yang sedang terjadi. Saat terjadi kebakaran di suatu pasar, wartawan yang paling jago tetap akan kesulitan menggambarkan situasinya secara keseluruhan. Karena yang ditangkap panca indera mengenai kengerian, teriakan, dan kekhawatiran, sulit dibahasakan dalam teks koran maupun video.

Kekurangan bahasa dalam mengungkapkan kondisi dunia ini juga terjadi dalam percintaan. Seorang gadis seringkali melontarkan pertanyaan yang menjengkelkan kepada lelaki; “apa yang kamu cintai dari aku?”. Lelaki di manapun di dunia ini akan bingung menjawab pertanyaan itu, tidak peduli seberapa banyaknya dia membaca jurnal ilmiah. Tetapi bahasa, betapapun terbatas caranya mengungkapkan dunia ini, tetaplah merupakan jembatan yang paling potensial antara kenyataan dan pemahaman. Tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain bahasa, karena itu, bahasa menjadi bahasan filsafat abad ini.

Mengingat amat pentingnya bahasa, maka kita harus memelajari bahasa yang kita gunakan sehari-hari agar tidak menyalahgunakannya, atau mengerti ketika bahasa disalahgunakan. Kemampuan berbahasa kita memang rendah karena sejarah penggunaan Bahasa Indonesia juga baru diteriakkan selepas 1928 –itupun belum menasional. Kita tentu sering kesulitan ketika hendak menyebut sesuatu dalam Bahasa Indonesia, tetapi begitu mudahnya menemukannya dalam bahasa daerah. Sama ketika kita ingin mengetahui arti suatu istilah, pasti merujuk ke Yunani, Latin, atau Arab. Hal ini menunjukkan bahwa usia bahasa juga menentukan pengertian penggunanya terhadap bahasa itu.

Sebagaimana Jawa, pun Madura, dan mungkin bahasa daerah lainnya, memiliki istilah bermacam-macam untuk membahasakan ‘membawa’ benda. Ada junjung, mikul, nyunggi, jinjing, nyekel, nggowo, ngindit, nggendong, dan lainnya. Dengan kondisi bahasa yang baru ini, Bahasa Indonesia akan mengalami kesulitan untuk menjelaskan peristiwa yang semakin kompleks. Apalagi bisa dipastikan, Bahasa Indonesia banyak menyerap bahasa lainnya untuk di-Indonesiakan, dan kita tidak pernah tahu. Yang terbaru dan sekarang menjadi tren adalah siber untuk cyber, gawai untuk gadget, warganet untuk netizen. Jadi bahasa menjadi kekalahan paling mutlak bagi orang Indonesia ketika ingin membahasakan sesuatu, terutama ketika kita sering menyampur-campur bahasa Indonesia-inggris seperti artis.

Bahasa akan menjadi semakin sakti jika diletakkan pada media massa. Maka dari itu, media massa sebagai panglima informasi di zaman modern ini seyogyanya menggunakan bahasa jurnalistik yang baik dan benar. Karena bahasa yang baik menunjukkan kualitas teks yang baik. Ia harus memedomani dengan baik etika pemberitaan kriminal, etika pemberitaan bencana alam, hingga panduan infotainment dan kasus terorisme. Kode etik jurnalistik tentu tidak cukup untuk menyegah wartawan berbuat onar dalam bahasa pemberitaannya. Hampir selalu dapat dibuktikan dalam penelitian perguruan tinggi, karena itu wartawan sendirilah yang harus menyadari bahwa profesi wartawan harus dijaga marwahnya.

Filsafat bahasa memang tidak akan sampai mengorek-orek kesalahan berbahasa media massa, tetapi filsafat bahasa telah mengantarkan kebenaran dan metode yang menarik untuk menganalisis media massa. Karena itu, banyak analisis tentang bahasa di media massa, seperti analisis wacana, framing, naratif, analisis isi, hingga semiotik. Semuanya berkepentingan terhadap bahasa dan tanda-tanda lain (simbol, gambar, indeks, grafik, dll) yang digunakan di media massa.

Maka jangan heran jika orang-orang kritis –biasanya beraliran kiri- menyuarakan ‘bahasa adalah kekuasaan’. Bahasa, dengan struktur dan penekanan tertentu mampu menunjukkan identitas golongan yang mengucapkannya, dan bisa juga menjadi jalan mencapai kekuasaan. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang negatif, meskipun cenderung kekuasaan disalahgunakan sehingga menimbulkan kesan buruk. Menurut Foucoult, kekuasaan bisa terjadi di mana saja dan pada siapa saja dalam level yang berbeda-beda. Seorang presiden adalah penguasa di suatu negara, begitupula seorang perempuan dalam struktur rumah tangga, dan kiyai dalam pondok pesantren.

Dalam perkuliahan, ada upaya dosen untuk dianggap cerdas sehingga menggunakan bahasa ilmiah. Dengan anggapan cerdas itu, seorang dosen dapat menggunakan kekuasaannya untuk memerintah mahasiswa agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Seorang dokter terutama, menggunakan bahasa kesehatan untuk menunjukkan tingkat kependidikannya, pengetahuan, dan keahliannya, meskipun dalam waktu yang sama ia juga menjelaskan dengan bahasa yang bisa dipahami pasien. Ada kepuasan yang didapatkan oleh orang yang berkuasa. Bahasa menunjukkan pengetahuan, pengetahuan menuntun pada kekuasaan, dan kekuasaan menghasilkan bahasa yang tak mampu ditolak oleh si lemah.

2018-05-22

Pencarian


Saya pernah mencari-cari kebenaran ini, dan tidak mendapatkan pencapaian apa-apa kecuali keyakinan bahwa kebenaran itu seringkali abstrak. Abstrak yang saya maksud bukanlah sesuatu yang tidak dapat dipahami atau bahkan sesuatu yang tidak ada. Saya berfikir, kebenaran itu hadir dalam setiap diri manusia, tetapi manusia tidak mampu melihatnya dengan baik karena keinginan berfikirnya yang selalu berada di zona aman. Karena keraguan ini membuat kebenaran mengabut, lalu kita hidup seperti begitu saja tanpa mempertanyakan kebenaran lagi.

Doktrin Protagoras, yang menyebut bahwa ‘manusia adalah ukuran segalanya’ mungkin bisa meyakinkan bahwa kebenaran itu ambigu. Jika ukuran segala sesuatu adalah manusia, maka setiap individu bisa menggunakan ukuran tertentu yang berbeda-beda. Russel memiliki interpretasi yang agak menyengat untuk memahami doktrin Protagoras. Katanya, doktrin itu bersifat skeptis yang didasarkan pada indera yang cenderung menipu (Russel, 2016). Maka kita bisa maklum bahwa: langit berwarna biru, cakrawala memiliki batas, bumi datar, hingga cahaya berpelangi, adalah tipuan-tipuan nyata kalau kita tidak mengenal ilmu pengetahuan.

Berdasar itu, maka kita harus mencari kebenaran sendiri untuk diri sendiri –bukan untuk dipamerkan. Analoginya mungkin seperti pengertian Nabi. Bahwa Nabi mendapatkan wahyu (kebenaran) untuk dirinya sendiri, bukan untuk disebarkan sebagaimana para Rasul. Karena itulah saya akhirnya mencari-cari cara bagaimana saya menemukan kebenaran, meskipun kisah pencarian ini jangan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Perjalanan saya mencari kebenaran adalah murni pencapaian individual saya sebagai manusia yang selalu ingin belajar. Maka saya tidak menerima cemoohan apalagi pujian, karena perjalanan kita bisa jadi berbeda bahkan bertolak belakang. Dan satu hal, kebenaran bagi saya masih menapaki jalannya yang ramai.

Lagi pula, kebenaran yang saya ingin cari bukanlah kebenaran yang digunakan untuk mengukur dunia ini. Bahkan mungkin sekali kebenaran yang saya dapatkan di sepanjang perjalanan tidak bermanfaat bagi banyak orang, kecuali diriku sendiri.

Hal yang paling tampak dari diriku ketika mencari kebenaran ini adalah dimulainya perjalanan menyendiri ke kota-kota asing di Indonesia. Waktu itu saya selesai membaca Musashi dan melihat bahwa seorang ahli pedang malah mengambil kebijaksanaan dari ‘jalan pedangnya’. Maka kebenaran itu tidak biasanya tampak pada sesuatu yang apa adanya. Bahkan kekerasan yang biasanya dihasilkan oleh pedang, pun menimbulkan kebijaksanaan bagi Musashi. Yang saya tiru dari Musashi bukan di bagian pedang dan kekerasan, tapi kenyataan bahwa saya harus melakukan perjalanan. Maka malam itu selesai membaca, saya tidur, dan keesokan paginya mulai berjalan ke barat.

(time skip)

Setahun kemudian, perjalanan saya malah sampai di ujung timur Indonesia. Waktu itu, saya sangat tidak percaya pada sistem yang dibuat oleh manusia. Logikanya sederhana, siapapun presidennya, kehidupan saya dan masyarakat sekitar akan sama saja. Siapapun yang jadi menteri pendidikan, sistem pendidikan di Indonesia selalu diibaratkan ikan yang dituntut memanjat pohon (lihat video di Youtube). Dan siapapun kita tidak akan bisa menembus sistem yang kompleks di pemerintahan atau lainnya, kecuali punya link dan punya uang. Dengan pandangan seperti itu, saya hanya mempercayai satu hal : membuat komunitas kecil yang berguna bagi orang sekitar.

Waktu berjalan dan saya banyak menyadari bahwa orang-orang yang memiliki pemikiran seperti saya teramat banyak, tetapi mereka juga berharap bisa hidup dari komunitas itu. Masalahnya kemudian, orang-orang yang ingin membentuk komunitas peduli, kebanyakan dari golongan pemuda yang belum bekerja, masih menjadi mahasiswa, atau pengangguran akut. Lalu komunitas itu lama-lama bubar karena mereka harus menapaki realitas: sandang, papan, pangan, dan jodoh. Lalu komunitas ini dianggap sebagai idealisasi pemikiran yang tidak realistis. Intinya adalah untuk membangun komunitas yang bisa eksis dan konsisten, dibutuhkan dana yang tidak sedikit, entah itu dari sumbangan atau dari kantong sendiri. Tanpa uang, komunitas hanya berakhir dalam diskusi tak berkopi.

Lalu saya sembari membuat komunitas yang lain, bekerja sebagai wartawan. Sebagai anak komunikasi, saya melihat jurnalis adalah sosok yang mendekati kebenaran. Dianggap sebagai sosok yang menggerakkan pilar ke empat demokrasi, maka jurnalis adalah pekerjaan ideologis yang ideal bagi saya untuk mencari kebenaran. Jurnalis adalah antitesis dari kekuasaan, di mana ada kuasa absolut, di situ jurnalis berdiri bersama masyarakat. Sudah cukup bagi saya sejarah mengenai jurnalis yang menentang penjajahan di Indonesia, lalu menyebarkan pamflet perlawanan dibantu radio bawah tanah untuk mengabarkan kemerdekaan di nusantara. Maka pekerjaan apa lagi yang lebih mulia dibanding menjadi wartawan?

Saya mengesampingkan pengetahuan bahwa media massa di Indonesia gampang dibeli –saya tahu tapi abai. Saya masih yakin bahwa seterjual-belinya media massa di Indonesia, di sana masih tersisa kontrol sosial, penjaga gerbang kebebasan, dan sumber informasi harian yang tidak ada habisnya. Maka saya bekerja dengan sungguh-sungguh di media massa, mempelajari bagaimana menjadi wartawan yang berguna, baik secara teknis maupun ideologis, saya dalami semuanya. Dan tentu saja, pengetahuan dan pengalaman ini sangat kurang –maka jangan diprotes. Sampai sekarang pun, saya masih belajar bagaimana jurnalis yang baik itu harus bertindak.

Perjalanan menjadi wartawan sungguh teramat panjang dan melelahkan. Ternyata kita tidak bisa menjadi penjaga kebenaran selama media massa masih mengandalkan iklan pemerintah dan lembaga atau organisasi lainnya. Dengan mudahnya, media massa digunakan sebagai alat meraih kekuasaan dan mengolok-olok demokrasi karena bisa dibeli seenaknya. Bagaimana cara membeli media? Tidak diperlukan memiliki uang triliunan untuk bisa menyebarkan gagasan buruk di media massa, kita hanya perlu menyiapkan Rp 500 ribu atau Rp 5-15 juta untuk tambil di halaman utama, maka gagasan kita bisa dimuat kapanpun.

Media massa sebagai perusahaan cenderung tidak membatasi jumlah iklan sehingga siapapun yang punya uang akan dimuat. Pertimbangan satu-satunya dari media massa biasanya adalah kepentingan personal pemilik perusahaan, jika aman maka meluncurlah jutaan iklan itu. Karena itu, jurnalis sebagai jalan mencapai kebenaran agak berlebihan. Semakin lama berada di media massa, saya semakin tahu bahwa sulit mencari wartawan yang betul-betul membawa kredibilitasnya di segala tempat. Bahkan organisasi wartawan pun tidak banyak berperan dalam membentuk mental pejuang di kalangan jurnalis. Karena itu, saya kemudian mencari jalan lain yang mungkin bisa lebih membanggakan saya sebagai manusia.

Prinsip saya sederhana: jika tidak bisa memberi manfaat besar kepada masyarakat, paling tidak jangan mendukung upaya menjerumuskan masyarakat kepada sesuatu yang palsu.

Jalan lain ini adalah sebuah pendidikan. Maka, dengan luka hati yang dalam saya harus meninggalkan Papua yang telah memberikan kehidupan kedua kepada saya. Maka rencana kemudian bergulir pada keinginan melanjutkan kuliah dan menjadi anak yang baik dengan lebih sering menjenguk orang tua. Beberapa kesadaran mengenai pentingnya keluarga memang saya dapatkan di perantauan. Dan saya bahagia dengan kenyataan itu. Lalu nasib membawa saya ke sana-kemari hingga kembali menjadi wartawan di malangvoice.com. Dua tahun menjadi wartawan di Malang, dua tahun itu pula akhirnya saya lulus Magister Ilmu Komunikasi dan dengan sedikit terlunta-lunta, akhirnya saya menjadi dosen.

Mengapa mengajar di lembaga pedidikan menjadi pilihan? Meskipun samar, mestinya lebih jelas bahwa dunia pendidikan merupakan kebutuhan satu-satunya masyarakat modern yang tak tergantikan. Saya percaya bahwa dunia pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, bisa mencetak generasi yang lebih baik. Meskipun banyak sekali yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan di Indonesia, tapi paling tidak mengenyam dunia pendidikan masih lebih baik dibanding dengan tidak sama sekali. Di pendidikan tinggi saya akan lebih banyak belajar mengenai ‘apa yang seharusnya’, dan mengajari mahasiswa ‘bagaimana seharusnya’.

Setelah saya dan mahasiswa paham apa yang seharusnya bagi dunia ini, barulah kita menghadapi kenyataan yang semrawut, tapi dalam kerangka pembelajaran yang taka da habisnya. Terutama yang menarik di pendidikan tinggi adalah banyak teori yang bagi sebagian besar orang menjengkelkan, tidak berguna, atau irrelevant, malah sangat memukau. Saya malah yakin, bahwa dengan memelajari teori, kita akan lebih paham tentang kehidupan ini. Misalnya, dengan memahami Teori Komunikasi Antar Pribadi, maka kita akan berkemampuan memiliki pacar yang banyak. Atau dengan memahami Teori Jaringan, maka kita bisa menentukan siapa orang yang paling berpengaruh di suatu kelompok, sehingga politisi tidak perlu menebar uang ke setiap anggota masyarakat agar dia dikenal atau dipilih.

Teori-teori yang saya pelajari membawa saya ke tingkat pemahaman yang lebih tinggi tentang hidup itu sendiri. Dalam banyak hal, saya selalu terselamatkan, misalnya saya memahami beberapa konsep relasi laki-laki dan perempuan, otak laki-laki dan otak perempuan, sehingga kehidupan percintaan saya menjadi tidak pernah membosankan. Saya juga akhirnya harus membaca prinsip jurnalisme yang ketat, filsafat bahasa yang berhubungan dengan hermeneutik, wacana, framing, semiotik, hingga menikmati fakta-fakta sosial yang dikupas menggunakan teori komunikasi dalam beberapa jurnal, prosiding, dan buku-buku. Berada di dunia pendidikan bagi saya adalah surga karena saya tidak perlu membentuk komunitas baca atau kepenulisan, karena semua tersedia di dalamnya.

Di atas segalanya, kepuasan mendasar saya terhadap kebutuhan akan kebenaran agak terpenuhi. Saya tinggal memantik semangat mahasiswa, membuat mereka bergolak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, membuat mereka memiliki kesadaran yang lebih tinggi, atau saling silang pendapat demi mencari solusi suatu persoalan; maka kebahagiaan saya tampaknya sudah selesai. Mungkin bagi profesi lainnya, dunia pendidikan tidak ada artinya karena hanya mengajarkan sesuatu yang tidak berguna. Memang ada benarnya karena tidak sering mahasiswa mendapatkan kesadaran ketika perkuliahan berlangsung. Mahasiswa seringkali mendapatkan pencerahan malah ketika berorganisasi atau diskusi atau ngobrol di warung kopi.

Tetapi sekali lagi, tanpa kuliah, orang yang berada di warung kopi kebanyakan tidak akan membahas tentang filsafat atau persoalan sosial dengan sistematis. Tanpa kuliah, seorang pemuda tidak akan berfikir tentang pemerataan pendidikan, pengentasan kemiskinan, tumpulnya hukum  dan tentu saja, tidak akan membahas Teori Perubahan Sosial. Maka tanpa kuliah, kita sebenarnya hidup berdasarkan pengalaman saja, yang mana pengalaman manusia amat terbatas untuk menjelaskan kondisi sosial yang maha luas ini.

2018-04-18

Kebenaran


Banyak jalan yang harus ditempuh menuju jalan kebenaran. Tetapi tidak banyak orang yang mau menempuhnya, semata-mata karena kita tidak suka dengan kebenaran itu sendiri. Ketidaksukaan kita cenderung tidak beralasan, terutama karena sebagai manusia, lebih banyak yang enggan berfikir dibanding manusia yang mau berfikir. Dan berfikir sendiri, adalah aktivitas paling sulit yang bisa dialami manusia, khususnya ketika membahas kebenaran itu sendiri.

Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia merupakan contoh yang baik untuk menggambarkan bagaimana kebenaran disempitkan artinya, dan dipaksakan untuk seragam kepada setiap warga. Kejahatan kata-kata yang dilakukan oleh beberapa akun di media social sangat menciderai kebenaran itu sendiri. Kasus yang dialami Ahok, Sukmawati, Rocky Gerung, hingga persoalan teroris, menjadi viral bukan karena kebenaran yang ingin ditemukan, tetapi karena kebenaran ingin dipaksakan kepada lawan.

Kebenaran yang paling mudah disalahartikan yang kemudian disalahgunakan adalah kebenaran yang bersifat keyakinan. Gerung yang menyebut bahwa ‘kita suci itu fiksi’ menjadi kontroversi karena pernyataannya berurusan dengan keyakinan. Gerung selama ini mampu berargumen terhadap setiap pernyataannya, juga tidak bisa selamat dari caci maki. Maka, keyakinan seringkali membuat orang suka membabi buta dalam berpendapat, memaksakan kehendak, dan tidak mau tahu terhadap argumen orang yang dilawannya.

Semua ini terjadi karena kita tidak menetapkan standar kebenaran itu sendiri. Kebenaran –yang mestinya tunggal-, kenyataannya sangat subyektif. Kita bisa menetapkan standar yang umum pada diri kita masing-masing, misalnya,: bahwa suatu aktivitas menjadi benar jika tidak menyakiti orang lain. Jika tidak ada standar semacam ini, maka konflik yang memperebutkan kebenaran akan terus terjadi. Karena selama ini kita sering memperdebatkan kebenaran dalam perspektif ciut yang menyebabkan perang, ketidakadilan, penjajahan, cemoohan, ucapan kotor, hingga laporan-laporan ke polisi.

Semuanya menjadi tidak masuk akal, terutama karena kita memperjuangkan kebenaran tetapi menggunakan cara-cara yang tidak benar.

Pencarian kebenaran bisa disandingkan dengan pencarian terhadap tuhan. Dalam artian, tuhan itu adalah kebenaran mutlak yang pasti ada, namun demikian, orang tidak pernah benar-benar bertemu dengan tuhan, bukan? Hanya nabi yang sangat mungkin bertemu tuhan dalam dunia ini. Nah, bahkan Nabi saja mungkin bertemu dengan tuhan di dunia ini. Mengapa mungkin? Karena seperti dikisahkan, Nabi Musa sekalipun tidak sanggup melihat tuhan di Bukit Tursina. Gunung hancur, Musa pingsan, dan langit redup. Jadi apakah Musa bertemu tuhan?

Orang yang menemukan kebenaran juga bisa memiliki kisah demikian, kebenaran yang ia temukan, berbeda dengan kebenaran yang kita anut. Kendalinya sekarang, kita harus menghormati kebenaran orang lain dan tidak memaksa kebenaran dari sudut pandang kita.

Maka sekali lagi, kebenaran itu menjadi subyektif tergantung jalan yang kita pilih. Orang yang merasa kebenaran harus ditempuh melalui jalan sunyi, maka ia akan bertapa di gua. Begitupula jika kita merasa kebenaran bisa ditempuh dengan ibadah, maka beribadahlah kita siang malam. Nabi saya, Muhammad, mendapatkan wahyu setelah berkhalwat (menyendiri, merenung, bertapa) di Gua Hira. Sidharta, mendapatkan pencerahan di bawah Pohon Sabodi setelah bertapa dan berpuasa. Gandhi menjalankan kebenaran dengan puasa bekerjasama dengan penjajah.

Kebenaran bisa dibayangkan memiliki tingkatannya masing-masing. Misalnya, yang paling rendah adalah kebenaran yang bersifat kesenangan. Yang untuk mencapai hal ini, kita harus menjadi orang sukses di dunia fana–yang cenderung diukur dengan harta, tahta, dan wanita/jodoh yang layak dibanggakan. Kebenaran dalam hal ini tidak mengubah kehidupan menjadi lebih baik, kecuali hidup menjadi lebih mudah. Karena itu, kebenaran dalam level ini tidak betul-betul dijadikan tolok ukur kebahagiaan yang hakiki karena orang sering terjebak dalam anarkisme ketika memiliki level kesenangan yang kelewat batas.

Kebenaran yang lebih baik dari ‘kesenangan’ belaka adalah keinginan untuk menapaki jalan kebenaran yang lebih hakiki. Orang-orang yang mulai mencari cara mencari kebenaran kemudian belajar untuk tidak merasa kehilangan terhadap sesuatu yang telah kita punyai. Kita sudah harus belajar bahwa rasa sakit diciptakan untuk mengingatkan manusia akan batasan dan kelemahan diri. Sama seperti kantuk yang mengingatkan akan istirahat, maka sakit hati digunakan untuk pengingat lemahnya jiwa. Pencarian-pencarian ini sudah bisa dikatakan sebagai ‘jalan setapak’ menuju kebenaran.

Kebenaran tingkat ketiga, adalah kebenaran yang ada dalam hati kita masing-masing. Suatu kondisi di mana kita mencapai kepuasan dari ‘pertemuan-penemuan’ spiritual. Spiritual tidak selalu diarahkan pada mistis, ketuhanan, atau rohani, tetapi lebih kepada ketenangan batin. Kita sudah hampir selesai dalam pencarian sesuatu yang hakiki –ruh dari dunia ini, jiwa dari setiap benda yang mengelilingi kita. Perbedaan menonjol antara level satu dan level ketiga ini adalah dalam hal ketergantungan kepada sesuatu yang tampak. Semakin tidak tergantung kita kepada uang, maka kita semakin bahagia dalam level ini.

Kebenaran yang tercapai dari ketenangan hati ini diejawantahkan dalam hidup yang menghargai ciptaan tuhan, bahkan hewan dan tumbuhan, apalagi sesama manusia. Karena itu, orang-orang yang mencapai level ini lebih mudah untuk mencapai kebenaran ditingkat terakhir, yaitu kemampuan untuk tidak membutuhkan apa-apa. Tentu hal ini sangat sulit dan hampir mustahil dilakukan oleh orang yang bukan nabi dan rasul. Kemampuan untuk tidak sakit ketika dipukul dan tidak terbuai ketika dijunjung, merupakan pencapaian jiwa yang sempurna. Karena tujuan sebenarnya dari hidup sudahlah dipegang: untuk mengabdi kepada kebenaran tunggal (tuhan), atau untuk membebaskan jiwa manusia dari kesengsaraan duniawi.

Maka orang yang berteriak-teriak memaksakan kebenaran kepada orang lain hingga menimbulkan konflik merupakan kondisi yang salah. Kita harus selalu melihat konteks kebenaran dari sudut pandang yang universal. Karena bahkan kebenaran yang kita yakini masih belum dapat dipastikan hingga kita harus bertoleransi dengan kebenaran orang lain. Dengan rendah hati, dikatakan oleh Imam Syafi’I (ahli fikih) : pendapat saya benar tapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tapi mungkin benar. Karena itu, sisakanlah kerendah-hatian ini di satu titik dalam setiap judgement terhadap orang lain.

2018-03-25

Pendidikan


Saya percaya bahwa sistem pendidikan kita membunuh kreatifitas anak-anak yang berada di dalamnya. Menjadi paradox bahwa, anak-anak menginginkan sebuah pendidikan agar mereka bisa belajar tetapi pendidikan malah menjadikannya bodoh. Kita terus melakukannya berulang-ulang dan merasa baik-baik saja. Mengapa demikian? Karena pendidikan – yang bertujuan untuk mampu memahami dunia lebih baik – tidak memiliki kemampuan praktis seperti ‘cara kaya dalam 2 jam’ atau ‘cara menikung pacar kawan dekat’.

Perkara seperti ini tentu menjengkelkan, terutama bagi saya yang bekerja dan hidup dalam sistem tersebut. Namun ini adalah buah simalakama-nya pendidikan: kita tahu ada yang tidak beres dalam sistem pendidikan di Indonesia, sekaligus kita tahu bahwa Indonesia ‘semacam’ belum siap untuk berubah. Parahnya, hal semacam ini tidak hanya terjadi di dunia pendidikan, tetapi juga terjadi dalam lingkup yang lebih privat. Misalnya, kita berdoa agar diberi kemudahan rizki, tetapi pada saat yang sama kita malas bekerja.

Memikirkan masalah pendidikan, bagi saya yang bukan orang dari pendidikan murni, agak mengkhawatirkan. Kebanyakan kita masih memandang bahwa pendidikan –dan perguruan tinggi lebih khusus – tidak menyediakan ruang yang cukup untuk kecakapan masing-masing mahasiswanya. Lebih banyak dari kita mengerjakan sesuatu dengan tidak memedulikan hasilnya. Barangkali, kita bisa menyebutnya sebagai alienasi dunia pendidikan.

Alienasi, merupakan konsep Marx yang diarahkan kepada kaum pekerja yang terus menuju proses keterasingan dalam bekerja. Pekerja yang bekerja untuk orang lain, menghasilkan barang dan uang untuk orang lain –baca kapitalisme– tetapi ia tetap miskin. Intinya, buruh yang bekerja, tetapi yang menikmati hasilnya adalah tuan pemodal. Maka di dunia pendidikan, baik dosen maupun mahasiswa sama-sama menuju proses keterasingan –sama-sama rugi dan tidak tahu tentang apa yang dilakukannya.

Tantangan sesungguhnya datang dari pengajar sebagai satu-satunya orang yang berkuasa di dalam kelas. Di setiap kelas yang pernah saya ikuti atau saya amati, kebanyakan dosen menyatakan harapannya agar mahasiswa aktif di kelas. Tetapi harapan itu tidak dibarengi dengan rangsangan yang cukup agar mahasiswa bisa aktif. Kebanyakan dosen hanya mengungkapkan ‘harapan’ itu sebagai prasyarat pengajaran. Semacam kontak kuliah ketika pertama memulai kelas, tetapi kontrak itu tidak berarti apa-apa.

Ini merupakan problem dosen yang kebanyakan memang tidak faham tentang teori atau praktik kependidikan, meskipun tidak menjamin pula bahwa dosen di fakultas pendidikan akan lebih baik. Dosen masih berperan sebagai center of knowledge meskipun mereka percaya bahwa pendidikan untuk mahasiswa seharusnya student center learning (berpusat pada mahasiswa). Di kelas, dosen menjadi sosok yang maha tahu, dan dengan ‘label dosen’ itu, mereka tidak mau dibantah apalagi diinterupsi.

Karena itu jangan heran jika mahasiswa mengkritik pemikiran dosen di kelas, atau di manapun, akan menimbulkan kekhawatiran pada mahasiswa. Karena dosen yang tidak suka dikritik, jelas akan mengancam nilai mahasiswa yang dinilai meremehkan dosen. Akan banyak alasan dan pembenaran yang dilakukan dosen untuk menurunkan nilai mahasiswanya, karena soal nilai, hak dosen adalah mutlak. Persoalan ini memang pelik, karena mahasiswa akan selalu salah. Dosen lain tidak akan menghakimi dosen anti kritik, karena mereka adalah kolega. Lebih baik mengorbankan empat puluh lima mahasiswa, dari pada mengorbankan satu dosen.

Selain sifat buruk itu, ada hal lain yang menjadi momok mengapa diskusi di dalam kelas tidak pernah berjalan lancar. Alasannya adalah ketidakpercayaan dosen terhadap mahasiswa bahwa mereka mampu memahami ilmu yang diajarkan lebih baik. Apalagi ketika diberi kesempatan bertanya di kelas, mahasiswa hanya menanyakan hal yang sepele, misalnya : saya masih tidak paham ketika bapak menjelaskan tentang persepsi, tologn dijelaskan lagi. Itu adalah pertanyaan sampah yang tampak jelas: mahasiswa tidak belajar secara mandiri, padahal dalam kontrak telah disebutkan ‘persepsi’ akan dibahas di pertemuan ke berapa.

Selain dosen yang tidak memiliki keseriusan, banyak mahasiswa zaman now juga tidak punya integritas sebagai pembelajar. Dasar segala pengetahuan adalah rasa ingin tahu, curiosity. Sayangnya, rasa ingin tahu itu hanya ada di film dan novel. Kenyataannya, hampir seluruh mahasiswa kehilangan daya untuk mencari sumber-sumber pengetahuan. Buku, film, dan catatan-catatan penting yang bertebaran di dunia maya tidak tersentuh. Yang terus-menerus muncul di layar hape dan pikiran mahasiswa adalah persoalan sepele : pacar, game, dan berita hoax. It is such a terrible life.

Ahli Pendidikan dari Amerika Serikat, Sir Ken Robinson, dalam talkshownya di Ted, memaparkan banyak pengetahuan baru tentang dunia pendidikan. Ia bahkan berargumen bahwa : ‘rasa ingin tahu adalah mesin menuju pencapaian’. Seperti yang kita tahu, pencapaian adalah tujuan hidup setiap manusia. Pencapaian ini akan menunjukan siapa diri kita sesungguhnya, dan mengukuhkan eksistensi kita sebagai manusia yang sebenarnya. Bahkan untuk dosen setua saya, pencapaian yang paling gemilang masihlah memiliki istri pengertian, persoalan keilmuan dan lainnya baru sebatas menginjakkan kaki.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

Pertama, kenali diri sendiri. Persoalan ini hampir menjadi persoalan sepanjang hidup. Tetapi tidak ada salahnya kita menilik lagi sebenarnya diri kita terbuat dari apa dan bagaimana kita akan menjalani kehidupan ini. Masuklah kamar, duduk yang tenang di pojok, lalu bernafas secara teratur. Kita bisa melihat kembali masa lalu, apa yang membanggakan? Apa yang menyesakkan dada? Kita juga bisa melihat ke masa depan, apa yang sungguh-sungguh membuat kita bahagia? Dari sana kita akan mulai berpijak dan menekadkan diri untuk menjadi manusia seutuhnya.

Kedua, pelihara rasa ingin tahu. Kita harus menjadi anak kecil untuk tahu apa arti dari rasa ingin tahu. Saya yakin, orang-orang yang sudah dapat membaca tulisan semacam ini, kebanyakan tidak tahu lagi bagaimanakah rasa ingin tahu itu. Kita tidak pernah bertanya lagi mengapa bumi itu bulat? Atau seperti Einstein, yang bertanya apakah waktu itu absolut atau relatif? Mulailah bertanya hal-hal di sekitar kita, dan jika mau mengarah ke keilmuan, bertanya tentang asal muasal hingga kegunaan dari ilmu itu sendiri. Berat?

Ketiga, konsisten. Pilihan hidup bisa jadi bermacam-macam. Meskipun Sartre menganggap banyak pilihan sebagai beban, tetapi kita tidak mesti demikian. Apapun pilihan yang telah kita tetapkan, harus terus-menerus dipegang sampai mencapai satu titik: gagal atau berhasil. Kebanyakan kita tidak memiliki cukup ketekunan terhadap pilihan yang telah diambil. Dalam bahasa jawa, biasanya disebut isuk dele sore tempe (pagi minta kedelai, sore minta tempe). Orang yang konsisten cenderung dapat dipercaya, dan orang yang dapat dipercaya, cenderung memiliki banyak relasi, dan relasi = kesuksesan.

Tentunya, tiga hal di atas hanyalah rangkuman dari begitu banyak pilihan sikap dan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pembelajar. Sudah saatnya, kita mulai serius memikirkan tujuan hidup, agar tidak menjadi buih di lautan.