2016-03-15

Tak Selesai


Awalnya aku hanya berambisi tidak akan menyulitkan siapapun. Hidup mandiri, di mana saja, dalam kondisi apa saja. Kemudian aku menjadi dewasa dan tidak lagi berfikir sempit seperti itu. Rupanya aku harus lebih bijaksana dengan tidak membiarkan keluargaku hidup sengsara. Karena sejak kecil, hidup begitu menjengkelkan. Mulai dari bangun pagi hingga dalam mimpi sekalipun, urusan perut tak pernah meyakinkan.

Kakak lelaki satu-satunya pun diperlakukan takdir secara kasar. Ia polio sejak kecil sehingga harus menggunakan tongkat kemana-mana. Pikirku waktu itu, aku tidak menjadi beban keluarga saja sudah cukup. Dan itu sudah hampir aku lakukan sejak lulus Sekolah Dasar. Aku mandiri, meminimalisasi ketergantunganku dengan keluarga hingga 10 persen saja. Alhamdulillah, tuhan memelukku dan aku berhasil.

Dua kakak perempuanku saat ini dalam titik nadirnya. Orang tua semakin sepuh. Dan aku hanya begini-begini saja tanpa mampu berbuat sesuatu yang luar biasa. Aku hanya dikagumi sebagian orang yang tak pernah benar-benar mengerti arti berdarah-darah. Jadi aku mengelilingi Indonesia dengan tabah, tidak pernah makan untuk suatu kebahagiaan kecuali untuk bertahan hidup. Hingga aku di Papua dan secercah cahaya hinggap di pelupuk mata.

Aku bisa mengirimi keluarga uang. Takdir menunjukkan kenaifannya. Ternyata kebahagiaan orang yang selalu lapar adalah nasi. Kebahagiaan orang yang selalu kepanasan adalah es teh. Kebahagiaan orang yang selalu diguyur hujan bahkan saat tidur adalah rumah yang nyaman. Secara materi aku mampu menyediakan hal itu semua ketika masih di Papua. Tentu aku akhirnya berbangga dengan diri sendiri.

Dan sekarang, semua hal menjadi abstrak lagi. Aku pulang ke Jawa dan melanjutkan cita-cita yang dulu terasa tidak mungkin. Aku akhirnya menggunakan paspor yang telah kubuat sejak tahun 2012 untuk keliling Asean di tahun 2015. Dan lagi, aku akhirnya melanjutkan studi master dalam bidang ilmu yang sama. Aku menjadi manusia biasa, bekerja seperti orang normal, ngopi dan nonton film seperti orang kebanyakan, bersedih dan bahagia layaknya manusia, punya pacar baik dan cantik.

Cita-citaku untuk tidak membiarkan keluargaku dalam kesengsaraan materi, mandeg. Aku kehilangan penghasilan yang besar karena kebutuhanku saat ini sama besarnya. Dulu, aku mempercayai bahwa kaya hati merupakan kekuatan utama kehidupan. Tapi bagi ibuku, itu adalah halusinasi yang dibawa ayahku sendiri. Ibuku lebih logis memandang kehidupan, sementara ayahku berlindung dibalik janji-janji surga agama.

Dengan contoh keluargaku, uang adalah segalanya. Dan aku belum bisa memenuhi hal itu sehingga membuatku berpikir terus-menerus. Ini adalah fase ke puluhan kalinya saat aku terjebak dengan hal-hal yang ambigu. Sesuatu yang hanya bisa kuidentifikasi tanpa tahu jalan keluarnya. Tentu saja karena beberapa pertimbangan yang rasa-rasanya, kesalahan seumur hidupku.

Tapi pilihan-pilihan ini memang sesuatu yang harus aku jalani. Takdir akan membawa pada kesanggupan-kesanggupan baru. Sekarang hanya harus dijalani untuk menyongsong takdir berikutnya. Tapi bagi seorang visioner, hidup mengandalkan takdir begitu membingungkan. Namun harus kusadari, cita-cita untuk bisa kuliah pascasarjana dan keliling Indonesia sudahlah menjadi sesuatu yang muluk. Sehingga ketika keduanya tercapai, aku kehilangan pegangan.

Namun tidak apa, aku yakin tuhan sedang melucu saat ini. Dalam beberapa hal, aku telah dikaruniai pengalaman yang luar baisa. Baik dalam segi hal-hal yang positif maupun hal-hal yang negatif. Orang-orang yang dulu kupandang berkelakuan bejat, aku sudah sedikit faham bagaimana rasanya. Meski semua hal negatif tetap aku sembunyikan dalam manajemen impression yang hampir sempurna. Sehingga orang tetap memandangku baik-baik saja, sedangkan pikiran bergejolak gila.

Membandingkan apa yang sudah dan akan kulakukan, memunculkan keraguan yang luar biasa. Aku sudah pasti bersyukur, namun sudah pasti pula banyak berdoa. Misalnya, aku harus memberangkatkan umrah atau haji kedua orang tua. Aku harus menikah dengan gadis yang baik. Aku harus mendapatkan pekerjaan yang membanggakan. Aku harus menyelesaikan tulisan-tulisan dengan tema beragam. Aku harus membuat organisasi sosial yang bekerja dan berjuang untuk sosial. Dan banyak lagi.

Pikiranku masih menuju ke lautan luas, udara bebas, dan daratan tanpa akhir. Tapi diam-diam banyak batasan yang hendak mengekang. Karenanya, aku butuh ketabahan tambahan. Aku butuh ketabahan tambahan. Aku butuh bersyukur tanpa batasan. 

2016-03-10

Kakakku dan Belalang Tempur


Ini tentang kakak lelakiku satu-satunya. Orang yang banyak memberiku pengalaman, pengetahuan, hingga pelajaran-pelajaran yang tak pernah aku sadari. Dia temperamental, mencoba rasional tapi lebih sering terjebak dalam dogma agama, mencoba memahami sesuatu tapi sering terjebak dalam pikirannya sendiri. Terlepas dari semua ketidaktahuanku akan dia, aku merasa bahwa dia adalah sosok yang mencoba berada di tengah-tengah suatu kaum. Dia ingin menjadi NU sepenuhnya.

Kadang ia punya prinsip, tugas seorang manusia hanyalah menyampaikan sesuatu yang benar.  Ketika kebenaran telah disampaikan dan orang lain tak menerimanya, itu sudah tidak menjadi kewajibannya lagi. Tapi kadang ia berprinsip, penyampaian suatu kebenaran lebih dibutuhkan dari pada kebenaran itu sendiri. Sehingga, saat orang menyampaikan suatu kebenaran, harus dengan cara-cara yang kebenaran itu bisa diterima.

Tapi semua itu tak pernah mengejutkanku karena dalam pergulatan pikirannya, aku selalu berada di sana –setidaknya menurutku begitu. Yang membuat mataku terpejam dan berdoa keras-keras adalah karena ia polio. Kaki kirinya mengecil dan tidak tidak bisa dipakai berdiri. Kaki kirinya bisa merespon sentuhan tapi tidak kokoh. Kaki yang selalu menjadi perhatian dan tanda tanya bagi anak kecil yang polos.

Waktu kecil dulu, dialah yang mengajakku kemana-mana. Tentu saja aku menjadi supir sepeda ontel. Dia orang yang hobi bicara, hobi bercerita, hobi menanggapi sesuatu, dan hobi yang berkaitan dengan mulut. Sehingga kita sedikit banyak akan cepat akrab dengan dia sekaligus mengetahui pikiran-pikirannya. Sebagai supir dan adik, dulu aku hanya mendegar apapun darinya. Aku hanya akan mengantarkan kemanapun ia pergi.

Dari Lamongan ke Tuban, aku pernah menjadi supir sepeda ontelnya. Melewati belantara hutan, jalan setapak, jalan menanjak, kerikil jalanan, bebatuan, dan semua jalan yang bisa diceritakan sudah aku lewati. Rupanya ia hobi jalan-jalan. Dengan caranya mengajak dan berbicara itu, aku yakin banyak yang ditularkannya kepadaku. Bisa jadi, hobiku jalan-jalan menular darinya.

Begitulah hingga aku kemudian keliling Indonesia, dan di suatu tahun 2013 aku berada di Jayapura. Ayahku memberi kabar bahwa kakakku sudah punya sepeda motor roda tiga. Uangnya, menurut ayahku, tentu saja dari dia. Sementara dari kakakku, itu uang dari dia sendiri. Dan aku boleh saja berasumsi, itu uangku dan uang ibuku. –kalimat terakhir tidak usah dipercaya–. Intinya,  dari Lamongan kakakku sudah berani naik sepeda motor sendirian ke Tubah untuk beberapa bulan.

Lalu tiba-tiba, suatu ketika ayahku memberitahukan, kakakku yang polio ini sudah berada di Surabaya menggunakan kendaraan belalang tempur itu. Aku kembali terkaget-kaget dan bertanya-tanya, apakah yang sedang terjadi? Ternyata ia berada di Surabaya dalam waktu yang lama, dan katanya: ia telah berhasil. Hingga aku pulang ke Jawa, aku tahu bahwa ia telah merantau dan berhasil memperoleh penghasilan yang luar biasa.

Ia bekerja sebagai tukang pijat dan mendapatkan penghasilan perbulannya seperti pegawai tingkat menengah. Bagiku, ini adalah kabar yang maha besar. Suatu kisah yang diciptakan tuhan, dan aku selalu bersyukur untuk itu. Karena dalam bayanganku dulu, aku akan menanggung seluruh beban keluarga. Mulai orang tua, ketiga kakakku, dan dua adikku. Mungkin kakakku satu ini hanya berfikir: paling tidak aku tidak menyusahkan orang lain. Dan itu adalah pemikiranku sejak SD hingga di perguruan tinggi.

Ternyata kakakku yang polio ini menunjukkan bahwa kecacatan tidak membawa pada kesengsaraan terus menerus. Ia persis seperti tokoh-tokoh video Youtube yang menginspirasi orang lain karena kecacatannya. Semacam tulisan, dia adalah orang cacat tapi bisa mencukupi kehidupannya sendiri. Dia mampun berhasil dengan kemampuan yang ia miliki. Lalu kenapa kalian yang normal tidak bisa bekerja lebih dan menghasilkan sesuatu yang lebih besar seperti orang cacat itu? Sering kan mengetahui hal ini?


Dan puncaknya hari ini, kakakku tiba-tiba memberi kabar sudah berada di Jember dengan belalang tempurnya. Kendaraan yang banyak menyusahkannya, dan banyak membawanya ke pengalaman baru. Tampaknya ia memutuskan akan tinggal di Jember dan meninggalkan Surabaya. Jarak Lamongan Surabaya adalah 3 jam sepeda motor kecepatan normal. Jarak Lamongan ke Jember adalah 6 sampai 7 jam berkendara. Sungguh, aku terkesiap dan menunggu apa rencana tuhan selanjutnya. Tentu saja aku bahagia dan berteriak keras-keras.

Aku memang tidak tahu apa dan bagaimana akhir kisah ini. Tetapi sebagai adik yang punya cita-cita yang luar biasa tinggi, kakakku yang satu ini membuatku terus bergelora. Ia akan berusaha dengan dirinya sendiri. Ia tidak harus menanggung beban keluarga besar yang kebutuhan duitnya melonjak terus menerus. Ia sudah cukup diberi ujian cacat sehingga pantas untuk bahagia. Karena bagi sebagian yang lain, kecacatan akan mematikan cita-cita hingga berakhir bunuh diri.

Itu adalah kisahnya, yang dalam perjalanannya banyak mendewasakan dan membuatnya belajar terus menerus. Sekarang memang giliranku, selalu akan menjadi giliranku.