2015-11-17

Kesadaran


Orang-orang yang gelisah, bisa jadi adalah orang yang paling sadar dalam berkehidupan. Ia terus berfikir,  terus menerus melihat ada yang tidak beres dalam dunia ini. Sementara yang lain sibuk dengan pekerjaan dan cintanya, orang yang sadar ini sibuk dengan memikirkan cara menyelamatkan dunia.

Ia menulis puisi, lalu berkelana. Ia membaca cerpen dan buku-buku sastra yang tinggi bahasa hingga merasakan dunia yang sesungguhnya merapat dalam sanubarinya. Orang-orang ini begitu yakin bahwa dunia bisa diubah menjadi lebih baik. Bersama beberapa orang lain yang memiliki hobi yang sama, ia merumuskan cara dan metode menyelamatkan dunia.

Lalu suatu ketika ia ditampar kenyataan. Menyelamatkan dunia adalah misi impossible yang berada di awang-awang. Semua orang yang sadar akan segera terbelalak karena dunia teramat bulat dan sukar dicari sudut-sudutnya. Kesadaran mula, yang dimiliki oleh mahasiswa dan pemuda bisa tiba-tiba menjadi kerdil saat ia keluar dari almamaternya. Dunia tampak congkak, dan butuh kecongkakan yang lain untuk menindihnya.

Jadi apakah bisa seorang yang sadar ini mengalahkan dan mengubah dunia?

Sudah lama kerendah hatian hanya menjadi bulan-bulanan. Orang baik tidak melulu harus bersinderela. Tidak perlu lagi sinetron menuntut laku kehidupan. Hanya sebuah pembodohan yang nyata.  Kebaikan-kebaikan hanya berakhir dalam ruang kosong, kejujuran menuju jurang, kerja-kerja kesenian yang pailit, tata kerama yang baik menyelimpet kerja-kerja taktis dan tidak efektif.

Jaman kekakank-kekanakan ini, orang baik perlu kuat, perlu pengikut sebanyak-banyaknya untuk meluluhkan kecongkakan dunia. Banyak kesombongan yang tak perlu obat, bahkan menjadi candu. Bisa dilihat, bagaimana cara mereka duduk di kafe-kafe dengan dompet menjerit. Orang-orang menakdirkan Minggu untuk berwisata dalam kepenuhan detik dan menit tiap harinya.

Sebetulnya, apa yang hendak kita perbuat untuk dunia ini? Kesadaran, mengandalkan kesadaran hanyalah menindihkan luka di atas luka. Berlipat-lipat kesadaran pun hanya akan menjadi pemuas saat menulis di blog lalu dibaca beberapa orang. Kita musti berubah, menjadi manusia super yang dapat memegang segala keangkuhan. Dengan begitu, keserakahan yang sudah lama berdiam dalam dada manusia akan menemukan tandingannya.

Orang-orang akan menemukan perpektif baru lagi. Mereka yang sudah punya kecenderungan serakah akan face to face dengan bangunan yang kokoh. Sementara orang-orang yang sudah lama di warung kopi dengan keluh kesah khas pemuda akan menemukan pahlawannya. Orang yang sadar, sekali lagi, orang yang sadar lalu memiliki segalanya akan berubah menjadi hebat.

Tetapi tidak semua orang sadar adalah orang yang tangguh, bukan? Ketangguhan adalah hal yang berbeda dengan kesadaran. Sementara sadar adalah pekerjaan mental, ketangguhan adalah mental dan fisik. Orang yang sadar bisa saja berfikir menyelamatkan dunia, tapi tidak ada jaminan bahwa ia akan mampu menanggungnya selama bertahun-tahun.

Ketangguhan datang dari kesungguh-sungguhan. Sehingga tuhan tidak menciptakan ketangguhan kepada setiap orang, karena kesadaran tidak dibangun di atas kata-kata, melainkan perbuatan.

Membangun ketangguhan, itu peniting. Orang yang penuh kesadaran lalu belajar tangguh, itu lebih penting lagi. Saat semua orang sadar menggeser kursinya guna di pakai orang yang sombong, orang yang tangguh ini menggeser kursi orang lain agar ia bisa duduk mewakili seluruh bangsa Indonesia. Tidak lagi dengan kata-kata, bahkan kebenaran menunjukkan kekuasaannya dengan tindakan yang tepat, terorganisir, dan terus menerus.

2015-11-10

Kenangan


Perasaanku menjadi sepi saat kukenangkan kembali masa perjalanan keliling ASEAN pada April lalu. Sungguh, aku tidak menanam apa-apa kepada teman-teman seperjalanan karena banyak hal yang memuakkan. Namun apalah daya, hati yang tiba-tiba menjadi melankolis saat kutatap satu saja foto perjalanan itu.

Aku seperti bunga kuning kecil yang bertaburan di Taman Lumpini. Sorot matahari sore yang kemuning di kejauhan menjadi cita-cita yang tak beraturan. Aku bertatapan dengan segala hal yang ambigu. Perasaan semacam ini, penting namun mengganggu, menggelisahkan namun nikmat, nyaman dan asyik tapi sakit.

Mataku mengerjap, dan semua perjalanan itu laksana mimpi. Saat aku harus menginap dengan orang yang baru saja kukenal beberapa hari ini dalam satu kamar besar. Berbagi kebahagiaan, berbagi kejengkelan, berbagi kedengkian, dan bebagi abon dan sambal terasi yang kami bawa dari Indonesia. Benar-benar sebuah kekosongan yang aneh.

Apakah hanya aku yang merasa seperti ini? Mungkin aku tipe orang yang melankolis. Aku menjadi senang menatapi satu-satu foto saat perjalanan itu. Dan yang paling menggetarkan adalah bagaimana hujan di Malaysia membuat perjalanan kaki kami terganggu. Hujan, selalu menyisakan sekeping sepi yang tak akan dapat kukembalikan kepada siapapun itu.

Sementara hujan berlangsung, suasana hati kami waktu itu sedang tidak menentu. Perpisahan dan perpecahan karena keegoisan dan ketidakdewasaan dalam menyikapi persoalan menemukan puncaknya. Kami memilih berpisah, tapi benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan kecuali mengikuti garis nasib yang telah kami tancapkan dalam jadwal perjalanan.

Hujan menderas, dan aku linglung. Aku menikmati hujan, tapi waktunya tidak tepat. Kami berjalan cepat-cepat ke Terminal Bus Puduraya untuk melanjutkan perjalanan ke Hatyai, Thailand. Saat itu hingga nanti negara ke delapan, Brunei Darussalam, kami akan berjalan tanpa ada seorangpun yang berpengalaman. Kami hanya percaya pada pertemanan pahit yang terbentuk tiba-tiba.

Semua orang memiliki kenangan pahit, atau manis, atau tidak disebutkan keduanya, lalu mengisi suasana tiba-tiba. Kenangan semacam ini tidak mudah dilerai, tidak bisa dipadamkan. Sewaktu-waktu, ketika kita memandang, mendengar, atau menyentuh sesuatu yang membawa asosiasi ke kenangan itu, maka jantung kita akan berdetak : dug, dan persendian menjadi linu.

Aku mengenang bagaimana Eka harus memutuskan untuk melakukan perjalanan sendirian bersama karibnya sejak SMP, Takeda. Ia yang paling paham persoalan luar negeri akhirnya pergi membawa kejengkelan, dan kami menyimpan kebencian meski tetap melangkah. Aku mengingat bagaimana harus bepergian dengan sekian orang perempuan, sedangkan aku adalah lelaki tanpa pengalaman sama sekali.

Memang akhirnya kebencian-kebencian menjadi sirna saat kami memutuskan untuk menjadi backpacker bahagia. Sangat disayangkan bagaimana pertemanan bisa menjadi rapuh tiba-tiba. Tapi demikian kenyataan yang tak pernah bisa ditolak. Karena hal-hal seperti inilah yang membuat kita dewasa, lalu menjadi lebih bersyukur saat Brunai Darussalam di depan mata.

2015-11-04

Berpaling Nasib



Aku tidak harus meminta maaf kepada diriku sendiri karena tidak bisa lebih teguh dari yang aku duga. Meskipun kegoyahan itu kadang menyelamatkanku, atau lebih tepatnya : sepertinya menyelamatkanku. Karena saat kita menolak suatu rencana, kita akan berpaling pada rencana lainnya. Hanya karena kita menjalani salah satu rencana, lalu kita menjadi yakin bahwa rencana yang sedang kita jalani adalah yang terbaik; padahal siapa yang tahu?

Keresahan dan keteguhan ini berhubungan dengan sesuatu yang pelik; urusan pekerjaan. Menjadi membingungkan saat pemuda dengan kepercayaan diri yang kuat menjadi plinplan terkait sesuatu yang teramat penting ini. Dan aku, adalah pemuda itu. Sebulan yang lalu aku merasa yakin akan keluar dari media yang mengenalkanku Kota Batu, Malang Voice, lalu tiba-tiba hingga bulan sekarang aku tetap bekerja sepenuh waktu bersamanya.

Aku tidak terkejut sama sekali dengan keputusan ketidakpindahanku dari media ini. Sungguh. Karena sebetulnya aku dipenuhi keraguan; keraguan yang sama; antara aku harus keluar atau tetap tinggal. Keraguan ini seperti sikap plinplan “kalau tetap di sini oke saja, kalau pindah juga oke saja”. Begitulah. Akhirnya aku tidak punya tanggung jawab apapun untuk meminta maaf, baik pada diriku sendiri atau kepada orang lain.

Orang lain ini adalah rekan wartawan yang hanya lima orang. Dua lainnya masih bekerja keras hingga saat ini bersamaku, dan dua orang lainnya sudah hilang entah kemana. Pertama kali memang kami yakin untuk keluar secara bergantian, namun suasana di kantor yang mendadak landai membuat kami berdebar-debar. Apakah keputusan keluar itu benar? Lalu tidak ada jawaban, semua menjadi hening.

Saat mengobrol dengan wartawan lain, kini, semuanya menjadi berbeda. Sebenarnya aku adalah orang baru dalam pertemanan dan pekerjaan mereka. Pimpinan redaksi, kepala marketing, dan empat rekan wartawan ini adalah satu kesatuan yang sejak awal membangun Malang Voice. Dari duka bersama, didengungkan menjadi kekuatan bersama. Muncullah media online itu, yang sebelum launching, aku datang dengan segala kepercayaan diri.

Meskipun aku yakin dapat mengimbangi kepenulisan para wartawan ini, rupanya aku salah. Tipe menulisku yang ala koran tidak berguna sama sekali di online. Banyak kalimat, frasa, dan kata yang harus dipangkas, dan menimbulkan teriakan di grup; mulai dari kekasaran normal hingga kekasaran lintas planet mengalamat padaku. Aku tabah, tersenyum dan geleng-geleng kepala. Meski pada suatu saat, aku merasa tidak sanggup lagi.

Menjadi wartawan dengan paling banyak kesalahan bukanlah hal yang menyenangkan. Berkali-kali bangun tidur, kita sudah merasa gelisah akan kehidupan yang pahit. Semenjak berita pertama pukul 06.00 WIB, emosi sudah menguasai grup. Dan itu semua berakhir pukul 21.00 WIB. Tidur dalam kegelisahan, kecapekan, ketidakpuasa, dan keesokan hari bangun dengan kekalutan yang sama.

Lalu, apa yang harus kulakukan selain keluar dengan alasan sudah tidak sanggup lagi? Iyup, betul. Karena pengalaman dan ilmu yang kudapat selama ini rupanya sudah diluar dugaan. Aku menjadi bisa menulis kalimat singkat tanpa embel-embel sama sekali. Tidak ada kalimat majemuk dalam media online. Aku faham, dan sangat bersyukur berada di media yang super amazing.

Dan begitulah, hingga saat ini aku masih tinggal dan bekerja dengan orang-orang ini. Berkali-kali pikiran ingin pergi datang, aku menepisnya. Menepisnya hingga suatu hari aku siap melanglang lagi, menuntaskan keinginan dan mimpi yang sepertinya menjauh. Dan beberapa rencana memang sudah terpatri, membisiki angin, suatu saat aku akan terbang lagi.

Okay, sebenarnya apa yang mendasari setiap keinginan manusia? Aku merasa beberapa hal menjadi tidak penting sama sekali. Apakah aku tetap bekerja di sini atau aku harus keluar lalu mencari pekerjaan yang lain. Tidak ada yang dapat menjamin apakah di sini lebih baik atau di sana lebih buruk. Semua hal, menurut beberapa motivator, tergantung penyikapannya. Saat aku bekerja dengan penuh cinta, di situlah aku akan bahagia –bullshit.

Bagaimana aku menjalani hidup, saat ini merupakan sesuatu yang ambigu. Tanggung jawab yang sudah muncul satu demi satu menjadikan hidup semakin aneh. Apakah aku benar-benar yakin dengan semua kehidupan ini? Beberapa janji ingin aku ingkari. Beberapa tanggung jawab ingin kubuang lalu kutinggal pergi. Segala-galanya, kalaulah boleh kukatakan sedang salah.

Sayangnya aku harus menyelesaikan apa yang telah kumulai. Bukan soal pekerjaan, tapi perkuliahan. Kepulanganku dari Papua yang mantap ingin melanjutkan master komunikasi merupakan konsekuensi paling penting. Dari kampung ini aku tidak bisa mengelak. Berkali-kali aku bilang pada diri sendiri, apapun yang terjadi perkuliahan tidak boleh dikorbankan. Dan memang, tidak ada yang perlu aku pilih guna meninggalkan kampus kecuali kecenderunganku untuk berkeliling lagi dan lagi.