2014-11-10

Memutuskan dengan Keyakinan

6 Desember 2016

Aku merasa telah menyelesaikan pencarianku terhadap seorang wanita. Dia datang sendiri dengan pesona seorang perempuan atraktif, humble, dan tentu saja menarik. Jauh berbeda dari perempuan yang ada dalam keningku; pemikir, filosofis, dengan senyuman misterius. Mengenalnya, aku sering kali harus menjadi seorang pemuda genit, sekaligus menjadi pria dewasa untuk menghentikan tingkah kekanak-kanakannya.

Sementara perjalananku terasa masih panjang, harus terenggut dengan rencana-rencana masa depan bersamanya. Menyenangkan membayangkan hal-hal seperti itu. Namun seringkali sebelum tidur, aku meraba-raba ketika suatu saat harus pulang ke kotanya. Akankah aku bisa menjadi besar dengan cara seperti ini? karena kita sering lebih bebas dengan orang asing yang tidak mengetahui sejarah kita, lalu membuat sejarah baru bersama-sama –dari pada kembali pada kota yang mengingatkan akan segalanya, bersama orang-orang dari masa lalu lagi.

Ya, di kota yang ditinggalinya itu, aku akan membagi waktu lagi dengan masa laluku. Orang-orang yang kusayangi, orang-orang yang kubenci, akan hidup lagi. Perjalanan itu, suatu hari nanti, kubayangkan seperti menyeberangii lorong waktu. Kadang menakutkanku sebagai seorang lelaki yang menyukai kebebasan, tetapi kadang menantangku, tapi kadang membuatku menjadi lebih pesimis dari biasanya.

Jika ada orang yang galau seperti ini, aku lebih sering menyarankannya untuk memutuskan hubungan. Aku bisa kejam karena aku ingin menjamin setiap orang yang bertanya padaku, bisa mencapai tujuannya dengan lebih baik dan akhirnya adalah kebahagiaan. Karena ketika orang tidak berani memilih jalan bahagia mulai dari awal, sangat jarang ia akan bisa bahagia di akhirnya. Ia akan lebih terbiasa untuk memutuskan sesuatu yang tidak membahagiakan.

Tetapi memutuskan hal ini bisa sangat menyakitkan. Aku pernah sekali memutuskan hubungan dengan seseorang yang tidak punya salah padaku, yang tujuannya baik, dan tentu saja cinta mati denganku; lalu aku seperti lelaki biadab dengan begitu saja mengucapkan ‘sebaiknya kita selesaikan’. Hal itu lebih baik, karena aku belum pernah menemuinya sekalipun. Jadi aku pasti dikutuknya, tapi aku lebih takut bila kebahagiaan tidak bisa diraih oleh dua orang yang sedang dalam masa paling meragukan waktu itu.

Lalu gerimis seperti menderas dari mataku sendiri. Mempertaruhkan keyakinan, masa depan, aku tidak muda lagi. Jika ini terjadi beberapa tahun lalu, jelas kutulis penolakan dengan yakin. Tapi saat ini, semuanya menjadi abu-abu. Aku seakan-akan menemukan jalanku, menemukan tempat di mana anak-anakku akan tumbuh dewasa. Lalu seperti masa muda yang terenggut, ada tempat baru yang wajib aku jelajahi.

Hal yang paling menakutkan adalah beradabtasi dengan lingkungan baru, tapi orang-orangnya adalah manusia lama yang telah mendapatkan posisinya di masyarakat. Kenyataannya, aku akan menjadi pemula di tengah teman-temanku yang mulai mapan, mulai menggenggam tujuan, dan aku meringkih dari awal lagi. Bukankah ini sesuatu yang menyakitkan? Terutama karena dulu aku dikenal sebagai sosok tangguh yang tidak mudah menyerah, dengan optimisme kesuksesan berlebihan.

Mungkin jika kuutarakan kepada perempuan itu, dia akan dengan tegas menjawab; masa demi aku, kamu gak bisa sukses di sini? Itu pertanyaan klise, pertanyaan yang menjebak kaum adam untuk menjadi tumbal percintaan. Betapa berat beban yang harus ditanggung oleh seorang lelaki yang tidak becus menafkahi keluarganya. Perempuan tidak pernah salah dalam hal ini. Dan jika kemudian merelakan aku pergi demi cita-citaku sendiri, lalu apakah jaminan kebahagiaan telah begitu erat terpaut padaku? Rasa-rasanya tidak, dan dia dengan tempat dari masa lalu itu, pantas untuk ditakhlukkan.

Jadi, kebahagiaan haruslah diusahakan bukan? Lagipula, sebagaimana yang telah aku ketahui dari perjalananku selama ini, bahwa hal yang paling menyakitkan adalah ketika kita bahagia seorang diri. Menikmati segala keindahan alam, keluasan dadaku, menikmati kebebasan, menikmati pemikiran-pemikiran; seorang diri, adalah adalah sesuatu yang sakit.

Maka dari itu, sedikit demi sedikit aku harus yakin dan benar-benar meyakinkan diriku sendiri akan keputusan ini. Aku jauh, dari siapapun, termasuk kedua orang tuaku yang kadang tidak masuk dalam pertimbangan disetiap pengambilan keputusanku. Tetapi untuk saat ini, barangkali yang terbaik adalah memasukkan kedua orang tuaku yang masih hidup sebagai tujuan terdekat. Aku harus pulang, meskipun aku tahu kesuksesan di perantauan jauh lebih menggoda.

Maka dari itu, aku telah memutuskan untuk membenahi cara hidupku yang seorang diri, menuju kehidupan bersama orang lain. Dari sanalah kami akan menempuh bahagia. Dus, terimakasih telah datang padaku dengan cara yang paling aneh.


2014-11-02

Menginspirasi Jayapura



Kelas Inspirasi Jayapura membuat gebrakan dengan menghadirkan 20 relawan pengajar yang sudah berpengalaman di bidangnya ke 7 Sekolah Dasar yang ada di Kota Jayapura. Mereka membagi pengalaman, menyalakan semangat, dan menginspirasi anak-anak untuk terus mengejar cita-citanya meskipun dalam tempat yang terbatas.

Fathul Qorib – Jayapura

Sabtu (1/11) pagi, sekitar pukul 07.15 WIT, suasana di Sekolah Dasar Negeri Inpres Yoka Pantai, Distrik Heram, menjadi riuh dan mendebarkan. Siswa-siswi yang mengenakan baju pramuka dengan berbagai warna itu banyak yang berkerumun, berbisik-bisik, dan sebagian memandangi tiga orang “pengajar baru” yang berdampingan dengan para guru di halaman sekolah.

Anak-anak yang semula berlarian atau bergelantungan di tiang basket langsung merapat, membentuk barisan layaknya pasukan yang hendak melakukan perang. Panitia Kelas Inspirasi kemudian memperkenalkan diri, termasuk ketiga pengajar yang akan belajar bersama mereka tiga jam ke depan.

Usai perkenalan, salah seorang siswi yang memiliki suara emas menghentakkan tangannya membentuk birama 4/4. “Hiduplah Indonesia Raya...” lengkingnya. Sedetik berikutnya, puluhan siswa menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan semangat dan kompak. Memang belum ada penjiwaan terhadap lagu itu, tetapi kepolosan mereka sudah cukup menjadikan lagu ini bermakna.

Setidaknya, di enam sekolah lain yang ada di Kota Jayapura juga mengalami hal yang sama. Para relawan pengajar yang dengan senang hati ikut dalam program Kelas Inspirasi ini tentu membuat para siswa bertanya-tanya mengapa hadir di sekolahnya. Lalu apa yang diajarkan para profesional ini kepada para siswa?

Relawan Pengajar yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda, sebutlah beberapa : dosen, peneliti, wartawan, fotografer, widyaiswara, pegawai bank, PNS, dan lain sebagainya. Mereka hadir dengan hati terbuka untuk memberitahukan kepada para siswa bahwa merekapun bisa bercita-cita seperti dirinya.

Bagi para wartawan misalnya, mengajarkan kepada siswa bagaimana menariknya pekerjaan menjadi wartawan itu. Bagi seorang fotografer, mereka akan sharing bahwa pekerjaan mereka adalah memburu gambar-gambar yang menarik sehingga bisa dilihat orang banyak, dan bagi seorang dosen, tentu bisa bercerita bahwa merekalah yang mendidik para guru sehingga menjadi pengajar yang hebat bagi siswa-siswi SD.

“Saya senang sekali bisa berpartisipasi menjadi relawan pengajar di Kelas Inspirasi ini. Dan saya menjadi tahu, bahwa profesi saya sebagai wartawan itu anak-anak sangat awam sekali sehingga mereka tak satupun yang memiliki cita-cita menjadi wartawan,”cerita Victor Mambor, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Papua, sembari tertawa.

Victor yang kebagian mengajar di SD YPK II Ardipura, Distrik Jayapura Selatan, itu merasa bahwa Kelas Inspirasi seharusnya bisa dijadikan agenda rutin karena bisa membuka cakrawala bagi para siswa. “Prinsip dari Kelas Inspirasi ini kan sekali saja kita mengajar, dan diharapkan mampu menginspirasi mereka selamanya. Jadi ya saya harap para siswa ini selalu ingat dengan mimpi dan cita-cita mereka yang saya kira cukup realistik,”tandas Pimpinan Redaksi Jubi tersebut.

Para pengajar di SDN Inpres Yoka Pantai sendiri juga merasakan hal yang sama. Sebut saja, seorang Fotografer Papua, Natalie J Tangkepayung. Dia yang sebelumnya pernah bekerja di WWF Indonesia Program Papua tersebut menyatakan bahwa siswa-siswi belum faham betul mengenai beragamnya profesi yang bisa mereka jadikan sebagai cita-cita.

Maka dari itulah, pada saat mengajar, dia menggunakan berbagai macam cara agar siswa-siswi tersebut memahami bagaimana pekerjaan seorang fotografer. Pada kesempatan pertama, dia membuka seluruh album foto yang dimilikinya, membuat para siswa terbuai ataupun tertawa saat melihat hasil jepretan Lie, sapaan akrab Natalie.

Dari sana kemudian Lie memadu-padankan dengan buku teks yang memuat gambar-gambar khusus sehingga bacaan menjadi lebih menarik. Dari sini, para siswa menjadi sedikit lebih faham, mengapa ada gambar dalam buku-buku, dan mengapa dibutuhkan seorang fotografer. Dikesempatan akhir, Lie meninggalkan kesan yang berharga pada saat memotret wajah para siswa lalu diperlihatkan satu persatu kepada mereka.

“Pendidikan di sekolah perlu dibuat menarik agar semangat dan keinginan siswa untuk belajar menjadi besar. Kreativitas dan variasi dalam pelajaran sekolah akan memicu keingintahuan dan memupuk semangat belajar mereka,”kata Lie kepada Cenderawasih Pos usai mengajar.

Cara mengajar dari masing-masing relawan ini berbeda-beda tergantung profesi. Widyaiswara seperti Burhanudin, misalnya, lebih banyak menggunakan media menyanyi dan menari untuk mengenalkan profesinya. Sebagai seorang pengajar “pendiklat” yang memiliki jangkauan luas, Burhanudin memiliki bertumpuk cara untuk membuat setiap siswa tetap semangat dalam belajar.
 

 Misalnya saja dalam hal berhitung, dia menggunakan metode bernyanyi sembari membentuk angka dengan tubuh. Para siswa yang diajak untuk menyanyi dan menari itupun langsung semangat, tertawa-tawa, dan belajar menjadi tidak membosankan. Bahkan untuk menguatkan nalar para siswa, Burhanudin memiliki berbagai metode, mulai dari analogi dengan metode permainan, hingga tepuk tangan dan “lagi-lagi” nyanyian.

“Kita diberi waktu singkat untuk mengajar mereka, dan kesan mendalam harus mereka dapatkan. Apalagi untuk mengenalkan profesi widyaiswara itu bukan pekerjaan yang mudah, maka dari itu saya menggunakan berbagai metode pembelajaran kepada para siswa, karena memang itulah sejatinya yang saya lakukan setiap kali mentraining para calon trainer,”ujar Burhanudin yang siang itu langsung bertolak ke Jakarta untuk memberikan training.

Kordinator Kelas Inspirasi Jayapura, Alfrison Paloga, yang kebetulan menjadi kordinator Sekolah Luar Biasa Buper Waena, mengatakan bahwa Kelas Inspirasi adalah anak organisasi dari Indonesia Mengajar yang digagas oleh Anis Baswedan –Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah saat ini. Hari Sabtu (1/11) lalu, disebut sebagai Hari Inspirasi, dimana para profesional secara serentak mengajar ke sekolah-sekolah yang telah seleksi oleh Tim Kelas Inspirasi Jayapura.

Adapun Kelas Inspiras Jayapura sendiri merupakan yang pertama di Papua, dan yang 66 kalau dihitung dari Kelas Inspirasi yang diadakan di seluruh Indonesia. Menurut Alfrison, Kelas Inspirasi Jayapura digagas untuk mengenalkan beragamnya profesi kepada para siswa SD sehingga mereka bias memilih profesi mana yang bisa menjadi cita-cita mereka.

Dalam menggapai cita-cita yang sesuai dengan profesi itu, lanjutnya, yang perlu ditekankan adalah pentingnya pendidikan. Kelas Inspirasi Jayapura tidak memilih profesional yang tidak memiliki ijazah S-1 karena hal itu akan berkebalikan dengan tujuan Kelas Inspirasi, agar anak-anak bisa meraih pendidikan setinggi-tingginya guna mencapai cita-cita tersebut.

“Yang perlu saya sampaikan adalah bahwa prinsip kita memang tidak menggunakan sponsor, tidak ada imbalan, dan hendak mengajar seluruh orang dari dirinya sendiri untuk bisa menyumbangkan apa yang mereka punya. Beberapa perusahan memang berniat menyokong kami, tapi kami tampik. Dan buktinya, relawan panitia dan relawan pengajar malah berdatangan,”ujar Epidemolog di Kantor Kesehatan Pelabuhan Jayapura itu.

Mewakili Kepala Sekolah SDN Inpres Yoka Pantai, Amanda Wamblolo, juga mengucapkan terimakasihnya kepada para Relawan Kelas Inspirasi Jayapura. Menurutnya, kegiatan seperti itu memang patut untuk diadakan secara rutin, karena rata-rata sekolah yang ada membutuhkan guru yang bisa memberikan suasana berbeda dalam pembelajaran.

Adanya penempelan cita-cita dari para siswa di Pohon Cita-Cita yang dibuat bersama, menurut Amanda, akan ditempelkannya terus di kelas tersebut sehingga bisa diingat oleh seluruh siswa yang ada, bahwa cita-cita itu harus betul-betul terjadi. “Saya akan pantau perkembangan siswa-siswi, dan semoga cita-cita yang ditularkan oleh relawan pengajar Kelas Inspirasi bisa menjadi nyata,”tandasnya.

*oleh Fathul Qorib, dimuat oleh Koran Cenderawasih Pos