2013-03-20

Cinta


Beberapa hari ini, mbak Dzikry, si penulis buku-buku cerita islami masa ketika aku masih kecil itu, sedang giat mencari referensi tentang cinta. Meskipun aku juga masih belum memahami secara benar bagaimana cinta itu, sedangkan pengetahuan datang bertubi-tubi tanpa bisa kita tangkap secara keseluruhan, maka aku juga masih punya hak dan kewajiban untuk menuliskannya.

Membicarakan cinta, seakan kita sedang masuk ke dunia semua orang. Kita seakan menulis orang lain sedangkan kita belum pernah bertemu dengannya. Mengapa demikian? Tak lain karena semua orang mengenal cinta, merasakannya, tahu keberadaannya, tetapi saking personalnya cinta itu, maka kita memiliki pemikiran dan pengertian yang berbeda. Maka dari itulah menulis tentang cinta itu sulit. Sulit karena penulis harus bisa merangkum semua pengetahuan tentang cinta, bukan hanya menuliskan cinta yang berdasarkan pengalamannya, tapi cinta yang juga berdasarkan pengalaman pembaca, orang lain, bahkan berdasarkan kisah dalam buku. Intinya, penulis harus tahu apa yang dituliskannya.

Cinta itu abstrak, immateri, intangible, untouchable, misterius tapi bukan sesuatu yang impossible untuk difahami. Karena ketakterlihatannya tersebut, maka kita bisa berdebat apapun tentang cinta, hingga serak tenggorokan, hingga menangis, dan kita tetap kuat di posisi masing-masing. Mempercayai cinta itu ada, seperti percaya kepada sesuatu yang tidak terlihat lainnya, sebagaimana percaya kepada tuhan, percaya kepada masa lalu orang lain, juga percaya kepada kekuatan tersembunyi dalam diri kita. Lagipula masih banyak hal yang tak tersentuh yang harus kita percayai, hanya bermodalkan percaya.

Lalu aku melihat beberapa dari kita yang memang enggan percaya kepada cinta. Ini agak menarik, aku melihat hal tersebut sebagai mekanisme perlindungan terhadap jiwanya. Persis rasa sakit yang melindungi tubuh kita dari kerusakan yang lebih parah. Misalkan ketika tidur ada api yang membakar dipan hingga merembet ke kaki kita. Jika tidak ada rasa sakit, maka kita tidak akan terbangun untuk mematikannya, tapi akan terjaga keesokan paginya dengan kaki setengah matang untuk sarapan. Begitu juga rasa kantuk, yang menjaga kita dari tidur mendadak saat menyetir mobil, menaiki motor, sehingga kita bisa beristirahat untuk tidur lalu melanjutkan aktifitas. Maka begitulah orang-orang yang tidak percaya kepada cinta.

Mereka bisa jadi adalah seseorang yang rapuh, yang mudah sekali jatuh cinta (bagi laki-laki) atau mudah sekali terbujuk rayuan gombal (bagi perempuan). Mungkin pada masa lalu ia pernah percaya kepada cinta, menyerahkan hidupnya untuk yang dicintainya, tapi tiba-tiba keadaan tidak membaik, malah jalinan cinta tersebut pudar dan menyisakan rasa sakit yang tiada tara –yang mereka beruntung tidak melakukan upacara bunuh diri. Setelah melewati masa berkabung, ia boleh mengenal cinta lagi, merayakan cinta dengan orang baru, lalu pada suatu hari di musim hujan, ia di khianati karena kekasihnya bergandeng mesra dengan orang lain. Orang-orang inilah yang kemudian tidak percaya lagi kepada cinta, menjadi apathis, dan muak dengan segala macam perasaan tentang hubungan lawan jenis.


Namun di atas semua itu, sesungguhnya ia masih percaya, hanya saja, pengalaman tidak mengajarinya demikian sehingga ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak percaya, hanya agar hatinya tidak lagi terjebak, hanya agar dirinya tidak merasakan sakit yang sama. Inilah mekanisme perlindungan jiwanya, yang rapuh. Entah untuk sampai kapan, yang ia tahu adalah, nanti segala sesuatunya akan tiba. Dan bagi orang lain yang juga tidak percaya kepada cinta, mungkin hanya belum belajar tentang cinta. Ia belum tahu bahwa cinta merupakan sesuatu yang bisa dibuktikan –dilihat dan dirasakan. Karena bahkan sesuatu yang abstrak seperti ini, sudah bisa dijelaskan dengan teori layaknya ilmu pengetahuan yang lain.

Aku sebagai pemuda yang percaya kepada cinta, kadang-kadang harus mereka-reka sendiri bagaimana seseorang dikatakan jatuh cinta, atau bagaimana aku menandai diriku ketika sedang jatuh cinta. Pernah suatu kali aku membuka diskusi tentang cinta di sebuah forum chat, yang anggotanya sudahlah mahasiswa, ada yang master, ada yang sudah menikah, dan seseorang lebih tua, sudah menikah, yang paling bijak diantara kami, memberi saran ke salah satu anggota yang akan menikah, bahwa “dalam perkawinan, kita tidak cuma butuh cinta. Tapi kita perlu komitmen, kesetiaan, pengertian, komunikasi…” aku langsung berfikir, maksudku, mengelus dada, mengapa kesimpulannya bisa seperti itu. Dan ia yakin sekali mengucapkan hal tersebut, sekaligus meyakinkan orang-orang lain.

Yang ingin kukatakan adalah, bahwa komitmen, setia, pengertian, komunikasi yang baik itu adalah unsur pembentuk cinta. Jika salah satu dari unsur tersebut berkurang, maka berkurangpulalah cinta tersebut dari kesempurnaan. Banyak orang dari kita menganggap bahwa cinta itu sama artinya dengan kemesraan yang berbau seksual. Ini sebenarnya tidak salah, hanya kita kurang berfikir holistik untuk mengatakan sesuatu tentang cinta. Kita masih parsial, memahami dari sudut-sudut ruang yang miskin, padahal cinta sendiri itu sungguhlah energi yang kaya. Tuhan saja, menciptakan dunia ini dengan energi cinta, dan dalam hukum kekekalan energi mengatakan bahwa cinta bisa berubah, dari satu bentuk ke bentuk lain, tapi tidak bisa musnah (maaf tidak ada hubungannya).

Maka kita mesti merekonstruksi ulang pemikiran kita tentang cinta. Paling tidak, bagi kita yang merasa sudah final dengan kehidupan ini. Berbeda dengan Mbak Dzikry yang meskipun sudah menikah namun masih terus mencari-belajar tentang cinta, orang lain justru menganggap bahwa masa cinta yang bahagia berakhir ketika kita sudah menikah. Lihat saja joke-joke di televisi, kemudian film yang mendapat perhatian besar seperti The Hangover 1 & 2, yang membuat gambaran bahwa menikah adalah berakhirnya masa muda yang bahagia, masuk ke dalam rutinitas yang membosankan, terkurung dalam janji dan komitmen, dan sebagainya-dan sebagainya. –sebagai referensi baca Why Men Lie by Barbara & Allan Pease

Aku membaca buku Mengikat Makna-nya Hernowo sekilas-kilas, lalu menemukan tulisan yang kurang lebihnya : pandangan mata atau berita yang didengar yang bisa melahirkan rasa senang disebut ‘Aliqa, apabila melebihinya sehingga terbetik untuk mendekat maka dinamai Mail. Dan bila keinginan itu mencapai tingkat kehendak untuk menguasainya maka dinamai Mawaddah. Bila seseorang bersedia berkorban atau membahayakan dirinya demi kekaksihnya dinamakan Al ‘Isyq. Sedangkan jika cinta telah memenuhi hati seseorang sehingga tidak ada lagi tempat bagi yang lain maka dinamakan At Tatayum. Jika ia tidak lagi dapat menguasai dirinya atau tidak mampu lagi berpikir membedakan sesuatu akibat cinta maka keadaan ini dinamai Walih.

Semua kata di atas, adalah tentang cinta. Aliqa, mail, ‘isyq, tatayum, semuanya adalah cinta, hanya kualitasnya saja yang berbeda. Tulisan di atas bisa menjadi pengetahuan yang berharga bagi kita yang belajar tentang cinta. Karena kata-kata dalam bahasa arab tersebut telah di bagi berdasarkan tingkatan kualitasnya oleh Ibnu Qayyim Al Jauziy, yang bisa pula kita terapkan saat kita menghadapi situasi cinta.

Saya dulu menyangka bahwa anak muda sekarang, yang suka pacaran, itu bukanlah cinta. Seorang jejaka yang selalu keluar rumah ketika seorang gadis pujaannya lewat, itu bukan cinta. Seorang gadis yang menunggu sms-sms pacarnya juga bukan cinta. Apalagi tipikal anak muda sekarang yang mengatakan cinta hanya karena tertarik denga fisik pasangannya, sungguh itu bukan cinta. Semua hal tidak kukatakan cinta kecuali sudah melampaui tiga tahap seperti yang ditulis oleh Sternberg (1) : intimacy, passion, dan commitment. Namun semua buku ini akhirnya merubah pandanganku tentang cinta sama sekali. Aku menjadi lebih faham, dan dalam beberapa kasus, menyelesaikan perselisihan beberapa adik tingkat yang sedang galau dan stress akibat ketidakmengertian mereka tentang cinta, juga menambah pengetahuanku.

Semuanya adalah cinta, atau lebih tepatnya awal dari cinta. Ketika anda terpukau dengan kecantikan seseorang, maka buatlah komitmen kepadanya bahwa kalian akan hidup bersama hingga tua, hidup nyaman sebagaimana anda dengan sahabat-sahabat anda. Jika anda telah menemukan seorang yang sangat mengerti anda (bisa jadi itu sahabat anda sendiri), maka buatlah komitmen kepadanya untuk saling menjaga hingga tua bersama, besarkan anak-anak dengan penuh cinta. Dan jika anda yang sudah berkomitmen kepada seseorang yang terlanjur di pasangkan oleh ortu, maka temukanlah hal-hal yang bisa membuat kalian bersatu seperti seorang sahabat, mulailah saling memahami, dan berjanji hingga tua bahagia. Maka semuanya bisa menjadi awal dari cinta sejati yang didambakan oleh setiap orang.

Seorang gadis cantik pernah mengatakan kepadaku akan ketakutannya kepada setiap orang yang mendekatinya. Apakah orang tersebut datang karena kecantikannya? Atau datang murni karena cinta? Ternyata dia sadar bahwa dia cantik. Aku tersenyum, lalu berkata seperti seorang ahli dakwah “jangan takut. Jika seseorang mencintaimu karena kamu cantik (dalam hal ini mengarah kepada segala sesuatu yang berbau hormonal -passion), maka itu adalah awal kebahagiaan kalian. Tinggal kau melengkapi bagian yang lain, yaitu bagaimana kalian bisa saling merasa nyaman sebagaimana sahabat (intimacy), dan melanjutkan ke tahap berikutnya; menikah (commitment)” jika anda sudah memiliki ketiganya, maka sempurnalah cinta kalian.

Kita yang tidak cantik, tidak kaya, tidak tampan, tidak gagah, tinggi semampai, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan fisik, cenderung menilai buruk kepada orang lain yang lebih tampan atau cantik. Kita biasa mengungkapkan “biarlah dia cantik, tapi hanya luarnya” dan dengan begitu menganggap diri sendiri lebih cantik secara rohani. Ini bukan sesuatu yang untuk di olok-olok. Semua ada bagiannya tersendiri. Jika anda cantik secara fisik, maka perbaikilah sikap dan hati anda karena kecantikan fisik tidak dibutuhkan saat anda tua. Dan bagi anda yang cantik akhlaknya, beruntunglah anda, dan semoga mendapat pasangan yang ganteng imannya.

Dari sini, aku sangat percaya bahwa cinta itu bisa dipelajari oleh siapa saja. Bahkan cinta harus disengaja, harus dibangun, diperbaiki, diperbarui, sebagaimana kita dengan rumah kita. Cinta memiliki bagian-bagiannya, jika kita tidak menyempurnakannya, maka kita tidak akan merasa nyaman di dalamnya.  Maka dari itulah, aku juga setuju kalau kita tidak jatuh cinta, tapi membangun cinta. Paling tidak itulah yang di ajarkan dalam agamaku. Bahwa kita tidak diperbolehkan pacaran, semata-mata agar kita membangun cinta dengan seorang pasangan seiman yang tiba-tiba hadir, hidup bersama kita, berbagi rahasia, dan saling melayani. (ada film Fireproof yang wajib di tonton oleh seorang laki-laki agar bisa membangun cinta).

Dengan kepercayaanku tersebutlah, aku bisa merencanakan kepada siapa aku akan jatuh cinta, dan bilamana harus terjadi, saat aku terpaksa membenci orang yang kucintai.


Ket :
(1) Teori Segitiga Cinta oleh Stenberg bisa dibaca di sini : Menyibak Cinta

2013-03-15

Midnight In Parepare

Semasa kecil, ketika orang tuaku sibuk melarang anaknya agar tidak memakan sayap ayam, aku malah selalu mencuri-curi sayap tersebut. Mitos ini entah terjadi di seluruh jawa atau cuma terjadi di rumahku saja, aku tidak tahu. Setiap ada sayap ayam (jawa: suwiwi) tersebut, ibuku akan menyembunyikannya. Menurut beliau, seorang jejaka atau gadis yang makan suwiwi akan menikah dengan orang yang jauh, dan beliau tidak mau jika anak-anaknya mendapatkan suami/istri di tempat yang jauh. Aku agak yakin bahwa ini merupakan pengaruh dari ayahku, karena ibuku terlihat tidak memiliki latar belakang mistis mengenai segala sesuatu, sedangkan ayahku adalah salah seorang keturunan pemelihara Jin.

Tapi permulaan itu seharusnya salah, karena sekarang aku tengah melakukan perjalanan penemuan diri, bukan penemuan istri. Jadi ini tidak ada hubungannya dengan suwiwi bersama mitosnya, hanya saja aku menganggap bahwa perjalanannku ini mungkin suatu saat, menghasilkan hubungan dengan banyak perempuan lintas kota, lintas pulau, yang bisa saja salah satu dari mereka adalah seseorang yang duduk di sisiku hingga tua bersama. Mungkin saja, dan yang lebih aneh, itu mungkin disebabkan oleh suwiwi yang kucuri sewaktu kecil. Ah, aku mulai menghayal.

Hingga suatu malam, sekitar pukul setengah dua pagi, aku tiba di sebuah kota yang jauh dari bayanganku. Aku berada di kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kota ini, pada malam hari agak memiliki kemiripan dengan Paris (dream mode on). Aku membuktikan bahwa Pare pada malam hari, berbeda dengan Jakarta atau Surabaya ketika malam, juga berbeda dengan desa-desa di sepanjang pulau Jawa. Parepare merupakan kota kecil yang ramai, lampu jalanan sudah menjadi seni indah, papan billboard, gemerlap pub di pinggir pantai. Itulah yang pertama kali kutangkap.

Di sebuah lampu merah aku (di)turun(kan) dari bus bertuliskan Pipposs untuk tujuan Pollman (Polewali – Mandar). Susah mencari bus untuk jurusan Parepare karena kebanyakan dari mereka tidak melalui kota. Diantar oleh salah seorang sahabat baru, aku mencari-cari di Terminal Daya Makassar bus yang menuju ke Parepare. Cukup lama kami memantau beberapa bus tangguh yang keluar terminal tapi tidak satupun yang menuju Parepare. Kami akhirnya menuju ke hulu bus, masuk ke Terminal, dan bertanya ke semua bus yang ada di sana. Aku pantas bersyukur karena mendapatkan salah bus AC yang dingin dan meluncur dengan kecepatan tinggi –meskipun aku harus menjadi penumpang gelap karena di suruh menunggu di luar terminal yang jauh dari pandangan petugas jaga, juga naik dari tempat yang gelap bersama teman baruku itu –yang alhamdulillah juga agak gelap.

Jadi di Pareparelah aku berada. Berdiri di bawah lampu merah yang cuma berkelip kuning tiap dua detik. Sebenarnya aku sampai satu jam lebih awal, maksudku jam setengah satu, dan menikmati malam yang eksotis tersebut. Mari kita membayangkan kota Parepare pada malam hari. Tidak ada keramaian sama sekali, sedangkan lampu jalanan kota begitu terang benderang. Hanya ada satu dua taksi yang melintas, atau seseorang yang sedang mendorong gerobak makanan. Langit cerah, tidak ada suara-suara, jalanan lengang, seperti lorong-lorong kota yang ada di Paris, begitu fantastis dan imajinatif.

Ini berbeda ketika kau berdiri di kota terdekatnya, Makassar misalnya. Kau bisa saja berdiri hingga jam tiga pagi, tapi tidak akan kau dapatkan lorong-lorong semenarik ini, juga tidak ada lampu merah sesepi tempat ini. Apalagi di Surabaya, bukan? Aku di sini bisa menari, tidur telentang di perempatan seperti film The Notebook sambil was-was kalau ada mobil yang melintas, menyanyi-nyanyi sendiri, dan jingkrak-jingkrak. Tertawa lepas menertawakan kebodohan dan kebahagiaan yang kualami. Sungguh, Parepare sungguh begitu wah malam itu.

Setelah berjalan melewati beberapa lorongnya sedikit-sedikit, aku mencoba telpon temanku. Teman baruku juga, seseorang yang sabar, baik, positif, pengertian, jujur, pandai menabung, tidak sombong, dan segala sifat baik yang bisa kau dapatkan dalam kamus, bisa kau sematkan padanya. Tapi tidak diangkat padahal dari tadi ku sms-an. Lalu aku sms saja, siapa tahu dia sedang membuat banner dan spanduk untuk menyambut kedatanganku. Jadi aku sms sambil melanjutkan kegiatanku ketika tidak ada orang, bogil; bodoh dan gila. Tiga detik kemudian dia membalas smsku dan berjanji secepatnya menjemputku di lampu merah Labbukan.

Aku lihat matanya yang berbinar ketika pertama kali menemukanku, sebinar mataku. Tapi aku tahu bahwa dia sudah mengantuk, dia orang baik yang suka sibuk demi orang lain. Aku berharap bahwa dia akan membawaku pulang, mengenalkanku pada keluarganya, lalu pergi tidur. Tapi tidak, dia mengajakku makan nasi uduk yang dikasih kuah santan dengan sambal cair dan telur bundar. Aku lupa namanya, sepertinya itu makanan yang memang hanya tersedia tengah malam. Setelah makan, harapanku yang pertama tak kunjung dikabulkan, dia mengajakku berkeliling kota Parepare. Aku melonjak kegirangan meskipun aku tahu bahwa temanku ini sedang capek –terlihat dari matanya yang memerah.

Kami berkeliling menggunakan skuter, mengelilingi kota Pare yang naik-turun, mengingatkanku kepada Gill Pender yang tersesat di Paris pada tengah malam dan bertemu Hemingway atau Piccasso. Yang kutemukan di sini adalah rumah masa kecil Habibie yang sudah berubah menjadi warnet, dan aku tertawa sambil gelengkan kepala. Juga rumah Andi Mallarangeng semasa masih belum kaya di Jakarta, juga seorang polisi yang berbincang dengan waria cantik.

Malam itu, tengah malam di Parepare, serasa tengah malam di Paris -tontonlah film Midnight in Paris. Aku bisa membayangkannya.

Jika Bahagia Itu Sederhana

Beberapa hari yang lalu, juga hari ini, aku melihat ada banyak orang yang berfikiran yang sama, yaitu sebuah kesimpulan bahwa bahagia itu sederhana. Tidak tahu dari mana mereka menyimpulkan seperti itu. Yang aku bingungkan adalah mengapa hal tersebut diungkapkan dalam waktu yang bersamaan, maksudku, mungkinkah karena mereka melihat sebuah acara secara bersamaan? Dulu-dulu tidak satupun dari mereka yang menggumamkan hal tersebut.

Kejadiannya seperti virus yang ditularkan oleh berbagai macam iklan atau film yang sedang ngetrend. Jadi bahkan, untuk menyimpulkan sebuah kebahagiaan saja, butuh semacam trend. Aku tidak tahu yang berada dalam lingkup lebih besar karena aku hanya membaca status-status yang terpampang di beranda facebookku. Apakah mereka –secara kebetulan adalah anggota penyala makassar- mengikuti grup motivasi yang sama?

Kebahagiaan sungguh merupakan sebuah misteri, dia bisa saja sederhana, sesederhana sesuatu yang tidak pernah kita pikirkan. Bahwa setiap kita bernafas di pagi hari, ketika kita bisa memejamkan mata untuk tidur malam, ketika kita menggandeng tangan sahabat, atau ketika kita tahu ada orang yang begitu mencintai kita; semua itu adalah kebahagiaan yang mungkin bisa menjadi sangat sederhana dan bisa juga menjadi sangat rumit. Karena meskipun rasanya sepele, banyak manusia yang tidak memperolehnya karena memang belum beruntung. Jadi kebahagiaan yang bagaimanakah yang di cari oleh manusia?

Bahagia itu tidak hanya bersifat sesaat. Bahagia itu seharusnya sesuatu yang dalam dan berpengaruh besar pada kejiwaan kita. Kita ambil contoh saudari Ikes Dwiastuti yang menulis status pagi ini: bahagia itu jika saya memandangi payung di bawah hujan dan payungku berubah menjadi berbunga, lalu memasang hastag #bahagiaitusederhana. Ini menjadi sesuatu yang membinngungkan. Saya menjadi agak kecewa dengan pemahaman ini. Saya jadi menyimpulkan bahwa kepercayaan semacam bahagia itu sederhana merupakan hal abstrak yang perlu dicarikan pencerahan.

Ini mengingatkanku akan tulisanku masa lampau yang berjudul “Aku Ingin Mencintaimu Denga Sederhana” yang saya sadur dari pamahamanku akan puisinya Sapardi yang berjudul “Aku Ingin”. Buktinya, dalam puisi tersebut, cinta itu tidak sesederhana seperti yang dituliskan oleh Sapardi. Bahkan dalam puisi tersebut, sebenarnya menggugat bahwa cinta itu tidak sederhana sama sekali. Mungkin seorang perempuan akan mabuk kepayang ketika diucapkan puisi tersebut kepadanya, namun kita sangat tahu bahwa cinta yang seperti apa yang bisa dihadirkan oleh kekasihnya. Pasti sangat jauh dari apa yang diucapkan oleh Sapardi dalam puisi tersebut. Sederhana dalam puisi tersebut, berarti rela mati demi kekasihnya, rela tetap mencintai meski di hujat, diinjak, dibakar dalam nyala api. Apakah itu sederhana?

Kita mungkin berada dalam suatu pemahaman yang sangat sulit ketika mencatutkan kalimat bahagia itu sederhana. Kita bisa memudahkan diri sendiri dengan mencari-cari hal yang memang menyenangkan, tapi apakah itu membahagiakan? Misalnya, bahagia itu jika aku berada di puncak bukit dan merasakan angin yang menampar-nampar wajahku, dan menghirup oksigen alam yang begitu nikmat. Apakah itu berarti kamu ingin selamanya berada di sana untuk merasakan kebahagiaan tersebut? Tentu tidak, itu tidak membahagiakan, melainkan menyenangkan, karena kau secara kebetulan berada di sana untuk hanya melakukan hal tersebut. Bukan hidup di sana.

Jadi bagini, okelah anda tetap percaya kepada posisi bahagia itu sederhana sebagaimana yang sudah-sudah. Namun saya ingin mengajukan usulan yang menurut saya lebih masuk akal.  Bahagia yang sebenarnya adalah ketika kita ingin hidup di dalamnya. Bahagia itu ketika bersama seorang sahabat, sekaligus bersama keluarga, berada di tempat yang baik dan tepat. Jadi memang tidak sederhana. Yang ingin saya ajukan adalah mengganti kata bahagia menjadi menyenangkan. Jadi senang itu sederhana. Cukup sederhana bukan?

Sungguh bahagia itu tidak sederhana sama sekali. Sean, dalam film Good Will Hunting mengatakan kepada seorang anak muda : kau mungkin pernah, atau sering tidur bersama wanita, tapi kau tidak pernah merasakan bagaimana bahagianya bangun tidur di samping seorang wanita seakan-akan kau terlahir kembali. Sepertinya saya percaya bahwa Sean atau siapapun lelaki itu, jika menemukan perempuan yang tepat, akan bangun secara membahagiakan ketika pagi bersamanya. Itulah bahagia, kita ingin hidup di dalamnya, menjaganya setiap waktu agar tetap menjadi kebahagiaan yang kekal.

Jadi, menurut saya, kebahagiaan itu, meski bisa disederhanakan oleh para motivator, tidak bisa dilakukan serta merta menjadi sesuatu yang sederhana –untuk tidak menyebut kata sepele.

2013-03-11

Tidak Percaya Pada Buku


Dengan membaca buku, aku mengira akan mengetahui segala sesuatu yang ada di muka bumi ini; permasalahan-permasalahannya, juga pemikiran-pemikiran untuk memperbaiki kondisi manusia. Aku memang pernah mengira begitu, entah perkiraanku salah atau benar, ada hal-hal lain yang sebenarnya masih merupakan ambiguitas antara realitas dan teori buku. Tidak ada penyangkalan dariku bahwa semua teori didasarkan kepada penelitian panjang terhadap lingkungan sosial. Sebagaimana yang pernah ku baca, bahwa sebuah teori dianggap baik jika memenuhi kualifikasi yang telah di sediakan dalam buku Theories of Human Communication –aku tidak seberapa mengerti penjelasan dalam bahasa inggris tersebut.

Sekarang aku seperti memiliki pemikiran yang berbeda lagi. Mungkin di karenakan aku membaca sesuatu yang tidak seharusnya ku baca, atau aku memahami sesuatu dengan berbeda dari sebelumnya. Karena, bagaimanapun ada kalanya kita salah membaca, ada buku yang baik dan ada juga buku yang buruk. Sejauh mana kita bisa membaca buku, sejauh itulah pertimbangan yang kita memiliki terhadap segala sesuatu. Jadi, dengan membaca buku kita bisa terjebak dalam pemikiran orang lain yang belum tentu sefaham dengan apa yang kita miliki sebelumnya.

Aku tidak tahu apa yang difikirkan oleh Tyler Durden (tokoh film Fight Club) yang memiliki karisma dan kemampuan membaca lingkungan sosialnya sehingga berkehendak merubah kehidupan, Chris (tokoh dalam buku dan film Into The Wild) seorang backpacker yang suka menyendiri, membaca banyak buku filsafat dan akhirnya mati di pegunungan Atlanta, atau Edmond Dantes (tokoh buku Count of Monte Cristo) seseorang yang kembali dari kematian, menjadi penghukum orang jahat dan pemberi bahagia orang yang baik, juga bagaimana yang difikirkan oleh Musashi? Balthazar? Raskolnikov? Banyak orang di dunia ini, yang seharusnya memiliki pemikiran yang baik, tapi kulihat, dunia masih penuh dengan kegagalan, termasuk gagalnya pemandanganku sendiri.

Semua orang yang kusebutkan di atas, bisa saja mewakili salah satu dari kalian. Mungkin ada dari kalian seorang yang bahkan ketika tidur di bangku kuliahan masih lebih pandai dari orang yang rajin ke kampus. Atau mungkin, salah satu dari kalian adalah Chris, orang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya karena lari dari kehidupan dan berharap menemukan kehidupan yang lain. Atau kalian adalah Raksolnikov; seorang mahasiswa miskin yang berjuang mati-matian agar tidak di DO dari kampusnya, sekaligus menjadi buronan karena membunuh seorang rentenir.

Jadi, kalian pasti memiliki pemikiran sendiri mengenai sebuah buku. Aku misalnya, sebagaimaa di atas, memiliki kepercayaan yang besar terhadap sebuah buku, bahkan cenderung aku memujanya. Tapi pada kali ini aku meragukan buku-buku yang pernah aku baca.

Will Hunting adalah seorang manusia bebas berusa 20 tahun-an yang memiliki kecerdasan super. Ia bekerja sebagai cleaning service di sebuah kampus, dan suatu hari ia menulis jawaban atas pertanyaan seorang profesor yang terpampang di papan tulis lorong kampus. Cerita seperti tentu saja akan memukau penonton, semacam superhero yang selalu menolong kaum lemah, kita berharap Will Hunting akan menjadi besar dan menyelamatkan kehidupan banyak orang.

Film ini berbeda, Will ternyata memiliki sesuatu yang menarik dalam hal psikologi. Setelah berganti psikolog hingga lima orang, will bertemu dengan Sean; Psikolog nyentrik yang di perankan oleh Robin William. Sean, ketika duduk di pinggir danau berkata : “Kau tak punya orang tua, kan?, Kau pikir aku tahu bagaimana sulitnya hidupmu... Bagaimana perasaanmu, siapa dirimu... karena aku baca Oliver Twist?” aku terkejut sendiri membaca serangkaian kalimat yang dari tadi di ucapkan oleh Sean. Semuanya seperti rangkuman buku dari orang-orang yang terkenal. Seperti ketika kita membicarakan perang, maka kita akan mengutip Shakespeare. Kalau kita bicara orientasi seksual, maka kita akan mengutip Freud. Kalau kita membicarakan lukisan, kita akan mengutip Picasso atau Michelangelo.

Benar seperti itu, persis. Itulah yang kita bicarakan setiap saat. Kita seperti tidak memiliki kekuatan untuk menjadi pribadi yang unik karena kita selalu melabelkan segala permasalahan kepada ilmu seseorang yang orang tersebut sudah mati. Kita tidak semuanya tahu apa yang difikirkan oleh Hemingway, Dali, atau Monet. Kita tidak pernah bisa berdialog dengan mereka, kita hanya membaca karya mereka, yang itu mungkin pemikiran mereka.

Bahkan ketika aku menulis ini adalah karena aku terpengaruh pada bahan bacaanku. Maka, aku sendiripun tidak pernah benar-benar orisinil dalam menjalankan kehidupan. Betapa tidak berdayanya aku terhadap buku bacaan. Aku mengaggap, dengan membaca seluruh buku, aku akan mengerti seluruh kehidupan; tapi nihil. Malah sebaliknya, aku semakin jauh dari kepercayaan terhadap kemampuanku sendiri.

Percaya Pada Indonesia


Kita mulai dari film The Dark Knight Rises. Seorang perempuan yang kaya, cantik, dan baik, bernama Miranda muncul sebagai penyelamat Bruce Wayne. Ia berkata kepada Bruce yang sudah mulai kehilangan dirinya sendiri: jika ingin menyelamatkan dunia, kau harus mulai dengan mempercayainya

Aku pernah percaya pada konspirasi, bahwa di dunia ini ada sebuah organisasi besar yang memiliki rencana untuk menguasai dunia. Ia bernama Freemason dan sedang mengembangkan pengikutnya pada setiap negara di dunia. Bahkan ia telah menyusup ke organisasi-orgaisasi paling strategis yang ada di dunia ini. Kabar beredar di dunia internet seperti gosip para artis, dan dengan mudah kita akan tahu sejarah serta hal-hal apa saja yang telah Freemason lakukan. Dengan mempercayai adanya konspirasi tersebut, kita hampir sepakat bahwa kita tidak percaya terhadap dunia ini. Karena segala hal, mulai dari tayangan media massa, makanan yang ada supermarket, teknologi, segala produk informasi; semuanya menimbulkan kecurigaan.

Aku membayangkan bahwa kelompok Freemason beroperasi persis seperti organisas Akatsuki yang ada di film Naruto. Ia mencari orang-orang terbaik yang ada di dunia ini lalu diam-diam membuat rencana untuk mempengaruhi seluruh umat manusia. Tujuan akhir dari Akatsuki adalah membuat Mata bulan, yaitu mempengaruhi seluruh orang yang menatap ke bulan dengan genjutsu, lalu Madara (sebagai pemilik rencana) akan menguasai setiap jiwa manusia. Katanya, dengan begitu dunia ninja akan damai, tidak ada perang, tidak ada kebencian, dan tidak ada permusuhan. Mungkin saja Freemason juga hendak menjadikan dunia seperti itu; dunia tanpa permusuhan sama sekali. Mereka akan mengendalikan semua barang produksi dari hulu ke hilir, lalu kita semua akan menjadi budak mereka.

Begitulah jika kita hendak percaya pada konspirasi yang ada di muka bumi ini. Kita tidak akan percaya lagi kepada setiap yang muncul dalam kepala kita. Kita akan selalu diliputi kecurigaan akan segala sesuatu. Bahkan kepada diri sendiri, kita juga akan curiga. Dengan demikian, kata Miranda, kita tidak akan bisa memperbaiki dunia ini.

Hal semacam itu mash juga dipertegas dengan berbagai hal yang tidak masuk akal, terutama yang terjadi di Indonesia. Tadi pagi aku baru saja membaca tentang Indonesia yang masih mengimpor sayur dan buah dari Cina. Ini tentu menjengkelkan bagiku, yang lahir dan besar di desa yang menghasilkan suplai beras terbesar di indonesia: Lamongan. Aku memang bukan petani, tapi tetanggaku petani, seluruh waktu yang kuhabiskan adalah melihat petani. Meskipun aku tidak faham menanam padi, tapi saat panen aku berada di sana, dan saat-saat petani membayar hutang selama menanam padi, aku ikut mengetahuinya juga.

Indonesia adalah negeri dengan petani yang menumpuk seperti sampah di TPA. Saat menulis ini aku sedang ada di puncak bukit di Maros Sulawesi Selatan, yang tentunya di sini juga hamparan padi dan sawah berada di mana-mana. Ketika masih di Sekolah Dasar kami di ajari bahwa Indonesia adalah negara agraris, yang berarti kehidupan mayoritas orang indonesia adalah petani. Tapi yang kulihat, itu hanyalah ajaran bodoh karena petani semakin hari semakin di kucilkan dari pergaulan dunia. Petani di Indonesia ini rasa-rasanya hanya di peras untuk sesuatu yang tidak ada gunanya sama sekali.

Lahan-lahan kosong di luar pulau Jawa masih sangat luas tidak terkira. Aku tidak mampu menghitungnya. Yang aku tahu, yang aku lihat adalah kenyataan, bahwa di Madura, di Bali, di Lombok, di Sulawesi, di Sumatera, Kalimantan, Papua, Maluku, masihlah banyak lahan luas yang bisa dijadikan ladang untuk menanam produk holtikultura; menanam sayur dan buah, sehingga produk dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia. Bukan itu saja, tentu kita akan bisa mengekspor sebagaimaa negara kita yang suka mengimpor ke negara lain.

Ini menambah bebanku yang sudah terjebak dalam ketidakpercayaan terhadap dunia ini. Aku menjadi semakin tidak percaya terhadap apa yang disebut keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, jika aku sudah tidak percaya kepada Indonesia, maka bilamanakah aku akan menjadikan indonesia lebih baik?

Sedang bangsaku sendiri menyengsarakan rakyatnya. Sedang orang-orang indonesia sendiri korupsi dan tidak peduli kepada nasib rakyatnya. Apa yang seharusnya aku percayai? Aku tidak akan bisa menyelamatkan apapun jika semakin hari pemberitaan tentang bangsaku semakin buruk.

Saat membaca buku seri Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang di tulis oleh Dr. Dino Patti Djalal aku merasa menemukan oase segar dalam tubuh pemerintahan yang ada. Tapi itu telah berlalu, dua tahun sudah dan aku tidak menemukan hal lain selain kekecewaan. Apakah buku semacam itu juga buku-buku pencitraan yang hanya dibuat untuk main-main dan pembohongan terhadap publik? Mungkin jawabannya tidak, karena mungkin itu benar sebuah buku yang luar biasa tentang kepemimpinan sebagaimana endorsment yang ada di cover buku. Mungkin dalam satu sisi, SBY memanglah presiden yang luar biasa berjasa terhadap Indonesia, tapi kami ini hanyalah penduduk yang terlampau bodoh untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi sekian persen. Kami terlampau tidak pintar untuk mengetahui hubungan diplomatik yang membaik, pembayaran hutan luar negeri yang kami tidak mengerti, serta istilah-istilah asing untuk menghebatkan diri dan pemerintahan SBY. Kami terlampau tidak mengerti.

Jadi tolong, jawablah suara terkecil kami; yang duduk di warung selepas meladang, yang menonton gemerlap televisi ketika luang malam sebelum tidur. Buatlah aku percaya terhadap bangsa kami sendiri. Tolong.

2013-03-07

Ulasan Film: Midnight in Paris


Midnight in Paris (MIP - 2011), aku menyangkanya sebagai film romantis abad 21 yang akan memperbarui pikiran kita tentang cinta. Karena Paris, semata-mata karena ada nama Paris pada judul tersebut. Dan siapakah yang tidak ingin mengunjungi Paris serta menikmatinya dengan orang terkasih? Begitulah paris selalu menjadi simbol kepada sesuatu yang indah, cantik, dan tentunya romantis.

Film ini benar-benar di luar perkiraan saya dia atas. Karena jika anda seorang pencari cinta, tontonlah film ini. Jika anda seorang penulis yang kagum kepada Hemingway, tontonlah film ini. Jika anda seorang pelukis yang mengerti betul mengenai Picasso, tontonlah film ini. Jika anda suka berfantasi, film ini cocok untuk anda. Atau anda seorang pecinta film berkualitas? Film ini tentu bisa menjadi pemuas.

Dari semua film bagus yang pernah kutonton, film ini sudah masuk dalam daftar film yang tidak boleh dihapus dari hardisk laptopku. Film ini memanglah bukan sembarang film. MIP memiliki bilangan cerita di atas rata-rata. Film ini ditulis dan disutradarai oleh orang yang sama, Woody Allen, yang katanya merupakan sutradara dengan kemampuan membuat dialog menjadi cerdas. Dan itu tidak salah, dialog-dialog dalam film ini, dalam beberapa scene terhitung sulit untuk dilakukan oleh orang biasa. Maksudku, karena dalam film ini menghadirkan sosok yang telah menjadi idola publik; seperti Hemingway, Picasso, Fitzsgerald bersaudara, Salvador Dali, dan juga tempat-tempat yang bernuansa paris pada abad ke-20 dimana seni dan kepenulisan tengah berkembang di sana.

Semua tokoh yang sudah almarhum di atas, dibuat berdasarkan karakter yang persis sebagaimana sang tokoh di gambarkan. Omongan Hemingway yang ceplaas-ceplos dalam mengkritik karya sastra, Zelda Fitzgerald yang emosial, juga Dali yang apapun pembicaraannya pasti berakhir pada badak. Untuk Hemingway, mungkin dialah sosok yang paling penting, ada satu hal yang kucatat dalam kata-katanya, dan ini penting sekali.

bahwa untuk seorang penulis, bahkan yang sekelas Hemingway sekalipun, ketika meihat tulisan orang lain yang lebih bagus, ia akan iri karena itu merupakan saingan. Namun ketika melihat tulisan anak muda yang buruk, maka ia akan benci karena ia tidak suka anak muda yang tidak bisa berkarya.

Intinya, jangan meminta nasehat kepada penulis lain jika anda seorang penulis. Dan ini bisa diterapkan pada profesi lain, bahwa meminta nasehat kepada orang yang sama profesinya hanya akan menyesatkan jalan kita. Maksud dari Hemingway sudah sangat jelas, karena kehidupan ini keras dan penuh persaingan. Namun memang, dalam kehidupan ini, orang baik selalu saja ada di antara kita. Hemingway hanya ingin menunjukkan sisi manusiawi setiap manusia, bahwa kita cenderung untuk merasa iri dan cemburu. Kalau ada orang baik yang memberikan nasehat yang membangun meskipun menghancurkan karirnya sendiri, yah, itu beda lagi. Karena sebagaimana orang jahat selalu ada di sekeliling kita, orang baik demikian juga.

Kita kembali kepada Gill Pender, tokoh utama dalam film ini. Dia adalah sosok penulis yang tergila-gila dengan semua yang kusebutkan di atas. Ia juga berharap, setelah menikah dengan pacarnya, akan tinggal di Paris. Sedangkan pacarnya –yang cantik, seksi, dan memikat, lebih memilih tinggal di Amerika. Ines, pacarnya tersebut tidak bisa memikirkan bagaimana ia akan tinggal di luar Amerika Serikat. Keduanya memiliki sisi yang sangat berbeda. Perbedaan inilah yang membuat dasar jurang bagai neraka dalam kehidupan Gill Pender. Namun bagaimanapun, tidak patut bagiku menyalahkan salah seoarang dari mereka. Karena sebagai seorang lelaki, akupun tahu bahwa Gill benar-benar tidak tahu cara membahagiakan perempuan.

Jadi kadang kita harus menjadi sangat obyektif, bahwa menjadi tokoh utama tidak melulu benar. Ada kesalahan-kesalahan mendasar pada diri Gill sehingga pacarnya tersebut melarikan diri, tidak menaruh kepercayaan, bahkan sampai berselingkuh. Ini penting bagi anda yang ingin belajar tentang cinta. Di samping anda harus cerdas dan humoris, anda harus faham kriteria cerdas dan humoris macam apa yang diinginkan pasangan anda. Anda harus benar-benar tahu bagaimana keseluruhan pasangan anda. Jika anda dan pasangan benar-benar berbeda dalam semua hal, maka salah satu aspek dari cinta sejati menurut Stenberg tidak anda dapatkan : kalian tidak tidak bisa menjadi sahabat.

Paris

Seperti yang saya singgung di atas, paris merupakan simbol cinta yang luar biasa terkenal di dunia ini. Meskipun pada salah satu acara televisi, pernah di sebutkan bahwa beberapa tempat yang sering dijadikan perayaan cinta kasih adalah : Juliet Statue, Wall of Love di Verona, Italia; Love Park, Philadhelpia, USA; Gembok Cinta di Korsel dan Perancis; Fountain de Trevi, Roma dsb. Tidak ada salah satu dari tempat tersebut yang berada di Paris, tapi tetap Paris merupakan pilihan utama jika anda pergi ke Eropa.

Mengapa Paris? Aku tidak tahu, mungkin begitulah iklan memonopoli pemahaman kita tentang suatu tempat.
Di film ini, beberapa tempat yang akan di jadikan lokasi pemutaran film, juga tempat-tempat yang klasik dan penting di tampilkan menjadi slide gambar serta video pada scene-scene awal. Kita sebagai penonton seakan-akan mengunjungi Paris hanya dari tempat kita duduk. Jadi film ini di buka dengan gambar-gambar yang asyik sekali. Sungguh ini gambaran yang luar biasa dari Sutradara. Aku tidak tahu pasti tempat-tempat tersebut, yang jelas semuanya menunjukkan eksotisme Paris yang cantik. Bahkan ada video Paris ketika hujan. Bagi kalian pecinta hujan, kalian pasti romantis. Dan berhujan-hujan di Paris akan menjadikan kalian orang yang paling berbahagia di dunia.

Itulah paris sebagai tempat. Namun sebuah kota bukanlah hanya tempat untuk menikmati keindahan gedung-gedung serta taman-taman belaka kan? Di sana juga hidup manusia-manusia yang menjadi akar budaya masyarakat dunia. Jika ada pelancong yang mengatakan bahwa orang Paris ramah-ramah, mungkin aku akan sedikit tidak percaya. Sama tidak percayanya aku kepada omongan orang barat mengenai keramahan orang indonesia, atau orang bali. Karena orang asing yang datang ke Indonesia pasti hanya untuk mengunjungi tempat wisata, bukan untuk hidup di dalamnya. Di tempat wisata semua orang ramah karena dengan begitu orang-orang mau membeli barang dagangannya.

Aku jadi mengingat tulisan Mas Fayyadl yang menjelaskan tentang Paris dari sudut pandangnya. Dia sekarang kuliah di Paris, maka kita boleh percaya pada apa yang di ucapkannya. Beliau menulis; “Suatu saat, kutemukan ketidakpedulian dan egoisme, di saat lain, kutemukan antusiasme dan kehangatan. Suatu saat, kutemukan sifat temperamental mereka yang sewenang-wenang, di saat lain, kutemukan senyum ramah. Suatu saat, kutemukan mereka menghardik, di saat lain, kutemukan mereka mengulurkan tangan. Tapi secara umum, kutemukan satu kecenderungan umum di mana indiferentisme, atau sikap tak mau tahu, dominan”

Jadi tidak melulu kita akan melihat bahwa Paris adalah kota yang nyaman untuk ditinggali hanya karena melihat tempat-tempat yang eksotis dan menawan. Gill Pender, kembali kepada film, pada tengah malam tersesat di tengah kota Paris. Bahkan ketika kita tersesat, kita tidak akan tahu bahwa suatu tempat begitu indah. Lalu Gill bertanya kepada dua orang Paris yang berjalan di sana, tapi yang didapati Gill hanyalah penolakan, ketidakpedulian; sebagaimana yang di sampaikan oleh Fayyadl.

To be continued…

2013-03-06

Penyala Yang Terhormat


Penyala yang terhormat. Kalian tahu kalau aku sedang jatuh kepada Penyala Makassar. I’m fallin in love. Dan dengan segala daya upaya tidak ingin meninggalkan kegiatan ini layaknya seseorang yang kalah perang. Tapi sebuah keharusan bagiku untuk meninggalkan orang-orang yang senyumnya memabukkan, sebelum aku benar-benar tenggelam dalam danau cinta atau telaga bidadari.

Beberapa waktu ini, aku mengingat-ingat tentang seluruh kejadian di mana setiap anggota Penyala merasakan rindu yang menggebu-gebu. Termasuk aku. Lalu mulailah aku mempertanyakan simpul-simpul kebahagiaan yang tampak dari senyum itu. Mengapa bisa kita semua bahagia di kala kita kehabisan waktu untuk bertemu dengan pacar kita? Bahkan, kita berkumpul dalam Penyala Makassar tidak karena kewajiban yang datang dari Tuhan atau dari dosen perkuliahan. Lalu mengapa aku masih melihat bias kebahagiaan pada senyum kalian?

Dalam ilmu kuno, pertanyaan besar kita yang tak terjawab akan tetap tersimpan dalam memori alam bawah sadar. Begitu juga pertanyaanku tersebut. Lalu aku meninggalkan Penyala Makassar pada keesokan harinya yang tenang. Memulai menyusun rencana perjalanan yang juga selalu membuatku rindu. Ketika berada di puncak kebosanan menunggu seseorang yang tak kunjung muncul di workshop Unhas, aku menonton film The Ben Carson Story. Jika kau beum menontonnya, maka sebaiknya luangkan waktu untuk melihat betapa tajam pisau bedahnya.

Aku menemukan jawaban atas kalian, Penyala. Kata Ben Carson, “Happiness doesn't result from what we get, but from what we give.” Apakah ini benar jawaban itu? Jika benar, maka semoga Tuhan yang maha baik melipahkan kebahagiaan kita yang sebenarnya kepada Penyala Makasassar yang telah dengan susah payah berbagi kasih atas nama keikhlasan.

Inilah yang membuatku jatuh cinta kepada kalian. Kepada senyum yang tulus yang selalu tertanam dalam-dalam di ujung hati kalian ketika mendapati seseorang yang enggan menerima brosurmu. Juga kepada senyum mbak ikes yang tulus ketika mendapatiku berdiri di depan Elizabeth, atau senyum aneh mbak bunga yang selalu heran menatapku. Mbak ayu yang bajunya seperti permen yang legit, yang selalu ingin kukunyah sepanjang perjalanan. Mbak ina yang sok innocent, inar yang suka dengan sakit, ismi yang tulus, *kenapa yang kuingat yang perempuan saja?

Untungnya aku bukan satu-satunya orang aneh yang ada di penyala. Karena berdasarkan pengakuan kaum hawanya, kami laki-laki penyala bukanlah laki-laki yang sehat. Meskipun itu begitu menyakitkan, kami menerimanya dengan segala kelapangan yang diberikan tuhan kepada kami. Itulah kehebatan kami, yang membuatku jatuh cinta kepada Penyala.

Tulisan ini kubuat bukanlah untuk serius, meskipun kelihatannya serius. Hanya karena aku merindukan bertemu kalian. Karena kau tidak akan tahu bagaimana rindu itu menjadi sangat menjengkelkan ketika rindumu adalah rindu yang tak mungkin terobati. Seperti merindukan masa lalu, atau merindukan masa depan yang akan menjemputmu. Sepertiku sekarang, membayangkan lagi bagaimana masa-masa itu merupakan masa-masa yang ajaib bagi kita. Seakan hidup di dunia orang lain, berlompatan dan menjadi fragmen-fragmen yang saling terhubung. Padahal jika aku bayangkan, semuanya adalah ketidakmasukakalan belaka.

Sebagai lelaki, memelihara sikap melankolis begini kadang tidak perlu sama sekali. Namun apalah daya, lelaki sekekar apapaun memiliki sesuatu untuk dicintainya –yang pada akhirnya yang dicintainya itu melemahkannya. Seperti semua pahlawan bertopeng, mereka memakai topeng untuk menyelamatkan orang-orang yang dicintainya. Karena kerap, sandera paling mujarab adalah sandera orang-orang yang kita cintai.

Apakah aku mencintai penyala makassar? Mbak bunga menjadikan sandera penyala makassar untuk menjebakku agar mengikuti kelas inspirasi pada tanggal 28 Maret 2013. Sayangnya, aku adalah pahlawan bertopeng yang suka tidak peduli pada apa yang di cintainya. :p

2013-03-05

Antara Backpacker dan Traveller


Aku berjalan ke sana-kemari dengan tujuan yang hanya bisa difahami oleh laptopku. Bertemu orang-orang yang menyamakan aku dengan seluruh orang yang pernah di temuinya. Melakukan perjalanan jauh, dari satu ke kota, maka kau tidak akan asing dengan beberapa orang yang sok tahu, sok bahwa kau bukanlah apa-apa dibandingkan dia. Seluruh apa yang kau lakukan, mungkin akan membuatnya kagum, namun itu sebentar saja, karena yang dikaguminya adalah dirinya sendiri.

Namun dari kesemuanya, yang dengan serius harus kutanggapi adalah tentang pikiran mereka mengenai backpacker. Sebelum membaca, perlu kau tahu bahwa inilah definisiku. Bukan definisimu, definisi mereka, ataupun definisi kamus yang perkasa. Mengapa pikiran mereka tentang backpacker begitu menggangguku? Karena aku berbeda, setiap orang yang melakukan perjalanan itu berbeda. Jadi jangan menyamakan aku dengan orang lain, atau orang lain denganku. Karena orang lain yang benar-benar melakukan perjalanannya tidak akan mau di samakan denganku.

Ini tentang definisi. Kau mestinya sangat sering mendengar seseorang berseru aku ini backpacker, sudah pernah mengunjungi ini itu, di sini di situ. Aku terganggu sebenarnya jika ada seseorang mengaku seorang backpacker di hadapanku, dan tidak ambil pusing jika ada seorang menamakan dirinya traveller.

Mengapa backpacker, mengapa traveller? Aku mengartikan backpack itu sebagai sesuatu yang antik, berbeda dengan travel. Seorang backpacker akan hidup dari apapun yang ada di punggungnya, di dalam tasnya. Mengambil makan dari sana, mencari hidup dari sana. Seorang backpacker mengincar destinasi-destinasi yang tidak pernah kau fikirkan, yang asyik menurut dia sendiri, yang tidak semua orang merasa harus ke sana. Backpacker melakukan perjalanan untuk tujuan yang sederhana, yaitu melakukan perjalanan. Inti yang selalu ada di kepalaku adalah, ini adalah tentang perjalanan, bukan tentang tempat tujuan. Tempat yang eksotis merupakan nilai plus atas keberuntungan kita.

Salah satu kriteria perjalananku adalah begini. Dalam perjalananku, sering orang bertanya : pernahkan anda ke tempat ini, ke tempat itu? Dan tempat yang ditujukan pastinya adalah tempat wisata. Betapapun cantiknya tempat wisata, aku yakin di sana banyak sekali kebohongan. Karena di dunia ini penuh dengan orang-orang egois yang tidak bisa membiarkan orang lain menikmati kehidupan ini dengan gratis. Anda tahu saya? Saya adalah backpacker yang tidak ingin mengunjungi tempat wisata, mengapa begitu? karena aku hidup dari perjalananku, dan aku hidup untuk perjalananku. Aku tidak mengurusi tempat wisata.

Di tempat wisata, orang-orang tersenyum manis sambil menawarkan marchendise seharga 1.000 menjadi 15.000. Ini bukan perdagangan, ini penipuan. Kau tidak suka dengan yang ada dalam pikiranku? sinislah. Orang-orang di tempat wisata, menawarkan perahu seharga ratusan ribu kepada orang asing. Semakin asing orang itu, maka harga akan semakin mahal. Kejadian ini persis penipuan yang dilakukan oleh supir-supir angkot dan becak di pelabuhan dan terminal. Orang asing selalu bisa di tipu dengan mudah. Betapa banyak keluh kesah yang timbul ketika kita kembali ke kota asal dan mengetahui harga sebenarnya.

Aku membenci tempat wisata di tempatmu berada. Aku pernah hidup di rawa-rawa, aku pernah hidup di pegunungan, aku pernah hidup di lembah, aku pernah hidup di pesisir pantai, aku pernah hidup di perkotaan, aku pernah hidup sepanjang malam, aku juga pernah hidup sepanjang siang. Lalu apa lagi yang ku cari kalau tidak kedamaian? Sedangkan kau dengan pongah dan bangga menawarkan tempat wisata kepadaku, bukan menawarkan kedamaian.

Seorang backpacker, berbeda dengan seorang traveller. Kau pernah mendengar ada Agen Backpacker? Tidak. Yang ada di kotamu adalah Travel Agen. Karena yang menyukai tempat yang disukai pebisnis adalah seorang traveller.

Jika anda seorang pegawai kantor, entah swasta atau negeri, lalu mengumpulkan uangmu dari tabungan dan membawanya untuk menikmati pulau sempu, eksotisme gunung semeru, atau menariknya suku Baduy, maka aku akan menyebutmu sebagai traveller. Sesimpel itu sebenarnya. Jika anda memiliki uang tiga juta lalu anda terbang ke Singapura, menjelajahi negeri itu dan ke negeri-negeri di sebelahnya, maka aku menyebut anda sebagai traveller meskipun anda berhemat-hemat dan tidur di hostel kelas backpacker. Jika anda datang ke rumah saudara atau sahabatmu di Sulawesi, lalu mereka mengajakmu keliling toraja, bantimurung, dan tanjung bira, maka aku menyebutmu traveller. Kecuali anda membawa uang satu juta, lalu anda datang ketempat-tempat wisata, dan saat uangmu habis tapi pantang bagimu mengambil di ATM dan memilih bekerja demi uang untuk pulang, maka aku acungkan jempol kepadamu, lalu aku akan menyebutmu backpacker.

Backpacker hidup dari tempat yang ia pijak. Ia hidup tidak jauh dari ranselnya. Jika anda hidup dari ATM atau bos tempatmu bekerja, silahkan sebut dirimu sebagai traveller. Aku tidak ada masalah dengan itu.

Note to God

Tuhan, aku tidak bisa berkata apa-apa. Tanganku tercekat, karena semua yang akan aku tuliskan pasti engkau mengetahuinya. Aku selalu mengulang-ulang bahwa aku mempercayai adanya engkau di seluruh tempat yang aku kunjungi. Aku sungguh yakin, bahwa engkau yang menolongku dalam segala situasi –meskipun kadang aku pura-pura tidak tahu bahwa engkau mengawasiku. Bukan kadang, bahkan ini sering. Semenjak aku mengenalmu sungguh-sungguh dan mampu merasakan kehadiranmu beberapa tahun yang lalu, aku menjadi semakin yakin bahwa engkau ada di setiap nafasku.

Tapi tuhan, semenjak itu juga aku mengenal beberapa bentuk hal baru yang menjauhkanku darimu, suatu bentuk dosa lama yang baru kukenal, yang lalu membuatku terpuruk dalam kegilaan. Engkau tahu tuhan, kalau aku terus memikirkan bagaimana aku bisa terjebak dalam kesalahan itu, ingin keluar tapi tidak bisa, ingin menjauh tapi tidak bisa? Engkau tahu tuhan, kadang aku berdoa kepadamu, berharap kau akan merubah jalan hidupku sedrastis mungkin, meunjukkan kepadaku suatu jalan mendekatimu semenikung mungkin. Kau pasti tahu bahwa aku ikhlas menerimanya, duduk bersimpuh sepanjang waktu untuk mengingat namamu.

Tapi aku di sini tuhan, untuk beberapa alasan aku menjadi tidak patuh kepadamu. Alasan yang sebenarnya tidak penting untuk sesuatu sebesar Islam. Islam, aku selalu percaya kepadanya, ia agama yang tidak ada yang lebih tinggi darinya. Engkau menitahkanku untuk mengikutinya hingga akhir hayatku, dan aku sungguh berjanji, aku sungguh berjanji akan mengikutinya hingga akhir hayatku. Bahkan ketika aku dalam kubangan dosa sekalipun, ketika dalam kondisi paling berdosa sekalipun, pada waktu itu aku memegang keyakinan dalam hatiku; engkau tuhanku satu-satunya tuhan.

Nafasku yang ini ini juga yang selalu mengingatkanku padamu. Juga perjalanan yang kau berikan, aku mensyukurinya hingga kau berikanku hidup di jalanan nusantara; aku menangis bangga. Engkau cahayaku yang sesungguhnya, yang selalu kujaga dalam hatiku meskipun aku adalah sampah dalam islam. Tapi engkau tahu tuhan, bahwa manusia sepertiku ini selalu banyak dan menyusahkan. Manusia yang percaya bahwa ada yang mengawasinya tiap detik, tapi tidak takut bahwa yang mengawasinya akan marah kepadanya. Jika engkau manusia sepertiku, tuhan, kau pasti sudah memecatku menjadi bawahaanmu. Jika engkau adalah makhluk, tentu kau akan menyemburkan murka apimu kepadaku.

Tapi engkaulah tuhan itu, tuhan yang sesungguhnya. Tuhan yang menyempurnakan jasadku, membangun pikiranku, dan menjadikanku percaya kepada islam. Tuhan yang tidak mudah marah kepada makhluknya, tuhan yang menunggu waktu yang tepat, tuhan yang mudah memaafkan bahkan kepada manusia jalang macam aku.

Akhir-akhir ini aku begitu memuja perjalanan. Perjalanan yang membesarkanku, dan meskipun sadar kau ada di baliknya, aku tidak mengakui. Sekarang, aku tidak sedang sekarat, aku tidak sedang kelaparan, aku tidak sedang di rundung masalah, aku dalam kondisi baik-baik saja. Lalu aku ingin mengunjungimu sebagaimana tahun-tahun lalu. Betapa sekarang, hatiku tengah terkoyak kekosongan. Ada beberapa pertanyaan yang tidak pernah terjawab tentang perjalananku.

Jauh di sana tuhan, ada satu pertanyaan penting. Ah, sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Aku hanya pura-pura bodoh. Ini semua tentang diriku sendiri kan, tuhan? Tapi aku tetap ingin bertanya meskipun aku mampu menebaknya, mengapa kau kirimkan kepadaku perjalanan yang indah ini, sedangkan aku sendirian menikmatinya? Ini membuatku terluka tuhan, aku suka perjalanannya, cuma aku tidak suka kesendiriannya. Jika dalam keadaan sedih, mungkin aku patut sendirian, duduk di sudut paling sepi. Tapi ini bukan tentang kesedihan tuhan, aku ingin kau berikan satu saja kepadaku; tentang hal itu, tuhan. Tentang seseorang yang mungkin menjadi temanku; sahabatku.

Kutahu kau tidak pernah bosan mendengar keluh kesah hambamu. Aku juga tidak pernah bosan untuk datang kepadamu ketika aku ketakutan. Seperti malam ini, tuhan. Aku takut akan segala sesuatu. Hujan sedang turun, petir menyambar, guntur membahana, dan perjalananku masihlah jauh. Tolong selamatkanlah aku dari semua kekalutan.

Kemarin, kau tahu aku sedang  dalam masalah yang besar. Seseorang dengan sekuat tenaga memukul kepalaku. Mataku membayang-bayang, aku ketakutan jika mataku akan kabur karena pukulan itu. Aku tidak ingin mengakui bahwa dalam kejadian itu aku sedang salah; tapi aku memang salah. Tuhan, kau sudah menghukumku dengan pukulan dan ketakutan tersebut. Jadi cukupkanlah hal itu. Aku juga ingin berterimakasih kepadamu atas peristiwa itu, aku bisa belajar bagaimana hatiku bekerja ketika dalam keadaan marah. Terimakasih tuhan.

Sekarang aku sedang dalam masa yang lapang. Tidak ada yang menjadi permasalahan serius. Hapeku yang sedang rusak mungkin adalah masalah satu-satunya, namun itu tidaklah penting lagi. Aku bisa memperbaikinya atau beli yang baru. Terimakasih atas segala jalan keluar yang kau beri. Tuhan, apakah aku terlihat bodoh dengan menulis ini padahal kau sudah tahu semuanya? Apakah aku sedang bersandiwara?

Oya tuhan, maafkan aku jika banyak berprasangka terhadap kelompok-kelompok islam yang lain. Aku sepertinya sadar kelompok mana yang benar dan yang akan kuikuti sebagai jalan islamku. Kubisa menunjuknya untukmu tuhan, yang berlambang seperti bulan sabit itu. Aku akan mengikutinya suatu saat nanti, namun masih dengan keyakinanku yang sekarang akan segala sesuatu yang syar’I dan ruhani. Aku akan memegang keyakinan lamaku ini dan mengambil yang baru; sebagai pencerah jalan pikirku. Terimakasih telah mengirimkannya keapdaku, meskipun dengan jalan yang aneh dan tidak disengaja. Bahkan aku terlihat seperti pengkhianat.

Ketika melihat diriku di cermin, aku memanglah pecundang yang sok gagah di depan orang lain. Ah tuhan, aku memohon kepadamu atas segala sesuatu sedangkan aku tidak bisa menaatimu sebagaimana orang-orang di masjid itu. Aku hentikan saja ocehanku ini sebelum menjadi banyak omong kosong. Aku hanya percaya bahwa engkau ada dan mengawasiku.

2013-03-04

Menjejak Rammang-Rammang

Desa luas, yang hamparannya hanyalah padi dan pegunungan. Maukah kau hidup seperti mereka? Mungkin ketika kau baru menginjakkan kaki di pematang sawah, melihat betapa bening air telaganya, juga betapa hening kicau burung dan angin, kau sangat ingin hidup di sana. Tapi aku tahu itu adalah kebohongan dari manusia modern. Aku selalu tersenyum sinis jika mendengarmu mengatakan hal tersebut, karena bahkan aku yang jatuh cinta seketika kepada mereka, juga meragukan apakah aku ingin hidup di sana.

Itulah desa Salenrang. Kami berdua memasukinya ketika subuh berakhir di awan yang mendung. Mengambil beberapa potret alamnya, lalu meneruskan perjalanan untuk menemukan sesuatu yang tidak tahu apa itu. Temanku kali ini, adalah tipe teman yang banyak berprasangka kepada orang lain; termasuk kepadaku. Aku tidak tahu gagasannya seperti apa, tapi tentu aku memiliki gagasan sendiri untuk menikmati sesuatu. Jadi, menghargai gagasan orang lain adalah sesuatu yang sungguh, sulit namun luar biasa.

Terbebas dari seluruh prasangka yang kami pamerkan, dia adalah teman yang baik. Begitu singkatnya. Menaiki motor di tempat yang tidak ingin kau datangi untuk ke dua kalinya, musim hujan yang jahat, membawa kami kepada lumpur dan bebatuan tajam di kaki dan roda ban sepeda motor.
Sampai di sebuah jembatan (ketika mendengar cerita mengenai rammang-rammang, maka kau akan mendengar tentang jembatan ini dalam seluruh cerita, karena di sinilah semua petualangan akan di mulai) kami menitipkan sepeda motor itu. Langit masih gelap akibat mendung, kamera otomatis tidak pernah bisa bekerja dengan baik dalam mendung, jadi kami tidak bisa menghasilkan gambar yang bagus. Kecuali aku tahu cara kerja manualnya, mungkin itu adalah kesempatan emas. Sungai di bawah mendung itu seperti ular besar yang bersedih –begitu tenang dengan pohon bakau disepanjangnya.

Petualangan, jika boleh dikatakan begitu, bisa dinikmati dengan dua cara: air dan darat. Perjalanan menggunakan perahu tidak akan menguras tenagamu, tapi menguras uangmu. Dan juga, perjalanan melewati sungai adalah pilihan yang sangat menarik. Maka dari itu, tempat wisata selalu bisa menjadikanmu miskin seketika. Karena keindahan, jika tidak ingin bersusah payah menikmatinya, membutuhkan banyak uang. Dan uang selalu menjadi permasalahan bagi kami. Jadi berjalan kaki adalah pilihan yang utama. Lagian, temanku kali ini mampu menyombongkan diri dengan baik.

Begitulah perjalanan ini bermula. Aku sungguh menikmatinya, menikmati bagaimana diri yang selalu terpeleset karena batu-batu di tanah lempung tidak pernah bisa ajeg menopang kaki. Juga menikmati tatapan penduduk desa kepada orang asing yang selalu di sangka membawa uang banyak. Menikmati bagaimana pematang sawah itu persis seperti pematang di mana aku lahir. Menikmati bau rawa-rawa, juga bau tahi bebek dan ayam yang bisa membuat perutmu mual.

Di sinilah rinduku bersemi. Aku hanya ingin duduk di sana. Hanya duduk tidur-tiduran hingga tertidur sampai beberapa lama. Aku ingin menikmati, menghirup sebanyak-banyaknya udaranya, menyimpan selebar-lebarnya gambar di kepala, juga mengunjungi hatiku yang selalu kerasan di tempat asing. Tapi aku melihat temanku yang begitu bersemangat menjelajahi hutan. Ia seperti kesetanan, seperti menemukan gua emas yang selalu di idam-idamkannya. Jadi aku tak tega untuk memintanya berhenti sejenak, aku mengikutinya saja dari belakang.

Ketika aku hampir terjatuh, ketika kami melewati lumpur dan dia dengan gagah menceburkan diri bersama celananya sedangkan aku masih harus mengikis celanaku hingga selutut, ketika hasil kameraku lebih jelek darinya, ketika kami tersesat di hutan da hipotesaku salah, ketika kami hanya memandangi telaga yang birunya menipu sedangka kami tidak mau mandi; itu semua adalah bahan ejekannya kepadaku. Dan yang kulakukan adalah tertawa, menertawakan dia yang menertawaiku. Betapa aku mengenal perangainya.

Bahkan, aku harus menulis sebuah esai nantinya untuk menjelaskan pemikiran orang-orang yang seperti teman baikku ini. Karena itu bukan pikiran yang orisinil, ada banyak hal di kehidupan yang meracuninya.

Aku menjadi banyak mencatat hari itu, mengenai diriku sendiri, juga diri orang lain. Tentang tanah berlumpur yang kujejaki, juga langit mendung yang ku junjung tinggi. Bahwa sering, ada orang seperti aku dan hendra yang sok tahu mengenai segala sesuatu di tempat seperti itu.