Dengan membaca buku, aku mengira akan mengetahui segala sesuatu yang ada di muka bumi ini; permasalahan-permasalahannya, juga pemikiran-pemikiran untuk memperbaiki kondisi manusia. Aku memang pernah mengira begitu, entah perkiraanku salah atau benar, ada hal-hal lain yang sebenarnya masih merupakan ambiguitas antara realitas dan teori buku. Tidak ada penyangkalan dariku bahwa semua teori didasarkan kepada penelitian panjang terhadap lingkungan sosial. Sebagaimana yang pernah ku baca, bahwa sebuah teori dianggap baik jika memenuhi kualifikasi yang telah di sediakan dalam buku Theories of Human Communication –aku tidak seberapa mengerti penjelasan dalam bahasa inggris tersebut.
Sekarang aku seperti memiliki
pemikiran yang berbeda lagi. Mungkin di karenakan aku membaca sesuatu yang
tidak seharusnya ku baca, atau aku memahami sesuatu dengan berbeda dari
sebelumnya. Karena, bagaimanapun ada kalanya kita salah membaca, ada buku yang
baik dan ada juga buku yang buruk. Sejauh mana kita bisa membaca buku, sejauh
itulah pertimbangan yang kita memiliki terhadap segala sesuatu. Jadi, dengan
membaca buku kita bisa terjebak dalam pemikiran orang lain yang belum tentu
sefaham dengan apa yang kita miliki sebelumnya.
Aku tidak tahu apa yang
difikirkan oleh Tyler Durden (tokoh film Fight
Club) yang memiliki karisma dan kemampuan membaca lingkungan sosialnya
sehingga berkehendak merubah kehidupan, Chris (tokoh dalam buku dan film Into The Wild) seorang backpacker yang
suka menyendiri, membaca banyak buku filsafat dan akhirnya mati di pegunungan
Atlanta, atau Edmond Dantes (tokoh buku Count
of Monte Cristo) seseorang yang kembali dari kematian, menjadi penghukum
orang jahat dan pemberi bahagia orang yang baik, juga bagaimana yang difikirkan
oleh Musashi? Balthazar? Raskolnikov? Banyak orang di dunia ini, yang
seharusnya memiliki pemikiran yang baik, tapi kulihat, dunia masih penuh dengan
kegagalan, termasuk gagalnya pemandanganku sendiri.
Semua orang yang kusebutkan di
atas, bisa saja mewakili salah satu dari kalian. Mungkin ada dari kalian
seorang yang bahkan ketika tidur di bangku kuliahan masih lebih pandai dari
orang yang rajin ke kampus. Atau mungkin, salah satu dari kalian adalah Chris,
orang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya karena lari
dari kehidupan dan berharap menemukan kehidupan yang lain. Atau kalian adalah
Raksolnikov; seorang mahasiswa miskin yang berjuang mati-matian agar tidak di
DO dari kampusnya, sekaligus menjadi buronan karena membunuh seorang rentenir.
Jadi, kalian pasti memiliki
pemikiran sendiri mengenai sebuah buku. Aku misalnya, sebagaimaa di atas,
memiliki kepercayaan yang besar terhadap sebuah buku, bahkan cenderung aku
memujanya. Tapi pada kali ini aku meragukan buku-buku yang pernah aku baca.
Will Hunting adalah seorang
manusia bebas berusa 20 tahun-an yang memiliki kecerdasan super. Ia bekerja
sebagai cleaning service di sebuah kampus, dan suatu hari ia menulis jawaban
atas pertanyaan seorang profesor yang terpampang di papan tulis lorong kampus.
Cerita seperti tentu saja akan memukau penonton, semacam superhero yang selalu
menolong kaum lemah, kita berharap Will Hunting akan menjadi besar dan
menyelamatkan kehidupan banyak orang.
Film ini berbeda, Will ternyata
memiliki sesuatu yang menarik dalam hal psikologi. Setelah berganti psikolog
hingga lima orang, will bertemu dengan Sean; Psikolog nyentrik yang di perankan
oleh Robin William. Sean, ketika duduk di pinggir danau berkata : “Kau tak punya orang tua, kan?, Kau pikir
aku tahu bagaimana sulitnya hidupmu... Bagaimana perasaanmu, siapa dirimu...
karena aku baca Oliver Twist?” aku terkejut sendiri membaca serangkaian
kalimat yang dari tadi di ucapkan oleh Sean. Semuanya seperti rangkuman buku
dari orang-orang yang terkenal. Seperti ketika kita membicarakan perang, maka
kita akan mengutip Shakespeare. Kalau kita bicara orientasi seksual, maka kita
akan mengutip Freud. Kalau kita membicarakan lukisan, kita akan mengutip
Picasso atau Michelangelo.
Benar seperti itu, persis. Itulah
yang kita bicarakan setiap saat. Kita seperti tidak memiliki kekuatan untuk
menjadi pribadi yang unik karena kita selalu melabelkan segala permasalahan
kepada ilmu seseorang yang orang tersebut sudah mati. Kita tidak semuanya tahu
apa yang difikirkan oleh Hemingway, Dali, atau Monet. Kita tidak pernah bisa
berdialog dengan mereka, kita hanya membaca karya mereka, yang itu mungkin pemikiran mereka.
Bahkan ketika aku menulis ini
adalah karena aku terpengaruh pada bahan bacaanku. Maka, aku sendiripun tidak
pernah benar-benar orisinil dalam menjalankan kehidupan. Betapa tidak
berdayanya aku terhadap buku bacaan. Aku mengaggap, dengan membaca seluruh
buku, aku akan mengerti seluruh kehidupan; tapi nihil. Malah sebaliknya, aku
semakin jauh dari kepercayaan terhadap kemampuanku sendiri.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.