2013-02-21

Ulasan Film: Fight Club


Sepertinya, dalam tiga film terakhir yang kutonton menyajikan sebuah kesimpulan yang agak melenceng dari pemahamanku. Fight Club (1999), Melancholia (2011), dan The Art of Getting By (2011), memunculkan tokoh utama yang sama-sama memikirkan tentang kematian. Yaitu, kerelaan hidup untuk menerima segala hal yang terjadi di dunia ini, bahkan kematian itu sendiri.

Aku mengambil sesuatu dari sini, semacam generalisasi atas orang-orang yang tak percaya kepada agama. Maka ada perbedaan mendasar antara orang beragama dan atheis dalam menyikapi kematian. Bagi orang beragama, terutama saya, akan menyikapi kematian dengan baik. Dalam artian, menyiapkan diri menjadi lebih baik demi menghadapi kematian. Ini mungkin, tak lain, karena tuhan telah menetapkan sebuah pengadilan yang maha adil setelah kematian ini. Sedangkan bagi orang yang tak beragama, tidak ada pertanggungjawaban apapun terhadap kematian. Pada skala lebih besar, orang yang tidak percaya kepada alam kubur, atau alam lain sesudah kematian, akan berpikiran sama dengan dengan orang atheis –meskipun dia beragama.

Tyler Durden, yang dibintangi oleh Bradd Pit, memainkan peran besar dalam film Fight Club. Ia berperan sebagai bayangan yang senyata pikiran kita sendiri. Pernah lihat film Beautiful Mind? Tyler Durden adalah manusia imajiner yang hidup dalam diri seorang narator film. Jadi ada satu orang yang memiliki dua kepribadian. Dan itu hal yang wajar mengingat dunia sekarang adalah dunia yang penuh dengan tipuan. Dari judulnya, ini terlihat seperti fim laga yang penuh dengan kejar-kejaran mobil, pukul memukul, tinju, kriminal, narkoba, dan sebagainya, namun lebih dari itu, ini film tentang kehidupan sesungguhnya.

Pernah berfikir bahwa kita dikendalikan oleh sesuatu? Cobalah fikirkan, apa yang mengendalikan kita. Hentikan membaca selama satu menit. Lalu kita akan terkesiap karena kita dikendalikan oleh iklan yang berseliweran dalam setiap kesempatan yang ada. Di mana-mana kita bertemu dengan iklan. Itulah gaya hidup. Dan film ini seperti ingin menggugat gaya hidup yang hanya sekedar ‘sesuatu yang tidak pernah kita butuhkan’.

Kita adalah budak iklan, kita sadar. Itulah pesan yang ingin di sampaikan oleh film ini. Kita yang membeli ini itu tanpa tahu kebutuhan apa yang sebenarnya. Kita hanya menginginkannya, lalu kita membeli karena perusahaan iklan begitu cerdas untuk membujuk kita –oh, tunggu, atau kita yang terlalu bodoh untuk dengan mudah di bodohi? Tyler, yang mengaku budak iklan, memang tidak bisa menghentikannya. Ia punya uang, dan dengan mudah tertarik; meja kopi berbentuk Yin-Yang, Sepeda Rumah Hovertrekke, Sofa Omashab dengan pola garis hijau, lampu ryslampa dari kertas mentah, bahkan peralatan makan dengan gelembung kecil dan ketidaksempurnaan.

Dalam The Confession of Shopaholic (2009) dijelaskan secara tersurat, di ucapkan oleh Rebecca Blomwood “When I shop, the world gets better, and the world is better, but then it's not, and I need to do it again”. Apakah benar bahwa ketika kita berbelanja, maka dunia terasa lebih baik? Mungkin bagi kita yang tidak pernah kecanduan belanja, akan mengatakan itu pertanyaan bodoh. Tapi bagaimana dengan orang seperti Blomwood? Tyler? Iklan telah benar-benar membunuh kita selagi kita hidup. Sekarang,  di sini, kita mati berdiri menggunakan semua hal yang merupakan hasil dari pesona iklan. Seorang perempuan, mungkin bangga mengucapkan hal ini : I wear, jacket : Visa, Dress : Amex, Belt : MasterCard, Bag : Gucci (Blomwood dalam film yang sama).

Dan harus ada seseorang yang mulai memikirkan ini dengan benar, lalu mulai menghancurkan dunia ini. Di mulai dari sebuah club kecil, tempat orang bebas berfikiran apapun –bahka melakukan kekerasan. Memukul temannya sendiri dengan bangga, membuat darah yang mengalir indah itu muncrat kemana-mana, lalu selesainya mereka berpelukan dan saling tertawa. Tentu, tak pernah terbayangkan club hancur macam begitu. Kata Tyler “Seberapa banyak kau akan mengenal dirimu jika kamu tidak pernah berkelahi? Aku tidak mau mati tanpa luka” lalu terbentuklah sebuah “Fight Club”. Judul film sekaligus tempat di mana semua di mulai.

Tyler yang memiliki sisi “fight club” ini berbeda dengan Tyler yang bekerja di Kantor. Jadi, ia berperan ganda antara menjadi pengikut dan atau menjadi pemikir utama. Tyler yang fight club inilah yang sebenarnya mencuri perhatian penonton karena ia memiliki pemikiran yang berbeda dengan umumnya manusia. Ia seorang yang siap menerima segala sesuatu. Suatu sisi lain yang kadang di tolak oleh manusia karena selalu ingin menjadi pengendali dalam segala situasi. Maka pada suatu kali, Tyler mengendarai mobil dan membiarkannya menuju segala arah. Berakhirlah mobil itu ke jurang.

Orang ini, yang sudah siap menyerahkan semuanya kepada kematian, benar-benar kesulitan memahami dunia dari sisi kapitalis. Satu-satunya hal ideal yang ada dalam pikirannya adalah bahwa dunia ini harus menjadi baik. Tidak ada lagi iklan yang selalu melakukan kebohongan publik tanpa dikenai denda atau hukuman penjara. Ia katakan bahkan, “apakah guna penutup ranjang yang tebal?” “sebagai penghangat, selimut!” “Lalu mengapa kita mengenal duvet? Apakah itu penting untuk keselamatan kita?” Setelah ku searching apa itu duvet, ternyata semacam bed cover yang nyaman dan berharga mahal.

Lalu dengan nada tetap sinis, Tyler melanjutkan “Kita hanyalah konsumer. Pembunuhan, kejahatan, kemiskinan, tidaklah kita pedulikan. Yang kita pedulikan hanyalah majalah artis, televisi dengan 500channel, nama orang yang tercetak dalam celana dalam –rogaine, viagra, olestra, martha stewart…”. Yup, jika yang lain menyimpulkan bahwa kita adalah apa yang kita baca, maka aku berkata: kita adalah apa yang kita beli.

Dan cara mereka yang telah siap untuk mati ini adalah dengan menghancurkan semuanya. Ini pasti sangat tidak sesuai dengan kepercayaan yang dimiliki oleh kaum beragama. Bertolak belakang. Fight Club dibentuk untuk tujuan menghancurkan peradaban modern yang susah payah dibangun ini. Mereka menjadi agen-agen inteligent persis seperti freemason yang menyelinap dalam organisasi apapun. Ia seperti sel-sel mandiri, terorganisir dengan sangat teratur untuk membuat kerusakan mendalam pada tubuh kebudayaan manusia.

Jadi, film ini benar-benar membuatku begidik tentang apa yang terjadi pada dunia ini. Membuka mataku, sekaligus menutup mataku dalam-dalam.

2013-02-20

Makassar Menyala

Aku baru pulang dari sebuah rumah makan tempat Penyala Makassar melakukan konferensi. Setelah berbasah-basahan dengan seorang Agus, aku menyalakan laptop dan mulai menulis tentang sesuatu yang terlintas. Begitu banyak wajah baru, bermunculan seperti virus flu di bulan hujan seperti sekarang. Antara sadar dan tidak, aku telah melewati sebuah kegamangan antara harapan dan realitas. Dua hal yang selalu bertolak belakang, seperti hujan dan kemarau. Saling menghapus, saling terkam, dan bunuh membunuh.

Berada di sudut meja, aku mengenang masa ketika tes Indonesia Mengajar. Begitu banyak wajah cerah, penuh derita perjuangan yang tak kenal lelah, tapi semua bersatu padu, penuh tekat untuk ikut menggemukkan pendidikan indonesia. Mereka rela dikirim ke daerah pelosok dengan segala konsekuensinya. Aku tahu, banyak hal menjanjikan mereka di luar ini. Seorang pemuda-pemudi energik dengan semangat yang tumpah ruah, tentu memiliki cita-cita yang tinggi. Tapi mereka melimpahkan kekuatannya untuk membangun bangsa, bukan membangun diri sendiri dengan segala jenis prestisius yang mungkin akan mereka miliki.

Di sinilah mulai keoptimisanku yang sempat hilang terpendam sepanjang perjalaan. Sebagaimana di seleksi Indonesia Mengajar, di Penyala Makassar ini banyak sekali orang-orang yang telah mapan dalam kehidupannya, atau paling tidak, orang-orang yang bisa memprediksi masa depannya secara gemilang. Lalu mereka menyempatkan diri untuk rehat sejenak, merehatkan pikiran egois, melampaui semua itu, bersatu untuk menciptakan harapan. Lilin di nyalakan, terang menyebar cepat, dan semuanya berteriak: Aku Penyala.

Dan diam-diam, kudapati diriku berada di sana. Tersenyum bahagia karena binar wajah mereka. Duh gusti, pada akhirnya, pahlawan muncul dengan berbagai cara.

Kesempatan

Waktu, meskipun berjumlah 24 jam, nilainya berbeda di setiap orang. Dan nilai yang ada ini selalu 
berhubungan dengan kesempatan yang digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan. Semakin banyak kesempatan yang diambil, maka semakin banyak pula pemenuhan kebutuhan akan nilai. Kita anggap kesempatan adalah sesuatu yang bebas nilai. Maka jika 24 jam yang ada digunakan untuk kebaikan, maka nilainya positif. Begitupun sebaliknya, nilainya negatif jika digunakan untuk keburukan.

Kita masih ingat seruan Bang Napi zaman batu dulu, bahwa kejahatan tidak terjadi hanya karena adanya niat, tapi juga kesempatan. Maka persempit kesempatan orang untuk berbuat jahat, agar kejahatan berkurang di muka bumi *karena dalam dunia nyata tidak ada power ranger. Maka kesempatan ini, juga berlaku untuk mendapatkan nilai kebaikan. Karena ternyata, ketika kesempatan dibuka, banyak orang baik berdatangan untuk mengisi kebaikan tersebut.

Dalam hal ini, adanya Penyala Makassar adalah salah satu bentuk kesempatan yang dibuka untuk menyelematkan generasi bangsa dari kepunahan intelektualitas. Aku sangat yakin, kalau saja tidak ada Penyala Makassar, beberapa orang  masih akan berkutat pada masalahnya sendiri-sendiri. Atau kalaupun mereka sadar dan bergerak melakukan penyelamatan, maka skalanya akan kecil karena bersifat individu. Dari hal yang demikianlah saya sadar, bahwa perlu dibentuk lowongan berbuat kebaikan agak semua orang sadar bahwa berbuat baik itu mudah. Membahagiakan orang lain itu banyak caranya.

Yang aku aku kagumi lagi adalah, Penyala Makassar tidak mau berurusan dengan proposal pendanaan dari sponsor. Jadi aku masih tidak faham, dari mana mereka mendapatkan dana untuk kegiatan itu, ke sana-kemari, membeli ini itu. Yang aku tahu, itu dari dana pribadi –aku melihat dengan mataku sendiri ketika uang 100rb-an keluar dari dompet salah seorang tanpa banyak pertimbangan. Fiuh, mataku seperti kena serpihan kaca. Dan masih banyak orang yang secara serampangan mengeluarkan uangnya untuk kegiatan ini. Betul-betul luar biasa.

Maka saya optimis, bahwa kedepannya, jika kesempatan berbuat baik ini tetap dibuka, akan semakin banyak orang yang akan bergabung, dan menjadilah Makassar Menyala dari lubuk hatinya.

2013-02-19

Rumah Penyala


home is where the heart is –Pliny the Elder

Sambil menonton kembali film yang mengingatkanku pada neraka; SAW VI, aku secara tidak sengaja berfikir tentang rumah. Mulai membayangkannya, lalu tersenyum.

Kadang, dalam perjalanan panjang ini, kita menemukan sesuatu yang kita nyaman berada di dalamnya. Aku akan menyebutnya rumah. Sebagaimana ketika kita kecil, rumah menjadi tempat yang selalu kita huni, jaga, dan rindukan. Meski pada waktu itu kita tidak pernah memperhatikan perasaan, kita tahu bahwa rumah mendapatkan tempat yang istimewa dalam perasaan kita. Di samping ada ibu yang selau menunggu kita sepulang sekolah dengan masakan yang mesti pas di lidah, juga ada tempat tidur yang nyaman, yang tidak bisa digantikan dengan tidur di rumah teman.

Lalu semakin kita besar, kita terbiasa meninggalkan rumah yang indah itu karena beberapa pikiran realistis. Banyak hal yang membuat kita meninggalkan rumah, salah satunya adalah sebuah perjalanan menemukan diri sendiri, aku menyebutnya backpacker –meskipun tidak secara keseluruhan. Seperti saat ini, rumahku yang indah itu melintasi lautan. Dan berdiri di sini menatap atas cakrawala yang selalu membuatku penasaran, ku menemukan rumah yang baru. Rumah yang tidak ada omong kosong di dalamnya, rumah yang bisa membuatku menangis tertahan, senyum mengembang, dan tentu saja bangga tiada tara.

Mereka menyebutnya Penyala. Lalu aku menyebutnya rumah penyala. Dari sini, aku yang pernah merasa sudah terlalu lama hidup di dunia ini sehingga pantas untuk tinggal di desa tanpa peradaban, merasa ingin hidup berkali-kali, tersebab senyum ramah yang sering kutemui di rumahku yang baru ini. Terlebih karena kita bisa membahagiakan orang lain berkali-kali, bahkan lebih dari kemampuan kita membahagiakan diri sendiri.

Rumah bahkan lebih penting dari yang kita pikirkan. Dari sini muncul berbagai macam karakter yang pernah kita ketahui, muncul dalam lingkungan sosial kita yang eksentrik. Rumah membantuk mental, membentuk kepribadian, bahkan dapat membentuk kecerdasan kita. Jika kita tepat membangun rumah, baik secara fisik (bangunan) maupun non fisik (kenyamanan) maka kita sungguh telah menumbuhkan keluarga yang sejahtera. Karena rumah adalah segalanya. Dan Confusius, pernah berkata “the strength of a nation derives from the integrity of the home”.

Pada cerita yang lain, suatu kali, dengan nada sinis, seorang mantan pacar yang sudah menikah bertanya padaku; “apa tujuanmu hidup sekarang, sayang?”. Aku membayangkan bahwa dia memiliki seringai mengerikan dan taring tajam yang ingin menerkamku hidup-hidup. Aku menjawab dengan hatiku yang lurus; “untuk kebahagiaan orang lain”. Waktu itu aku menjawab dengan sangat serius karena sedang melamar menjadi Pengajar Muda –keinginan yang sudah wafat beberapa bulan yang lalu karena gagal seleksi. Lama-kelamaan aku menertawakan jawabanku sendiri, dan meragukan apakah ada kehidupan macam itu? Dan yang lebih penting, apakah aku sanggup menjalani kehidupan yang sedemikian?

Akhirnya kuputuskan menjadi backpacker, dalam arti yang kubuat sendiri, melakukan perjalanan dengan caraku sendiri, tanpa harus tahu pandangan orang lain tentang backpacker tersebut. Hal ini sebenarnya menyesatkanku karena aku sudah terlanjur akrab dengan dunia akademis. Sebuah pilihan rasional bagiku, karena selama kuliah aku begitu dalam menyelam ke paru-parunya. Lalu semuanya berhamburan seperti kuman terkena sabun cuci, aku kutu, bercerai dari cita-cita lalu menekuni hobi lama yang menyenangkan.

Mungkin jawabanku atas pertanyaan sinis diatas menyumpahiku. Karena sekarang, di Makassar, aku secara ajaib terlibat menjadi anggota penyala makassar. Tenang, I’m not a madman. Sebenarnya aku sadar, hanya sesekali sok tidak sadar. Begitu pula di penyala makassar ini, rumah baru yang bercat semangat, berkeringat di gelap matahari, berpanas dari emosi dan bergulat pada kemanusiaan, aku banyak belajar dari mereka. Dari orang-orang yang hampir tidak mengelap keringat di dahinya –kecuali itu keringat sungguhan yang memang menyebalkan.

Lalu, sebagaimana rumahku yang diseberang lautan, yang tidak selamanya kuhuni meski sangat ingin, seperti itulah rumah penyala. Tangan yang terkepal pada awal perjalanan, telah mendidihkan jantungku menuju ujung timur indonesia. Aku tidak bisa berhenti pada rumah yang ini. Aku tahu, rumah memang sejatinya sebagai tempat peristirahatan yang sempurna sebelum kita kembali pada perjalanan yang sebenarnya. Aku singgah pada rumah-rumah yang menampung semangatku. Meski ada ragu menyergap, kuyakin itu hanyalah tantangan dari diriku sendiri untuk melangkah sedikit lebih jauh.

Mengenal sosok-sosok inspiratif ini, aku ingin kembali percaya pada energi positif yang mampu kita tebarkan. Namun selalu, ketakutanku menghancurkan diriku sendiri. Aku selalu takut banyak bicara karena pengalaman telah mendidikku untuk banyak bicara. Meski pada suatu waktu, banyak bicara telah memerangkap mulutku pada pilihan hidup dan mati. Sehingga, biarlah aku menjadi penggembira dalam rumah baruku ini. Yang membuat gosip tentang perkenalan, juga membuatkan puisi untuk kalian nikmati sebelum tidur malam. Aku senang, aku bangga pada kalian. Meski kebanggaanku ini tidak berpengaruh apa-apa, karena aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanya seorang pelancong yang suatu hari mesti melanjutan perjalanan, lalu kita sama melanjutkan hidup masing-masing.

Yang kutahu akhirnya, meskipun pada suatu hari nanti kita pulang, kembali pada rumah kita yang dulu, semua tidak akan pernah sama lagi. Maka kuberharap, ketika aku berkunjung ke rumah penyala, ia bukan lagi sekumpulan orang yang berjuang keras demi kebahagiaan orang lain, tapi juga berisi segala sesuatu yang dibutuhkan untuk kebahagiaan diri sendiri, juga kebahagiaan orang lain. Karena, charity begins at home, but should not end there. -Thomas Fuller. ^^

Namun aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal itu sekarang.

2013-02-15

Menebar Terang di Makassar

(Usai Acara Say It With Books, @Fort Rotterdam - Makassar)

The purpose of life is not to be happy. It is to be useful, to be honorable, to be compassionate, to have it make some difference that you have lived and lived well.”Ralp Waldo Emerson
Hal paling indah ketika menikmati perjalanan adalah bisa bertemu dengan orang-orang yang peduli pada nasib bangsanya. Dan kepedulian itu teraplikasi dalam kegiatan sosial yang tidak mementingkan diri sendiri, penuh senyum, semangat, dan jalinan persaudaraan yang akut. Aku merasakan itu di Penyala Makassar, sebuah gerakan yang kukira, tidak pernah kutemui keluarbiasaannya selama 20 tahun aku hidup.

Di sinilah aku berada, ditanggal cantik 14 Februari, bersama beberapa orang yang agaknya sinting, berkoar-koar tentang penyelamatan generasi bangsa. Di depan sebuah benteng peninggalan belanda, yang namanya tidak pernah kusetujui karena itu simbol penjajahan, kami berdiri di panas matahari sambil tetap berusaha mengembangkan kebanggaan. Tanpa banyak bicara, tanpa berpanjang-panjang filosofi, kita bergerak dengan satu tujuan mulia : menyalakan indonesia melalui makassar. Maka jadilah, gerakan ini lebih baik dari pada gerakan lain yang pernah aku temui.

Aku datang dengan membawa banyak kerepotan, terutama kepada Mbak Ikes yang pagi-pagi sudah melakukan perjanjian denganku untuk bertemu di depan sebuah toko bernama Elizabeth. Secara ringkas, kami berhasil melakukannya, lalu tiba di Fort Rotterdam pukul 08.37 disambut oleh Dimas yang berjalan ke sana kemari padahal di sana ada Inar yang juga anggota Penyala Makassar –tapi mereka tidak saling sapa. Sungguh, hubungan yang buruk. Tapi itu bukan masalah, karena pada akhir acara, pada pukul 22.30 mereka berdua malah berboncengan diam-diam untuk pulang.  Meskipun sedih, aku masih bisa berpesan kepada Inar, “Hati-hati di bonceng sama Dimas, punggungnya suka nakal”.

Aku benar-benar banyak dikejutkan oleh pemuda-pemuda yang ada di Penyala Makassar. Mereka bukanlah tipe orang yang tidak ada pekerjaan sehingga mau bersusah-susah mengumpulkan buku untuk orang lain. Mereka semua bahkan sudah bekerja, dan masih menjadi mahasiswa, bukan pengangguran yang menggantungkan hidup dari gerakannya. Tapi mereka merelakan waktunya, tubuhnya, pikiran, tenaga, dan harta bendanya demi kepentingan sesuatu yang kita sebut : cita-cita luhur. Bukankah itu yang telah lama hilang dari negeri kita tercinta ini?

Aku sudah melalui banyak waktu untuk sekedar hidup, dari komunitas seni, gerakan perubahan, hingga panti asuhan dan pengembangan perpustakaan, namun tak semua bisa berjalan sesuai rencana karena terbentur dengan keterbatasan-keterbatasan sumber daya organisasi. Dan sekarang, aku melihat ada sesuatu yang berbeda di Penyala Makassar. Perbedaan itu membuatku membuka mata, menjungkirbalikkan pemikiranku sendiri.

Di Penyala makassar itu, tak kulihat satupun orang yang merasa bahwa dirinya bekerja melebihi teman-temannya yang lain; yang mana dalam banyak kasus, ini akan melemahkan kinerja orang tersebut, dan menyebabkan ke-iri-an itu menular dengan cepat. Akhirnya, tak satupun yang melakukan sesuatu secara sempurna. Padahal dalam bekerja, yang sangat penting adalah mengerjakan sesuatu dengan sempurna, maka kita akan menjadi yang terbaik dalam hal itu. And I found it here…!

Kemudian aku merasakan sesuatu yang lain, yang biasanya aku tidak mempercainya karena itu bullshit dan mustahil. Di sini tidak ada pembicaraan bernuansa ideologis yang kerap kita temui pada organisasi-organisasi kemahasiswaan. Jadi tidak ada filosofi apapun yang dibahas berlarut-larut hingga menumpulkan kerja keras fisik. Semuanya dilakukan berdasarkan kontrol kesadaran penuh, dengan visi jelas, dan misi yang sudah dirumuskan sesederhana mungkin. Sebelumnya aku masih percaya pada pembicaraan-pembicaraan mengenai keadaan bangsa yang bobrok, keadaan mahasiswa (apalagi di Makassar) yang hanya bisa demo, ataupun apatisme yang menghantui kota besar, akan membawa pada semangat juang yang tinggi. Namun di sini, pada situasi penyala makassar, aku salah. Dari awal aku masuk, hingga terakhir berkumpul bersama mereka, tidak ada pembicaraan hal-hal macam begitu.

Aku merenung, ini tentu saja bukan kemunduran. Bahwa pada hakikatnya, gerakan pencerdasan atau penyadaran dibentuk untuk meraih keberhasilan secara nyata yang sebesar-besarnya. Aku pernah mengikuti gerakan nasional untuk menyadarkan pemuda bangsa agar sadar budaya. Kami banyak diskusi, menemukan banyak hal baik secara psikologis, komunikatif, hingga gempuran konspirasi media massa tingkat internasional. Namun tak satupun berhasil membawa perubahan yang sebanding dengan yang kami diskusikan. Aku masih mereka-reka kesimpulan ini, namun yang jelas, Penyala Makassar, telah memberikan gambaran-gambaran baru tentang menjadi manusia.

Semoga aku tidak terlalu mendramatisir kehidupanku sendiri. Jadi beginilah akhirnya, aku bangga bisa mengenal gerakan Penyala Makassar. Bahwa kita dilahirkan untuk tidak egois, itu benar sekali. Penyala Makassar telah menumbuhkan harapan yang mungkin tinggal seperti lilin di gemerlap lampu perkotaan. Betapa banyak orang yang kehilangan harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Aku menjadi teringat sebuah kalimat,

“The best way to not feel hopeless is to get up and do something. Don’t wait for good things to happen to you. If you go out and make some good things happen, you will fill the world with hope, you will fill yourself with hope.”Barrack Obama.

Makassar, 15 Februari 2013

2013-02-14

Tentang Menulis

“There is nothing to writing. All you do is sit down at a typewriter and bleed.” -ernest hemingway

Ingin menulis tapi tidak tahu apa yang hendak kutulis. Begitulah malam ini bermula. Dan itu adalah hal yang paling rutin kutemui pada diri setiap orang. Mungkin bagi beberapa adik tingkatku yang belajar menulisnya belum sekeras aku, menganggap bahwa aku selalu punya ide untuk ditulis. But it's wrong. Jelas sekali bahwa pada malam ini aku tidak bisa menulis apa-apa kecuali sebuah curhatan yang aku sendiri berharap, jauh dari sifat kekanak-kanakan masa remaja. Di sinilah aku akhirnya, dan memutuskan untuk menonton film.

Despicable Me (2010) ku ambil dari sarangnya. Film ini memiliki kisah unik yang tidak harus di tonton oleh anak-anak. Tapi tetap lucu dan tidak masuk akal bagaimana seorang penjahat berencana mencuri bulan untuk di masukkan dalam sakunya. Selesai menontonnya, aku merasa harus menulis. Merasa harus menulis tapi tidak tahu harus memulainya dari mana. Kemudian aku menjadi ingat, mengapa setiap selesai membaca buku atau menonton film, aku merasa wajib menulis?

Ya, sekarang, setiap mendapatkan sesuatu yang baru, aku selalu merasa bertanggung jawab untuk menuliskannya. Aku memikirkan sebab musababnya, tapi ternyata tidak menemukan jejak perjalanan ini sama sekali. Jadi tidak ada filosofi apapun yang mendasari hal ini. Mungkin juga sebab beberapa tahun yang lalu ketika sibuk mencari bahan tugas kuliah dan tidak menemukan di internet, saya mulai bertanya, dari mana sesungguhnya segala sesuatu yang ada di internet ini? Sepertinya semuanya ada di sini. Dan jawabannya cukup sederhana, tidak lain adalah dari kita sendiri yang menulis tentang sesuatu, lalu kita upload di internet.

Maka dari itulah saya begitu menyesal jika blog yang kubuat sekitar empat tahun yang lalu tersebut tidak berisi artikel yang informatif. Aku benar-benar baru faham mengenai diriku sendiri. Memang awalnya membuat blog adalah sebagai gagah-gagahan karena tidak semua orang pada masa itu faham tentang dunia blogging. Itu sekitar Agustus 2008, tahun ketika pertama kali aku masuk kuliah, dan begitupula aku berkenalan dengan internet secara intensif di perpustakaan Universitas Trunojoyo.

Jika kita tidak menulis apa yang kita tahu, maka selamanya internet tidak akan berisi tulisan yang berbobot. Dunia sekarang, di mana orang-orang telah memfungsikan diri sebagai robot egois, internet hanya dipenuhi oleh orang-orang yang ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Mereka menggunakan internet untuk segala sesuatu (biasanya bisnis dengan dalih enterpreneur) yang bisa mendatangkan keuntungan kepada mereka. Hal ini bisa ketahui dari banyaknya pop-up window yang muncul di link-link tertentu tanpa kita berniat membukanya. Juga pada iklan-iklan yang bergentayangan di facebook, di dinding dan pesan pribadi, semua orang sedang berjualan. Ingin kaya sendiri.

Maka begitulah kehidupan jaman sekarang. Menulis, di samping dalam segi ekonomi bisa mendatangkan keuntungan, bisa juga sebagai jalan memberi. Inilah hal yang bisa bita lakukan ditengah gencarnya sikap egois yang ada di Indonesia. Maka saya pernah –dan sampai sekarang, menyesal tidak memiliki kemampuan bahasa inggris, karena dalam bahasa internasional itulah segala informasi di sediakan. Ketika kita menelusuri internet, mencari suatu artikel yang penting, maka betapa banyak blog yang mengkopi paste dari situs orang lain berharap ia mendapatkan keuntungan dari artikel yang di kopinya. Ia menjual iklan dengan menampilkan tulisan orang lain. Miris bukan?

Menatap hal ini, aku bahkan pernah membayangkan untuk membentuk komunitas wikipedia, yaitu semacam komunitas yang bervisi menelusuri wikipedia (salah satu penyedia informasi gratis mengenai segala sesuatu) lalu menulis apapun yang belum ada di wikipedia tersebut. Kita menyebar segala macam informasi, bisa melalui menerjemahkan beberapa artikel dari bahasa asing, atau benar-benar menulis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman. Namun itu terasa sulit karena tentu saja, di mana-mana, komunitas atau organisasi nirlaba itu jarang peminatnya, dan kalaupun ada peminatnya, jarang bisa bertahan lama.

Akhir 2011 lalu saya magang di perusahaan telkom tingkat kota. Di sana tersedia berbagai macam paket internet yang kesemuanya mendukung proses download yang besar dari pada kapasitas upload. Ini bukan salah perusahaan memang, mereka membuat paket seperti itu sebab kebutuhan masayarakat untuk mendownload lebih besar dari pada mengupload. Ini berarti, masyarakat yang menadahkan tangan jauh lebih besar dari pada yang mengulurkan tangannya. Kita bahkan menggunakan kata berselancar, menelusuri, mencari referensi, mendownload, dan semua kata yang berhubungan dengan internet pasti menggunakan kata yang bersifat meletakkan tangan di bawah.

Untuk itulah menulis itu perlu dan penting. Jika kita seseorang yang rajin membaca, rajin mendownload film dan music, maka sudah saatnya kita juga membuat tulisan untuk di baca orang lain, juga barangkali membuat film –jika berkapasitas, atau menuliskan resensi dan analisis yang di dapat dari menonton film tersebut. Semua ini demi kekuatan bahasa indonesia kedepannya, demi referensi pengetahuan dalam bahasa yang katanya kita cintai setengah mati ini. Agar orang-orang yang cerdas generasi selanjutnya, tidak lagi lari ke dalam bahasa asing demi mengembangkan pemikirannya sendiri. Demi mengembangkan bangsanya –berarti juga kita. 

2013-02-04

Mengasingkan Diri Into The Wild: Ulasan Film

"kau salah jika berfikir bahwa kebahagiaan hidup berasal dari hubungan sesama manusia. Tuhan meletakkannya di sekitar kita, ada dalam segalanya. Ada dalam apapun yang dapat kita alami. Orang hanya perlu mengubah cara mereka melihat hal-hal tersebut" -into the wild,

Kadang kita memang harus tidak peduli dengan semua hal yang ada di dunia ini. Berhenti menjadi shalih lalu mencoba memusuhi seluruh manusia yang jelas-jelas tidak berhak dipanggil manusia. Kita kemudian menjadi resi atau menjadi pendeta yang tidak pernah berkonotasi negatif pada ketamakan dan kesombongan. Karena menjadi Kiyai sudah jamak salahnya, sinetron telah mempertontonkan hal tersebut dengan brutal sekali –yang dari sini, bahkan saya tidak tahu siapa yang berbohong, apakah sinetron itu, apakah kiyai di dunia nyata.

Keluar diam-diam, membakar semua uang yang akan memonopoli kesadaran, membawa buku dan poplen kecil yang tahan cuaca. Kita juga tinggalkan keluarga yang seumur hidup kita benci. Ya, keluarga ini, betapa banyak yang mengumpat bahwa ibunya teramat posessif, ayah yang pemarah, kakak tukang ngatur, adik cengeng dan suka mengadu, bahkan tetangga yang egois. Tapi keluarga itu, bagaimanapun, kita pertahankan karena lingkungan kita mengharuskannya begitu. Sakit yang ditahan sendiri, menjadi bisul dan penyakit paru-paru.

Setelah benar-benar keluar dan tak satupun orang yang tahu keberadaan kita, kita bisa melakukan sebuah perjalanan yang difilmkan, judulnya mungkin saja, Into The Wild. Bagaimana jika itu sebuah kenyataan?

Kadang sebuah film memang menggambarkan kenyataan yang sulit kita tolak kebenarannya. Begitu pula film yang satu ini, sebuah perjalanan menuju Alaska untuk bersatu dengan alam. Barangkali itu terjadi kepada kita, lalu setelah kita melakukan perjalanan tersebut, ternyata kita mati ditengah hutan tanpa seorangpun yang tahu. Saya yakin, itu suatu hal yang benar-benar beresiko dan tidak diinginkan oleh semua orang. Namun begitulah adanya, ini adalah kisah nyata di mana Cris, yang diperankan dengan apik oleh Emile Hirsch, karena kebenciannya dengan masyarakat yang penuh kebohongan, terutama karena kekecewaannya terhadap keluarga, kemudian melakukan perjalanan yang mengesankan ini.

Nama aslinya adalah Cristopher McCandless. Ia seorang sarjana yang mendapatkan nilai yang memuaskan di Emory University yang kemudian gagal bersosialisasi dengan masyarakat. Ia adalah pembaca buku kelas berat, semacam orang-orang yang telah mencapai suatu pemahaman dalam hidupnya yang membuatnya bisa melakukan sesuatu secara radikal. Selama perjalanannya menuju Alaska itu, kita bisa melihat bagaimana semua persepsinya tentang kehidupan. Sebagai pembaca buku, tentu saja dia hampir sama dengan buku yang di bacanya. Dia, yang kata adiknya mampu menempatkan kata-kata terbaik dari buku-bukunya, pada peristiwa-peristiwa yang pas, memang bisa menjadi contoh untuk pemuda zaman sekarang.

Ketika memutuskan hubungan dari semua hal dan memulai perjalanan itu, dia mengatakan kepada orang lain yang sejalan dengannya : Untuk mengukur diri sendiri setidaknya sekali, untuk menemukan dirimu setidaknya sekali dalam kondisi manusia yang paling kuno, Menghadapi kebutaan, ketulian seorang diri, tanpa suatu apapun untuk membantumu selain tangan dan kepalamu. Dari sini sudah jelas tujuannya mengasingkan diri dari peradaban. Ini adalah sebuah pencaria, meskipun ia akhirnya mati, paling tidak ia sadar bahwa ia memang sedang tidak faham tentang dunia ini.

Namun bagaimanapun film ini berakar kuat pada diri saya, saya menyangsikan beberapa hal mengenai seseorang semacam Cris. Ini bukan tentang saya yang benar dan Cris yang salah atau dia gila dan saya mungkin lebih tidak waras. Pencarian adalah hak semua orang yang merasa kehidupan tidak menjawab semua pertanyaannya. Dia memiliki pertanyaannya sendiri, demikian saya dan juga pembaca. Karena awal dari semua ini adalah pertanyaan yang muncul dari sebuah ragu tentang fenomena, lalu kita mencoba berfikir, mencarinya dengan berbagai cara, dan akhirnya bermuara pada kesimpulan dan sikap hidup yang kita ambil.

Dalam banyak hal, ada kesamaan mendasar yang terjadi pada kami berdua. Banyak hal yang saya benarkan dari keadaan Cris yang kacau, dan kadang saya menyesalkan diri sendiri karena tidak cukup punya keberanian untuk melakukan sesuatu. Keberanian ini hampir sama dengan kenekatan dan juga melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Kadang saya banyak pertimbangan, kadang juga masa bodoh –dan pura-pura goblok demi memperoleh pengalaman baru. Kami sama berjalan, dengan dasar yang hampir sama namun sangat berbeda.

Saya tidak sedang benci dengan masyarakat, juga tidak melarikan diri dari keluarga yang amburadul. Begitu juga saya tidak bisa membaca sebanyak yang Cris lakukan, apalagi menghadapi semua hal dengan tangan dan kepalanya sendiri. Masih ada ketakutan dalam diriku. Dan yang terpenting dari kami berdua adalah, saya tidak mau mati dalam perjalanan ini sebagaimana Cris yang menghembuskan nafas terakhirnya di magic bus tengah hutan Alaska.