Aku baru pulang dari sebuah rumah makan tempat Penyala
Makassar melakukan konferensi. Setelah
berbasah-basahan dengan seorang Agus, aku menyalakan laptop dan mulai menulis
tentang sesuatu yang terlintas. Begitu banyak wajah baru, bermunculan seperti
virus flu di bulan hujan seperti sekarang. Antara sadar dan tidak, aku telah
melewati sebuah kegamangan antara harapan dan realitas. Dua hal yang selalu
bertolak belakang, seperti hujan dan kemarau. Saling menghapus, saling terkam,
dan bunuh membunuh.
Berada di sudut meja, aku mengenang masa ketika tes
Indonesia Mengajar. Begitu banyak wajah cerah, penuh derita perjuangan yang tak
kenal lelah, tapi semua bersatu padu, penuh tekat untuk ikut menggemukkan pendidikan
indonesia. Mereka rela dikirim ke daerah pelosok dengan segala konsekuensinya. Aku
tahu, banyak hal menjanjikan mereka di luar ini. Seorang pemuda-pemudi energik
dengan semangat yang tumpah ruah, tentu memiliki cita-cita yang tinggi. Tapi mereka
melimpahkan kekuatannya untuk membangun bangsa, bukan membangun diri sendiri
dengan segala jenis prestisius yang mungkin akan mereka miliki.
Di sinilah mulai keoptimisanku yang sempat hilang terpendam
sepanjang perjalaan. Sebagaimana di seleksi Indonesia Mengajar, di Penyala
Makassar ini banyak sekali orang-orang yang telah mapan dalam kehidupannya,
atau paling tidak, orang-orang yang bisa memprediksi masa depannya secara
gemilang. Lalu mereka menyempatkan diri untuk rehat sejenak, merehatkan pikiran
egois, melampaui semua itu, bersatu untuk menciptakan harapan. Lilin di nyalakan,
terang menyebar cepat, dan semuanya berteriak: Aku Penyala.
Dan diam-diam, kudapati diriku berada di sana. Tersenyum bahagia
karena binar wajah mereka. Duh gusti, pada akhirnya, pahlawan muncul dengan
berbagai cara.
Kesempatan
Waktu, meskipun berjumlah 24 jam, nilainya berbeda di setiap
orang. Dan nilai yang ada ini selalu
berhubungan dengan kesempatan yang digunakan
sebagai pemenuhan kebutuhan. Semakin banyak kesempatan yang diambil, maka
semakin banyak pula pemenuhan kebutuhan akan nilai. Kita anggap kesempatan
adalah sesuatu yang bebas nilai. Maka jika 24 jam yang ada digunakan untuk
kebaikan, maka nilainya positif. Begitupun sebaliknya, nilainya negatif jika
digunakan untuk keburukan.
Kita masih ingat seruan Bang Napi zaman batu dulu, bahwa kejahatan
tidak terjadi hanya karena adanya niat, tapi juga kesempatan. Maka persempit kesempatan
orang untuk berbuat jahat, agar kejahatan berkurang di muka bumi *karena dalam
dunia nyata tidak ada power ranger. Maka kesempatan ini, juga berlaku untuk mendapatkan
nilai kebaikan. Karena ternyata, ketika kesempatan dibuka, banyak orang baik
berdatangan untuk mengisi kebaikan tersebut.
Dalam hal ini, adanya Penyala Makassar adalah salah satu bentuk
kesempatan yang dibuka untuk menyelematkan generasi bangsa dari kepunahan intelektualitas.
Aku sangat yakin, kalau saja tidak ada Penyala Makassar, beberapa orang masih akan berkutat pada masalahnya
sendiri-sendiri. Atau kalaupun mereka sadar dan bergerak melakukan
penyelamatan, maka skalanya akan kecil karena bersifat individu. Dari hal yang
demikianlah saya sadar, bahwa perlu dibentuk lowongan berbuat kebaikan agak
semua orang sadar bahwa berbuat baik itu mudah. Membahagiakan orang lain itu
banyak caranya.
Yang aku aku kagumi lagi adalah, Penyala Makassar tidak mau berurusan dengan
proposal pendanaan dari sponsor. Jadi aku masih tidak faham, dari mana mereka
mendapatkan dana untuk kegiatan itu, ke sana-kemari, membeli ini itu. Yang aku
tahu, itu dari dana pribadi –aku melihat dengan mataku sendiri ketika uang
100rb-an keluar dari dompet salah seorang tanpa banyak pertimbangan. Fiuh,
mataku seperti kena serpihan kaca. Dan masih banyak orang yang secara
serampangan mengeluarkan uangnya untuk kegiatan ini. Betul-betul luar biasa.
Maka saya optimis, bahwa kedepannya, jika kesempatan berbuat
baik ini tetap dibuka, akan semakin banyak orang yang akan bergabung, dan
menjadilah Makassar Menyala dari lubuk hatinya.
cakep mas :D
BalasHapuskamu juga cakep gus, :p
BalasHapus