2012-09-20

Sebuah Langkah


"Ini adalah catatan untuk menyemangati diri saya sendiri, bukan berniat mendramatisir kehidupan"
 
Setelah menulis status seperti “centini, 19.25 bulan jatuh, aku lelah, bermimpi” seperti menyadarkanku akan banyak hal. Saya benar-benar lelah berkeliling dan ingin segera menatap kedepan, tapi aku malah memperoleh bayangan kabur. Aku menjadi tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya di rumah, paspor untuk berangkat ke luar negeri sudah ditangan, dan saya tersandung batu lagi, ah, bukan tersandung, batunya sedemikian besar, ini terhalang –dan saya lelah untuk mengitarinya.

Saya ingat sebuah film, Africa United : “Sebagai seorang manajer, Dudu akhirnya mengantarkan timnya (lima anak berusia sekitar 12-tahun) menuju Piala Dunia di Afrika Selatan. Ia menempuh perjalanan sejauh 3.000 mil dari Zimbabwe menuju Stadion Nasional di Afrika Selatan. Perjalanan yang tidak mungkin dilakukan tanpa mimpi besar”

Lama saya berfikir, mengapa mereka akhirnya sampai ke Afrika Selatan? Ada apa dengan segala keterbatasan yang dimiliki mereka? Mereka jelas-jelas miskin, dan mereka tentunya tanpa pengetahuan, usia  12 tahun lagi. Jika ada orang seperti mereka disini, tentu mereka sudah di depak dan diolok-olok. Mereka berhadapan dengan perampokan yang kejam, penipuan ;sehingga mereka kehilangan semua uang, juga dudu yang akhirnya diketahui terserang AIDS sehingga dia harus dirawat di sebuah rumah sakit, lalu dia memaksa dan mereka akhirnya berujung di perbatasan yang tidak bisa mereka lewati karena bermasalah dengan keimigrasian.

Ujung dari semua itu, mereka berhasil masuk ke tim impian, Africa United. Saya masih meraba-raba, apakah itu murni karena mimpi yang besar? Lalu mengapa masih banyak orang dengan mimpi yang nyaris sama, tersesat dan tidak menemukan mimpi itu?

Saat saya terkantuk-kantuk berfikir mengenai ini, saudara saya yang ikut menemani menonton film ini berkomentar, bahwa semua itu terjadi karena mereka tidak berhenti berjalan. Ya, tentu saja, karena mereka tidak berhenti berusaha menemukan jalan sehingga mereka bisa mendapatkan tim impian mereka, meski betapa mustahil hal tersebut untuk dilakukan.

Ya, mengapa tidak, benar mimpi yang besar harus ditopang oleh sebuah perjalanan panjang tanpa henti. Banyak orang bermimpi besar tetapi harus kandas ditengah jalan. Inilah kunci itu, tidak pernah berhenti. Karena jika kita berhenti ditengah jalan, meski sudah sedemikian dekat tujuan kita, kita akan tetap gagal.

Tokoh yang sering dibuat contoh sebagai orang yang tidak pernah menyerah adalah Thomas A. Edison. Dia telah membuat percobaan sebanyak 9.999 kali dan kesemuanya tidak menemukan hasil yang memuasakan hingga ia membulatkan jumlah menjadi 1.000 kali. Saya bisa membayangkan jika saja Edison berhenti melakukan percobaannya yang ke 8.000 atau 9.999, maka bisa dipastikan bahwa penciptaan Bola Lampu akan tersendat entah berapa puluh tahun lagi sepeninggal beliau. Sehingga muncullah katanya "Saya tidak patah semangat, karena setiap usaha yang salah adalah satu langkah maju".

Memang tidak semua orang ditakdirkan berhasil memenuhi semua keinginannya. Ini disebabkan karena usaha mereka berhenti ditengah jalan hampir ketika mereka akan berhasil. Kita harus selalu mengingat kisah-kisah bagaimana orang berhasil karena terus melangkah, melakukan percobaan, dan komitmen bahwa dia akan terus melakukannya hingga dia berhasil.

Sebagai manusa biasa, kita memang diharuskan untuk terus melangkah. Lakukan langkah itu meskipun sangat kecil. Dengan terus melangkah kita akan melakukan perubahan, paling tidak, dengan langkah kecil kita akan terus belajar daripada kita berhenti sama sekali. Langkah-langkah kecil ini yang kebanyakan membuahkan hasil gemilang daripada sekali langkah besar dan kemudian mandeg. Kita adalah manusia biasa, itu yang harus dicatat. Berbeda jika orang tua kita kaya raya yang mampu membeli sebuah pulau, ataupun kita keturunan Presiden suatu negara sehingga kita akan tetap dipakaioleh orang lain meskipun tidak punya keahlian.

Kita adalah penentu masa depan kita sendiri. Dengan melakukan langkah kecil tersebut kita akan menjaga diri kita agar terus mengingat mimpi kita seberapapun jauhnya jarak tempuh yang harus kita jalani.

Saya juga memiliki mimpi yang saat ini menemui jalan buntu. Tepat saat saya menulis ini saya tidak tahu arah mana yang harus saya tempuh. Namun saya memiliki beberapa cadangan mempertaruhkan hidup saya jika mimpi ini tidak terwujud. Tidak peduli betapa jauh jalan itu, tidak peduli seberapa dalam samudera, saya akan melayang menuju mimpi itu. Jika anda juga mengalami jalan buntu, mungkin sebaiknya kita mulai melihat lagi semua yang telah kita lalui.

Ada duri yang telah tersingkir? Adakah sesuatu yang membuat kedua orang tua kita bangga? Adakah pujian tulus dari tema-teman kita? Jika semua itu sudah ada, maka lihatlah, langkah besar sudah terbentuk meski kita tidak menyadarinya. Namun bagaimana jika tidak? Duri masih belum kita lewati, kedua orang tua kita masih belum tersenyum, juga teman-teman kita belum tahu kehebatan kita. Yang perlu kita lakukan adalah mengambil langkah. Ambil langkah itu,
genggam erat, dan jangan pernah lepaskan. Katakan itu kepada diri anda dalam-dalam, lalu rasakan getaran energi yang membuatmu bangkit dari semua kegelisahan.

Kita sama, pengejar mimpi. Yang membedakan adalah, seberapa berani kita melangkahkan kaki untuk mengejarnya…

2012-09-12

Mengapa Perempuan Cerewet?


Mencintai itu semakin rumit, apalagi zaman sekarang antara pacaran dan cinta tidak bisa dibedakan. Cinta dipaksakan sebagai sebuah ungkapan yang kosong. Dan bukan sebuah kebetulan jika tersangka dari semua kebohongan cinta adalah laki-laki. Diakui ataupun tidak, laki-laki lebih mudah jatuh cinta dibandingkan perempuan, dan pada saat bersamaan, laki-laki lebih sulit menjalin komitmen jangka panjang (pernikahan) dari pada perempuan. Lihat betapa lemahnya cinta yang dimiliki oleh seorang laki-laki.

Perempuan dan laki-laki, sering kita menyebutnya sebagai lawan jenis. Penyebutan ini bukan sembarangan, karena memang sifat antara laki-laki dan perempuan berlawanan sudah sejak mereka diciptakan. Ambil contoh yang paling mudah, perempuan konon disebut sebagai “makhluk yang cerewet”. Jika ada kata “cerewet” maka pasti dihubungkan dengan perempuan. Kalau ada laki-laki cerewet, maka kita akan menyebutnya sebagai lambe wedhok (mulut perempuan). Mengapa terjadi demikian? Kita bisa melihat hal ini dari dua aspek, pertama dari ilmu para tetua jawa, kedua dari neurologi (per-otak-an).

Pertama dari segi filsafat jawa. Perempuan berasal dari siti Hawa, berakhiran huruf “WA” yang kita pasti membuka mulut lebar-lebar jika mengucapkan kata “HAWA”. Berbeda jika kita melihat kakek buyut dari kaum laki-laki. Nabi Adam di akhiri dengan huruf “M” yang mengharuskan kita menutup mulut rapat-rapat. Hubungan ini kemudian menimbulkan kepercayaan yang sangat serius dikalangan orang jawa, yang akhirnya berkesimpulan bahwa perempuan memang suka bicara. ^_^

Kedua dari neurologi. Hasil dari pemindaian otak manusia dapat dilihat bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tinggi dalam pengolahan bahasa dan bicara dari pada laki-laki. Secara sederhanya, perempuan memang “membutuhkan” untuk mengeluarkan kata-kata sebanyak 6.000-8.000 kata sehari dengan masih menambahkan 2.000-3.000 suara-suara pendukung komunikasi, lalu masih mampu menambahkan lagi nonverbal communication sekitar 8.000-10.000. Bandingkan dengan laki-laki yang otaknya hanya mampu menyediakan 2.000-3.000 kata perhari. Apa yang sedang anda pikirkan ketika mengetahui hal ini?

Yang perlu saya tekankan adalah bahwa perempuan banyak bicara bukan merupakan kelemahan. Jadi hal ini jangan dijadikan olok-olok bagi laki-laki kepada perempuan. Begitu pula kaum perempuan, jangan merasa terhina jika di katakan banyak bicara, itulah sifat dasar perempuan yang memang tercetak didalam otaknya. Bagaimanapun, fakta berbicara bahwa laki-laki yang pedal (dyslexia) jauh lebih banyak dari perempuan, dan dalam usia yang sama, perempuan lebih cerdas 3% dari laki-laki. Kita akan membahasnya lebih lanjut di seri berikutnya.

Dari sini kita bisa mengetahui mengapa perempuan sering tidak mendapatkan laki-laki yang bisa mendengarnya dengan baik, begitupula mengapa laki-laki selalu mendapatkan perempuan yang cerewet. lalu muncul pertanyaan di kalangan perempuan, “why men don’t listen?”. Hal inilah yang kadang menjadikan kegagalan dalam berkomunikasi.

Hal lain yang berbeda dalam hal “bicara” ini adalah tujuan mereka melakukan pembicaraan. Dalam beberapa buku psikologi, hal ini dikaitkan dengan kebutuhan berkomunikasi manusia purba zaman dahulu. Seorang laki-laki yang bertugas berburu, pasti tidak akan berbicara banyak karena takut hewan buruan lari. Jadi mereka berbicara hanya seperlunya, dan biasanya hanya tentang mencari solusi-solusi. Sedangkan perempuan bertugas menjaga anak-anak dan gua sebagai tempat tinggal, sehingga mereka menjalin komunikasi antar tetangga untuk menjalin sebuah hubungan.

Jadi, ketika seorang perempuan sedang berbicara kepadamu mengenai permasalahan hidupnya (curhat), maka bukan berarti dia sedang mengeluh dan meminta solusi, tapi karena mereka percaya kepadamu. Jika sudah begitu, anda sudah berhasil mengambil hati perempuan tersebut, tinggal selangkah lagi, dia akan jatuh pada anda.

Dalam hal ini terkadang ada permasalahan yang serius. Perempuan lebih banyak merasa bahwa laki-laki selalu ingin benar sendiri. Perempuan juga merasa laki-laki suka memutuskan pembicaraan dan tidak membiarkan si perempuan mengajukan pendapatnya sendiri. Hal ini terjadi ketika laki-laki dengan sok memberikan solusi-solusi yang dikiranya itu adalah sebuah jalan keluar. Padahal si perempuan hanya ingin didengar, itu saja, begitu sederhana, sekaligus rumit.

Sebenarnya hal ini lebih kompleks dari yang saya ketahui dan saya tuliskan disini. Namun semoga gambaran kasar tersebut memberikan hasil yang baik dalam menjalin hubungan kita.

Dari sini kemudian muncul pertanyaan lain, meskipun tidak banyak bicara, mengapa laki-laki suka berbohong? Lalu pertanyaan bagi lelaki kepada para perempuan, mengapa perempuan selalu bisa menyebutkan kesalahan pria secara terperinci? Kita akan membahasnya di seri berikutnya.

2012-09-08

Paradox Kesuksesan


Melihat teman-teman dekat yang sudah menikah, kadang menimbulkan dendam yang teramat sangat. Begitu juga melihat teman dekat yang sudah menjadi ini itu, berpenghasilan segini segitu. Ini intoleransi dalam kehidupan sosial. Kita seperti berlomba-lomba “menjadi sukses”. Profil-profil dalam facebook menjadi salah satu acuan mengapa saya sebut “kita ingin menjadi manusia yang paling sukses”. Seluruh pangkat yang pernah di dapat ditulis rapat-rapat dalam media sosial, menjadi tontonan, dan berharap bahwa orang-orang akan memandang kita sebagai orang yang sukses. Inilah pamer kesuksesan.

Berkali-kali mendengar kata sukses, saya semakin gamang untuk menjawab apakah kesuksesan itu. Apakah ia harta berlimpah yang bisa membeli apapun yang dikehendaki? Ataukah ia prestasi mencengangkan yang tidak sebarang orang pernah mendapatkannya? Apakah ia seperti mendapatkan beasiswa untuk jenjang kuliah yang lebih tinggi? Ataukah sukses itu mendapatkan istri/suami yang shalih-shalihah? Atau yang lebih sakral lagi, apakah sukses itu berarti shalat khusyuk dan puasa rutin?

Sukses menjadi momok yang begitu menghantui semua orang. Ia menimbulkan ketakutan tersendiri, bahkan ia cenderung sama dengan ketakutan yang dihasilkan dari kata kegagalan.

Teman saya satu-satunya, yang pada awalnya hanya ikut-ikutan menjadi pembaca buku yang serius akhirnya mencapai “kesuksesannya”. Dia menjadi sekjend sebuah organisasi nasional –prestasi yang tidak sebarang orang bisa dapatkan, apalagi dia hanya berasal dari kampus paling ndeso di indonesia. Saya berdecak kagum akan kegigihannya yang melampaui orang-orang yang dahulu menyepelekannya. Mungkinkah dia orang sukses itu?

Teman saya yang lain, telah menjadi pengusaha di luar negeri, memiliki banyak anak buah yang bekerja padanya. Hari raya kemarin, dia pulang ke rumah dan membawa uang 250 juta. Dia mentraktir kami makan bakso paling mahal yang ada desa seraya bercerita dengan jujur bahwa dia memperoleh kesuksesan di perantauan. Saya dan beberapa teman-teman berdecak kagum karena dia dulu hanya bocak tengik yang suka terlambat sekolah. Apakah mungkin dia orang yang sukses itu?

Teman saya yang lain, menikah dengan orang yang dicintainya. Ia menikah dengan orang yang ingin menikah dengannya. Mereka berdua adalah sosok yang dulu saya pernah bayangkan –contoh orang yang shalih dan shalihah. Akhirnya mereka dipersatukan oleh Allah. Mereka terlihat bahagia dan sering mengumbar kemesraan yang dirindukan oleh sebagian besar umat manusia. Mereka bahkan juga menulis beberapa kalimat yang menunjukkan kebersamaan mereka menghabiskan suasana di media sosial. Saya berdecak kagum kepada mereka dan mengaggap bahwa merekalah orang sukses itu.

Teman perempuan saya yang saya anggap luar biasa juga tidak luput dari kontradiksi kesuksesan. Ia cantik, bahkan sangat cantik, yang ketika saya dan teman-teman yang lain melihatnya, akan terbetik kalimat “subhanallah” dengan tidak sengaja dibibir kami. Ia tidak memakai jilbab lebar seperti kesukaanku, tetapi kehidupannya seperti seorang putri yang hidup di dalam harem yang terlindung dari segala bahaya. Ketika saya dan orang lain memandangnya, tampak bahwa dia adalah orang yang paling bahagia (baca –sukses), sekaligus orang yang akan mendapatkannya adalah orang yang paling beruntung di dunia ini.

Yang lain lagi, mampu berbicara berkobar-kobar, menghanyutkan orang-orang yang mendengarkannya, dan menyadarkan banyak orang mengenai hakikat hidup. Ia berbicara tentang cinta dan mencintai, membuat orang-orang tersadar bagaimana cinta sejati yang mereka harapkan ternyata sudah begitu dekat. Ia tipe orang yang memiliki mimpi di luar kuasa dirinya. Ia menyembuhkan sakit hati, duka galau, dan bermacam-macam keputusasaan yang menghinggapi orang disekelilingnya. Setiap orang yang berjumpa dengannya, pasti yakin dan optimis bahwa dia telah mencapai derajat memahami hakikat hidup, bahagia, dan kesuksesan itu sendiri.

Lalu mereka semua yang  saya katakan sukses tersebut, ternyata mendapatkan satu ujian/beban tersendiri. Mereka tidak murni sukses karena apa yang saya sebutkan diatas. Mereka adalah orang-orang yang beruntung bagi kita karena kita melihat dari sisi yang “seperti yang saya tuliskan diatas”. Entah itu yang menjadi sekjend, yang shalih-shalihah, yang perempuan tercantik, yang kaya raya, dan yang menjadi motivator. Jika kita melihat dari sisi yang lain, kita akan cenderung kasihan, dan bahkan kita akan mengatakan bahwa mereka belumlah sesukses dari yang kita kira.

Sukses telah menjadi sesuatu yang sangat abstrak. Ratusan buku terbaca, namun sukses menjadi semakin rumit. Ia seperti sudut pandang yang tidak selalu benar, juga tidak bisa disalahkan. Mungkin hal besar yang bisa kita belah dari kesuksesan adalah sukses yang bersifat dunia dan sukses yang bersifat hakiki. Dan apakah kita harus berteriak-teriak bahwa kesuksesan yang sebenarnya adalah kesuksesan hakiki? Apakah kita masih terus percaya dengan perkataan “tidak perlu kaya harta, yang penting kaya hati?”

Ini adalah pertanyaan. Beban berat yang sering datang bertubi-tubi, bisa saja tidak kita rasakan, kita tidak ambil peduli. Namun, kadang, saat malam hening, ketika tembang macapat dibacakan dikejauhan, kita menjadi nelangsa dalam menjalani hidup. Kita menyadari betapa hidup itu kesulitan yang menggunung. Dilain waktu, ketika malam hening, jam berdetak di sepertiga malam yang terakhir, kita berdiri dengan pasrah, lalu merasakan bahwa hidup menjadi begitu nikmat.

Jadi, apakah kesuksesan itu?

Aku

Pada akhirnya aku merasa tidak wajib memberikan ceramah-ceramah kuno kepadamu. Masa-masa itu telah berlalu dan sekarang akulah yang membutuhkan motivasi baru darimu. Mungkin aku pernah menjadi seorang yang kuat, percaya diri, pengejar mimpi, dan biasanya mampu mempengaruhi orang lain untuk percaya bahwa ada kehidupan yang lebih baik setelah ini. Tapi ternyata ujian terhadapku lebih hebat lagi.
Aku ternyata hanya bicara tanpa mampu menjadikan hidupku lebih baik. Aku mungkin terlalu optimis –jika bisa dikatakan begitu. Aku masih saja pergi ke sana kemari tanpa tujuan yang pasti, ini menjadi jelas jika aku menyelami lagi apa yag pernah kulakukan, berjalan-jalan dari kota-ke kota, begitu menyenangkannya, tapi apakah itu mempunyai arti penting yang sangat penting dalam kehidupanku? Kujawab “Iya” tapi sampai sekarang aku tidak melihat manfaat yang begitu besar dalam merubah diriku. Aku hanya seorang pelancong, tidak lebih dari itu.
Kau telah tumbuh menjadi sesuatu, kau lebih bermanfaat kepada orang-orang. Bahkan lebih dari apa yang pernah ku bayangkan, dan tentu saja lebih dari padaku yang sampai sekarang masih mengejar mimpi-mimpi. Mungkin Allah memiliki skenario yang berbeda antara aku dan kau, tapi aku hendak menyimpulkan sendiri saja untuk saat ini.
Ada orang-orang yang untuk mencapai tujuannya ia harus berusaha keras, memeras otak, menguatkan dirinya sendiri, terus fokus, tidak memaafkan dirinya jika menyerah, membuat langkah-langkah, hingga tidak lagi merasakan apa yang dikatakan hidup enak itu. Orang itu hanya tahu bahwa ia tengah berjuang untuk sesuatu yang dia katakan sebagai mimpi. Berkat orang lain, berkat buku-buku yang dibaca, ia yakin bahwa mimpinya akan terwujud dikemudian hari. Tapi bahkan hingga ia menulis diary tentang dirinya sendiri, ia ragu apakah sesungguhnya ia telah mencapai sesuatu? Dan itulah aku.
Ada orang-orang yang mendapatkan kasih sayang Allah yang besar. Ia memohon sesuatu yang baik tapi Allah memberikannya yang lebih baik lagi. Ia membayar semua keberhasilannya dengan kesabaran. Ia memiliki ujian yang benar-benar berbeda dariku sehingga aku mungkin bisa memberikan sedikit semangatku kepadanya untuk menahan ujian tersebut. Tapi ia telah jauh lebih kuat dari yang ku kira. Ia telah berlari lebih kencang untuk menjadi manusia yang benar-benar tahu apa yang harus dilakukan daripadaku. Dia adalah kau.
Kita menjadi orang yang berbeda, sejak awal hingga sekarang. Hanya saja pada awalnya aku masih tidak sadar siapa sesungguhnya dirimu. Mungkin sekarang saat yang tepat untuk menghentikan ceramah-ceramahku kepadamu. Dan inilah rupanya ketakutan terbesarku.
Apa yang telah kita mulai, mau tidak mau akan membekas di dalam hati kita. Aku tidak tahu apakah itu berharga ataupun tidak. Sekarang aku mulai takut kehilanganmu, sebagaimana ketakutan yang pernah kau ucapkan dahulu. Ini bukan tentang aku akan meninggalkanmu atau kau akan meninggalkanku. Tapi sebagaimana seorang guru yang mengantarkan siswanya menjadi Presiden, setelah itu sang gurupun akan mundur pelan dan kembali menekuni pekerjaannya membuat kandang kambing di desa. Aku bukan gurumu, tentu saja, itu hanya perumpamaan.
Mungkin ini hanya perasaanku saja. Kalau saja aku telah siap dari awal akan kejadian ini, kalau saja aku mempunyai keberanian yang berlebih, kalau saja kita ada waktu membicarakan segala sesuatu yang muncul dalam hati. Jika saja ada jalan agar aku tidak kehilanganmu.
Masih ingat dengan puisi ini?

Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Keteguhanku runtuh juga atas sebuah keyakinan
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Menuntunku diujung kegelapan menuju tepi yang tanpa batas
yang ia yakini sebagai sebuah keyakinan
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Mencoba menuntun kalbuku menuju dunia tanpa batas itu
Mencoba memahami relungku dalam sunyi dan sepi
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Membawaku kesebuah tepian dimana tak pernah kupijakkan langkahku
Bukan karena aku tak mau tapi karena aku terlalu kerdil
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Menawarkanku sejuk semilir angin yang tak pernah kurasa desirnya
Mengakrabkan aku dengan gemericik air
Membiarkanku menari dalam angan
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Mengajakku tertawa lepas membahana bersama samanya
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Mengajarkanku menutup mata untuk menggapai semua angan
Meninggalkan semua ketakutan disudut keheningan sang malam
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Meninggalkan aku ditepian yang ku takuti
Membiarkanku merasakan sejumput senyuman untuk sebuah kebahagiaan

Semua itu bukan untuknya, tapi untukku
Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Mencoba membuatku berdiri diatas kerapuhanku, mempercayai keteguhanku
Lirihnya yang selalu ku ingat, kau pasti bisa

Seorang laki-laki datang padaku atas nama keyakinan
Memandangku dengan mata berbinar, bukan bibirnya yang menyentuh batinku
Tapi binar matanya yang menembus tiap sudut direlung kalbuku
Mencoba melepaskanku dai tabir-tabir ketidakberdayaan
Meyakinkan aku atas apa yang tidak ku yakini

Hei kau laki-laki
Mengapa kau begitu percaya pada perempuan  ini
Hei kau laki-laki
Mungkin masih tak dapat kupahami keyakinanmu
Tapi aku akan kembali di ujung purnama untuk menanyakan kembali keyakinanmu
Bukan karena kau, bukan juga karena aku
Tapi karena keyakinanku atas sederhanamu, tiap jengkal tuturmu atas kuha

Untuknya, laki-laki yang datang padaku atas nama keyakinan

Entah kau menuliskannya untuk siapa, tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi laki-laki itu. Aku ingin sekali menjadi seperti itu. Tapi sekarang aku dalam kondisi terlemah dari seluruh kehidupanku. Aku ingin istirahat sejenak dari hidup ini. Aku ingin memutar memori yang telah sempat ku rekam. Dan saat seperti inilah aku sangat takut kehilanganmu.

2012-09-03

Putus Asa


Pada waktu tertentu, tulisanku yang layak dikonsumsi publik aku share dicatatan facebook. Awalnya tidak ada niatan apa-apa, hanya ingin memperlihatkan pemikiranku tentang suatu hal yang menurutku harus diketahui oleh orang-orang. Ketika “like” berdatangan hingga ratusan dan komentar yang berisi pujian dan tanggapan membanjir, aku menghapus catatan itu seketika. Ada perasaan bahagia sebenarnya, tapi aku menjadi takut, ada apa sesungguhnya dengan hatiku?

Penghapusan catatan itu tak terelakkan. Ia sudah terjadi dan hanya menyisakan sedikit rasa khawatir dan gembira atas apa yang telah kulakukan. Namun hingga sekarang, aku masih tidak tahu mengapa aku menghapus catatan tersebut. Jika aku berfikir lebih menyelam ke lubuk hatiku, ada ketakutan bahwa aku akan menjadi sombong. Tapi kadang-kadang kutepis pikiran itu, lalu mencoba membuat catatan lagi, dan kebingungan lagi.

Sekarang jika aku mengaku, baik dalam perkataan atau dalam tulisan, bahwa aku menulis untuk mengungkapkan isi hatiku terhadap permasalahan tertentu, maka aku sudah tidak mempercayainya lagi. Aku sudah menganggap bahwa aku menulis untuk mendapatkan popularitas. Aku membayangkan bahwa aku akan menjadi besar, dikenal dimana-mana sebagaimana Shakespeare, Pram, dan Hemingway, lalu mendapat 
royalti dari setiap tulisanku.

Aku banyak memanipulasi orang-orang agar percaya padaku bahwa aku orang yang bisa dipercaya. Sebenarnya itu adalah kebalikannya. Aku hanya pengejar mimpi yang bodoh. Meskipun aku benar-benar mengejarnya hingga detak jantungku berhenti, tetapi hingga sekarang aku tidak juga menjadi sesuatu –sesuatu yang bisa diadalkan. Aku mengumbar pembicaraan dimanapun aku berada. Aku sok menjadi motivator bagi beberapa orang yang sudah kubuat percaya bahwa aku adalah orang yang berhasil. Bahkan beberapa kali aku membuat orang yang putus cinta segera bisa melupakan kekasihnya, atau segera mendapatkan orang yang lebih layak, atau membuat mereka bersatu lagi.

Lebih buruk lagi, aku membaca banyak sekali buku, yang dengan pengetahuanku tersebut, kugunakan untuk memanipulasi kehidupan. Aku menjual bicaraku demi sebuah kata “wow”, “applouse”, dan beberapa kekaguman. Bahkan perjalananku mencari jati diri, mengejar mimpi, dan kesakitan-kesakitan yang kualamipun telah kugadaikan pula. Aku membohongi kehidupan banyak orang, aku bahkan membohongi hidupku sendiri. Aku selalu mengatakan kepada setiap orang bahwa aku mampu melakukan ini itu, begini begitu, dan akan menjadi seperti ini dan itu. Padahal sesungguhnya aku meragukan setiap pembicaraanku sendiri.

Saat ini aku tidak percaya pada apapun. Jika aku pernah berceloteh mengenai kekuatan kata-kata, kekuatan mimpi, kekuatan alam bawah sadar, saya sekarang menggugatnya sendiri. Terserah jika masih ada orang yang akan percaya dengan semua omong kosong yang kulanturkan. Mungkin itu lebih baik untuk menumbuhkan mimpi-mimpi kalian di tempat yang lembab –sebagaimana bakteri hidup subur pada tempe dan tapai. Aku menghidupi diriku sendiri dengan rencana-rencana yang sebenarnya itu adalah proses menghibur diriku sendiri yang kacau.

Kisahku sendiri sangat berantakan. Aku tidak pernah mendapatkan kasih sayang yang cukup untuk menjalani ini semua. Semuanya. Keluargaku hidup pas-pasan, tidak ada yang harus dilakukan untuk memenuhi kaleng-kaleng mimpiku. Lalu semua masa laluku yang menyakitkan telah memakanku hingga menyisakan diriku yang sekarat. Kekasih-kekasih yang kupuja tiap malam dengan kata-kata yang indah, itu adalah untuk menutupi kegelisahanku. Aku tidak mampu menjadikan mereka apapun. Dan mereka akhirnya tahu, terbukti bahwa tidak pernah ada kekasih yang mau tinggal lama bersamaku, untuk apa? Menangisi kehidupan bersamaku?

Tidak, tidak, tentu mereka tidak ingin. Aku akan hidup sendiri. Bahwa memelihara mimpi itu menyakitkan, adalah benar adanya. Mimpi yang diluar kendali ini seperti iblis yang kita pelihara didalam darah-darah kita, memakan saripati tubuh kita sendiri. Ia seperti ulat yang mengiris-iris badan kita hingga menyisakan tulang-belulang yang bahkan anjing akan menjauhi. Mimpi tidak ada artinya lagi, kutinggalkan dia disebuah tempat yang jauh, yang harus puasa selama setahun, dan melakukan ritual peribadatan hingga puluhan tahun. Ia hilang.

Kau dan Kepergianku


“Aku baru ingat bahwa malam lalu aku memimpikanmu. Disana aku berdiri sendiri memandang sesuatu yang jauh, tiba-tiba kau ada disampingku dan melingkarkan tanganmu tepat dipundakku. Saat ku menoleh, kau hanya tersenyum kemudian berlalu. Kau pergi begitu saja setelah senyum itu. Apakah kau akan benar-benar pergi meninggalkanku?”
As, 03.09.2012
10:21 AM

Jika kau menanyakan apakah aku akan pergi meningalkanmu, aku akan memikirkannya masak-masak lalu menuliskan kalimat-kalimat yang mungkin akan kau maknai dengan sesuatu. Tapi kalimat-kalimat tersebut sebenarnya tidak menjawab pertanyaanmu. Kalimat tersebut hanya menenggelamkan semua tanyamu dan kau memang tidak lagi khawatir tentang sebuah kepergian. Mengapa aku menggunakan kalimat-kalimat seperti itu? Bukan menjawabnya dengan gamblang lalu menyelesaikan semua kekhawatiranmu?

Pergi memiliki arti yang dalam. Disana ada sebuah keputusan yang hampir sama maknanya dengan cinta itu sendiri. Antara mencintai atau pergi sama-sama memiliki konsekuensi yang harus kita pegang seumur hidup. Itu adalah sebuah dualisme abadi, datang dan pergi. Dua kata tersebut biasanya memiliki arti yang sama sekali berbeda, yaitu datang untuk mencintai/memiliki, dan pergi untuk meninggalkan cinta tersebut. Namun dalam kasus kita, jikapun kepergian yang aku pilih, itu akan bermakna sama :cinta.

Bagaimana jika saya ucapkan bahwa aku mencintamu? Saya tidak ingin membuat ini semakin rumit, namun juga, saya tidak ingin membatasi kata “cinta” menjadi sedemikian rendah dari yang seharusnya bisa dilakukan. Andaikan kita bisa memaknai kata “cinta” sebagai sesuatu yang lebih besar lagi. Lingkungan sosial kita mengajarkan –meskipun tidak secara langsung- bahwa ucapan “cinta” hanya digunakan oleh satu orang ke orang lain yang akan dia jadikan sebagai “pacar atau istri”. Dan menggunakan kata “suka” kepada satu orang ke orang lain ketika posisinya sebagai “teman”.

Apakah ketika saya bilang aku mencintaimu, maka saya berharap bahwa kau akan menjadi permaisuriku? Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan, karena betapa banyak pertemanan yang akhirnya jebol kerena salah seorang mengucapkan cinta. Dan saya tidak akan membiarkan itu terjadi, maka dari itu, maknailah kata cinta menjadi sesuatu yang lebih besar lagi. Maknailah, bahwa dengan cinta ini kita tidak akan saling meninggalkan dengan kebencian.

Dibelahan dunia lain, seorang tuan mengatakan kepada anjingnya “I love you so much”. Seorang teman kepada temannya yang lain, “I love you so much”. Seorang kakak kepada adiknya, “I love you so much”, orang tua kepada anak-anaknya, “I love you so much”. Dan seseorang kepada orang yang akan diajaknya menikah, “I love you so much”. Maka saya ucapkan kata cinta kepadamu, dalam arti yang lebih dalam dari yang pernah orang lain tahu.

Jika jawaban-jawabanku tersebut tidak membuatmu faham, itu semua karena kesalahanku. Bahwa aku memang tidak bisa menjawabnya dengan kata yang lebih sederhana seperti : Ya, atau Tidak. Jadi, saya membuat dua kemungkinan untuk menjawab ini dengan paragraf yang lebih sederhana dari sekedar filosofi pengelakan seperti yang sering kulakukan.

Pertama, saya tidak akan pergi. Saya akan tetap tinggal untuk menjadi seseorang yang paling mengerti dirimu. Entah sebagai teman yang membantumu bangkit dari ketakutan, ataupun sebagai kakek dari cucu-cucumu, atau pula sebagai kakak yang menguatkan adiknya saat terluka. Hal-hal seperti ini mungkin tampak lebih sederhana dari yang akan terjadi. Disamping karena takdir yang terjadi kadang tidak seperti yang kita usahakan, kita juga sulit untuk saling menjaga silaturrahim melalui sebuah pertemuan. Jika kita mampu berkomitmen, meski terjadi apapun, jika kita masih memegang kata “cinta”, maka kita akan saling bertemu untuk saling menjaga.

Kedua, saya akan pergi. Kemungkinan yang satu ini akan sangat tergantung dari persepsimu mengenai arti sebuah hubungan. Lebih-lebih ini terjadi ketika suatu saat suddenly kau dipanggil ke rumah dan seorang lelaki yang sempurna menunggu untuk mengucapkan kalimat maha dahsyat “qobiltu nikahaha…”. Lalu kau mengartikan ini sebagai pemutusan hubungan dari kanangan masa lalu. Saya akan bisa menerimanya sebagai sebuah keyakinan bahwa “aku ikut mengantarmu menuju sebuah titik dimana kau akan memiliki kehidupan yang lebih aman sehingga tidak perlu ada aku”. Kalimat ini bukanlah kalimat majnun yang ditinggalkan laila-nya, lalu berusaha sok ikhlas dengan mengucapkan kalimat tersebut atau kalimat yang serupa seperti “aku rela kau bersamanya asal kau bahagia”. Bukan, ini bukan hal seperti itu, kita mengenal dengan sangat baik, kan?

Bahkan, ini menjadi lebih rumit dari yang seharusnya. ^_^ dan urusan kita sudah selesai dengan jawabanmu yang meredam dadaku.

Qorib, Qorib, Qorib.., semoga itu menjawab semuanya!
As, 03.09.2012
11:47