Coronavirus disease-2019 (COVID-19) telah menjadi topik paling dinantikan pada awal tahun 2020, lalu berubah menjadi informasi yang paling menjemukan di pertengahan tahun. Pada permulaan kita semua membutuhkan informasi untuk memenuhi sifat dasar manusia yang selalu ingin tahu. Apalagi COVID-19 bukan persoalan sepele. Wabah ini bisa jadi merupakan peristiwa paling berdampak kepada manusia selama abad 21. Kecelakaan kendaraan di jalan raya, kasus bunuh diri, sulitnya akses pendidikan di Indonesia, atau korupsi yang hampir tidak mungkin diberantas, telah tenggelam dalam riuh informasi COVID-19. Semua media massa, media sosial, pembicaraan antar teman di instan messenger, obrolan di bus kota, keluarga kecil di desa, hingga omongan bapak-bapak bersarung di warung kopi, berubah. Di kalangan perguruan tinggi, seminar ilmiah tentang tata negara dan keilmuan sosial berubah menjadi diskusi tentang COVID-19 yang dibedah dalam berbagai sudut pandang; paling banyak menyoroti komunikasi publik peme
Penyakit menular selalu mengerikan. Manusia normal akan selalu was-was ketika berhadapan dengan orang lain yang berkemungkinan menularkan penyakit. Maka dari itu, Covid-19 bukan sekadar virus mematikan. Covid-19 jauh lebih berbahaya karena menggerogoti nalar dan jiwa manusia. Kita diambang ketakutan setiap keluar rumah, bertemu orang, bertegur sapa. Bahkan kita ketakutan membuka pintu toko dan ATM menggunakan tangan. Kini, satu tahun setelah Covid-19 muncul di Cina pada 31 Desember 2019, kita masih belum pulih. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah menangani pandemi ini terus terjadi. Bahkan, sekarang orang-orang dengan keteledoran penuh menentang semua protokol kesehatan. Mall tetap buka, beberapa jaringan bioskop buka, taman rekreasi dan hiburan akhirnya buka setelah berbulan-bulan tanpa pemasukan, ojek online mulai jalan, bus sudah lama mengangkut penumpang. Guna memahami kondisi ini kita bisa melihat dari sisi yang berbeda namun saling melengkapi; perkembangan p