![]() |
salah satu ruangan perpustakaan rumah dunia. dulu kasurnya tidak sebagus itu. foto ini saya kopi dari internet |
Memang jika orang lain memandang perjalanan itu, akan terasa
bahwa aku menikmatinya. Dan betul aku menikmatinya, tetapi bukan sebagai
pelancong banyak uang dengan tujuan tour, aku menikmatinya sebagai pelancong
gelap yang agak puitis. Banyak momen
yang dihadapi oleh seorang pelancong yang menjadi bagian dari momen puitis,
penuh kenangan, dan membekas.
Kesendirian dalam gerimis, adalah momen puitis, tetapi pada
saat yang sama, kita bisa merasakan kesakitan yang luar biasa. Berjalan kaki
atau naik angkot di suatu kota yang tidak penuh dengan harapan kepadamu, adalah
hal yang puitis, namun menimbulkan kemaluan yang jahat. Kalau mau yang lebih
agamis puitis, shalat di masjid tengah kota dengan seluruh seliweran
kendaraannya, juga momen putis, namun tampak bahwa tuhan tidak mendamaikan
hatimu.
Semua momen puitis itu, semakin meyakinkan bahwa kita tidak
memiliki kuasa apapun untuk membuat hidup lebih baik. berkeliling seolah kita
adalah raja, namun sejatinya kita miskin papa, bahkan kita ketakutan untuk
berharap lebih baik. Karena cara mencapai kebahagiaan salah satunya adalah
jangan berharap pada sesuatu yang tidak mungkin bisa diharapkan. Jika jalanan
gelap, sepi, tongkrongan berandalan, jangan berharap terlalu serius akan
selamat dari pemalakan.
Lalu ketika semua kontemplasi itu melewati batasnya, esok
hari, aku segera berkemas. Melewati jalanan dengan sok kuat menangis adalah
keahlianku. Tujuanku jelas, ke Rumah Dunia, dimana aku bisa belajar dan mungkin
aku bisa hidup di dalamnya. Dari satu angkot ke angkot yang lain aku berjalan. Menelusuri
tempat jauh, alon-alon, berbelok ke sana kemari, dan sampailah aku ke rumah
dunia.
Turun dari becak, aku masih bergeming. Ada rasa ragu, ada
kerendah dirian, dan ada semangat yang masih samar-samar. Langkahku pelan,
pikiranku panjang berenang. Susana seperti di kampung dengan anak-anak yang
berlarian di kejauhan. Ada satu balai kecil di depannya bernama perpustakaan. Lalu
aku melewati gerbang, menengok ke kiri dan ke kanan, lalu mendapati dua lelaki
sedang duduk membaca Koran di sebuah balai terbuka.
Dengan kesopanan adat ala orang jawa, aku duduk bersama
mereka. Memperkenalkan diri seadanya, lalu mereka kembali sibuk membaca koran. Ada
yang aneh dengan perasaanku, seperti merasa bersalah, dan seperti aku melakukan
kesalahan dengan datang ke tempat itu. Beberapa menit dengan kebisuan yang
membuat seluruh semangatku luruh itu, tampak lelaki lainnya datang membawa satu
piring penuh nasi dengan sambal dan tempe.
Ternyata orang ini datang untuk sarapan. Dua orang lainnya
langsung menghambur serta mengjakku makan bersama. Tentu saja, lagi-lagi orang jawa
harus menolaknya. Tetapi karena mereka memaksa, akhirnya aku menurut juga, apalagi
sejak pagi aku juga belum sarapan. Ternyata setelah makan bersama itulah,
percakapan kita baru dimulai. Mereka mulai menanyakan asal usulku, dan naitku
berada di rumah dunia. “aku mau belajar” itu saja jawabku.
Sejak saat itu aku belajar bersama mereka di rumah dunia. Namun
jelas bahwa aku masih menjadi tamu, belum menjadi relawan rumah dunia. Sehingga
pekerjaan sehari-hariku adalah berada di perpustakaan yang begitu luasnya, lalu
memuaskan diri dengan membaca buku. Memang luar biasa, aku merasa berada di
surga dengan seluruh buku yang ada. Meskipun kehidupan belum membaik, namun aku
merasa tenang dengan berada di dalam perpustakaan itu.
Tetapi apakah sesungguhnya buku bisa menggantikan makanan? Tentu
saja tidak. Suatu ketika Hilman datang mengajakku makan bersama ketika mereka
usai memasak. Suatu hari juga, Jack mengajakku makan di rumahnya Gol A Gong, melalui
pintu belakang. Dan sampai lima hari itu, aku sering beli mie, dan merasa
beruntung bila orang-orang ini mengajkku makan nasi sama lauknya.
Keesokan harinya, aku sudah terbiasa beli mie sedaap,
memasaknya di adapur, membuat kopi, lalu membaca buku di perpustakaan. Keuanganku
tentu saja mengkhawatirkan. Tetapi aku tidak berkata siapapun, aku hanya
melihat dan menunggu. Lebih banyak begitu. Keinginan kuat menjadi relawan rumah
dunia, dan tinggal di Banten semakin membuncah.
Hingga satu minggu kemudian, Gol A Gong terdengar kabar sudah
datang dari keliling Nusantara bersama Taman Bacaan Masyarakatnya. Saat ia
datang, kami ngobrol bertiga entah dengan siapa lagi satunya. Rambutnya gondrong,
tangannya satu, dan tentu saja tidak mengesankan bahwa ia seorang santri sebagaimana
buku-bukunya yang banyak mengarah pada keagamaan (FLP).
Ketika itu, aku memegangi bahwa buku yang bagus adalah buku
sastra serius sebagaimana yang ditulis adalah sastrawan. Namun Gol A Gong
mementahkannya, dia berucap bahwa buku yang bagus bukan hanya dari segi
kualitas sastrawinya, tetapi dari berapa banyak orang yang membacanya lalu
merasakan manfaatnya. Dan itulah yang dikejar oleh Rumah Dunia. Segala jenis
genre penulisan fiksi dibebaskan, tidak ada pembatasan dalam berkarya.
Aku manggut-manggut, lalu menawarkan diri untuk tinggal dan
menjadi salah satu relawan dunia. Namun dia menolak. Aku tahu, aku keceawa, dan
sesungguhnya dia akan lebih kecewa pada pilihannya itu. Sejak itu, aku
merencanakan perjalanan berikutnya, karena aku tidak bisa tinggal di rumah
dunia dengan menjadi benalu selamanya. Kalau tidak bisa menjadi relawan di sana,
maka akan jadi apa aku disitu?
Begitulah rumah dunia akhirnya berakhir, meskipun masih
banyak kisah yang perlu diceritakan. Misalnya ketika naik gunung di Banten, dan
saat aku tersesat di Pelabuhan Merak Banten dalam perjalanan berikutnya menuju
Lampung, Sumatera
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.