Aku datang ke rumah dunia karena
semangat untuk mengabdi melalui Indonesia Mengajar -yang kebetulan menemui kegagalan- masih menyala. Baru dua hari di Rumah
Dunia, dan aku ingin melukisnya. Dengan kuas yang ku pinjam dari Aini
(perempuan yang kutahu sedang menggambar di sela-sela rapat internal Rumah
Dunia –tapi sebenarnya aku tidak tahu apakah dia menggambar atau menulis).
Lukisan rumah dunia ini tidak harus mewakili apa yang diharapkan oleh
pemrakarsanya –dalam hal ini Mas Gong, karena makna suatu komunitas sosial itu
dinamis.
Begini saya memulai lukisan
mengenai rumah dunia. Saya menyapu permukaan kayu poplar yang berukuran 77x53cm
itu dengan perasaan seorang ayah yang mengelus kepala anak lelakinya. Setelah
yakin bahwa kanvasku itu bersih dan
tidak ada benda lain selain dataran luas, saya mulai memasukkan kuas ke cat air
berwarna gelap.
Hal yang pertama yang terlihat
dari sana adalah kegelapan total yang samar dari sebuah dunia kanvas.
Perlahan-lahan saya ingin membuat gambar bangunan yang tegas, yang tidak akan
ada orang keliru menafsirkan lukisan saya sebagaimana setiap orang salah
menafsirkan gambar surrealism dan absurd. Jadi saya akan menjadi realis dengan lukisan saya. Apakah ini
tidak menjadi penghalang bagi saya untuk di cap sebagai pelukis pemula? Jawabku
kemudian :bagaimana mungkin, bahkan dunia ini sudah absurd, kenapa melukis juga
harus di absurd-absurdkan? Meskipun jelas-jelas saya bukan pelukis.
Setelah membuat pondasi berupa batu
bata, semen, pasir, dan air yang jelas terlihat –dimana lelehannya masih
menetes pelan dan kemudian menggumpal seperti tetesan hujan yang tiba-tiba
beku, saya menambahkan sebuah warna cerah dilangitnya. Mungkin bentuk pertama
dari bangunan yang ada dalam pemikiran saya adalah bumi dan langitnya. Lalu
saya beri bumbu dengan beberapa orang yang berdiskusi, buku yang menumpuk, juga
tidak lupa, sebuah tulisan “rumah dunia”.
Saya hampir yakin bahwa ketika
lukisan itu saya beri judul “rumah dunia”, orang-orang akan bisa membayangkan
bagaimana rumah dunia itu sendiri. lukisan itu memang terlihat sangat tegas,
baik rancang bangunnya, kegiatannya, maupun pewarnaannya. Yang terakhir adalah
membiarkan lukisan itu kering dan akan aku pajang esok hari di saung depan
rumah dunia.
Tetes Tinta
Setelah lukisan itu benar-benar
kering dan bagus, lukisan itu saya bawa menuju saung. Tiba-tiba seorang anak
kecil disana melirik lukisan saya dan menjumput sedikit tinta yang ada di
depannya. Sekuat tenaga, tinta itu dilemparka ke lukisan saya dan saya
mengangkatnya cepat-cepat. Lukisan saya tidak terselamatkan, satu tetes tinta
berwarna merah nyala menetes tepat ditengahnya. Tinta itu meleleh sebagaimana
hati saya juga meleleh. Dan lukisan saya, saya tidak tahu bagaimana harus
berbangga dengannya.
Sepuluh menit kemudian, saya
memandangi lukisan saya dengan perasaan bersalah. Tapi yang terjadi bukan
demikian, saya melihat, rumah dunia yang saya lukis itu lebih tegas dari yang
saya inginkan. Dia menjadi latar yang sempurna bagi sebuah tinta yang meleleh
diatasnya, itu seperti sebuah retakan dibangunan peradaban yang sudah dibangun
berabad-abad lamanya. Saya tidak tahu apakah saya akan memandangi latarnya,
atau tinta merahnya. Tetapi dua-duanya adalah perpaduan yang menurut pemahaman
saya sangat sempurna.
Anak kecil itu sudah pergi. Saya
lupa berterimakasih, tapi saya berharap bahwa dia adalah anak emasnya Mas Gong.
Setelah membaca
The Unbearable
Lightness of Being-nya Milan Kundera
di Rumah Dunia
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.