Sekali-kali saya tidak ingin
dibodohi oleh sesuatu. Namun dalam perjalanan disini, saya harus bersisian
dengan sesuatu itu, sesuatu yang membodohiku layaknya saya anak kecil yang
perlu dikondisikan agar sesuai dengan irama lingkunganku. Saya tahu sebelum
saya melakukan sesuatu itu, sebenarnya niat saya hanya satu ;bicara. Kebutuhan
untuk bicara ketika kita bertambah dewasa semakin besar, terutama jika kita
memiliki perkiraan yang kurang bagus tentang masa depan. Dan tentunya
pembicaraan itu sangat saya butuhkan apalagi dengan orang yang selama ini ikut
berkeluh kesah dengan keprihatinan yang sama, atau kurang lebihnya begitu,
karena manusia kadang-kadang sulit ditebak, atau dalam bahasa yang ada disetiap
perfilman adalah “manusia adalah makhluk yang cenderung berbohong” untuk
diirnya sendiri atau untuk lingkungannya.
Sesuatu itu adalah ngopi. Sebelum saya berangkat ke warung
kopi saya telah berfikir “mengapa pula saya harus pergi ke warung kopi?”
ternyata kebutuhan akan berbicara kadang-kadang membuat budaya konsumsi kita
timbul kembali dan menjadi semacam keharusan. Bisa saja pembicaraan dilakukan
dibawah pepohonan rindang, atau ditempat yang sepi untuk berdua, namun memang
ada hal yang tidak pernah kita sadari berjalan mengendalikan pikiran kita yang
paling sadar. Dalam bahasa pengetahuan, alam yang mendalikan kita disebut
sebagai alam bawah sadar. Jadi saya kemudian dikendalikan oleh suatu kesadaran
yang paling sadar untuk menuntaskan pembicaraan dengan melakukan ngopi.
Dan pada tingkat tertentu, ngopi
merupakan jalan keluar psikologis yang paling ampuh untuk memecahkan kesumpekan
hidup yang dialami mahasiswa disini. Ngopi telah menjadi budaya non-sadar bagi
mahasiswa untuk bisa berfikir kritis –terutama mahasiswa pergerakan
intelektual. Mereka mereka-reka tentang kebijakan kampus dan pemerintahan
dengan menghisap dalam-dalam rokok dan menghirup jauh-jauh kopi pahit di warung
kopi. Dan itu adalah ritual yang paling menjanjikan agar mereka tidak stress
karena pemikiran mereka tidak pernah bisa ditemukan solusi perubahan dalam empat
tahun mereka menjadi mahasiswa. Maka ngopi sambil mencari jalan keluar dan
kemudian membicarakan permasalahan yang lain, lalu yang lain lagi, dan yang
lain lagi, adalah satu-satunya jalan agar pikiran mereka tidak buntu atau yang
paling pas, agar mereka tidak seperti mannequin
yang dipajang dipertokoan (cantik dan dungu).
Saat ini banyak mahasiswa menjadi
stress karena menjalai kehidupan yang simpang siur. Mereka yang baru masuk
kampus digembleng dalam suatu sistem formalitas bodoh yang mengamini segala
cara lama untuk membasmi kekritisan atas nama kekritisan itu sendiri. Bahkan
mereka yang telah lama menjadi mahasiswa meyakini konsep dan metode penerimaan
mahasiswa baru yang mereka buat sudah usang dan tidak lagi relevan untuk
diterapkan kepada mahasiswa saat ini. Seolah-olah kita masih harus dihadapkan
pada Reformasi 1998 yang mampu menumbangkan Soeharto, padahal dibalik
kedahsyatan mahasiswa ’98 itu terdapat kebodohan yang paling riil dari mahasiswa
akibat jiwa muda yang tergopoh-gopoh. Mahasiswa baru dilatih untuk berdemo
menyuarakan kekritisan mereka sendiri. Padahal masa-masa demo sudah harus
diruntuhkan digantikan dengan kekritisan yang lebih akademis, misalkan dengan
menulis, diskusi, atau mengadakan dialog, seminar, dan talkshow. Demo hanya
akan ditertawakan oleh barisan mahasiswa kerdil yang lain.
Inilah stress yang menggila itu,
padahal mereka baru masuk pertama kali menjadi mahasiswa. Dan seterusnya,
mereka akan ditampung oleh beberapa organ ekstra yang juga mengajarkan demo
tanpa mendidik ideology dari organisasinya, atau organisasi intra yang bekerja
layaknya event organizer :memproduksi
acara untuk menghabiskan dana kemahasiswaan –ngomong-ngomong dalam hal ini, saya hanya berbicara sekenanya, jangan
diambil hati yang ikut organisasi ya. Setelah mereka kelimpungan
mengimbangkan antara organisasi dan akademiknya, mereka akan terjebak pada
pemikiran usang lain :pekerjaan akan sulit didapat untuk orang yang tidak
berorganisasi atau ber-IP tinggi. Akhirnya mereka stress. Untuk tetap bertahan
agar stress itu tidak memakan kegilaan mereka, jalan yang ditempuh adalah
ngopi. Maka ngopi bukanlah sekedar minum ramuan biji kopi, gula, susu, vanilla,
dan rokok, tapi lebih dari itu semua, kopi adalah denyut nadi mahasiswa.
Filosofi kopi menjadi tidak penting lagi sesungguhnya. Yang
terpenting adalah ngopi, karena jika filosofi kopi yag menjadi tujuan maka
mahasiswa tidak ada yang mampu mencapainya karena uang saku mereka tidak
mencukupi untuk membeli filosofi dari kopi tersebut. Sebut saja filosofi
terkuat dari kopi adalah coffee ben’s
perfecto (diambil dari nama sebuah nama kafe dari Filosofi Kopi-nya Dee),
maka yang berada dalam kafe tersebut adalah hanya orang-orang tertentu dengan
penghasilan tinggi. Karena yang ditawarkan adalah kopi beserta filosofinya.
Bahwa yang meminum kopi disana adalah orang yamg memiliki jiwa besar, padangan
luas serta berselera tinggi. Maka itu sama sekali bukan mahasiswa.
Sudah saatnya mahasiswa menyadari
bahwa kopi lama-lama akan membunuhnya. Sebagaimana kopi telah membunuhku tadi
malam –diam diam.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.