2021-02-08

Infodemik; Kebangkitan Teknologi dan Kejatuhan Manusia


Coronavirus disease-2019 (COVID-19) telah menjadi topik paling dinantikan pada awal tahun 2020, lalu berubah menjadi informasi yang paling menjemukan di pertengahan tahun. Pada permulaan kita semua membutuhkan informasi untuk memenuhi sifat dasar manusia yang selalu ingin tahu. Apalagi COVID-19 bukan persoalan sepele. Wabah ini bisa jadi merupakan peristiwa paling berdampak kepada manusia selama abad 21. Kecelakaan kendaraan di jalan raya, kasus bunuh diri, sulitnya akses pendidikan di Indonesia, atau korupsi yang hampir tidak mungkin diberantas, telah tenggelam dalam riuh informasi COVID-19.

Semua media massa, media sosial, pembicaraan antar teman di instan messenger, obrolan di bus kota, keluarga kecil di desa, hingga omongan bapak-bapak bersarung di warung kopi, berubah. Di kalangan perguruan tinggi, seminar ilmiah tentang tata negara dan keilmuan sosial berubah menjadi diskusi tentang COVID-19 yang dibedah dalam berbagai sudut pandang; paling banyak menyoroti komunikasi publik pemerintah Indonesia yang buruk. Informasi tentang virus yang muncul pertama kali di Wuhan, China, ini mengalahkan seluruh nasib buruk yang pernah kita alami. Dipandang dari sudut pandang religious hingga scientific, kita tetap harus mematuhi pemerintah guna menanggulangi wabah menular tersebut.

Seluruh kepanikan yang ditimbulkan oleh virus corona sebenarnya bisa dilacak dari kehadiran media informasi yang masuk dalam ruang-ruang pribadi individu. Wabah sebelumnya yang menyebar dan sama-sama mematikan tidak memiliki kehebohan yang sama sebagaimana COVID-19. Apalagi corona tidak hanya menyebar tahun 2020 ini tetapi juga pernah menyerang dunia satu dekade sebelumnya, misalkan SARS pada tahun 2002-2003 di China dan MERS pada tahun 2012 di Timur Tengah. Kasusnya jelas sama-sama mematikan dan menimbulkan ribuan korban tetapi tingkat ketakutan menghadapi virus ini tidak pernah seheboh COVID-19.

Keputusan/kebijakan pemerintah yang melibatkan publik saat ini harus dikaji dengan hati-hati. Transportasi dikoreksi habis-habisan agar tidak menjadi penghantar virus ke berbagai daerah di Indonesia. Penerbangan dihentikan, kereta tidak beroperasi, bus dan angkutan umum lainnya mandeg. Bahkan armada online yang sudah bertahun-tahun melayani kepentingan masyarakat umum juga tidak diperbolehkan mengangkut penumpang. Tempat-tempat umum ditutup, lokasi wisata dan perhotelan juga terkena imbas dari menyebarnya COVID-19 ke seluruh Indonesia. Bahkan saat ini, ketika new normal digulirkan, kehidupan tidak sama lagi seperti dulu.

Mengapa semua ini bisa terjadi? Pertama-tama mungkin yang paling jelas adalah karena COVID-19 saat ini memang berbeda. Ada bahaya besar yang akan terjadi jika badan kesehatan dunia dan pemerintah tidak segera mengambil tindakan untuk menyelamatkan umat manusia. Ketika pertama kali mencuat, COVID-19 memang menjadi bahan tertawaan oleh pemerintah Indonesia. Tidak ada upaya yang serius untuk mencegah masuknya COVID-19 ke Indonesia melalui jalur penerbangan. Padahal berbagai penelitian sudah mengungkapkan bahwa traveling antar negara menjadi salah satu penyebar virus ini paling cepat. Tetapi penerbangan di Indonesia terlambat tutup hingga kasus import case COVID-19 pertama muncul di Depok. Barulah kita kalang kabut.

Seluruh cerita ini sudah berulang kali dipaparkan di media maupun oleh akademisi di berbagai webinar. Tetapi cerita ini bukanlah intinya. Kita masih harus mencari mengapa cerita ini bisa kita dapat dalam waktu sekejap dan menjadi bahan gunjingan seluruh warga masyarakat dalam satu waktu. Jawabannya mungkin tidak dapat dapat dipastikan sebagaimana ilmu eksak, tetapi kita dapat memperkirakannya dengan bantuan data; bahwa media massa dan media sosial-lah yang menjadi penyebab utamanya. Media massa sejak awal bertugas memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat sehingga pekerjaannya tidak patut mendapatkan cemoohan –kecuali dikerjakan secara serampangan. Diskusi paling menarik tentu saja tentang media sosial, dan dari sanalah kita dapat mengetahui seluruh kekacauan ini.

Kebangkitan Teknologi

Saat ini manusia tidak bisa hidup puas tanpa bantuan teknologi. Kepuasan kita terhadap berbagai produk modernisme tidak datang begitu saja; ia diciptakan dari keberulangan –redudancy- yang hampir datang setiap menit dalam kehidupan manusia. Lalu kita merasa tiba-tiba mencintai lotion yang membuat kulit memutih, tidak dapat mengucapkan cinta kalau tidak punya uang untuk coklat dan bucket bunga, bahkan kebahagiaan dapat terenggut saat promo di Shopee dan Lazada terlewatkan. Kehidupan kita bermula dari bangun tidur, memandang jam dinding guna memeriksa waktu kerja, gawai di genggaman untuk mengetahui peergroup WhatsApp kita sedang membicarakan apa, lalu push email muncul mengingatkan webinar, dan kita harus berselancar bersama smartphone selama 10 jam ke depan.

Bayangkan, kehidupan yang kita ciptaan ini memiliki sebuah awal mula; orang tua kita yang bangun dini hari tanpa tahu jam berapa saat itu, lalu berangkat ke sawah dan kebun, istirahat ketika matahari di ubun-ubun, lalu pulang membawa jagung dan ketela. Malam hari anak-anak berangkat mengaji dan sepulangnya mereka bercengkerama –kadang juga ada drama diantara mereka. Saya tidak mengatakan, masa lalu yang tradisional lebih baik dari masa modern, begitu juga sebaliknya modernitas juga tidak terlalu baik untuk dijadikan pegangan. Saya ingin menunjukkan sebuah keterputusan antara tahun 2020 dengan tahun 1990, antara kehidupan di kota dengan di desa. Konsekuensinya memang luar biasa, bahwa kehidupan kita berubah cepat tanpa terasa.

Jika menengok di masa lampau, kita akan tersihir dengan cepatnya dunia berubah terutama sejak Johan Guternberg menemukan mesin cetak di Jerman tahun 1440. Seketika orang-orang melek huruf dan manusia akhirnya mampu menjadi masyarakat ilmiah yang dapat menciptakan berbagai mesin untuk memudahkan manusia dalam kehidupannya. Revolusi pengetahuan pun terjadi dengan perputaran informasi yang semakin cepat ditukar dari manusia satu ke manusia yang lain. Buku dan surat kabar merambah ke kaum terpelajar, radio menyusulnya dengan informasi sekilas yang memanjakan pendengar, lalu televisi mengubah lanskap media yang dapat memengaruhi persepsi penonton seperti sihir. Sekarang kita menyatu ke sebuah ruang maya dimana individualitas melebur, gengsi dan strata kelas terhapus; semuanya menjadi satu warga, warga global.

Akses internet kini menjadi salah satu kebutuhan yang tidak terelakkan bagi umat manusia. Seluruh orang terkoneksi dalam satu jaringan nirkabel terbesar yang tidak pernah dibayangkan Plato dan Aristoteles. Pengiriman gambar dan video dapat dilakukan secepat jari menjentik. Pertemuan-pertemuan ilmiah, perjumpaan dengan teman lama, hingga aktivitas yang sakral semacam upacara pernikahan dan idul fitri, dilakukan secara daring. Selain revolusi teknologi, COVID-19 juga menyebabkan revolusi kehidupan sosial. Budaya salam-salaman yang identik dengan orang Jawa dan sekitarnya berganti dengan tutup tangan dan hanya menyapa dari jarak jauh. Kondisi ini tentu sangat sulit dinalar jika tidak ada perubahan besar yang disebabkan oleh COVID-19.

Seluruh aktivitas kita saat ini terekam dalam status dan story media sosial yang seringkali tak dapat dikendalikan. Hampir setiap detik kita berhubung melihat handphone dengan harapan ada orang yang berkirim pesan atau bertanya kabar. Seseorang yang duduk di stasiun kereta sendirian seringkali menunjukkan bahwa ia sedang terkoneksi dengan orang lain di smartphone yang ia bawa. Ketika tidak ada seorangpun yang mengiriminya WhatsApp, maka ia mencoba membaca berita yang aplikasi media online yang telah ia download. Pengguna media sosial di Indonesia mencapai 160 juta pada 2020 ini (StatCounter Global Stats, 2020). Kondisi ini memungkinkan setiap informasi menyebar dengan leluasa ke seluruh masyarakat Indonesia. Teknologi, terutama di bidang komunikasi, telah mengubah cara kita beinteraksi dengan orang lain sehingga menyebabkan banyak konsekuensi, salah satunya adalah infodemik.

Infodemik dan Kejatuhan Manusia

Keberadaan teknologi komunikasi membuat manusia kalang kabut menghadapi banjir informasi di media sosial (Shensa, Sidani, Dew, Escobar-Viera, & Primack, 2018). Manusia, secara tidak sadar menganggap seluruh informasi di smartphone-nya adalah sesuatu yang nyata dan dapat dipercaya. Ketidakmampuan manusia membedakan mana yang nyata dan tidak ini sudah lama dikaji dalam ilmu sosial. Kita bisa menyebut kondisi ini, salah satunya, dengan nama hiperrealitas. Istilah hipperalitas dipopulerkan oleh seorang filsuf Perancis bernama Jean Baudrillard. Hiperrealitas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar realitas, atau bahkan realitas yang kita rasakan bukanlah realitas yang sebenarnya tetapi kita terlanjut percaya.

Prinsip ini dimulai ketika seluruh gambaran akan realitas ditampilkan di media massa. Kita membayangkan bahwa apapun yang ada di media adalah kondisi sebenarnya padahal tidak. Media sosial merepresentasikan –menghadirkan kembali- kenyataan dalam bentuknya yang dapat dipercaya oleh indera manusia. Keistimewaan teknik representasi yang dihadirkan oleh media sosial adalah kemampuannya untuk hadir berulang-ulang dalam waktu yang tidak terbatas. Setelah pikiran manusia mendapatkan terpaan terus-menerus, maka prinsip kedua dari hiperrealitas akan terjadi: semua tanda dan simbol yang direpresentasikan media lebur menjadi sesuatu yang abstrak.

Nilai guna sudah beralih pada nilai tanda yang dibangun oleh iklan di media. Sebuah rumah bukan lagi dinilai dari caranya melindungi penghuninya dari hujan dan panas, tetapi digunakan sebagai tanda kelas sosial. Hal yang sama terjadi pada jam tangan, bukan lagi sebagai penunjuk waktu tetapi sebagai tanda bahwa merk jam tangan tertentu mengindikasikan pemiliknya ‘berkelas’ atau ‘orang biasa’. Semakin lama kita percaya dengan tanda dan simbol yang diciptakan oleh media maka semakin lama kita akan kehilangan pijakan dari tanda itu sendiri. Sebagaimana kita tahu, mobil befungsi untuk memuat individu lebih banyak dibandingkan sepeda motor.

Maka sebuah keluarga yang terdiri dari : ayah, ibu, dan tiga anak, membutuhkan mobil untuk bepergian karena sepeda motor tidak cukup. Keluarga ini memiliki uang Rp 70 juta yang bisa digunakan untuk membeli sebuah mobil bekas merk Daihatsu Ayla, Toyota Kijang atau Honda Jazz. Seorang ayah mungkin akan membeli Kijang, sedangkan anaknya yang berusia 18 tahun ngotot membeli Honda Jazz. Ada gengsi yang dibawa oleh merk sebuah mobil. Mungkin keduanya akhirnya tidak membeli mobil bekas, tetapi kredit di bank untuk membeli Chevrolet Trax seharga Rp 300 juta.

Ini bukan soal kapasitas mobil, tapi gengsi yang dihasilkan oleh merk, termasuk mobil bekas atau gress dari Dealer. Keluarga ini adalah potret bagaimana keluarga modern memperlakukan barang-barangnya dengan pijakan pada makna tanda dan simbol. Mereka sudah lupa bahwa niat awal membeli mobil adalah guna memudahkan mereka bepergian. Tetapi mobil Kijang saja tidak cukup, mereka memilih mobil baru dengan harga empat kali lipat dari uang ia memiliki. Hal yang sama juga akan terjadi pada virus corona. Kita semua pada akhirnya akan melupakan apa yang sesungguhnya kita perjuangkan untuk menghalau peyebaran coronavirus. Informasi yang berkembang dengan cepat di media massa dan media sosial menumpulkan arti COVID-19 sebagai virus mematikan, tetapi lambat laun ia akan berubah menjadi komoditas bagi kapitalis.

Setiap hari kita digempur informasi tentang COVID-19 dalam berbagai kesempatan. Penggunaan media sosial yang tinggi menyebabkan hiperrealitas yang kebablasan. Bayangkan, ketika tangal 12 Juli muncul sebuah gambar di Facebook yang menjelaskan dampak negatif dari penggunaan masker : mengurangi oksigen hingga 60%, meningkatkan risiko keracunan CO2, virus dan bakteri yang memenuhi masker dapat terhirup masuk ke hidung, dan udara segar penting untuk menjaga kesehatan. Informasi tersebut tentu sangat logis bagi kebanyakan orang sehingga dapat menimbulkan kegemparan bahwa penggunaan masker malah memicu penyakit lain. Padahal di seluruh negara di dunia saat ini sedang mengampanyekan hidup sehat dengan masker, terutama dapat melindungi dari penularan virus corona.

Informasi lain yang tidak kalah menyesatkan misalnya, sebuah judul : takut dibunuh, ahli virus china kabur ke AS: saya bersaksi COVID-19 hasil persekongkolan jahat. Judul artikel tersebut menyesatkan bagi orang yang membacanya dan cenderung mengarahkan untuk mempercayai COVID-19 sebagai konspirasi. Banyaknya informasi yang salah tentang COVID-19 sebenarnya membuat resah siapapun yang menginginkan hidup sehat. Ribuan informasi yang datang tanpa didasarkan pada data ini menimbulkan infodemik, yaitu suatu kondisi ketika informasi yang berkembang terus-menerus tanpa dibarengi data dan fakta yang valid. Infodemik ini sendiri tentu sama berbahayanya dengan COVID-19 (Abd-Alrazaq et al., 2020; Ahmad & Murad, 2020). Infodemik membunuh nalar, COVID-19 membunuh fisik.

Jika misinformasi tentang COVID-19 ini tidak terbendung maka manusia bisa jatuh pada prasangka yang keliru. WHO sendiri mengakui bahwa mereka kewalahan menghadapi infodemik yang meluncur deras di seluruh negara di dunia (Wee, Jr, & Hernandez, 2020). Banyaknya informasi yang berkembang tentang suatu penyakit membuat masyarakat kebingungan membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Padahal kedudukan informasi yang ‘benar dan akurat’ tentang suatu krisis sama pentingnya dengan keberadaan vaksin untuk mengatasi virus menular. Dalam kasus COVID-19 yang semakin memburuk, keberadaan infodemik memperparah kondisi tersebut. Sudah seharusnya seluruh masyarakat mendapatkan informasi terpercaya, tetapi yang didapat malah konspirasi.

Manusia yang sesungguhnya harus menguasai teknologi lalu menggunakannya demi kemaslahatan bersama, malah terpuruk bersama dengan niat jahat dari beberapa orang yang memanfaatkan krisis untuk mengeruk keuntungan. Infodemik dapat menyebabkan beberapa kendala psikologis seperti kepanikan dan ketakutan berlebih pada COVID-19 sehingga mengancam keselamatan orang lain. Ketakutan yang berlebihan bisa menimbulkan panic buying yang terjadi pada Maret 2020 ketika seluruh bahan pokok dibeli habis oleh sekelompok orang. Kelangkaan masker dan alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan juga sempat habis di pasaran. Hal ini nyata, bukan sebuah imajinasi. Panic buying pada bahan pokok dan alat kesehatan bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan hidup dan mati masyarakat lainnya.

Penutup

Kita harus bergerak menyelamatkan manusia dari infodemik ini. Persoalan virus biarlah ditangani oleh tenaga kesehatan yang memang expert di bidangnya. Mereka mampu membuat aturan yang aman agar COVID-19 tidak menyebar luas. Para ahli juga telah direkrut pemerintah guna menemukan ‘vaksin merah-putih’ untuk memelopori keberadaan obat COVID-19 di dunia. Langkah kita sebagai masyarakat kebanyakan adalah dengan mengampanyekan hidup sehat dengan menerapkan standar new normal; menyediakan hand sanitizer, menyediakan tempat cuci tangan, menggunakan masker, dan menjaga tubuh tetap sehat selama pandemi. Jika ada masyarakat yang teledor maka kita bersama wajib mengingatkan agar semua warga hidup tentram dan nyaman.

Cara lain menghentikan infodemik yang efektif bisa dilakukan pemerintah dan seluruh lembaga yang memiliki otoritas dalam pembatasan konten yang berkaitan dengan COVID-19 di semua platform media. Tentu saja ini hal yang dilematis karena kita juga membutuhkan informasi tentang virus ini guna melakukan pencegahan supaya tidak tertular COVID-19. Beruntungnya, perusahaan informasi skala internasional seperti Google, Facebook, Microsoft, hingga Twitter dan Youtube telah bersepakat untuk mendukung informasi akurat tentang COVID-19. Beberapa isi dari komitmen mereka misalnya melarang iklan yang menjual masker di platform media mereka. Komitmen ini sangat penting agar beranda media sosial kita tidak terus-menerus berisi iklan yang mengingatkan kita pada COVID-19.

Selain itu, komitmen multinational corporation ini terhadap penanganan COVID-19 ini juga muncul dalam berbagai program, seperti menyediakan informasi paling baru tentang COVID-19 bekerjasama dengan otoritas kesehatan di setiap negara di dunia. Perusahaan yang menguasai informasi di seluruh dunia ini juga berjanji untuk memberi iklan gratis kepada WHO guna menyebarkan informasi yang benar. Bahkan Google telah menghapus aplikasi yang menyebar informasi COVID-19 di Play Store yang tidak berasal dari lembaga kredibel guna mengurangi misinformasi tentang virus yang sampai sekarang masih menghantui dunia tersebut.

Pemerintah dan lembaga dunia sudah bergerak memerangi infodemik. Kini saatnya kita bergerak untuk menghapus hoax dan disinformasi COVID-19 di seluruh platform yang kita temukan. Seluruh lembaga, baik pemerintah maupun swasta, telah mempermudah cara-cara pelaporan hoax sehingga internet bersih dari berita palsu. Seluruh orang bisa melakukan screen capture atau mengcopy url informasi yang salah lalu mengirimkannya ke Kominfo RI. Google, Facebook, Twitter, dan Mafindo sendiri juga sudah menyediakan cara pelaporan yang mudah ketika muncul hoax di beranda media sosial atau di grup WhatsApp yang dimiliki. Tugas ini memang berat, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin jika dilakukan secara bersama-sama.

Referensi

Abd-Alrazaq, A., Alhuwail, D., Househ, M., Hamdi, M., Shah, Z., Ahmad, A. R., … Rizun, M. (2020). Free Communication Fake News in the Context of the COVID-19 Pandemic. International Journal of Environmental Research and Public Health, 22(4), 1–11. https://doi.org/10.2196/19556

Ahmad, A. R., & Murad, H. R. (2020). The Impact of Social Media on Panic During the COVID-19 Pandemic in Iraqi Kurdistan: Online Questionnaire Study. Journal of Medical Internet Research, 22(5), e19556. https://doi.org/10.2196/19556

Shensa, A., Sidani, J. E., Dew, M. A., Escobar-Viera, C. G., & Primack, B. A. (2018). Social media use and depression and anxiety symptoms: A cluster analysis. American Journal of Health Behavior, 42(2), 116–128. https://doi.org/10.5993/AJHB.42.2.11

StatCounter Global Stats. (2020). Social Media Stats Indonesia. Retrieved February 10, 2020, from Statscounter.com website: https://gs.statcounter.com/social-media-stats/all/indonesia

Wee, S.-L., Jr, D. G. M., & Hernandez, J. C. (2020). W.H.O. Declares Global Emergency as Wuhan Coronavirus Spreads - The New York Times. Retrieved April 3, 2020, from New York Times website: https://www.nytimes.com/2020/01/30/health/coronavirus-world-health-organization.html

* Tulisan ini dimuat dalam buku Kolaborasi, Riset, dan Volunterisme: Membangun Resiliensi dalam Gejolak Pandemi yang diterbitkan oleh MAFINDO. 

2021-02-07

COVID-19 dan Penghancuran Pekerja

Fathul Qorib*

Perekonomian dunia saat ini menghadapi ancaman besar akibat pandemic Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Kebijakan ekonomi masing-masing negara harus memperhatikan banyak pihak karena setiap keputusan membawa dampak yang luar biasa terutama bagi pekerja, seperti pemutusan hubungan kerja (layoff), penutupan kantor sementara, dirumahkan (furlough), hingga bekerja jarak jauh (Tang, Koski and Bell, 2020). Karena krisis kali ini diperkirakan akan menghapus 6.7% jam kerja secara global pada kuartal ke dua tahun 2020, yang setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu (ILO, 20AD).

Ancaman global ini menyerang banyak sektor pekerjaan yang ada di seluruh dunia (Borden, 2020). Beberapa sektor usaha yang sangat terdampak Covid-19 ini terutama pada bidang makanan dan akomodasi yang diperkirakan memiliki 144 juta pekerja, retail and wholesale dengan 482 juta pekerja, business services and administration yang memiliki 157 pekerja, dan manufacturing 463 pekerja. Empat sektor pekerjaan yang terdampak tersebut mewakili 37,5% total pekerja di seluruh dunia (United Nations, 2020). Bahkan ILO menganggap bahwa Covid-19 ini merupakan bencana terbesar terhadap pekerja sejak perang dunia ke II.

Menurut laporan ILO, perkiraan dampak pengurangan pekerja di kawasan Asia Pasifik bisa mencapai 125 juta kasus. Hal itu bisa dilihat di Ibukota Indonesia, Jakarta, yang menjadi pusat penyebaran Covid-19 di Indonesia, 43 ribu karyawan lebih terkena imbasnya. Sebanyak 13 ribu orang dirumahkan, dan 30.137 orang di putus hubungan kerja (PHK) oleh 3.348 perusahaan. Di daerah lain juga terjadi hal yang sama. Di Kabupaten Bayumas, Provinsi Jawa Tengah, tercatat 1.222 karyawan dirumahkan oleh 54 perusahaan yang sebagian besar dari sektor perhotelan, rumah makan, dan tempat hiburan (Putra, 2020).

Secara nasional, tidak kurang dari 1,5 juta karyawan yang telah kehilangan pekerjaan akibat Covid-19. Sebanyak 89,4% dirumahkan, dan 10.6% atau sekitar 160 ribu karyawan mengalami pemutusan hubungan kerja (Rina, 2020; Thertina, 2020). Kondisi ini jauh lebih buruk dibandingkan krisis 2009 yang disebabkan tumbangnya sektor keuangan, sedangkan kali ini sektor kesehatan dan keamanan masyarakat terancam yang berdampak pada sektor ekonomi secara makro maupun mikro (Rafie et al., 2020).

Kemampuan pemerintah secara umum dan perusahaan secara khusus terhadap keputusan ‘merumahkan’ karyawan (furlough) perlu dikaji supaya tidak menimbulkan persoalan sosial yang lebih besar. Karena memang dapat dipahami bahwa environmental jolt dapat terjadi secara tiba-tiba, seperti perekonomian dunia yang ambruk, bencana alam, bencana yang disebabkan kesalahan manusia seperti kebakaran dan kerusakan skala besar. Terutama pada pandemic kesehatan seperti Covid-19, menambah beban berat perusahaan yang tidak siap dengan perubahan cepat dan mendadak. Biaya bertambah besar sementara produktivitas menurun (Gahan, Michelotti and Standing, 2012).

Menghadapi Covid-19 ini, perusahaan perlu mengubah strategi manajemen sumber daya manusia yang selama ini tidak diberlakukan. Tidak ada yang siap untuk menjalankan manajemen organisasi di tengah pandemic yang mengharapkan seluruh orang diam di rumah (stay at home). Ancaman krisis tahun 1998 dan 2008 yang menimpa Indonesia lebih mengarah pada krisis ekonomi dan keuangan yang besar (Hill, 2007; Wikanti, 2011). Indonesia terpuruk hingga dolar melambung tinggi karena inflasi terjadi hingga 78% (Mubyarto, 2015). Tetapi waktu itu Indonesia dianggap memiliki keberuntungan sehingga dapat bangkit dengan cepat, bukan murni sistem perekonomian yang bagus (Basri and Rahardja, 2010).

Berbeda dengan krisis keuangan tersebut, krisis yang disebabkan Covid-19 saat ini lebih menyerang kesehatan manusia tetapi berimbas pada berbagai bidang, mulai pendidikan, kelembagaan politik, pariwisata, hingga perekonomian. Seluruh warga harus menjaga jarak aman, memakai masker, dan yang paling parah adalah anjuran lockdown dan tidak keluar rumah agar virus berhenti menular. Dengan kondisi ini perekonomian tidak berjalan lancar dan perusahaan ramai-ramai menghentikan produksi yang berpengaruh pada ‘merumahkan karyawan’ untuk mengurangi beban perusahaan.

Covid-19 di Indonesia membawa dampak yang besar pada berbagai sektor hingga pemerintah akhirnya menyetujui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB; Large-scale Social Restriction) di Jakarta. Pembatasan sosial ini diambil oleh Presiden Jowo Widodo yang digabungkan dengan karantina kesehatan, dan pengetatan physical distancing, guna memutus mata rantai virus Covid-19 (Andriyanto and Tambun, 2020; Rayda, 2020; Sutrisno, 2020). Sebagai pusat pemerintah, ekonomi, dan industri, pemberlakuan PSBB di Jakarta menjadikan seluruh penopang hidup karyawan melemah (Ries, 2004).

Pelajaran dari Italia, Spanyol, dan Cina, yang sudah menerapkan lockdown memang terjadi tren penurunan jumlah positif Covid-19 (Mitjà et al., 2020; Tobías, 2020). Sehingga pemilihan PSBB di Jakarta diharapkan juga akan mengalami pemulihan yang sama. Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2020 menjelaskan bahwa Large-scale Social Restriction berarti sekolah-sekolah harus diliburkan, tempat kerja libur, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan hingga aspek pertahanan keamanan (Tri, 2020).

Banyaknya pembatasan tersebut, maka ruang gerak masyarakat tidak lagi luas dan leluasa. Pekerja informal dan karyawan perusahaan semakin terpojok ketika mendapatkan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan.

Seluruh orang akan memahami kondisi perekonomian yang memburuk. Tetapi karyawan yang sudah bekerja penuh waktu pada satu perusahaan akan kebingungan ketika dirumahkan. Masalah sosial baru akan muncul dengan melonjaknya pengangguran. Di tambah banyaknya karyawan yang tidak memahami bahwa cuti sementara yang diberlakukan bertujuan untuk mengurangi beban perusahaan agar tidak merugi. Perusahaan pun tidak memberikan penjelasan melalui saluran-saluran resmi internal perusahaan yang dapat dipercaya sehingga karyawan dapat memahami langkah yang diambil perusahaan.

Semua perusahaan sulit mengukur atau menyiapkan saat terjadinya goncangan akibat force major (Bradley, 2015; Smith, 2016). Tetapi bagaimanapun perusahaan harus memiliki perencanaan jangka panjang sehingga ketika terjadi goncangan ekonomi, alat, atau kesalahan teknis, perusahaan tetap bisa berjalan meski tersendat. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa environmental jolt dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan bagi pimpinan perusahaan dengan cara mencari alternatif pemecahan masalah sehingga perusahaan dapat bangkit lagi dan bahkan menjadi lebih baik (Sine and David, 2003; Goll and Rasheed, 2011)

Pekerja yang dirumahkan atau di putus hubungan kerja cenderung mengalami gangguan psikologis dan sosial yang buruk, seperti menurunnya kepuasan hidup, meningkatnya konflik antara pada keluarga, hingga meningkatnya kelahan fisik dan psikis (Baranik et al., 2019) yang nanti akan membawa pengaruh buruk pada kinerja setelah kembali bekerja (Halbesleben, Wheeler and Paustian-Underdahl, 2013). Kendala psikis yang dialami pekerja yang dirumahkan membutuhkan social support sehingga stress tidak terus berlanjut (Cotter and Fouad, 2013).

Banyaknya pekerja yang dirumahkan harus dilihat dari kacamata strategic human resources management, apakah perusahaan telah siap melakukan pemangkasan pekerja dalam rangka sementara atau tetap. Dalam pengelolaan sumber daya manusia, sebuah perusahaan harus mengacu pada sistem pengelolaan sumber daya manusia bukan pada individu (Boon, Den Hartog and Lepak, 2019). Karena karyawan dalam sebuah perusahaan bekerja dalam sistem yang saling terkait dengan sistem lain. Sehingga perhatian sistem lebih diutamakan dibanding menyelesaikan masalah SDM indiividu by individu.

Sistem ini sangat penting karena perusahaan yang sudah mengembangkan SHRM yang baik akan menyebabkan saling percaya dan saling dukung antara perusahaan dan karyawan sehingga persoalan bisa diselesaikan dengan baik sehingga meningkatkan nilai kompetitif perusahaan (Bellairs, Halbesleben and Leon, 2014; Han, Sun and Wang, 2020). Secara teoritis, human resource management perusahaan terhadap karyawannya dapat dilakukan melalui dua cara, memunculkan komitmen karyawan pada perusahaan dan memunculkan kepatuhan karyawan pada aturan. Keduanya dapat membawa efek positif pada perusahaan (Su, Wright and Ulrich, 2018).

Penelitian terbaru juga menyarankan agar perusahaan memiliki high performance work systems (HPWS) yang dapat membuat karyawan merasa bertanggung jawab terhadap perusahaan dengan pemberian insentif dan kompensasi yang dibutuhkan (Bellairs, Halbesleben and Leon, 2014). Dalam HPWS, sebuah perusahaan akan memiliki performa yang tinggi jika mengadopsi beberapa hal, a) sistem seleksi karyawan yang konsisten dengan mempertimbangkan kompetensi dan jiwa kompetitif karyawan; b) sistem reward yang jelas sesuai dengan keberhasilan karyawan, dan c) memiliki sistem pelatihan dan strategi pengembangan ke depan yang berbasis kinerja perusahaan (Becker and Huselid, 1998; Huselid and Becker, 2011).

Hal yang perlu dibawahi dalam adalah tentang adanya tanggung jawab perusahaan terhadap seluruh pekerjanya untuk pendidikan, pelatihan, menciptakan lingkungan kerja yang aman, mencegah terjadinya cedera, serta meningkatkan moral karyawan (Madura, 2007; Sarinah and Mardalena, 2017; Wuisang, Runtuwarouw and Korompis, 2019). Ketika ekonomi ambruk karena kondisi yang tidak terduga, peran manajemen dalam perusahaan sangat penting untuk memberikan informasi yang pasti terhadap karyawan (Kim, Maher and Lee, 2018). Apalagi jika karyawan mengalami cuti sementara, dirumahkan, hingga diputus hubungan kerjanya.

Tujuan tulisan ini yang utama adalah menjelaskan strategi yang diterapkan perusahaan di Indonesia dalam memberikan pemahaman tentang tindakan-tindakan mereka kepada karyawan, khususnya kebijakan terkait merumahkan mereka. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengambil langkah agar pekerja tidak dirugikan dalam pandemic. Dalam Surat Edarat Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Maret 2020, telah disebutkan bahwa pekerja yang masuk pada kategori Orang dalam Pemantauan (ODP), orang suspek Covid-19, maupun pekerja yang positif Covid-19, maka seluruh gajinya dibayarkan secara penuh (Kementrian Ketenagakerjaan, 2020).

Pemerintah mengatur juga bagi perusahaan yang akhirnya memberlakukan pembatasan kegiatan usaha, tetap harus melibatlan pekerja dan karyawannya dalam mekanisme kerja dan pembayaran upahnya. Sebab itu, langkah-langkah strategis yang perusahaan lakukan sangat penting agar tidak menambah beban karyawan yang juga dirugikan atas kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Pembatasan sosial akibat Covid-19 yang diberlakukan oleh pemerintah tidak bisa digunakan sebagai alasan perusahaan untuk mengurangi pekerja tanpa disertai kompensasi yang sama-sama menguntungkan.

Memperhatikan hal tersebut maka perusahaan tidak bisa secara sepihak melakukan pemangkasan pekerja tanpa melakukan transaksi dengan pekerja. Selain perusahaan harus memahami aturan dari pemerintah, mereka juga memiliki kewajiban untuk mengajak pekerjanya secara bersama-sama memikirkan kepentingan perusahaan dan pribadi pekerja. Harus ada pemahaman di kedua belah pihak yang dimulai dari perusahannya, misalkan dengan melibatkan peran public relations atau corporate communication untuk menjembatani keinginan perusahaan dengan karyawan.

Sebaliknya, di tingkat pekerja juga harus ada pemahaman yang lebih baik berkaitan dengan keniscayaan yang harus dilakukan perusahaan dalam rangka pandemic Covid-19. Pembatasan kerja sudah pasti berjalan karena warga yang positif Covid-19 masih terus bertambah. Dalam observasi pendahuluan banyak pekerja yang tidak memahami perbedaan antara pemutusan hubungan kerja dengan dirumahkan. Pekerja masih menganggap kebijakan perusahaan untuk merumahkan mereka dianggap keputusan sepihak yang tidak menguntungkan mereka, tetapi lebih banyak menguntungkan perusahaan.

Mengaca dari penelitian tahun 2007 tentang karantina akibat human influenza virus, para peneliti merekomendasikan pemerintah agar menyediakan aturan yang berlaku untuk seluruh pandemic kesehatan di masa datang, termasuk dengan menyediakan dana yang dibutuhkan meskipun besarannya tidak dapat diprediksi (Rothstein and Talbott, 2007). Menghadapi pandemic, perusahaan juga harus dapat mengembangkan teleworking di masa depan, melakukan pencegahan optimal terhadap kesehatan karyawan, menjaga psikologis karyawan, penggunaan big data dalam analisis manajemen, dan paling penting adalah dukungan agar karyawan kembali bekerja (Fadel, Salomon and Descatha, 2020; Gudi and Tiwari, 2020; Yasmin et al., 2020).

Tulisan ini semoga dapat memberikan sumbangan pemikiran pada bidang manajemen sumber daya manusia yang selama ini berjalan dalam kondisi normal sehingga memiliki kesiapan menghadapi pandemic kesehatan. Selain itu, kita juga berharap akan berguna untuk pemerintah dalam mengambil keputusan di masa mendatang (Nelson, 2012). Karena berdasarkan pengalaman pendemic kesehatan maupun krisis ekonomi bisa terjadi kapanpun di masa depan. Jika pemerintah dan perusahaan yang menjadi penyokong perekonomian suatu negara tidak siap maka krisis akan berkepanjangan dan merugikan masyarakat luas.

Fathul Qorib, Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UNITRI Malang. IG - @fathul_indonesia

References

Andriyanto, H. and Tambun, L. T. (2020) Jokowi Orders ‘Large-Scale’ Social Distancing But Still No Lockdown, Jakarta Globe. Available at: https://jakartaglobe.id/news/jokowi-orders-largescale-social-distancingbut-still-no-lockdown/ (Accessed: 17 April 2020).

Baranik, L. E. et al. (2019) ‘What Happens When Employees Are Furloughed? A Resource Loss Perspective’, Journal of Career Development. SAGE Publications Inc., 46(4), pp. 381–394. doi: 10.1177/0894845318763880.

Basri, M. C. and Rahardja, S. (2010) ‘The Indonesian Economy amidst the Global Crisis: Good Policy and Good Luck’, ASEAN Economic Bulletin. ISEAS - Yusof Ishak Institute, pp. 77–97. doi: 10.2307/41317110.

Becker, B. E. and Huselid, M. A. (1998) ‘High Performance Work Systems and Firm Performance: A Synthesis of Research and Managerial Implications’, RESEARCH IN PERSONNEL AND HUMAN RESOURCE MANAGEMENT, pp. 53--102. Available at: https://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?doi=10.1.1.319.7549 (Accessed: 15 April 2020).

Bellairs, T., Halbesleben, J. R. B. and Leon, M. R. (2014) ‘A multilevel model of strategic human resource implications of employee furloughs’, Research in Personnel and Human Resources Management. Emerald Group Publishing Ltd., 32, pp. 99–146. doi: 10.1108/S0742-730120140000032002.

Boon, C., Den Hartog, D. N. and Lepak, D. P. (2019) ‘A Systematic Review of Human Resource Management Systems and Their Measurement’, Journal of Management, 45(6), pp. 2498–2537. doi: 10.1177/0149206318818718.

Borden, T. (2020) The coronavirus outbreak has triggered unprecedented mass layoffs and furloughs. Here are the major companies that have announced they are downsizing their workforces, Business Insider. Available at: https://www.businessinsider.sg/coronavirus-layoffs-furloughs-hospitality-service-travel-unemployment-2020?r=US&IR=T (Accessed: 17 April 2020).

Bradley, S. W. (2015) ‘Environmental Jolts’, in Wiley Encyclopedia of Management. John Wiley & Sons, Ltd, pp. 1–23. doi: 10.1002/9781118785317.weom030035.

Cotter, E. W. and Fouad, N. A. (2013) ‘Examining Burnout and Engagement in Layoff Survivors’, Journal of Career Development. SAGE PublicationsSage CA: Los Angeles, CA, 40(5), pp. 424–444. doi: 10.1177/0894845312466957.

Fadel, M., Salomon, J. and Descatha, A. (2020) ‘Coronavirus outbreak: the role of companies in preparedness and responses’, The Lancet Public Health. Elsevier Ltd, p. e193. doi: 10.1016/S2468-2667(20)30051-7.

Gahan, P., Michelotti, M. and Standing, G. (2012) ‘The Diffusion of HR Practices in Chinese Workplaces and Organizational Outcomes’, ILR Review. Cornell University, 65(3), pp. 651–685. doi: 10.1177/001979391206500308.

Goll, I. and Rasheed, A. A. (2011) ‘Environmental jolts, clocks, and strategic change in the U.S. Airline industry: The effects of deregulation and the 9/11/2001 terrorist attacks’, Business and Politics. Cambridge University Press, pp. 1–35. doi: 10.2202/1469-3569.1386.

Gudi, S. K. and Tiwari, K. K. (2020) ‘Preparedness and Lessons Learned from the Novel Coronavirus Disease’, The international journal of occupational and environmental medicine. NLM (Medline), 11(2), pp. 108–112. doi: 10.34172/ijoem.2020.1977.

Halbesleben, J. R. B., Wheeler, A. R. and Paustian-Underdahl, S. C. (2013) ‘The impact of furloughs on emotional exhaustion, self-rated performance, and recovery experiences’, Journal of Applied Psychology, 98(3), pp. 492–503. doi: 10.1037/a0032242.

Han, J., Sun, J. M. and Wang, H. L. (2020) ‘Do high performance work systems generate negative effects? How and when?’, Human Resource Management Review. Elsevier Ltd, 30(2), pp. 1–14. doi: 10.1016/j.hrmr.2019.100699.

Hill, H. (2007) ‘The Indonesian economy: Growth, crisis and recovery’, Singapore Economic Review. World Scientific Publishing Co. Pte Ltd, 52(2), pp. 137–166. doi: 10.1142/S0217590807002610.

Huselid, M. A. and Becker, B. E. (2011) ‘Bridging Micro and Macro Domains: Workforce Differentiation and Strategic Human Resource Management’, Journal of Management. Edited by H. Aguinis et al. SAGE PublicationsSage CA: Los Angeles, CA, 37(2), pp. 421–428. doi: 10.1177/0149206310373400.

ILO (20AD) ILO: COVID-19 Causes Devastating Losses in Working Hours and Employment, ilo.org2.

Kementrian Ketenagakerjaan (2020) ‘Circular of the Minister of Manpower of the Republic of Indonesia concerning Worker / Labor Protection and Business Continuity in the Context of Preventing and Countering Covid-19 (Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan ’. Republik Indonesia.

Kim, J., Maher, C. S. and Lee, J. (2018) ‘Performance information use and severe cutback decisions during a period of fiscal crisis’, Public Money and Management. Routledge, 38(4), pp. 289–296. doi: 10.1080/09540962.2018.1449475.

Madura, J. (2007) Pengantar Bisnis 1 (Introduction to Business). 4th edn. Jakarta: Salemba Empat.

Mitjà, O. et al. (2020) ‘Experts’ request to the Spanish Government: move Spain towards complete lockdown’, The Lancet. Elsevier BV. doi: 10.1016/s0140-6736(20)30753-4.

Mubyarto, M. (2015) ‘FINANCIAL CRISIS AND ITS IMPACTS ON POVERTY IN INDONESIA’, Financial Crisis and Its Impacts on Poverty in Indonesia, 18(1). doi: 10.22146/jieb.6613.

Nelson, K. L. (2012) ‘Municipal Choices during a Recession: Bounded Rationality and Innovation’, State and Local Government Review. SAGE Publications, 44(1_suppl), pp. 44S-63S. doi: 10.1177/0160323x12452888.

Putra, A. A. (2020) Buruh Dirumahkan karena COVID-19, Harus Tetap Diupah atau Tidak? (Workers Laid off Because COVID-19, Must Be Paid or Not?), Tirto Id. Available at: https://tirto.id/buruh-dirumahkan-karena-covid-19-harus-tetap-diupah-atau-tidak-eLTg (Accessed: 14 April 2020).

Rafie, B. T. et al. (2020) Ekonomi porak poranda akibat corona, bagaimana langkah penyelamatan oleh pemerintah? (The economy is ravaged by corona, how is the rescue step by the government?), Kontan. Available at: https://fokus.kontan.co.id/news/ekonomi-porak-poranda-akibat-corona-bagaimana-langkah-penyelamatan-oleh-pemerintah-1?page=all (Accessed: 15 April 2020).

Rayda, N. (2020) Explainer: What now for Indonesia after Jokowi signed regulation on social restrictions to tackle COVID-19?, Channel News Asia. Available at: https://www.channelnewsasia.com/news/asia/indonesia-covid-19-jokowi-decree-social-restrictions-what-next-12598760 (Accessed: 17 April 2020).

Ries, N. M. (2004) ‘Public health law and ethics: lessons from SARS and quarantine.’, Health law review, 13(1), pp. 3–6. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15838998 (Accessed: 17 April 2020).

Rina, R. (2020) 1,4 Juta Pekerja Dirumahkan & PHK, Bagaimana Hak-Haknya? (1.4 Million Workers Furlough & Layoffs, What Are Their Rights?), CNBC Indonesia. Available at: https://www.cnbcindonesia.com/news/20200409211201-4-151021/14-juta-pekerja-dirumahkan-phk-bagaimana-hak-haknya (Accessed: 14 April 2020).

Rothstein, M. A. and Talbott, M. K. (2007) ‘Encouraging compliance with quarantine: a proposal to provide job security and income replacement.’, American journal of public health. American Public Health Association, 97 Suppl 1(Suppl 1), p. S49. doi: 10.2105/AJPH.2006.097303.

Sarinah and Mardalena (2017) Pengantar Manajemen. Yogyakarta: Deepublish.

Sine, W. D. and David, R. J. (2003) ‘Environmental jolts, institutional change, and the creation of entrepreneurial opportunity in the US electric power industry’, Research Policy. Elsevier B.V., 32(2 SPEC.), pp. 185–207. doi: 10.1016/S0048-7333(02)00096-3.

Smith, C. (2016) ‘Environmental Jolts: Understanding How Family Firms Respond and Why’, Family Business Review. SAGE Publications Inc., 29(4), pp. 401–423. doi: 10.1177/0894486516673906.

Su, Z. X., Wright, P. M. and Ulrich, M. D. (2018) ‘Going Beyond the SHRM Paradigm: Examining Four Approaches to Governing Employees’, Journal of Management. SAGE Publications Inc., 44(4), pp. 1598–1619. doi: 10.1177/0149206315618011.

Sutrisno, B. (2020) Jokowi orders large-scale social restrictions coupled with ‘civil emergency’ policies, The Jakarta Post. Available at: https://www.thejakartapost.com/news/2020/03/30/jokowi-orders-large-scale-social-restrictions-coupled-with-civil-emergency-policies.html (Accessed: 17 April 2020).

Tang, C., Koski, C. J. and Bell, M. H. (2020) H-1B Considerations in Context: COVID-19, Remote Work, Office Closures, Furloughs, and Layoffs - Ogletree Deakins, Ogletree Deakin. Available at: https://ogletree.com/insights/h-1b-considerations-in-context-covid-19-remote-work-office-closures-furloughs-and-layoffs/ (Accessed: 15 April 2020).

Thertina, M. R. (2020) Gelombang Besar PHK Imbas Corona Menerpa Indonesia (Waves of Layoffs Hit Indonesia Corona Impact), Katadata.co.id. Available at: https://katadata.co.id/berita/2020/04/13/gelombang-besar-phk-imbas-corona-menerpa-indonesia (Accessed: 14 April 2020).

Tobías, A. (2020) ‘Evaluation of the lockdowns for the SARS-CoV-2 epidemic in Italy and Spain after one month follow up’, Science of The Total Environment, 725, p. 138539. doi: 10.1016/j.scitotenv.2020.138539.

Tri, R. (2020) Pembatasan Sosial Berskala Besar Berlaku di Jakarta, Ini Artinya, Tempo. Available at: https://bisnis.tempo.co/read/1329003/pembatasan-sosial-berskala-besar-berlaku-di-jakarta-ini-artinya?page_num=2 (Accessed: 17 April 2020).

United Nations (2020) COVID-19: impact could cause equivalent of 195 million job losses, says ILO chief | UN News, UN News2. Available at: https://news.un.org/en/story/2020/04/1061322 (Accessed: 14 April 2020).

Wikanti, A. S. (2011) ‘CONTAGION EFFECTS OF US FINANCIAL CRISIS ON INDONESIA’, Economic Journal of Emerging Markets, 3(2), pp. 125–137. doi: 10.20885/ejem.v3i2.2325.

Wuisang, J. R., Runtuwarouw, R. and Korompis, C. (2019) Konsep Kewirausahaan Dan UMKM (The Concept of Entrepeneurship and Business Micro Economic Unit). Minahasa Utara: Yayasan Makaria Waya.

Yasmin, M. et al. (2020) ‘Big data analytics capabilities and firm performance: An integrated MCDM approach’, Journal of Business Research, 114, pp. 1–15. doi: 10.1016/j.jbusres.2020.03.028.