2020-12-31

Puisi : ketika malam tiba, dan seterusnya



ketika malam tiba

malam, sebuah waktu ketika
ia mencatat daun-daun jatuh
pada rindu, keheningan panjang
lelaki yang pikirannya lusuh
duduk memandang langit
tapi malam memang malam
bunga tulip mekar di ujung kota

dibacanya lagi pesan-pesan panjang
dari koridor menuju ruang halaman
hatinya meluas, memasukkan satu
dua cerita, tiga empat berita ke palung
dadanya yang beku, pesan itu diulang
pesan itu diulang, hingga dini hari
tapi cinta tak mengenal malam

seorang lelaki yang kusut harinya
kembali menemui malam
ia bertanya, "apakah rindu di situ"
tapi sekarang sudah pagi,
semoga tak habis kisah ini.

malam ini ramai
di kepalanya, seperti ada yang bermain bola
mereka bersorak
mereka menyambut
sebuah kenangan yang tak lekang
oleh mimpi dan harapan
kenangan seorang kapten,
sama gadis impiannya
tulip mekar di dermaga

jarak

tercipta dari pandang dan temu
mereka bercakap tentang waktu
usia kata yang mengajak mesra
kalimat berpendar antara kita

kita memproduksi jarak,
kita membongkar jarak
sebuah tembok yang terpasang
sejak asali, kita luruhkan
dalam batas perjalanan
antara detak jantungku
dan kerling senyummu
di sanalah, jarak tak ada lagi

dengarkan degub yang sama
dari dada kita, mari

kenang

ada yang tertidur dalam bayang
sebuah pohon asam, pinggir jalan
panjang dan jauh sekali. deru motor
sesekali

ia pengelana
rupa humus dan penar hujan,
siut angin menyusul kabar.
kemarau yang ragu
desa yang ia angan mendesau

tanah-tanahnya telah mati
padi dan jagung pergi

ia pengelana
di pelupuk matanya, hamparan
janji dan teka-teki
kelebat fotografis,
satu persatu diusirnya

tanah-tanahnya telah mati
ubi dan kedelai tak bersemi

ia kembali tertidur di bayang
pepohonan tua yang sebentar
saja, menjadi kelabu
semenit sebelum malam jatuh


besok
besok
ketika bulan terang di kalender
seperti malam ini, adalah
wajahmu yang ingin kupandang
di malam bulan terang
seperti kalender malam ini

besok
ketika meja dan bangku kafe
telah disimpan tengah malam
adalah hangatmu yang terbayang
seperti rumah yang teduh
menelusupi gamang hatiku
menunggui jumpa

besok
ketika kota telah lelap
kubawakan cangkir bunga-bunga
seribu warna. ia perlambang
bahwa kita masihlah sebuah kisah
dari puisi ke puisi, dari rindu ke muara
pada segala tahun dan jaman
hingga menuai genggam
kita berdua


tak ada angin sore itu

aku memunggungi catatan kecil
setelah basah oleh dingin
sepanjang waktu, menunggumu
tak ada angin, hanya gigil
kejauhan

jalanan ke sini becek dan bisu
dan penanggalan kusam
oleh rindu-rindu yang mengalir
deras bersama ruang tunggu
teras yang menahun menahan
penantian 

angin menyela getar tanganku
matamu. aku melihatnya
terbang awan putih dan bangau
kau yang berbaju hujan
kau yang bersela dedaunan
datang dengan tawa kecil

aku tersenyum, antara sesat
dan tangis, berpuluh langkah
menuju bukit untuk menjemputmu
menggandeng tanganmu yang kaku
lalu kita rebah menerawang

kapan angin berhenti di sore itu

2019-2020

2020-12-29

Satu Tahun Pandemi Covid-19


Penyakit menular selalu mengerikan. Manusia normal akan selalu was-was ketika berhadapan dengan orang lain yang berkemungkinan menularkan penyakit. Maka dari itu, Covid-19 bukan sekadar virus mematikan. Covid-19 jauh lebih berbahaya karena menggerogoti nalar dan jiwa manusia. Kita diambang ketakutan setiap keluar rumah, bertemu orang, bertegur sapa. Bahkan kita ketakutan membuka pintu toko dan ATM menggunakan tangan.

Kini, satu tahun setelah Covid-19 muncul di Cina pada 31 Desember 2019, kita masih belum pulih. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah menangani pandemi ini terus terjadi. Bahkan, sekarang orang-orang dengan keteledoran penuh menentang semua protokol kesehatan. Mall tetap buka, beberapa jaringan bioskop buka, taman rekreasi dan hiburan akhirnya buka setelah berbulan-bulan tanpa pemasukan, ojek online mulai jalan, bus sudah lama mengangkut penumpang.

Guna memahami kondisi ini kita bisa melihat dari sisi yang berbeda namun saling melengkapi; perkembangan pengetahuan tentang virus dan vaksin, dan perkembangan teknologi informasi yang super pesat. Keduanya membawa pengaruh besar bagi perubahan-perubahan radikal yang terjadi di dunia ini. Namun, gelombang yang membesar di abad ke 21 ini lebih banyak fokus pada teknologi. Covid-19 yang mendominasi ketakutan manusia jelas akibat ulah media yang menjadi anak emas teknologi.

Kekuatan Informasi

Jika diukur dari jumlah kematian dan infeksi yang disebabkan Covid-19, maka virus ini tentulah bukan yang terbesar. Black Death tahun 1334-1350 membunuh hampir 50 juta warga dunia. Modern plague tahun 1860 mengakibatkan 10 juta orang meninggal. Russian Flu, membunuh 1 juta orang, Spanish Flu menyebabkan 100 juta orang meninggal (tehconversation). Daftar ini masih panjang jika melibatkan beberapa pandemi yang menyebabkan kematian pada ribuan hingga ratusan ribu orang seperti Ebola, SARS, dan MERS.

Bisa kita lihat bahwa dunia tampaknya telah melupakan virus-virus tersebut dengan cepat. Pikiran dunia sudah beranak-pinak pada industri pariwisata, kekuatan militer, infrastruktur, dan real estate di seluruh negara maju. Negara miskin masih kesulitan mengapa mereka tetap miskin hingga tidak bisa mengembangkan potensi ekonomi. Di tengah optimisme dunia yang kedodoran, meledaklah sebuah virus yang dapat menyebar dengan sentuhan dan menyebar lewat udara (airbone). Dunia kaget, gagap, lalu mengeluarkan joke yang tidak lucu serta kebijakan negara yang ngawur –sebagaimana di Indonesia mulanya.

Dunia seketika mengingat masa lalu yang jauh, ketika jutaan orang mati karena Wabah Pes dan Flu Spanyol. Informasi menyebar dengan cepat. Penduduk Indonesia yang awalnya santai dan cenderung menganggap segala kondisi buruk terjadi pada negara lain; akhirnya terkejut saat tahu warga Depok tertular Covid-19 pada Maret 2020. Mulai dari sini, ketakutan menggelombang. Covid-19 menjadi tema liputan seluruh media massa lalu menjadi trending topic media sosial. Gara-gara media massa dan media sosial, panic buying terjadi. Seluruh bahan makanan habis di berbagai toko retail. Masker ditimbun, harga melangit.

Orang-orang ketakutan untuk keluar rumah. Industri bangkrut, ekonomi terhenti. Masyarakat kelas bawah menjerit kelaparan karena mereka tidak memiliki timbunan harta untuk bermanja di dalam rumah. Dan media massa masih belum menghentikan kegiatannya meskipun banyak jurnalis yang dikorbankan dengan dalih ‘masyarakat berhak mendapatkan informasi’. Media sosial menjadi corong utama untuk menyuarakan rasa putus asa, teriakan gamang, hingga permohonan bantuan dengan Twitter do Your Magic.

Media yang menjadi sumber utama informasi masyarakat menjadi tempat paling mujarab untuk menghantar ketakutan. Di sinilah media merasakan dilema; satu sisi tugas media adalah mengabarkan informasi yang penting dan layak diketahui publik, dan di sisi lain informasi tersebut menimbulkan infodemic yang berkepanjangan. Infodemic terjadi ketika sebuah informasi sudah jenuh, disebarkan secara massif dan meluas, hingga mengaburkan fakta dan opini. Orang-orang sesungguhnya kebingungan, membaca media menimbulkan chaos dalam kepalanya, namun dengan meninggalkannya mereka buta informasi.

Inilah yang sesungguhnya terjadi. Kita dapat menyebutkan bahwa penyediaan vaksin akan menimbulkan ketenagan dalam masyarakat. Namun semua itu tergantung bagaimana media massa melakukan framing terhadap berita itu sendiri. Media menjadi satu-satunya alat yang legitimatif untuk menyuarakan kebenaran. Karena media sosial tidak dapat menggantikan media massa. Media sosial, yang sisi baiknya membuat informasi jadi demokratis karena bisa disuarakan siapa aja dan diakses semura orang, tapi juga membawa sisi gelap karena ketiadaan gatekeeper yang menyortir mana informasi hoax dan mana yang kredibel.

Kekacauan informasi yang terjadi di masyarakat merupakan konsekuensi logis dari keberadaan media. Informasi menjadi satu kekuatan penentu dalam setiap gelaran politik, bisnis, hingga gerakan sosial. Khususnya media sosial, telah menjelma menjadi tuhan baru bagi kehidupan 160 juta penduduk Indonesia. Penetrasi pengguna media sosial yang mencapai 59% penduduk Indonesia ini membawa suatu budaya baru yang belum pernah kita lihat dalam sejarah. Bayangkan, generasi milenial yang sedang rebahan di kamar bisa terpengaruh dan atau memengaruhi jutaan orang melalui media sosial.

Maka jangan heran jika dunia tampak sedang tidak baik-baik saja. Media sosial mengantarkan kita pada suatu peradaban baru dimana simulasi, citra, representasi, dan branding mengalahkan realitas sesungguhnya. Terlebih mengenai Covid-19, jumlah orang yang meninggal tiba-tiba mencapai 20 ribu orang per 22 Desember 2020. Angka yang sangat buruk karena satu saja kematian sudah cukup membawa kita pada peperangan besar. Dunia belum sembuh, media sosial masih menyisakan banyak tweets dan story berbahaya yang harus diproteksi.

Happy New 2021-Covid

Pemerintah sudah mengeluarkan surat edaran agar seluruh tempat wisata, hotel, dan restoran, tidak mengadakan perayaan tahun baru dengan cara mengundang banyak orang. Tahun baru langsung terasa berbeda –yang jelas tanpa gegap gempita, tanpa mobilisasi besar-besaran untuk menikmati hiburan setahun sekali. Semuanya akan sepi dan menyeramkan. Kita hanya akan melihat dari kejauhan, kembang api yang menguar di angkasa dari halaman rumah sendiri. Tanpa sorak, tanpa tawa yang menguar.

Tetapi inilah dunia yang baru. New normal dengan membawa hand sanitizer, masker, dan rajin cuci tangan, harus diberlakukan guna memutus rantai Covid-19. Manusia tidak pernah kalah dari dunia ini, sederas apapun banjir, dan seganas apapun virus. Sakit tidak bisa dihindari, mati tidak dapat ditolak. Namun sebuah usaha yang kita lakukan dapat membawa pembeda yang besar bagi masa depan generasi Indonesia. Sudah saatnya, untuk kali ini, kita benar-benar stay at home tanpa mencuri-curi keluar kota dengan dalih ‘satu tahun sekali’. 

Tahun baru 2021 jauh lebih besar dari sekadar perayaan tahunan. Ini tahun, dimana seluruh umat manusia harus berpuasa dari hura-hura. Bahagia tidak ditentukan oleh kembang api, tapi ditentukan oleh ketentraman hati karena dapat memastikan bahwa keluarga dalam kondisi sehat dan baik-baik saja. Semoga Tuhan menolong kita semua dengan mengangkat virus Covid-19 dari dunia. Amin!.

Fathul Qorib, Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi