2019-12-23

Memutus Intoleransi di Negeri (Paling) Beragama


Menjelang Natal, umat beragama di Indonesia pasti digaduhkan dengan isu-isu intoleransi. Isu ini berputar pada pelarangan pemakaian atribut Natal, pelarangan pengucapan ‘selamat Natal’ dari muslim kepada umat kristiani, bahkan sampai pada isu larangan pelaksanaan Natal. Meskipun sangat disayangkan, tetapi kondisi tersebut belum menggambarkan keseluruhan cerita intoleransi di Indonesia. Masih banyak kasus intoleransi yang tidak diketahui orang awam sehingga belum menjadi agenda penting bagi banyak kalangan untuk memutus rantai intoleransi tersebut.

Wahid Foundation yang concern di bidang penelitian toleransi beragama, mencatat adanya ratusan peristiwa intoleransi di Indonesia. Tahun 2016, misalnya ada 315 kasus intoleransi. Tahun 2017 turun sedikit menjadi 265 kasus, dan tahun 2018 meningkat lagi menjadi 276 kasus. Tiga aktivitas intoleransi tertinggi adalah pemidanaan berdasarkan agama/keyakinan, penyesatan agama, dan pelarangan aktivitas. Adapun pelaku dari tindakan intoleransi tidak hanya dilakukan sekelompok orang atau individu, tetapi juga oleh negara.

Jumlah-jumlah ini mencengangkan karena warga Indonesia selalu menyuarakan persatuan di tengah kebhinnekaan. Karena itu, kondisi semacam ini sulit dipercaya tetapi benar-benar terjadi. Diperlukan langkah pasti untuk mencari solusinya sehingga siapapun yang hidup di Indonesia bisa merasakan kedamaian berdasarkan keyakinannya. Ada infrastruktur komunikasi yang dapat digunakan untuk mendamaikan kasus-kasus horizontal tersebut, yaitu media massa, dan media sosial. Kedua perangkat ini harus dimanfaatkan sehingga bisa mencegah meluasnya konflik.

Sebenarnya di media sosial sendiri sudah banyak yang meng-counter isu intoleransi dengan informasi-informasi toleransi yang menyejukkan. Tapi sebagaimana hukum sosial yang mengatakan ‘keburukan akan selalu cepat menyebar dibandingkan dengan kebaikan’, maka hal itulah yang terjadi pada kehebohan intoleransi. Masalahnya media sosial tidak ditata dengan baik, tidak terkoordinasi sehingga tidak menimbulkan efek yang besar bagi tersebarnya toleransi.

Peace Journalism

Aktivitas jurnalistik harus menjadi pioneer dalam menyebarkan gagasan toleransi. Toleransi merupakan salah satu unsur terpenting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak mungkin suatu negara bisa berdiri dengan pembangunan yang terus menerus jika terjadi gesekan antar masyarakatnya. Perlu dipahami bahwa toleransi harus digaungkan oleh kelompok mayoritas sehingga memiliki daya dorong ke seluruh pelosok negeri. Jika mayoritas bisa menjadi contoh yang baik di bidang toleransi maka minoritas akan dengan mudah mendukung toleransi tersebut.

Jika unsur masyarakat sudah menggaungkan toleransi, maka tugas media kemudian untuk mem-blow up nya sehingga menginternalisasi dalam kehidupan setiap individu di Indonesia. Media harus menjadi bagian dari ‘juru pendamai’ masyarakat agar tidak terjadi chaos dan mengganggu aktivitas bermasyarakat. Karena media memiliki peran penting sebagai satu-satunya sumber informasi yang dapat dipercaya. Informasi selain dari media massa bisa dianggap hoax, spam, disinformasi, atau fake news. Mengapa demikian? Karena selain media massa, tidak ada sumber lain yang memiliki gatekeeper dengan kode etik yang teruji.

Bayangkan jika media sosial digunakan sebagai parameter kebenaran informasi, maka bisa dipastikan akan terjadi kekacauan massal. Hal itu disebabkan setiap orang yang memiliki akun dapat mempublikasikan tulisannya ke media sosial tanpa mendapatkan sortiran dari orang yang dapat dipercaya. Berbeda dengan media massa yang memiliki sistem kerja jurnalistik yang teruji ratusan tahun. Jika wartawan tidak melakukan verifikasi terhadap fakta, maka beritanya pasti cacat. Jika redaktur tidak melakukan cek silang terhadap karya wartawan maka beritanya bisa jadi menipu. Sama halnya dengan pimpinan redaksi harus mempertimbangkan berita apa yang harus dijadikan headline, dan berita apa yang harus digugurkan dari meja redaksi.

Dalam konteks inilah media massa harus bertransformasi menjadi peace journalism yang dalam setiap pemberitaannya mempertimbangkan kedamaian khalayaknya. Karena banyak penelitian yang mengaitkan berita-berita di media massa dengan peningkatan kekerasan di suatu daerah. Padahal media massa memiliki tanggung jawab sosial untuk menciptakan dunia yang terhindar dari kepalsuan dan menyuarakan kebenaran secara terus-menerus. Kebenaran itu sendiri akan bermuara pada kedamaian sehingga jangan sampai media massa yang malah memperkeruh keadaan di masyarakat.

Peace journalism sendiri bukanlah konsep yang benar-benar baru dan ingin mengubah praktik jurnalistik yang ada di dunia. Peace journalism tetaplah jurnalistik yang sekarang ada dengan segala hiruk-pikuknya. Titik penting dari peace journalism adalah bagaimana media membuat pilihan tentang apa yang harus diberitakan dan bagaimana memberitakan informasi tersebut; tidak hanya melaporkan apapun yang dilihat oleh wartawan di lapangan. Hasil akhirnya adalah menciptakan pemahaman di masyarakat untuk menghargai perbedaan dan menanggapi perbedaan dengan penuh kedamaian.

Pilihan-pilihan ini seringkali harus membuat wartawan bekerja keras mulai dari melakukan peliputan hingga penayangan beritanya. Bentuk radikal dari peace journalism adalah media massa tidak memuat pemberitaan yang berkemungkinan menimbulkan konflik. Cara yang halus adalah dengan terus memberitakan kerjasama-kerjasama lintas golongan, lintas iman, dan lintas kebudayaan guna mengampanyekan toleransi. Cara-cara lain dapat dilakukan oleh tim redaksi berdasarkan kebutuhan termasuk mempertimbangkan peletakan halaman dalam berita cetak, jam tayang untuk televisi, dan jumlah penayangan berita di media siber.

Media Sosial

Solusi terakhir untuk memutus rantai intoleransi di Indonesia adalah dengan menyebarkan gagasan bhinneka tunggal ika melalui media sosial. Media sosial memiliki hukumnya sendiri, berbeda dengan media massa yang mengikuti undang-undang dan kode etik. Media sosial berputar bebas seperti roller coaster yang berputar-putar sampai penumpangnya muntah-muntah. Yang patut dicatat dari media sosial adalah penggunanya yang cenderung generasi milenial dan generasi alfa. Dua generasi digital inilah yang harus dipegang untuk masa depan Indonesia yang lebih toleran.

Generasi Y (milenial) dan generasi z ini masih mencari jati diri sehingga perlu diperluas aktivitas lintas iman dan kebudayaan yang dapat dijadikan referensi hidup damai di Indonesia. Jika media massa sudah mendukung peace journalism, masyarakat umum memperbanyak aktivitas toleransi secara riil, dan kampanye toleransi banyak disebar melalui media sosial maka masa depan Indonesia bisa lebih optimis. Kini tinggal bagaimana semua pihak ini saling merangkul dan berkomitmen menciptakan Indonesia bebas intoleransi, dengan komposisi kerja yang disesuaikan dengan kapasitasnya masing-masing.

Tentu ini tugas berat! Tidak ada yang ringan untuk membangun bangsa. Tetapi toh harus tetap diupayakan untuk menjamin anak cucu kita nanti bisa menikmati negeri Indonesia yang sejuk dan damai.

2019-12-09

Pemuda: Puja-Puji di Era Disrupsi


Berbicara tentang pemuda dan prestasinya di tingkat dunia, kita cenderung akan pesimis. Layaknya berbicara tentang pendidikan, olahraga, kreativitas, dan teknologi, kesemuanya membuat pandangan langsung menunduk. Padahal dalam sedetik kita searching di mesin mencari internet, akan ditemukan banyak prestasi mengesankan yang diraih oleh pemuda Indonesia dari tahun ke tahun.

Belum lagi 23 pemuda Indonesia yang masuk dalam Forbes 30 Under 30 Asia di tahun 2019 yang sukses membangun ekonomi digital, atau pahlawan olahraga yang mengharumkan bangsa selama Asian Games 2018. Masih banyak alasan agar kita membanggakan pemuda Indonesia dengan prestasinya yang luar biasa. Bahkan jika kita memasukkan Nadiem Makariem dan Ahmad Zaki sebagai pemuda, maka betapa spektakulernya pemuda Indonesia.

Banyak orang mengharapkan masa depan Indonesia gemilang karena surplus demografi yang akan diterima Indonesia di tahun 2030-2040 mendatang. Hampir 64 persen warga negara ini akan berusia produktif  -sebagian besar pemuda- sehingga menjadi sumber tenaga dan pemikiran yang mumpuni untuk membawa bangsa ini ke panggung dunia. Pertanyaannya sekarang apakah pemuda sudah setangguh itu untuk diserahi tanggung jawab yang berat ini?

Jika melihat fakta prestasi pemuda boleh jadi optimisme masih kuat terpegang. Secara akademis, banyak siswa berprestasi dalam kompetisi science, musik, dan olahraga. Di bidang teknis banyak pemuda Indonesia yang berhasil mengembangkan keilmuannya di bidang big data dan analisisnya. Mereka menguasai berbagai pengetahuan yang dapat diandalkan di masa depan. Meskipun jajaran menteri di Kabinet Indonesia Maju tidak ada pemuda berusia di bawah 30 tahun, itu bukan alasan kualitas pemuda Indonesia buruk.

Sebabnya, menteri adalah jabatan yang riskan karena berhubungan dengan birokrasi dan politik sehingga pemuda minim pengalaman dikhawatirkan mengacaukan sistem. Karena itu pemuda harus belajar di luar jalur-jalur mainstream agar kreatifitas, mental kritis, serta jiwa kolaboratifnya terasah. Saat prestasinya sudah teruji, maka boleh bagi pemuda berbangga menjadi menteri sebagaimana Nadiem dan Wishnutama.

Membayangkan Pemuda Masa Depan

Menjadi pemuda di masa sekarang tidak cukup dengan mengandalkan otot untuk berbuat banyak bagi dunia. Otot mungkin berguna bagi pemuda ketika agrikultur dan revolusi industri 2.0 masih mendominasi angkatan kerja Indonesia. Zaman berubah, otot sudah digantikan dengan otak yang bisa mengubah setiap peluang menjadi keuntungan. Tidak perlu membuat produk sendiri untuk bisa berjualan barang dan jasa.

Sekarang, otot dan otak sebagai modal utama pemuda tersebut harus digabung-hubungkan dengan kreatifitas menciptakan peluang serta keluwesan dalam menjalin kerja sama yang saling mendapatkan manfaat. Nama zaman ini adalah ‘industri 4.0’ yang merupakan masa di mana teknologi informasi dan komunikasi mengendalikan segalanya. Ilmu pengetahuan sekarang bergerak menuju ke kolaborasi antar sektor, bukan lagi kompetisi.

Karena itu semua kerja-kerja menuju perubahan harus ditata ulang agar bisa tetap berpartisipasi. Perusahaan sebesar apapun pada akhirnya akan collaps jika enggan memanfaatkan era disrupsi ini. Sebagaimana media massa yang berhenti cetak jika tidak beralih ke konvergensi, maka seperti itulah sebuah pendidikan, kebudayaan, olahraga, science, dan sosial, harus mempertimbangkan disrupsi segala bidang.

Pemuda masa depan adalah pemuda yang sadar pola-pola pendidikan di zamannya dihubungkan dengan karakteristik industri. Ketika masa masih fase industri 3.0, sebuah perusahaan mencukupkan diri dengan otomatisasi mesin-mesin produksi. Lembaga pendidikan mengajarkan pengetahuan menggunakan teknologi semata untuk memudahkan proses pembelajaran. Penguasaan terhadap teknologi penting, tetapi memahami pesan, memodifikasi dan mengarahkan pesan, jauh lebih penting di era industri 4.0.

Maka di revolusi industri 4.0 ini pendidikan harus memanfaatkan internet of things (IoT), artificial intteligent (AI), cloud computing, dan virtual reality (CR) untuk setiap pembelajarannya. Pemuda sebagai pemilik zaman harus menguasai berbagai pengetahuan baru yang berhubungan dengan internet, data, dan algoritma, yang tidak seberapa penting di masa 10 tahun lalu, tetapi menjadi penentu umat manusia di lima sampai sepuluh tahun mendatang.

Karena itu, ketika Nadiem Makarim dipilih Presiden RI Joko Widodo sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, satu hal yang diinginkannya adalah link and match dunia pendidikan dan dunia industri. Jokowi tampaknya memahami dampak industri 4.0 yang sekarang masih susah payah dibangun dalam sistem pendidikan Indonesia. Nadiem tentu memiliki tugas berat untuk mewujudkannya.

Memperingati sumpah pemuda yang ke 91 ini, sebenarnya tanggung jawab besar ada pada pundak pemuda. Selama ini pemuda dipuja-puji sebagai generasi emas yang bisa mengangkat martabat Indonesia, memperbaiki kualitas pendidikan, serta menjadi sumber daya manusia yang unggul. Pemuda harus membantu tugas kementrian dalam mencapai padunya pendidikan dengan industri.

Pemuda yang berusia 16-30 tahun sebagaimana UU No 40 Tahun 2009 sebagian besar masih sekolah dan kuliah di perguruan tinggi. Tanggung jawabnya adalah mempelajari dengan sungguh-sungguh pengetahuan yang bisa diterapkan di masa disrupsi mendatang. Perguruan tinggi yang menaungi sebagian besar pemuda harus menyediakan pembelajaran yang bukan hanya mengakomodasi akademisi mahasiswa, tetapi juga soft skill mereka.

Dengan kolaborasi antar sektor yang saat ini gencar di lakukan beberapa startup buatan pemuda Indonesia, maka optimisme terhadap pemuda di masa depan akan semakin besar. Tantangannya tidak sederhana, tetapi pemuda selalu bisa menemukan solusi yang bisa merevolusi cara bekerjanya agar tetap dapat berkontribusi aktif dalam perkembangan dunia.

Selamat Hari Sumpah Pemuda. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya!. 

Penulis adalah Fathul Qorib., Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Tulisan ini telah dimuat oleh detik pada link : https://news.detik.com/kolom/d-4763871/pemuda-dan-puja-puji-di-era-disrupsi