2019-10-31

Nadiem dan Pendidikan Berbasis Industri



Beberapa hari ini nama Nadiem Makarim meroket. Headline media massa, opini di berbagai platform media, hingga meme di media sosial, semuanya membicarakan sosok menteri termuda dalam Kabinet Indonesia Maju tersebut. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa posisi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan merupakan jabatan strategis yang berkaitan dengan harapan rakyat Indonesia akan pendidikan berkualitasa, bukan sekadar persoalan anggaran yang besar dan kewenangan yang luas.

Masyarakat tampak lelah melihat kondisi pendidikan di Indonesia yang jauh tertinggal dari negara lain. Karena itu tidak menjadi soal apakah menterinya seorang professor atau seorang praktisi, hanya prestasi yang membuat menteri dibanggakan. Seperti yang diketahui, jabatan menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya diisi oleh profesor -yang merupakan jabatan tertinggi dunia akademik- juga seorang mantan rektor —yang merupakan jabatan tertinggi di struktural perguruan tinggi. Tetapi apakah mereka telah membawa perubahan terkait pendidikan Indonesia secara signifikan?

Secara pasti sulit untuk menjawab kualitas pendidikan di Indonesia. Menurut World Bank, kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Dalam website Times Higher Education, perguruan tinggi di Indonesia tidak pernah mencapai 500 universitas terbaik di dunia dari tahun 2016 sampai 2019. Dengan kondisi ini, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) secara berani mendudukkan seorang pendiri startup menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dia bukan dari kalangan akademis, bukan seorang professor dan tidak pernah menjabat sebagai rektor.

Record pemilihan menteri Jokowi yang sama kontroversinya dengan Nadiem adalah Susi Pudjiastuti yang lulusan SMP dan bertato, pada Kabinet Indonesia Kerja. 'Eksperimen' tersebut dinilai berhasil karena hastag #WeWantSusi menjadi trending topic di Twitter ketika Jokowi tidak lagi menugaskan Susi dalam jajaran kabinetnya yang baru. Karena itu harus diakui apa yang dilakukan Jokowi merupakan sesuatu yang spektakuler dan out of the box, atau istilah lain yang bisa menggambarkan betapa tidak terduganya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Link and Macth Dunia Industri

Jokowi sendiri menjelaskan bahwa pemilihan Nadiem sebagai menteri pendidikan agar dapat menghubungkan dunia pendidikan dengan dunia industri. Harapan ini bersifat praktis bukan ideologis. Teknis bukan teoritis. Maka Nadiem dan seluruh pendidik harus bisa menerjemahkannya dalam kurikulum dan metode pembelajaran yang sesuai dengan tantangan industri. Ini adalah sinyal dari presiden untuk mengarahkan model pendidikan yang mudah, kreatif, serta siap pakai, bukan berbelit-belit dan akhirnya tidak berguna bagi lulusan.

Pemikiran ini bisa mengarah pada pengembangan pendidikan di era disrupsi yang sedang hangat dibicarakan beberapa tahun belakangan. Kondisi ini tidak perlu ditakuti sehingga harus melakukan perubahan besar-besaran. Era disrupsi hanya mengubah kondisi-kondisi teknis, bukan pada fungsi dan tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tetap sama untuk membangun manusia Indonesia yang kreatif, mandiri, bertanggung jawab, dan berakhlak mulia. Sedangkan metode pembelajarannya bisa secara kreatif diciptakan untuk mengakomodasi era disrupsi; seperti konvergensi dan penggunaan teknologi terkini.

Ada dua cara pandang untuk memahami link and match pendidikan dengan industri agar tidak terjebak pada pemikiran yang sempit. Pertama, soal pesimisme pendidik ber-paradigmna kritis yang cenderung tidak mempercayai industri sebagai indikator keberhasilan pendidikan. Kebutuhan untuk memenuhi dunia kerja dengan sumber daya manusia yang andal memang penting, tetapi jangan sampai mereduksi fungsi manusia sebagai individu yang bebas dan kreatif.

Tradisi kritis memganggap dunia kerja lebih banyak mematikan imajinasi karena berisi rutinitas dan tekanan-tekanan yang melulu berhubungan dengan produksi barang dan jasa. Perhatian yang berlebihan pada keilmuan praktis/teknis ini pada akhirnya akan berujung pada matinya keilmuan sosial, seni, budaya, dan sastra yang dapat mendangkalkan nilai kemanusiaan. Nadiem sebagai menteri harus paham bahwa pendidikan pada dasarnya untuk memaksimalkan potensi kemanusiaan tersebut, bukan menciptakan robot-robot pekerja.

Secara umum dunia industri bisa dikatakan mengobrak-abrik sistem pendidikan di Indonesia. Kini seluruh kurikulum perguruan tinggi harus merujuk pada kebutuhan industri. Instrumen penilaian dalam akreditasi selalu berhubungan dengan output dari pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang bisa dimanfaatkan oleh dunia industri atau masyarakat umum secara langsung. Padahal sudah lama diketahui, dunia akademik selalu terlambat merespon cepatnya laju industri.

Karena itu link and match dunia pendidikan dengan dunia industri tidak boleh diterapkan mentah-mentah dalam sistem pendidikan di Indonesia. Akan banyak negatifnya jika melihat peserta didik hanya sebagai pekerja-pekerja di masa mendatang. Mereka sudah tidak lagi berupaya untuk mempelajari sastra, kesenian, dan atau berfikir kritis karena hal-hal tersebut tidak dipakai dalam dunia kerja. Kita tentu tidak mau masa depan Indonesia terjajah oleh industri yang kaku dan menjemukan.

Kedua, dunia pendidikan harus bersiap untuk memasukkan unsur kebutuhan industri dalam kurikulumnya. Setiap program pendidikan harus memperhatikan materi pembelajaran yang berbasis pada kebutuhan industri dengan skala-skala prioritas, baik itu lokal, nasional, maupun internasional. Pekerjaan di masa mendatang memang berubah, sudah bukan didominasi pegawai, guru, penjahit, dan tukang servis, tapi mengarah pada data scientist, app developer, dan pekerjaan lain yang berhubungan dengan teknologi.

Pekerjaan itu mungkin tidak ada di lima tahun yang lalu, tetapi menjadi pekerjaan yang menjanjikan di lima tahun mendatang. Bahkan ilmu sosial yang sejak dulu mempelajari pola komunikasi, perubahan sosial, dan pengelolaan persepsi masyarakat secara langsung ke lapangan, sudah akan berganti dengan analisis big data. Aplikasi seperti Drone Emprit yang dikembangkan untuk menjelajahi komunikasi di dunia maya sekarang bisa melacak, menganalisis, memprediksi, hingga mengubah perilaku masyarakat tanpa harus mendatangi kabupaten/kota satu persatu.

Memang betul, Nadiem sebagai sosok pemuda mampu mengembangkan aplikasi Go-Jek yang dapat menolong jutaan orang di Indonesia. Keberhasilan ini yang tampaknya ingin dilihat Jokowi dalam sistem pendidikan Indonesia. Tetapi harus diingat bahwa manusia tidak semata-mata butuh bekerja, masyarakat Indonesia tidak semata-mata bergantung dengan dunia industri. Industri bisa membantu masyarakat untuk hidup lebih mudah, tetapi karakter dan kepribadian kemanusiaan Indonesia jangan sampai tercerabut.

Tampaknya ini menjadi tugas berat bagi Nadiem. Tapi bagaimanapun, kita harus optimis menatap masa depan pendidikan di Indonesia. Jadi, selamat bekerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru!



(Tulisan ini dimuat oleh Indotribun pada link : https://www.indotribun.id/nadiem-dan-pendidikan-berbasis-industri/)

2019-10-01

Mahasiswa Baru; Sebuah Transformasi Intelektual


Menjadi mahasiswa semakin digemari, bukan hanya karena intelektualnya yang mumpuni, tetapi juga karena gengsi. Orang tua, om, tante, kakek, dan nenek, sudah menyadari bahwa menyekolahkan anak hingga jenjang kuliah sudah menjadi kewajiban. Kuliah menjadi semacam standar sosial baru di lingkungan kampung yang sarjananya masih bisa dihitung jari. Apalagi di daerah Jawa Timur masih didominasi oleh pedesaan sehingga sarjana memiliki potensi dihormati yang tinggi.

Di kampung, sarjana tidak hanya dipandang mampu mengurusi persoalan yang sesuai dengan jurusannya. Seorang sarjana Ilmu Komunikasi tidak hanya dituntut untuk bisa mendesain banner atau menjadi MC suatu acara, tetapi ia juga harus bisa memberikan komentar soal hukum jika ada anggota keluarga yang berurusan dengan polisi. Seorang sarjana pertanian bisa jadi diminta berdoa di pernikahan saudara. Sama dengan sarjana teknik arsitektur harus bisa membenahi handphone dan printer jika rusah.

Kondisi ini bisa dianggap lucu, tetapi kondisi itu betul-betul terjadi di kampung. Sehingga tanggung jawab mahasiswa semakin besar untuk menjadi manusia serba bisa demi nama baiknya dan keluarga. Bulan April sampai Agustus seperti sekarang, merupakan momen siswa SMA/Sederajat bertransformasi menjadi mahasiswa. Mereka akan belajar menjadi manusia intelektual baru yang berbeda dengan cara-cara belajar konvensional semasa pelajar. Mahasiswa sudah bisa memilih mata kuliah yang bermanfaat atau kurang bermanfaat –alih-alih memilih mata kuliah yang disenangi atau tidak.

Berubahnya status intelektualitas ini harus diimbangi dengan semangat perubahan oleh mahasiswa baru. Jangan sampai mahasiswa menjadi beban pendidikan karena ketidaksiapannya menghadapi tantangan hidup di jenjang yang berbeda. Tugas mahasiswa yang berat akan mulai dikenalkan dalam Orientasi Mahasiswa Baru dengan sebutan Trifungsi Mahasiswa; Agent of Change, Man of Analysis, dan Social Control. Tetapi selama proses pembelajaran normal yang empat tahun, trifungsi mahasiswa ini hampir pasti tidak akan diingat lagi, berganti dengan tugas-tugas kuliah, pacaran, main game, hingga malas-malasan di kamar kos.

Kualitas Mahasiswa

Mahasiswa perlu mengingat bahwa tugasnya tidak hanya belajar di jenjang akademik, tetapi juga beraktivitas dalam masyarakat. Semua itu tercermin dalam proses pendidikan yang akan ditempuhnya di perguruan tinggi. Ketika membahas teori-teori di dalam kelas, mahasiswa punya tanggung jawab penuh untuk belajar –mungkin juga menghafalkan- berbagai macam teori beserta contoh-contohnya. Tetapi ketika ia dihadapkan dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) maka mahasiswa punya tanggung jawab penuh mengaplikasikan teori dan keilmuannya ke dalam masyarakat.

Untuk menentukan kualitas mahasiswa memang sulit-sulit gampang. Masing-masing orang memiliki perspektifnya sendiri yang dipengaruhi oleh latar belakang dan preferensinya. Apalagi secara umum kualitas perguruan tinggi di Indonesia dianggap tertinggal dari negara lain. Dari setiap variable kualitas pendidikan, baik mahasiswa maupun dosennya, juga selalu mendapat ranking buruk. Contoh yang paling mencolok adalah membaca, berdasar penelitian dari Central Connecticut State University (CCSU) dengan tajuk “World's Most Literate Nations” menempatkan Indonesia nomor 60 dari 61 negara di dunia yang rajin membaca.

Penelitian sejenis dilakukan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), 2015-2016 dengan nama program The Program for International Student Assesment (PISA) yang meranking seluruh negara di dunia untuk skor nilai matematika, science, dan membaca. Untuk ranking membaca, Indonesia sebagaimana yang bisa kita tebak berada di urutan paling akhir dengan skor 386. Skor paling tinggi diraih Singapura dengan angka 525 disusul negara Ireland (5151), dan Kanada (514).

Untuk mempersempit pembahasan ini, kita bisa lihat kualitas mahasiswa dari tiga aspek, pertama, dari sisi akademik. Salah satu capaian besar sebuah perguruan tinggi adalah apabila mahasiswanya lulus tepat waktu dengan rata-rata Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 4.0. Hal ini bisa menjadi salah satu aspek penilaian mahasiswa berkualitas di bidang akademik. Mahasiswa dengan kualitas akademik tinggi hampir selalu berkaitan dengan kemampuan membaca yang tinggi. Sedihnya, Perpustakaan Nasional (2017) merilis bahwa orang Indonesia hanya membaca 5-9 buku setiap tahunnya yang tergolong sangat rendah.

Kemampuan akademik mahasiswa harus ditingkatkan melalui membaca sehingga kualitas hidup masyarakat juga turut meningkat. Karena membaca adalah dasar dari semua pengetahuan. Sehingga ketika mahasiswa jarang membaca ia tidak akan mampu menilai persoalan sosial dengan obyektif. Padahal sebagai man of analysis mahasiswa harus mampu menganalisa persoalan dari sebab-sebab hingga solusinya. Mahasiswa yang rajin membaca akan bisa membuat perbedaan yang besar dalam mencari solusi dibandingkan mahasiswa yang malas membaca.

Kedua, dari sisi keorganisasian. Mahasiswa harus mampu mengorganisir diri dan lingkungannya dalam sebuah wadah organisasi yang memiliki tujuan bersama. Saat ini perusahaan multinasional banyak menerapkan syarat karyawan yang memiliki kualifikasi : komunikatif, kolaboratif, kompetitif, dan sanggup bekerja di bawah tekanan. Kesemuanya itu tidak didapatkan mahasiswa di dalam kelas tetapi melalui organisasi yang diikutinya. Karena berorganisasi akan mengajarkan mahasiswa untuk memiliki daya tempa berkompetisi dengan mahasiswa lainnya.

Mahasiswa yang berorganisasi akan cenderung memiliki pola pikir yang terbuka dan suka tantangan. Karena itu mahasiswa organisatoris memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berkompetisi di berbagai lini dibandingkan mahasiswa yang tidak berkecimpung dalam organisasi apapun. Kondisi-kondisi ini harus dipahami oleh mahasiswa secara mendalam sehingga mereka tidak meninggalkan organisasi hanya karena faktor akademik. Kemampuan berorganisasi akan membawa mahasiswa pada kompetisi-kompetisi di luar dirinya secara fair dan terbuka sehingga dapat membangun daya kolaborasi yang mumpuni.

Ketiga, mahasiswa berkualitas bisa diukur dari kemampuannya untuk bekerja dalam berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan. Bekerja di sini dapat diartikan dalam unsur ekonomis bisa juga sosial. Mahasiswa yang bekerja dan menghasilkan uang untuk mensupport kehidupannya memiliki nilai plus guna memahami realitas yang sesungguhnya. Bekerja dan berwirausaha bisa menjadikan mahasiswa dewasa untuk menghargai jerih payah siapapun yang membantunya kuliah. Bekerja di versi lain adalah untuk kepentingan sosial yang tidak menghasilkan kapital. Membangun komunitas baca, sekolah anak jalanan, hingga aktif menjadi volunteer di berbagai komunitas juga membuat mahasiswa jadi jempolan.

Tetapi rumusnya jelas, mahasiswa harus selalu kembali ke tugasnya untuk menyelesaikan studi. Jangan sampai aktivitas bernilai ekonomis maupun sosial ini kemudian menghambat akademik mahasiswa lalu membuatnya jadi beban. Ketiga syarat di atas harus dilakukan dalam rangka membangun pribadi mahasiswa yang berkualitas sehingga akan bermanfaat bagi masyarakatnya kelak. Sering kali mahasiswa terpaksa harus memilih satu; ketika ia rajin kuliah, organisasi tidak ikut. Ketika ia rajin berorganisasi maka nilai akademik jeblok. Mahasiswa harus menjadi siswa yang superpower untuk bisa berprestasi dalam bidang akademik, organisasi, dan lingkungan sosial. Inilah yang membedakan mahasiswa dengan pelajar di tingkat SMP-SMA.

(Tulisan ini telah dimuat oleh Indotribun, berikut linknya : https://www.indotribun.id/mahasiswa-baru-sebuah-transformasi-intelektual/)