2019-08-19

Sarjana dan Problem Manusia Dewasa



Banyak hal di dunia ini yang membutuhkan keberanian. Beberapa hanya keberanian di level remah-remah rengginang, misalnya berani mandi di pagi hari, berani bertanya di dalam kelas, atau berani beol ketika sedang naik gunung. Beberapa hal lainnya membutuhkan keberanian level sultan, seperti menjadi sarjana dan pada akhirnya adalah menjadi dewasa. Kita akan menanggung beban beserta semua konsekuensinya sendirian –tidak ada manusia lainnya yang bisa kita jadikan kambing hitam.

Menjadi sarjana adalah sebuah kesalahan. Menjadi dewasa adalah sebuah pilihan. Mengapa sarjana bersalah? karena sebagian besar sarjana di dunia ini akan berakhir menjadi sampah; sebagian lainnya memunguti sampah-sampah tersebut lalu membuangnya ke laut; dan sebagian kecil lainnya mengais sisa-sisa sampah di laut untuk dihancurkan atau diolah menjadi barang berguna. Kondisi ini tampaknya bombastis dan halusinasi –terutama bagi saya- sebagai pengajar perguruan tinggi, tetapi percayalah itu kondisi sebenarnya.

Karena pada dasarnya, banyak pengajar di perguruan tinggi –sama seperti saya, yang juga seorang sarjana- bermental rendahan, yang menjadikan tridharma perguruan tinggi sebagai kegiatan administratif, dan menjadikan profesi dosen sebagai pekerjaan untuk menghasilkan uang. Sampah akan menghasilkan sampah. Demikian dosen, demikian pula mahasiswanya yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dan tidak ambil pusing dengan tugas intelektualitasnya sama sekali.

Setiap kegiatan yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan hampir dapat dipastikan hanya diisi oleh beberapa mahasiswa. Memang betul banyak organisasi mahasiswa yang menyelenggarakan seminar, workshop, pelatihan, juga diskusi-diskusi dan pemutaran film, tetapi rata-rata hanya untuk menggugurkan program kerja organisasi. Hal itu bisa dilihat dari rencana tindak lanjut dari setiap kegiatan itu, hampir dipastikan tidak akan berjalan sebagaimana yang dimaksud oleh proposal. Semuanya hilang tiba-tiba dan tidak berbekas.

Kondisi ini pada akhirnya akan melahirkan sarjana yang pintar membuat acara tetapi tidak substantif dalam menyelesaikan persoalan sosial. Mereka hanya akan menjadi tukang-tukang penyelenggara kegiatan tanpa manfaat yang membumi. Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh sarjana kita adalah pekerjaan teknis, bukan pekerjaan berfikir, menemukan dan menganalisis, tidak juga memberikan solusi. Kita akan terus memproduksi anak-anak bangsa yang bermental pekerja –yang dari sana kita bisa dibodohi, atau mereka membodohi, agar bisa makan uang banyak.

Jika masyarakat yang dihasilkan oleh perguruan tinggi tidak bisa memberikan harapan maka manusia dewasa kita juga loyo; tidak berbobot, dan cenderung korup. Kita bisa bertanya kepada diri sendiri fungsi dan kegunaan apa kita diciptakan sampai sekarang? Memang jawabannya bakal beragam dan penuh percaya diri. Tetapi jika kita merasa bahwa manfaat kita besar, pertanyaan berikutnya yang harus dijawab adalah: apakah jika kita tidak diciptakan, atau kita mati sesegera mungkin, akan ada yang menggantikan posisi itu? jawabannya; tentu saja banyak.

Posisi dan kegunaan kita akan selalu bisa digantikan oleh orang lain semudah kita mencari ganti makanan di aplikasi Go/Grab Food. Itu adalah bukti bahwa kita tidak sehebat yang kita kira. Barangkali kita adalah manusia yang dipaksa dewasa lalu harus melakukan aktivitas-aktivitas menjengkelkan yang tidak sesuai dengan kesenangan. Menjadi mahasiswa, bagi mahasiswa, adalah pekerjaan yang sulit. Tetapi jika dilihat dari sisi manusia dewasa yang telah meninggalkan bangku perkuliahan, menjadi mahaisiswa adalah persoalan sepele. Pekerjaan mahasiswa hanya belajar, berorganisasi jika mau, dan bekerja jika tidak punya uang.

Persoalan enggan belajar adalah persoalan mahasiswa sendiri. Persoalan tidak mendapatkan posisi di organisasi adalah karena ketidakaktivan mahasiswa di organisasi tersebut. Karena jaman sekarang mencari anggota aktif organsisasi sudah seperti mencari jarum di tumpukan taik kuda. Dan persoalan tidak memiliki uang ketika kuliah adalah persoalan klasik yang bisa diselesaikan dengan belajar serius untuk mendapatkan beasiswa, atau bekerja. Banyak pekerjaan yang bisa dipilih ketika kuliah, semuanya sah dan dimaklumi. Kesemuanya ini membutuhkan keseriusan, mengikis sifat manja, juga niat berjuang luar biasa dari mahasiswa itu sendiri.

Ketika masih mahasiswa, semuanya bisa selesai dengan kerja keras. Tetapi menjadi dewasa tidak sesimpel itu. Begitu sarjana sudah tersemat dalam toga di kepala mahasiswa, dia harus bisa bekerja profesional, dan ketidaksiapannya untuk bekerja akan mendapatkan gempuran secara real time. Saat KKN di desa-desa kita masih bisa belajar mengajar di sekolah, belajar membantu menyabit rumput petani, belajar membuat alamat desa, kesemuanya dimaknai belajar sehingga kekeliruannya, kejelekannya, ketidakrapiannya bisa dimaklumi.

Jangan kira KKN adalah potret kehidupan di perkampungan yang membahagiakan. Ketika KKN mahasiswa tidak memikirkan pekerjaan dan uang karena pekerjaannya hanya membantu warga, dan uang sudah dibayarkan di muka sehingga urusan makan sudah beres. Semua warga tersenyum karena kalian suka membantu. Tetapi menjadi dewasa tidak semanja itu. Kita harus bekerja dan menghasilkan uang, uang menghasilkan baju dan makanan, juga pendidikan bagi anak sendiri dan adik-adik yang masih sekolah.

Menjadi dewasa kita akan diberikan tanggung jawab untuk dikerjakan secara sempurna; tanpa kesalahan, dan tanpa ampun. Seorang pekerja konstruksi, tidak membuat palang pintu masuk desa yang serampangan; seorang penginput data di bank tidak akan diberi toleransi jika ada kesalahan huruf dan angka ke dalam sistem; seorang pekerja pemasaran harus berwajah cantik, kulit kuning, tinggi, bokong semok, berpakaian terbuka untuk bisa datang menawarkan rokok ke klien; dan seorang manager harus bisa memanajemen perusahaan agar bisa selalu profit.

Jika ketika mahasiswa kita masih baca buku, maka setelah dewasa buku hanya menjadi lambang kebanggaan di ruang tamu. Ketika mahasiswa masih bisa ngopi dengan kawan, tertawa terbahak, mengumpat presiden, dan mengepalkan tangan ke penindasan, maka setelah dewasa warung kopi menjadi tempat keluh kesah karena kontrak kerja akan berakhir seminggu lagi. Mahasiswa masih bisa meminta keringanan ke dosen agar nilainya diperbaiki, tetapi orang dewasa akan didepak bahkan sebelum mengetuk pintu pimpinan.

Menjadi dewasa adalah pilihan, tapi pilihan yang buruk. Maka sarjana harus menguatkan dirinya berjalan di bawah terik matahari dan tetap berlari di tengah hujan badai. Tangisan-tangisan sarjana akan membawa kepada penyadaran bahwa hidup harus diperjuangkan. Jika hidup kemudian manis padamu, teriakkan matursuwun kepada Sang Gusti, lalu pikirkan teman yang masih berjuang. Mereka akan malu meminta bantuan, tetapi tawaran tetap harus diberikan. Meski dunia bakal jahat padamu, wahai sarjana, tetaplah menjadi baik.

2019-08-17

Gunung Penanggungan



Kami melakukan perjalanan dengan penuh keyakinan di suatu Sabtu. Tentu setelah browsing tentang jalur pendakian, estimasi waktu, dan biaya ditambah sedikit drama karena ketidaktepatan janji. Mata menyala, otot menguat, dan teriakan seperti remaja kota, kami seakan hendak mencari sebuah kebijaksanaan yang berada di puncak gunung; barangkat dari sana kami akan menjadi resi yang sakti mandraguna.

Tetapi sebuah perjalanan sakral sekalipun akan terkotori dengan pertanyaan-pertanyaan profan. Misalnya, untuk apa sebenarnya kita naik gunung? Atau dengan siapa kita harus naik gunung? Dengan pacar atau teman? Itu pertanyaan remeh yang harusnya tidak usah ditanyakan karena malah membuat perjalanan sangat duniawi. Kami sepakat untuk tidak yakin dengan jawaban klise semacam; naik gunung untuk mencari jati diri, atau naik gunung untuk belajar tentang kehidupan.

Karena itu, tanpa perhitungan yang matang, 10 bungkus mie instan kami masukkan ke tas carrier yang penuh dengan baju hangat. Hitung-hitungan dimulai, di mana beras harus diletakkan, dan kompor, dan nesting, dan tenda, juga matras, harus ditenggelamkan ke tasnya siapa. Semua harap-harap cemas agar tidak kebagian barang banyak dan berat. Di situlah seni menata isi tas carrier, juga seni berjalan bareng. Semua ingin enteng, semua ingin menuju puncak dengan beban ditanggungkan ke pundak kawannya.



Dari pengetahuan di internet, kami menjadi tahu bahwa di Gunung Penanggungan ada satu jalur khusus yang sepanjang menuju puncak terdapat candi-candi peninggalan jemaat hindu-budha; namanya Jalur Jolotundo. Namanya juga khas dan angker, tidak seperti jalur pendakian lewat Tamiajeng yang ramai. Tetapi google rupanya menyesatkan kami, karena setibanya kami di sana, bukan Jalur Jolotundo yang kami jejak, malah jalur yang baru dibuka; yaitu melalui Desa Ngurirejo.



Tapi rejeki tidak jauh juga tampaknya, karena di jalur ini terdapat 6 candi yang dapat membuat foto selfie kita jempolan hingga membuat sebal haters. Dengan ragu-ragu, sekitar pukul 15.00 WIB kami mulai menanjak pelan. Saya sebagai slow climber garis keras harus berkali-kali berhenti untuk mencari nafas. Maklum!. Sementara remaja lainnya yang bareng dalam pendakian, penuh semangat dan bergegas seakan hendak mengejar matahari yang mulai meredup. Kuteriaki mereka dan kuminta untuk pelan-pelan, tapi mereka tetap kencang di depan.

Pos Pendaftaran - Pos 2

Perjalanan dari pos pendaftaran menuju pos 2 cenderung menanjak santai. Di sinilah harusnya saya mulai beradaptasi. Karena otot pegawai memang terbuat dari agar-agar sehingga musti banyak penyesuaian. Karena itu, baru 15 menit kemudian kami sampai di Pos 2 -yang bangunannya berupa gubuk tanpa dinding. Kalau pendaki pro, menuju pos 2 tidak akan berkeringat, dan mungkin hanya memakan waktu 5 menit.


Oya, pos pendaftaran ini tampaknya tidak resmi karena uang yang kami berikan tidak berbalas kwitansi atau tiket apapun. Hanya ada list nama asal-asalan, peta yang habis sehingga harus diambilkan ke desa, dan air yang mengalir semacam kencing batu. Sempat khawatir karena sepeda motor rentalan kami harus ditaruh di sana selama 2 hari. Tetapi tawakal kami kepada Allah semesta alam, maka hati kami kuatkan. Kami pasrahkan sepeda motor itu kepada penduduk desa tanpa jaminan apapun.

Pos 2 - Candi Carik

Kami hampir putus asa dan merasa salah jalan karena tidak bertemu Candi Carik hingga 2 jam. Menurut perkiraan kami yang asal-asalan, harusnya kami sampai di Candi Carik sekitar setengah jam. Karena itulah kami ragu dan akhirnya, tepat sebelum magrib kami berbahagia karena bertemu candi. Kami langsung melakukan ritual foto-foto dibarengi dengan semangat 45 karena merasa jalurnya sudah benar.


Carik, dalam terminologi Jawa, adalah sekretaris desa yang bertugas mengurusi seluruh administrasi -sering juga mengurusi segala macam persoalan- yang ada di kampung. Tapi untuk arti dari Candi Carik sendiri saya tidak tahu menahu. Candi ini bentuknya menggunung ke atas dengan sekitar 20 undakan. Kami tidak berhenti lama karena matahari mengejar di belakang. Tas segera kami panggul, bergerak menuju ketinggian.



Candi Carik - Candi Lurah

Perjalanan menuju Candi Lurah tidak begitu mengesalkan karena hanya dalam waktu 10 menit kita sudah sampai. Itu membuat kami takjub dan sangat bersemangat. Tapi malam sudah menjelang sehingga foto-foto tidak berguna. Kami hanya istirahat secukupnya lalu kembali melanjutkan perjalanan. Perjalanan malam memang lebih aman bagi pendaki. Karena suasana yang temaram, hawa dingin, dan julang pegunungan tidak kelihatan, perjalanan menjadi lebih mudah.


Candi Lurah - Candi Siwa

Menuju ke Candi Siwa tidak begitu berat karena jalanan agak landai. Hanya membutuhkan 10 menit untuk sampai Siwa. Bonusnya gunung penanggungan memang ada beberapa, salah satunya menuju Candi Siwa. Tetapi candi ini letaknya di bawah jalan sehingga tidak akan kelihatan ketika malam. Sehingga ketika mau ke Candi Siwa kita harus turun sedikit. Dengan beberapa pertimbangan kami akhirnya hanya istirahat sebentar lalu melanjutkan perjalanan tanpa mampir ke Candi Siwa.


Candi Siwa - Candi Wisnu - Candi Guru

Dua candi terakhir ini berada di ketinggian yang lumayan sehingga beban berat akan semakin kerasa. Dalam peta yang diberi oleh petugas di Pos 1 nama candi Wisnu tidak ada sehingga membuat kita pusing. Kami ragu untuk melanjutkan perjalanan karena begitu tersesat di pegunungan, jalan kembali tidak akan mudah ditemukan. Jika tersesat di hutan atau gunung, maka kembalilah ke bawah, bukannya terus melanjutkan perjalanan. Keyakinan ini pula yang membuat kami bingung.


Lalu kami bersepakat untuk terus maju dengan perasaan was-was. Kami berjanji akan kembali jika perjalanan buntu. Jadi, selama jalan setapak masih kelihatan jelas, kami yakin itulah jalan yang benar menuju ke puncak. 20 menit perjalanan yang meragukan itu akhirnya berhenti di Candi Guru. Ini menunjukkan bahwa jalan kami benar karena sesuai dengan peta. Lumayan melegakan untuk meneguk air botol yang kami bawa bersama.

Candi Guru - Gua Butol

Setelah kami melewati Candi Guru, semak semakin tebal dan savana tampaknya sudah terlihat di beberapa tempat. Perjalanan kami teruskan sampai kembali bertanya-tanya dimana Gu Butol yang ada dalam peta. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 2 jam sehingga pikiran semakin kalut. Kami meyakini harusnya Gua Butol tidak jauh. Waktu itu di Kota Malang seringkali suhu menunjukkan angka 15 derajat sehingga sangat dingin. Di perjalanan malam ini, kami juga merasakan hal yang sama, dingin sangat terasa menembus jaket dan kaos yang kami pakai.


Kami akhirnya berhenti di suatu tanah lapang yang tidak cukup untuk dua tenda. Kami ragu mau melanjutkan. Dua orang yang masih setrong mencoba mendaki lagi untuk mendapatkan petunjuk. Tapi mereka turun lagi setelah mendapati beberapa pepohonan yang muncul tiba-tiba. Agak ambigu karena di sekeliling hanya ada ilalang. Beberapa dari kami memutuskan untuk membuat camp di tempat ini karena melanjutkan perjalanan tampaknya berbahaya.

Setelah hampir setengah jam mendekap tubuh yang kedinginan, dari bawah ada senter dari pendaki lain yang berkilat-kilat. Kami teriak, mereka teriak. Semakin lama kami semakin yakin bahwa mereka sedang menuju ke arah kami. Dengan keyakinan itu, berarti jalan ini jalan yang benar. Dengan semangat tinggal separuh, kami memutuskan melanjutkan perjalanan. 15 menit kemudian kami sampai di wilayah pepohonan yang rapat.

Wilayah ini agak menyenangkan karena banyak pohon untuk dipakai pegangan. Istirahat juga bisa bersandar ke pepohonan. Perjalanan berlanjut dengan nafas yang memburu karena tanjakan semakin sadis. Kami saling membantu untuk mendaki karena beberapa tanjakan cenderung curam. Setelah 30 menit, teman yang berjalan duluan berteriak kalau ada gua gelap di bebatuan. Kami yang di bawah bersemangat lalu berhamburan sampai tiba di depan gua.

Gua Butol

Goa ini bisa menampung sekitar 3 tenda ukuran sedang. Malam itu dingin sekali. Jadi beruntung kami bermalam di gua sehingga tidak seberapa dingin, bahkan cenderung hangat. Kami membawa lontong dari Pasar Landungsari sehingga tidak perlu memasak nasi malam itu. Keuntungan membawa lontong ini juga bisa menghemat air, karena tidak perlu bersihkan beras, dan memasak beras dengan air yang lumayan.


Tetapi memakan lontong saja tidak menarik jadi kami tetap masak mie instan sebagai penambah rasa. Hmm...nyam nyam. Kaki yang menegang sepanjang perjalanan akhirnya bisa istirahat dengan leluasa. Kami seduh kopi dan minum pelan-pelan sambil menikmati suasana di atas pegunungan. Kondisi istirahat semacam ini akan sangat dirindukan ketika sudah turun. Hingga larut kemudian, lampu tenda meredup karena kehabisan baterai. Kami tidur lelap hingga jam 04.00 WIB alarm berbunyi.

Gua Butol - Puncak

Perjalanan di pagi hari merupakan perjalanan yang paling malas. Bagaimana tidak, enak-enak tidur harus bangun dengan mata terbuka lebar. Bukan hanya bangun, tetapi harus melakukan perjalanan menuju puncak yang tanjakannya cukup untuk membuat nyari menciut. Tetapi apapun kondisinya, kalau kepalang tanggung sudah di sana ya akan tetap dilakukan. Bagaimana lagi.


Dua botol air kami siapkan di satu tas yang di bawa satu orang. Kami mendaki dengan semangat baru karena ada beberapa perempuan yang juga bersemangat di depan. Seolah-oleh kita tidak mau kalah dengan mereka. Pendakian menuju puncak sangat berbeda karena tiba-tiba banyak orang yang sekarang menuju ke titik yang sama. Lampu senter berkilau dari bawah, atas, dan segala arah. Mengherankan karena kemarin tak satupun orang kami. temui.

Dalam waktu 40 menit perjalanan kami ternyata sudah sampai puncak. Jam 5 yang masih terlalu dini, tetapi di puncak sudah penuh orang. Beberapa tenda juga terpasang di sana. Rupanya mereka menginap di puncak gunung, wow, pasti dingin dan berangin. Camp di puncak gunung sebenarnya tidak disarankan karena langsung beratapkan langit dan tidak ada apapun yang bisa menghalau angin.

Matahari muncul pukul 05.30 pelan-pelan. Tiba-tiba puncak gunung penanggungan seperti pasar dadakan yang ramai dan bergerombol di mana-mana. Naik gunung sekarang bukan aktivitas eksklusif lagi, tetapi sudah menjadi kegiatan populer sebagaimana ke pantai atau pusat wisata lainnya. Kamera bersiap, orang memperebutkan monent matahari terbit di setiap bagian gunung. Penuh sesak dan menggemaskan.

Kami juga bagian dari budaya populer tersebut. Foto-foto di setiap moment, lalu jengah dan duduk saja sambil ngobrol. Sekitar satu setengah jam kemudian kami turun dari puncak menuju Gua Botol. Turun dari puncak cukup cepat karena hanya 15 menit saja. Saya yang masuk Gua Butol duluan langsung menyiapkan makanan; nasi, mie instan, tempe goreng, dan sarden. Teman-teman yang datang belakangan packing sekadarnya, lalu makan bersama sebelum benar-benar turun gunung.

Setelah semuanya merasa siap, kami packing dengan cepat, memastikan semua api telah padam, memastikan semua sampah telah terangkut ke dalam tas, lalu turun dengan cita-cita makan mie ayam beserta es teh lengkap dengan gorengan dan tambahan nasi pecel.