2018-07-23

Era Digital; Kembalikan Pendidikan ke Orang Tua!


Mendikbud, Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, M.AP saat memantau hari pertama sekolah di Abepura, Papua (sumber : Siaran Pers BKLM di https://www.kemdikbud.go.id/)

Pendidikan di Indonesia masih terjebak dalam rutinitas yang membosankan dan membahayakan. Setiap kita bicara tentang dunia pendidikan, rasa pesimis dan kecaman selalu ada. Nasib para siswa ini, mirip dengan siswa kelas 3 Sekolah Dasar (SD) dalam film Tare Zameen Paar bernama Ikhsaan Awasthi. Ikhsaan bernasib buruk karena gangguan dyslexia, yaitu ketidakmampuan membaca seperti yang banyak diharapkan guru dan orang tua. Setiap dia melihat tulisan dan angka, semuanya berubah menjadi bintang di langit dan bebek yang berenang di kolam. Di sekolah maupun di rumah, ia dituntut dalam perkataan yang sama: harus bisa membaca dan menghitung!

Apa yang dialami ikhsaan, dialami juga oleh seluruh siswa kita, bahkan siswa yang sehat secara fisik dan mental. Ahli pendidikan dari Amerika Serikat, Sir Ken Robinson, ketika mengisi ceramah di Ted (2006), menyebutkan bahwa kita semua terjebak dalam rutinitas dunia pendidikan yang tanpa tujuan. Mengajar yang harusnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tidak tercapai karena rutinitas yang apatis. Bagi siswa, belajar sepanjang hayat untuk living together juga tidak tercapai karena rutinitas belajar yang monoton. Termasuk yang terpenting, orang tua di rumah juga terjebak rutinitas pekerjaannya sehingga tidak memberikan waktu untuk pendidikan karakter anak-anaknya.

Jika ditelusuri, sesungguhnya yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anak adalah orang tua. Tanpa mengecilkan peran sekolah, ada sebuah riset yang secara drastis mengubah pandangan kita tentang pendidikan, dari school based menjadi parent based. Riset yang dilakukan oleh Mikaela J. Dufur, Toby L. Parcel, dan Kelly P. Troutman (2012) ini mengambil data lebih dari 10.000 siswa beserta orang tua, guru, dan pihak sekolah. Dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak-anaknya sangat berperan dalam kesuksesan mereka secara akademik di sekolah.

Seorang siswa dengan modal sosial keluarga (family social capital) yang tinggi serta modal sosial sekolah (school social capital) yang rendah, memiliki tingkat keberhasilan akademik lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki modal sosial sekolah tinggi tetapi modal sosial keluarga rendah. Penelitian lain oleh Professor Gianni De Fraja, Tania Oliveira, dan Luisa Zanchi, (2010) mengemukakan, kerja keras orang tua jauh lebih penting dari kerja keras dan upaya sekolah untuk pencapaian pendidikan anak, yang pada gilirannya, juga lebih penting dari kerja keras anak itu sendiri. Dalam dua penelitian itu jelas menyimpulkan peran besar orang tua untuk mendukung kesuksesan akademik siswa, yang bakal menentukan masa depan anak-anak.

Karena itu orang tua harus sadar bahwa mereka wajib menyisihkan sebagian waktu mereka untuk berkomunikasi dengan anak-anak mengenai pendidikan. Dalam salah satu informasi di website sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id, disebutkan dengan apik bahwa “Orang tua merupakan pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Pola pengasuhan dan pendidikan yang diterapkan orang tua akan menentukan karakter dan kepribadian, motivasi berprestasi dan kondisi kesehatan serta kebugaran anak-anak,”. Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua bersama anaknya ketika di rumah, misalnya bertanya tentang tugas dan pekerjaan rumah dari sekolah dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sang anak yang selalu penasaran, hingga menghadiri kegiatan-kegiatan sekolah bersama anak.

Konsep tentang pendidikan anak yang baik telah berkembang jauh melebihi masa lampau, meskipun masih ada paradox ‘siapa penanggung jawab penuh terhadap keberhasilan pendidikan?’. Misalnya, pendidikan kini lebih menghargai hak-hak siswa dengan mendeteksi sejak dini kebutuhan siswa agar pendidikan dapat disesuaikan dengan kondisi mereka. Tetapi yang tidak disadari, kita sebenarnya menganggap bahwa kepandaian, sikap yang baik, kemampuan beribadah, toleransi dan penghormatan kepada orang lain, semuanya menjadi tanggung jawab sekolah. Orang tua masih belum diikutkan dalam proses pendidikan padahal konsep dan teori peran orang tua telah banyak dipercaya mampu meningkatkan proses akademik siswa.

Dunia Digital, Pendidikan dalam Genggaman

Kondisi lain yang menyebabkan kita harus segera mengembalikan pendidikan yang awalnya menjadi tanggung jawab sekolah ke orang tua adalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang tidak dapat ditolak. Di setiap rumah sekarang telah tersedia akses menuju internet, baik melalui handphone maupun wifi. Teknologi digital yang berkembang bersama anak-anak masa kini banyak menyediakan berbagai macam konten, mulai dari yang positif hingga negatif. Mereka sudah terbiasa menggunakan gawai yang canggih bahkan melebihi orang tuanya karena mereka adalah digital native atau Generasi Z, yaitu generasi yang sejak kelahiran sudah disambut dengan gawai.

Generasi sebelumnya, yang masih harus belajar berbagai jenis teknologi terbaru disebut sebagai digital immigrant sehingga seringkali gagap ketika menghadapi teknologi. Tentunya, Generasi Z yang sudah tergantung dengan teknologi, memiliki kebiasaan yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Cara mereka membaca dan menulis, cara mereka bermain, bahkan cara bersosialisasi dengan lingkungannya juga berbeda. Hampir semua orang tua mengeluh karena anaknya selalu memegang handphone, bermedia sosial, tertawa dan menangis karena handphone, dan semakin sulit diajak bersosialisasi.

Setiap orang tua juga punya sikap ragu-ragu terhadap dunia digital yang bisa diakses bahkan oleh anak usia 3 tahun. Inilah tantangan orang tua zaman now yang harus bisa mengendalikan interaksi anak dengan gawai jika tidak ingin terbawa arus negatif. Banyak cara yang bisa dikembangkan oleh orang tua untuk menjaga anak-anaknya. Mari diskusikan beberapa langkah dasar yang perlu dilakukan orang tua dalam menghadapi anak-anaknya yang sudah berkenalan dengan gawai. Jangan sampai, teknologi yang bisa digunakan untuk memudahkan pendidikan malah menjadi malapetaka bagi generasi masa depan bangsa.

Pertama, perlu dipahami bahwa gawai tidak untuk dihujat kemudian dihindarkan dari anak-anak. Kita tidak bisa menafikan kehadiran gawai karena perkembangan dunia menghendaki itu. Sebagai orang tua yang sedang menyiapkan anak-anaknya untuk kehidupan masa depan –bukan masa lampau- maka seharusnya orang tua terbuka. Kekhawatiran kita tidak boleh dijadikan alasan untuk mengekang anak-anak dari teknologi apapun, bahkan teknologi video game.

Kedua, selalu dampingi anak-anak dalam penggunaan gawai. Pendampingan dilakukan untuk melihat seberapa jauh anak-anak dalam memanfaatkan teknologi. Pada intinya, teknologi digunakan untuk memudahkan  kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Maka selama teknologi digunakan untuk tujuan itu, jangan larang anak-anak. Apalagi saat ini banyak aplikasi yang sangat bagus untuk mengembangkan pendidikan mereka, mulai dari matematika, bahasa, hingga logika.

Perlu diperhatikan bahwa orang tua juga harus belajar bagaimana menggunakan semua teknologi yang digunakan anaknya. Termasuk fungsi media sosial hingga penelurusan riwayat website di gawai mereka. Orang tua juga bisa bertindak sebagai pengawas. Anak harus dipahamkan bahwa orang tua memiliki hak penuh untuk mengakses gawai anaknya kapanpun di manapun ketika dibutuhkan. Sehingga tidak ada alasan bagi orang tua kecolongan tindakan-tindakan negatif yang dilakukan anak di gawainya.

Ketiga, orang tua harus membicarakan batas waktu penggunaan setiap teknologi kepada anak. Teknologi ini bisa berupa televisi, video game, dan handphone. Harus ada aturan yang tegas untuk tetap menjaga sikap disiplin anak-anak. Hal yang sulit dihindari adalah ketika waktunya berhenti main gawai, tetapi orang tua malah enjoy dengan handphone-nya. Karena itu, diperlukan komitmen bersama antara anak dan orang tua, serta seluruh anggota keluaraga, jika ingin benar-benar menjadikan teknologi sebagai penolong manusia, bukan malah menjadi tumpuan hidup.

Keempat, meskipun dunia digital sangat penting, namun jangan pernah meninggalkan kegiatan offline, seperti membaca buku bersama, komunikasi terkait persoalan sehari-hari, jalan pagi bersama, termasuk mengajak anak-anak untuk berkunjung ke orang-orang di lingkungan sekitar. Banyak hal yang dilupakan oleh generasi milleneal ketika menjadi orang tua, yaitu melupakan kehidupan nyatanya dan memberikan porsi berlebih kepada dunia online. Sebagai orang tua yang baik, maka aktivitas di luar gawai harus ditetap dipelihara jangan sampai hilang bersama dengan cara hidup online.

Selain empat hal di atas, tentunya masing-masing orang tua dapat mengembangkan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan. Karena latar belakang keluarga juga memengaruhi bagaimana pola komunikasi dan pendidikan keluarga. Anak-anak merupakan aset bangsa yang tidak ada padanannya dengan teknologi manapun. Semua teknologi yang ada bisa berguna dan memberi manfaat yang besar karena manusia yang mengoperasikannya. Jika kualitas manusianya tidak produktif maka teknologi secanggih apapun akan berakhir dengan menjadi barang rongsokan.

Perlu ditekankan bahwa peran orang tua dalam mendidik anaknya bukanlah upaya mengesampingkan peran sekolah. Lebih dari itu, keterlibatan orang tua diperlukan untuk memaksimalkan hasil akademik di sekolah. Sehingga kita bisa menyebutnya sebagai program bersama yang sinergis, antara sekolah dengan orang tua. Di rumah, orang tua mengajari karakter yang kuat kepada anak, sedangkan di sekolah, guru menyempurnakannya dengan pengetahuan. Karena inti dari pendidikan adalah pembentukan kebiasaan baik hingga menjadi karakter. Sekolah hanya memiliki sedikit kesempatan membentuk karakter siswa, sebaliknya yang memiliki banyak waktu harusnya orang tua.

Beberapa cara bisa dilakukan oleh orang tua yang ingin membangun kepribadian prima anaknya, antara lain:

Pertama, jadilah contoh yang sempurna untuk anak-anak. Sebagai peniru ulung, kita harus yakin bahwa anak-anak meniru sosok yang benar. Role model ini bisa diekspresikan dalam berbagai cara kehidupan, mulai dari dasar kependidikan seperti membaca dan berhitung, eksplorasi lingkungan, hingga pembentukan karakter. Sebagai guru yang pertama, orang tua harus menjadikan dirinya sebagai ibu yang penuh kasih sayang dan ayah yang menjadi pahlawan. Beberapa aktivitas bisa dilakukan bersama, misalnya membaca dongeng, memasak, hingga eksplorasi alam bersama-sama.

Seorang anak yang sudah mendapatkan contoh di dalam keluarga akan merasa senang dan tidak berharap pada model selain itu. Perkembangan remaja yang menjadikan artis sebagai idola selalu mencemaskan orang tua. Apalagi jika idola yang digunakan sebagai basis cita-cita tidak memiliki karakter yang baik. Karena itu, idola anak harus dibentuk sejak dini agar anak-anak tidak salah memilih idola di masa depan. Kisah-kisah teladan dari para nabi dan orang suci, cerita kejujuran seorang ksatria dan fabel dalam berbagai buku cerita anak, penting dibacakan sehingga mengetahui karakter mana yang bisa dicontoh. Begitu anak sudah menentukan role model-nya sendiri maka ia akan berusaha mencapai sebagaimana model yang dicontohkan tersebut.

Kedua, membangun karakter anak yang kuat. Selain aktivitas fisik, orang tua juga harus membangun atmosfer positif di dalam keluarga. Banyak sikap yang bisa dikembangkan untuk anak-anak, misalnya, jujur, disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab. Sikap-sikap ini, ketika sudah menjadi kebiasaan maka akan menjadi karakter yang dapat menentukan proses pendidikannya di masa mendatang. Menurut survey The National Association of Colleges and Employers (NACE), perusahaan lebih membutuhkan pekerja yang memiliki karakter bagus dari pada hanya nilai akademik. Karakter yang paling diinginkan perusahaan adalah kemampuan kerja sama, kemampuan menyelesaikan masalah, dan kemampuan berkomunikasi.

Ketiga, kenali segala sesuatu yang disenangi anak-anak, terutama untuk mengenali bakat mereka. Seorang anak rata-rata memiliki rasa penasaran yang tinggi sehingga membuat orang tua tidak sabar untuk meladeninya. Orang tua harus selalu bisa menjawab pertanyaan anak sehingga pengetahuan seorang anak selalu bertambah. Ujiannya adalah ketika orang tua kesulitan menjawab sedangkan si anak sudah tidak sabar menemukan jawabannya. Kita harus menjelaskan dengan pelan dan penuh perhatian, bahwa mereka lebih baik mencari bersama-sama sehingga seorang anak akan belajar karakter penuh simpatik.

Moment-moment awal ini bisa digunakan untuk mengetahui aktivitas yang disukai anak-anak, serta sikap apa yang tampaknya menonjol dan siap dikembangkan. Karakter anak juga akan berkembang dengan baik karena orang tua telah membangun suasana yang menyenangkan dalam keluarga. Seorang anak tidak lagi takut untuk mengungkapkan pendapatnya, karena kekeliruan akan selalu menemukan solusi. Seorang anak juga akan belajar jujur karena orang tua mengapresiasi kejujurannya dengan pujian dan tepuk tangan, lalu memaafkan dengan ikhlas. Dengan mengenali bakat terpendam anak, maka orang tua akan lebih mudah memberikan bimbingan pendidikan ke depannya. #sahabatkeluarga


Daftar Pustaka

Gianni De Fraja, Tania Oliveira, Luisa Zanchi. 2010. Must Try Harder: Evaluating the Role of Effort in Educational Attainment. Journal Review of Economics and Statistics. Vol. 92, No. 3. P.577.


Mikaela J. Dufur, Toby L. Parcel, Kelly P. Troutman. 2013. Does Capital at Home Matter more than Capital at School? Social Capital Effects on Academic Achievement. Journal Research in Social Stratification and Mobility. Volume 31, P.1-21

Robinson, Sir Ken. 2006. Do Schools Kill Creativity?. diakses di https://www.ted.com/talks/ken_robinson_says_schools_kill_creativity pada 12 Juli 2018


2018-07-13

Ulasan Buku: Bilangan Fu


Pertama-tama, membaca bilangan fu adalah keinginan yang sudah lama tapi tertunda. Pernah sekali –sekali meliriknya di toko buku ketika masih kuliah di tahun 2011, bahasanya menarik, kisahnya seperti ‘lelaki banget; tetapi harga bukunya mahal; akhirnya tak terbeli. Kini di sela kesibukan yang sangat sibuk, aku membacanya dengan gaya tergesa, berharap besar, dan sering mengulang membaca karena beberapa kali tersilap dengan kisah yang tiba-tiba sampai di suatu tempat yang asing dan berbeda.

Di samping sekeranjang kelebihannya, novel ini tentu punya kelemahan di bagian narasi. Bagiku, narasi dalam sebuah novel menjadi sesuatu yang mutlak karena karya sastra harus melesat di benak pembaca, mengubah dengan lembut kecerdasan bahasanya, dan nikmat serta mengalir dalam pembacaannya. Aku lebih banyak mengulang karena satu hal: ingin lebih paham apa yang dimaksud penulis dengan berbagai pertarungan wacana yang ingin dibangun, dan lompatan kisah yang ke sana kemari. Jadinya, membaca novel ini melelahkan pikir dan tenaga.

Kelemahan itu segera tertutupi jika kita ingin menganggap bahwa novel tidak hanya berjalan dalam tataran imajinasi, tetapi juga berkait fakta dan amukan terhadap realitas. Tampak dalam novel ini, keinginan penulis yang ingin menggugat banyak hal yang sudah terlampau diyakini, padahal merusak. Ia menggugat modernisme, monoteisme, dan militerisme yang dianggap banyak merusak alam, atau yang dengan bahasa lain: lebih banyak jelek dari pada baiknya. Penulis ingin membuat agama baru yang menghormati kebudayaan masa lalu, dan kembali mencintai bumi, yaitu Spiritualisme Kritis.

Persoalan langit dan bumi dalam novel ini, secara sederhana bisa dijelaskan demikian: bahwa sejak kedatangan agama di Pulau Jawa pada khususnya, lebih khusus lagi Agama Islam dengan ajaran yang sering mengafirkan, menyirikkan, mengkhrafatkan, membid’ahkan, maka segala penyembahan terhadap alam dibinasakan. Sesajen, yang dalam novel disebut sebagai bea cuka kepada penunggu pohon besar, dibabat habis. Karena dianggap menduakan tuhan, akhirnya penyembahan semacam itu dihancurkan, lalu orang-orang mulai menganggap tidak ada lagi tulah jika menggergaji pohon besar.

Parang Jati, yang seakan mewakili sebagian diri penulis, ingin menampar ‘untuk menyadarkan’ si Yuda yang mewakili generasi pemuda idealis, kritis, sinis, dan rasional. Yuda menolak segala sesuatu yang irrasional, dan selalu mempertanyakan segala sesuatu dengan niat memalukan pihak lawan, atau mencari kepuasan logikanya sendiri. Tetapi bukan Yuda yang menjadi antagonis, dia malah protagonis yang bisa digambarkan sebagai batu granit yang tak akan goyah oleh puting beliung pemikiran, tetapi toh akhirnya harus kalah dengan angin sepoi-sepoi yang dibawa Parang Jati.

Yuda, seperti yang telah disebutkan, memiliki watak yang kaku dan kritis, adalah seorang pemanjat gunung sejati. Ia digambarkan sebagai sosok lelaki yang lelaki banget, tapi menurutku gagal karena saya selalu terbayang penulis yang perempuan. Ia memanjat dengan khusyuk, penuh kedalaman, dan mencintai pekerjaannya secara sungguh-sungguh. Lalu datanglah Parang Jati melalui perkenalan singkat, dan membawa ajaran baru bagi pemanjat: sacret climbing (pemanjatan suci) –maksudnya adalah pemanjatan bersih. Jika pemanjat biasanya membawa paku, bor, dan alat lain yang malah merusak dinding tebing, mka sacred climbing tidak memperbolehkan alat-alat yang merusak alam.

Jika ingin menjadikan rock climbing sebagai tantangan, mengapa bukan memanjat gedung saja? “pemanjat sejati harus berdialog dengan tebingnya” begitu kata Parang Jati. Dengan lihai, penulis membawa kisah-kisah ini menjadi nyawa yang mendebarkan hingga akhirnya Yuda harus mengakui bahwa scared climbing memang harus dilakukan. Banyak kisah yang sebenarnya menarik, termasuk berbagai kiasan yang digunakan Parang Jati di setiap omongannya. Bahkan, penulis tampak terus-menerus berbuat bijak dengan berbagai argumentasi yang tidak tunggal, tapi beragam dengan imajinasi yang tidak pernah habis.

Misalnya, Parang Jati ingin menunjukkan bahwa manusia selalu ingin memerkosa alam. Digabungkan dengan logika sacred climbing, ia menjelaskan kepada Yuda tentang pemburu di hutan. Menurutnya, seorang pemburu yang tidak bisa memanah tidaklah pantas membawa pulang kepala banteng atau harimau lalu di pasang di ruang tamu. Seorang pemburu yang membawa senjata modern (senapan, bius, atau alat lain) bukanlah pemburu hebat, sebab ia menghajar tradisionalis dengan modernitas. Banteng yang terbiasa hidup di alam dihadapkan dengan senapan akan keok, dan itu tidak bukan cara pemburu jantan.

Jadi musuh sesungguhnya dari penulis adalah modernitas, dan juga mototeisme yang diwakili oleh tokoh Kupu, sang agamawan bersorban, yang menjadikan agama sebagai tameng untuk berbuat aniaya terhadap alam. Kepada Kupu inilah, penulis ingin menggugat monoteisme yang membawa kerusakan di bumi, dan ingin mengembalikan mitos ke kepercayaan masyarakat yang adilihung. Berulang kali Kupu ditampilkan oleh penulis sebagaimana gambaran di masyarakat mengenai kaum agamawan yang kaku, tidak menerima perubahan, dan setiap omongannya menyakiti anggota masyarakatnya.

Membaca buku ini kita akan dihadapkan pada banyak keajaiban tentang memahami mitos dan legenda, lalu memasangkan hal-hal yang tidak masuk akal itu pada rasionalitas manusia modern. Hebat sekali buku ini. Kita diajak berfikir sangat terbuka, menerima segala sesuatu di dunia ini sebagai takdir yang dibaliknya ada sesuatu yang pantas ditunggu. Sungguh sangat tidak modern, mengingat di zaman ini kita dituntut untuk merekonstruksi realitas berdasarkan rasio murni. Hal-hal yang tidak masuk akal sudah dibakar habis sejak renaissance –maka buku ini berada di tempat yang membahayakan.

Jika kita penasaran dengan ‘Bilangan Fu’ yang menjadi judul novel ini, menurutku, penulis lebih banyak bertutur dengan jalan sok dimistis-mistiskan. Makna yang tersingkap dari kosakata bilangan fu memang luar biasa: mulai alat musik di papua hingga perhitungan ke 12 dalam mitologi India dan Jawa. Semuanya disampaikan dalam kesemrawutan yang sulit digambarkan, apalagi disisipi dengan kisah Parang Jati-Yuda-Marja, kliping pemberitaan dari berbagai koran yang mungkin dimaksudkan untuk menggabungkan kisah fiksi dan realitas, lalu cerita masa lalu Kupu dan Parang Jati sebagai anak buangan yang silang sengkarut dengan mitos dan tanda-tanda alam.

Sungguh, novel ini harus disederhanakan jika ingin memiliki tingkat keterbacaan seperti Laskar Pelangi atau The Davinci Code. Bagi sastrawan besar Indonesia, membandingkan Bilangan Fu dengan Laskar Pelangi akan dianggap penghinaan dan ditertawakan. Tetapi kita harus melihat bahwa karya sastra yang baik adalah yang enak dibaca. Karya sastra harus bisa membawa langit lebih rendah, dan mengangkat bumi lebih tinggi, sehingga siapapun orangnya bisa menyenangi karya sastra. Jangan memuji langit karena orang bumi akan menganggapnya mantra, juga jangan merendahkan bumi karena orang langit akan menginjaknya.

Dalam sebuah resensi semacam ini, bilangan fu akan sulit dijelaskan karena memiliki kompleksitas yang tinggi. Bilangan fu bukanlah novel sastra magis yang bisa dengan sungguh-sungguh menghadirkan nuansa sihir dalam kisahnya, tanpa dapat diprotes. Menurutku, bilangan fu adalah novel realistis yang ingin menggugat realitas yang keliru. Maka ia harus jelas, tidak berbayang dengan kelindan cerita yang kesana-kemari. Tetapi novel ini harus diakui jernih, karena mengusung ideologi penulisnya yang murni, ingin membawa suatu olahan pemikiran ke dalam sastra meski melewati proses yang ruwet dan berkeringat.