2017-11-29

Aku Menikah


Bagiku, menikah adalah hal yang biasa. Sehingga kumaklumi keputusanku yang enggan menyebar undangan, bahkan untuk orang yang paling dekat denganku sekalipun. Banyak orang yang akhirnya bertanya-tanya, curiga, penasaran, dan beberapa dari teman dekat ini marah lalu enggan menyapaku lagi. Tampaknya, diantara teman-teman menganggap bahwa undangan adalah sebentuk pengakuan pertemanan sehingga tidak adanya undangan dianggap sebagai pemutusan hubungan silaturahim. Aku menghargai keyakinan-keyakinan macam itu, meskipun aku tidak ingin mengakuinya.

Sejak remaja aku memahami bahwa suatu saat aku akan menikah, dan aku juga memahami bahwa aku pernah dilahirkan, suatu saat akan beranak pinak, menjadi tua, lalu mati dan hilang tak berbekas. Aku akan menjadi debu, beberapa masih mengingatku dan banyak manusia yang lupa bahwa aku pernah ada. Hal itu sama dengan menikah. Minggu lalu aku telah menikah, lalu sekarang beranda Facebookku telah berganti dengan puisi lain dan atau foto narsis yang menggemaskan. Minggu depan, tidak ada lagi yang mengingat pernikahan ini kecuali aku, istriku, dan orang tua kami.

Dengan pemahaman ini maka mana mungkin aku akan berlebih-lebihan di persoalan menikah. Segala yang berlebihan tampaknya terjadi pada orang di sekelilingku. Teman satu kompleks kos, misalnya, berteriak karena aku tidak pernah berkunjung dan menghabiskan waktu hingga tengah malam untuk ngopi bersama mereka. Teman satu kerjaku, menduga bahwa aku pulang lebih cepat dan tidak mampu menyelesaikan tugas tepat waktu. Teman yang biasanya ngopi dan diskusi, juga tiba-tiba bilang bahwa : aku sudah menikah jadi tidak mau ngopi denganku lagi.

Memang banyak yang harus berubah dari cara hidupku –karena hidupku sekarang bukan hanya milikku sendiri. Ngopi dengan siapapun sampai tengah malam tidak akan kulakukan semena-mena. Ngopi sampai berjam-jam harus memiliki alasan yang masuk akal sehingga tidak melukai anak orang yang telah kupinang. Tetapi aku masih tetap ngopi, tidak ada yang berubah dari itu. Dalam hal pekerjaan pun demikian. Tugas tetap kuselesaikan lebih baik dari siapapun. Karena itu, harusnya tidak ada yang menilai bahwa menikah tidak membuat kita menjadi pemalas dan banyak alasan.

Dalam hal pertemanan juga demikian, tidak ada yang berubah. Kebanyakan kawan perempuan, baik yang belum atau yang sudah menikah, langsung menjaga jarak denganku secara drastis. Bahkan diantara mereka mungkin memblokirku. Aku paham dan mencoba untuk menalar kondisi ini. Saya bersyukur bahwa ada beberapa kawan perempuan yang antusias dan ingin berkenalan dengan istri. Kami berkirim doa dan saling menjaga hubungan dengan baik. Kondisi-kondisi ini lebih banyak membuat perenungan di pikiranku, bahwa perbuatan kita bisa menjadi penggerak perubahan sedemikian besar bagi orang lain.

Jadi kutegaskan berulang-ulang, tidak ada yang berubah dariku, hanya lingkunganku berubah. Mereka lebih protektif dan bersikap keterlaluan padaku. Tentunya, ini adalah konstruksi yang terjadi di masyarakat selama ini tentang pernikahan. Pernikahan selalu diidentikkan dengan perubahan drastis, yang awalnya kurus, lalu menjadi gemuk karena ada yang masakin. Yang awalnya tidak rapi, dianggap lebih rapi karena ada yang menyetrikakan. Yang awalnya bekerja biasa saja, karena sudah menikah maka dianggap selalu mengejar proyekkan sehingga bisa dibuat menyenangkan istri. Perkara kecapekan saja, disuruh mencari istri agar ada yang mijitin.

Menikah sering dianggap sebagai solusi untuk segala persoalan, sekaligus masalah pelik untuk kesuksesan pekerjaan. Dua remaja tanggung yang pacaran, disuruh menikah agar terhindar dari zina. Apakah yakin bahwa setelah menikah mereka akan bahagia lalu menjadi keluarga sakinah (tenang) di usia labil? Pemuda yang rajin masak dan cuci baju sendiri, disuruh beristri agar ada yang masakin dan nyuciiin. Perempuan yang mandiri, diberi solusi segera bersuami agar tidak terlalu lelah. Banyak pula orang yang pekerjaannya ngawur, lalu beralasan : kalau saya kan sudah menikah, banyak yang dipikirkan di rumah. Nah kamu mumpung masih jomblo, harus rajin bekerja di kantor. Nah kan, aku yakin orang semacam ini tidak paham dengan ucapannya sendiri.

Menikah bukan solusi segala masalah. Kata temanku yang seniman : menikah itu mencari masalah baru. Ada yang harus dipahami bahwa menikah itu perintah agama. Maka paling tidak, menikah itu menuju pada tiga hal : sakinah, mawaddah, warahmah. Tetapi jangan dianggap bahwa setiap pernikahan bisa mengarah pada hal-hal macam itu. Secara obyektif, kita harus melihat menikah itu satu tindakan yang memiliki potensi kesuksesan dan kesedihan yang seimbang. Kebahagiaan bisa diwujudkan dengan atau tanpa pernikahan, begitupula kegagalan. Maka dari itu, orang yang menikah itu sama dengan orang bersekolah; banyak yang menjadi pandai, tapi lebih banyak yang tidak mendapat manfaat.

Maka nikahku adalah suatu keniscayaan, demikian pula dengan pernikahan orang lain, seniscaya kematian kita semua. Aku tetap akan bekerja dengan baik, menjalin pertemanan dengan penuh cinta, dan menciptakan kebahagiaan sendiri atas pilihan kemenikahanku di usia ini. Selamat untuk diriku sendiri yang telah memilih jalan riuh pernikahan.

2017-11-13

Jurnalis


Calon mertua saya, memandang jurnalis sebagai tukang tagih bulanan di kantor kedinasan. Menurutnya, jurnalis adalah sosok yang menjengkelkan. Ia merasa aneh karena jurnalis tampaknya seperti orang-orang baik, dipuja dan dilindungi, tetapi kenyataannya beberapa jurnalis yang ia temui berperilaku nggateli. Hal yang sama terjadi ketika saya mengajar kelas sore yang terdiri dari perangkat desa. Mereka yang tau saya pernah berprofesi sebagai wartawan, langsung curhat panjang –melebihi jam kuliah- tentang beberapa wartawan tukang tagih di kantor kelurahan.

Tentu saja hal ini menggelisahkan, terutama bagi wartawan yang setiap hari bekerja dengan penuh integritas. Wartawan yang serius dan professional sebenarnya menyadari bahwa pekerjaannya amat berpotensi disalahgunakan. Beberapa wartawan yang akhirnya memanfaatkan pekerjaannya sebagai ladang uang tidak ‘sah’ ini biasanya disebut wartawan bodrex. Dan wartawan jenis ini, dapat dipastikan tidak akan pernah bercengkerama dan berkelakar secara baik dengan wartawan ‘betulan’ di warung kopi.

Karena itu, kepada mahasiswa konsentrasi jurnalistik, saya sering menekankan bahwa tidak semua jurnalis salah. Ada banyak sekali jurnalis yang memandang pekerjaannya sebagai sesuatu yang suci, yang membuatnya berada di jalur-jalur sepi. Suatu kebenaran memang tidak banyak dilalui orang. Kebenaran ada di banyak tempat, tetapi kebanyakan tempat itu berisi undang-undang, kode etik, dan anggaran dasar/rumah tangga, sedangkan manusianya menghilang di mall dan belanja barang kebutuhan.

Maka jurnalis adalah salah satu profesi yang bisa mengarah pada dua hal yang berlawanan : jurnalis suci vs jurnalis kotor, wartawan bodrex vs wartawan penolak amplop, jurnalis partisan vs jurnalis ideologis. Jurnalis bukanlah pekerjaan yang bebas dari nait jahat. Kejahatan selalu ada dalam setiap pekerjaan. Seringkali kita menamakannya ‘ceperan’ untuk pekerjaan lain. Supir dapat ceperan dari pelanggan, PNS dapat ceperan dari perjalanan dinas, dosen dapat ceperan dari penelitian, jurnalis dapat ceperan dari narasumber, dan lain sebagainya.

Jika supir, PNS, dan dosen tidak memiliki hubungan langsung dengan masyarakat luas, maka jurnalis kebalikannya. Jika supir, PNS, dan dosen menerima ceperan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka yang dirugikan hanya sebagian kecil, sangat kecil, dari rakyat. Tapi bagaimana jika jurnalis menerima ceperan lalu dia tidak memberitakan atau memberikan pesanan dari narasumber? Yang dibohongi adalah publik, publik yang tersebar dan anonim, dan apa yang dipercayai publik menjadi keliru.

Jurnalis Partisan

Orang-orang yang bekerja sebagai jurnalis, tidak semuanya memiliki sikap ksatria yang lebih membela kepentingan publik dibandingkan kepentingan pribadi dan golongan. Ada banyak jurnalis yang menganggap jurnalis hanya sebatas pekerjaan sebagaimana pekerjaan lainnya: pegawai bank, kontraktor, akuntan, atau satpam. Mereka tidak ambil pusing dengan tuntutan tertentu dari komunitas profesinya untuk bertindak professional dan bertanggung jawab.

Bagi jurnalis partisan, pekerjaan bisa didefinisikan sebagai aktivitas manusia untuk menghasilkan uang –uang untuk memenuhi kehidupan. Sehingga jurnalis dalam golongan ini tidak akan berfikir lebih jauh mengenai publiknya. Ia menggunakan paradigma pragmatis yang mengukur kualitas segala sesuatu berdasarkan kegunaan praktisnya. Alur berfikirnya jelas: jurnalis – pekerjaan – uang – kebutuhan hidup.

Ciri utama dari jurnalis jenis ini adalah pertama, mengharapkan narasumber memberikan amplop. Sebagai mantan jurnalis, saya merasa tidak masalah menerima amplop dari narasumber. Kadang narasumber bersikeras memberikan uang, atau memang ada keinginan kuat dari narasumber untuk memberikan uang agar seorang jurnalis bisa dikendalikan. Dan itu tidak masalah, selama jurnalis paham bahwa uang yang diterima tidak memengaruhi pemberitaan.

Utopis? Memang betul. Hipokrit? Bisa jadi. Tetapi koridornya jelas: jika jurnalis menerima uang lalu memberitakan/tidak memberitakan sesuatu berdasarkan pesanan, maka dia biadab. Jika jurnalis menerima uang lalu sama sekali tidak memengaruhi pemberitaan, maka oke saja. Kalau mengikuti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menerima uang bagi seorang jurnalis adalah salah, maka itu lebih baik. Jadi garis bawahnya terletak pada “mengharapkan narasumber memberikan uang”. Banyak sekali di lapangan, wartawan berfikiran : narasumber tidak memberikan uang = tidak menghargai kerja wartawan = tidak usah diberitakan.

Kedua, jurnalis hanya mengejar target jumlah berita dari perusahaan. Bagi saya jelas, seorang jurnalis harus mengejar berita yang sesuai dengan nilai pemberitaan: penting, berdampak besar, berguna, dan informatif. Jika memang mengejar sesuatu yang sensasional, infotainment, mengejar tokoh/artis, tidak masalah asalkan memenuhi syarat: menghibur, mendidik, dan informatif. Jika tidak ada kaitannya ke arah sana, maka secara idealis jurnalis tersebut telah gagal.

Patut dipahami bahwa jurnalis yang ‘hanya’ mengejar target berita akan menulis apa saja guna menuntaskan pekerjaannya hari itu. Jika diberi kewajiban 4 berita, maka ia akan memfokuskan pada 4 berita itu, lalu pulang tanpa merasa bersalah. Jika ada peristiwa pasca dia mengumpulkan 4 berita itu, maka dia akan cuek, atau paling tidak dia akan berangkat meliput sembari menggerutu. Wartawan macam begini tidak akan tahan untuk mencari berita yang berguna, membutuhkan pemikiran, tenaga dan waktu, apalagi berita yang tidak menghasilkan uang,

Ketiga, jurnalis yang hanya punya pertanyaan : kawan kita ke mana hari ini? Atau bertanya ke narasumber : Pak, ada informasi apa hari ini?. Ini adalah tipe-tipe jurnalis yang malas dan rasa ingin tahunya mati. Jika demikian maka jurnalis itu tidak akan menjadi professional bagaimanapun caranya. Dia hanya akan menjadi beban bagi jurnalis lainnya. Tidak punya ide dalam peliputan adalah sebuah kematian dalam proses pembuatan berita. Karena banyak cara mendapatkan ide, yang harusnya jurnalis sudah khatam dengan hal-hal semacam ini.

Jadi bagaimana cara mendapatkan ide peliputan? Hal yang paling sederhana dan hampir tiap tahun berulang adalah mencermati hari-hari penting. Membaca berita dari media sendiri atau media lain karena di sana ada ribuan informasi yang harus digali. Menghadiri acara, kegiatan, hingga keluar ke pasar, berdialog dengan emak terkait harga kedelai dan lombok, bahkan dengan cara rasan-rasan dengan setiap narasumber yang dekat dengan kita. Banyak sekali. Seorang jurnalis pasti akan bosan dengan informasi yang berseliweran dan hampir dianggap rutinitas sehingga tidak melihatnya sebagai suatu informasi penting.

Jurnalis Ideologis

Seorang jurnalis bisa menjadi seorang nabi. Tugas jurnalis adalah sebagaimana tugas seorang nabi dan rasul: sebagai penyampai kabar (tabligh). Jika jurnalis itu penyampai pesan yang cerdas, disertai niat baik, jujur, dan dapat dipercaya, maka dekatlah ia pada sifat-sifat nabawiyah. Tugas suci semacam ini, diikuti oleh jurnalis-jurnalis yang masih memegang teguh kode etik jurnalistik, terus berdiskusi dan mengasah wacananya terkait berbagai persoalan bangsa, dan turut serta mencari solusi dari persoalan itu.

Seorang jurnalis harus memenuhi tugas utamanya sebagai penyambung lidah rakyat. Keberpihakan yang boleh dilakukan oleh jurnalis, satu-satunya adalah kepada publik. Bahkan ketika yang menggajinya adalah perusahaan, maka ia tidak menomorduakan publik hanya agar mendapatkan pujian bagian pemasaran perusahaan. Jurnalis ideologis, melakukan pekerjaan ini sebagai sebuah profesi, yang mana harus tunduk pada kode etik yang telah disepakati aliansi jurnalis. Pertanggungjawaban utama jurnalis adalah pada kebenaran yang disampaikannya kepada publik.

Karena itu, tidak akan banyak ditemui jurnalis semacam ini. Apakah ini terjadi hanya pada profesi jurnalis? Tidak. Di semua profesi yang rawan penyalahgunaan, menemukan salah satu orang yang tidak menyelewengkan tugas dan wewenang yang diembannya juga sulit. Seorang jurnalis harus selalu mencari kebenaran sehingga tidak stagnan pada satu tempat yang sudah familiar dengannya. Karena pekerjaan ini tidak hanya bersifat kerja pragmatis, tapi juga kerja ideologis.

Mengukur jurnalis ideologis di sekitar kita tidak mudah. Karena indikatornya juga bisa jadi fleksibel, meskipun ada beberapa hal yang prinsipil. Misalnya, jurnalis yang tidak bisa dibeli hampir dapat dipastikan ideologis. Ia hampir pasti sosok yang tangguh, selalu mencari kebenaran, secara wacana terpelihara melalui bacaan maupun diskusi-diskusi, memihak pada kaum tertindas, hingga memberitakan secara berimbang.

Tetapi ada banyak hal lagi yang patut didiskusikan terkait perkembangan liputan di lapangan. Terkait cover both side (keberimbangan) inipun masih patut didiskusikan. Dalam banyak kasus, dan juga dalam kebebasan berbicara menjadi berlebih seperti saat ini, keberimbangan menjadi simalakama. Jika seorang ER tertangkap tangan oleh KPK, maka keberimbangan akan sulit dilakukan. Jika terjadi penembakan kelompok bersenjata terhadap warga sipil di Pegunungan Tengah Papua, maka keberimbangan hampir tidak pernah terjadi.

Keberimbangan atau bisa dikatakan fairness hampir sulit dilakukan dalam masyarakat massa yang suka gemuruh isu, tetapi tidak peduli pada kebenaran. Ketika muslim Indonesia menggelar aksi ke Jakarta gara-gara Ahok yang menghina Agama Islam, maka kebenarannya adalah kebenaran hukum. Jurnalis tidak musti cover both side dengan mewawancarai Ahok VS Habib Rizieq, atau memuat berita tentang massa 212 kemudian mewawancarai perwakilan dari pihak Ahok. Kebenaran bukan persoalan itu. Kebenarannya adalah bagaimana kasus ini dipandang dari segi hukum, sehingga harus pakar hukum yang diminta ulasannya.

Seorang jurnalis harus berpegang pada kebenaran, bukan sekadar keberimbangan. Berita tidak sama dengan kebenaran, itu satu hal yang pasti. Berita adalah informasi terkait suatu fakta yang sesuai dengan rumus penulisan berita plus nilai berita. Sedangkan kebenaran merupakan kondisi fakta yang sebenarnya, yang jika ditulis dalam berita, maka berita itu mampu memberikan pencerahan kepada khalayak.

Dalam bahasa komunikasi, berita adalah rekonstruksi –artinya, bangunan kedua terhadap realitas. Jika peristiwa, realitas, atau fakta adalah bangunan murni, maka berita adalah bangunan ulang terhadap fakta berdasarkan pemahaman sang jurnalis –dan sejauh pemahaman jurnalis benar, maka sejauh itu pula kebenaran suatu realitas. Karena itu, ada namanya angle atau sudut pandang dalam berita. Satu jurnalis dengan jurnalis lain memiliki angle berbeda terhadap satu fakta. Ini adalah bangunan ulang itu, yang sesuai dengan kebutuhan, kreativitas, hingga kepentingan tertentu dari seorang jurnalis.

Karena itu, jurnalis harus mampu mengemban amanah kode etik jurnalistik dengan kepatuhan yang tinggi. Jurnalis jelas bukan sembarang pekerjaan yang bisa dengan enteng menyepelekan hasil karyanya. Jurnalis barangkali, penjaga demokrasi itu sendiri. Karena media massa adalah tonggak demokrasi ke empat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka jurnalis juga harus menjaga marwah keprofesiannya. Jangan pernah melukai rakyat dengan informasi asal-asalan, karena rakyat sudah lelah dengan komedi yang perankan jajaran trias politika di Jakarta.

2017-10-10

Kekeliruan Penelitian Teks Media


Penelitian sosial adalah aktivitas ilmiah yang didalamnya terdapat beberapa syarat utama: logis, empiris, dan universal. Sebuah penelitian harus menerapkan dasar keilmiahannya sehingga dapat dipercaya sebagai suatu kebenaran ‘subyektif’. Kenapa subyektif? Karena penelitian memiliki batas permasalahan, baik itu kajian, teori, metode, tempat, hingga waktu. Seluruh penelitian akan dipandang memiliki hasil yang berbeda jika ditempatkan dalam konteks yang berbeda pula.

Dalam keilmuan komunikasi, banyak sekali kajian yang menjadi obyek penelitian, misalnya psikologi, kelompok, politik, opini publik, gender, perilaku, hingga cultural studies. Mereka semua memiliki kekhasan tersendiri yang kadang unik, dan kadang dicampuradukkan dengan metode yang tidak cocok. Namun semuanya menjadi sah jika melihat tidak ada yang benar-benar benar di Indonesia. Jadi kita akan memakluminya sampai masing-masing dari kita paham bahwa kebodohan manusia tidak ada batasnya (menurut Einstein).

Salah satu penelitian komunikasi yang dilakukan sejak tahun 1910 oleh Max Weber adalah tentang media massa. Penelitian ini juga membawa beberapa nama tokoh besar: John Dewey, Robert E Park, Paul F Lazarfeld, Kurt Lewin, dan Carl Hovland, atau di abad-abad lebih baru seperti Marshall McLuhan dan Jurgen Habermas. Mereka semua meneliti media massa sejak percaya dengan ‘the bullet/the hypodermic needle theory; spiral of silence; hingga penyanggahan-penyanggahan yang terus berulang sampai munculnya filsafat modern.

Sejarah panjang ini akhirnya berujung juga di Indonesia dengan banyaknya penelitian media massa. Jika kita mengesampingkan kualitas penelitian, maka seharusnya setiap tahun ada ribuan kalau tidak jutaan, mahasiswa semester akhir yang menulis skripsi. Kebanyakan mereka tentu saja memodifikasi dari penelitian orang lain, meskipun dengan percaya diri memasukkan ‘penelitian terdahulu’ agar terkesan mereka tidak menyontek.

Hal yang menjadi keresahan saya adalah banyak penelitian komunikasi yang hanya menyimpulkan teks-teks dalam suatu kategori yang meyakinkan. Analisis yang sering digunakan dalam penelitian semacam ini adalah semiotik, framing, wacana kritis, hingga analisis isi. Mereka meneliti teks tanpa mempedulikan kebenarannya sama sekali. Seakan-akan, hasil penelitian ini dapat menuding suatu kebijakan media tidak populis, memihak kapital, atau media tidak independen. Penelitian ini benar dalam konteks kebenarannya berdasarkan metode mekanik, tetapi tidak cukup untuk menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya.

Tapi memangnya kenyataan itu apa? Apakah segala sesuatu yang kita lihat sekarang nyata? Banyak sekali keraguan jika kita mengetahui segalanya. Bagaimana, misalnya, jika bumi tidak bulat? Atau ternyata memang bumi itu bulat? Atau mereka ini hanyalah pantulan dari dunia ide yang ada di kepala kita masing-masing? Apakah kebenaran itu obyektif atau hanya berupa ilusi di dalam kepala setiap orang? Apakah ada kebenaran universal? dan lain sebagainya.

Penelitian yang kita lakukan harus menunjukkan kenyataan yang sesungguhnya. Itu adalah suatu keniscayaan. Jangan sampai penelitian yang mengartasnamakan dunia ilmiah ternyata menyajikan kebenaran sepotong yang digunakan untuk menentukan/menjustifikasi nasib orang banyak. Penelitian-penelitian teks di Indonesia sering tidak memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan agar bisa dijadikan rujukan pemikiran yang matang. Kita sering tergesa-gesa untuk ‘terpaksa’ menyelesaikan kajian terhadap suatu objek karena alasan yang subyektif. Seperti dana yang terlalu sedikit, tenaga kurang, data sulit didapatkan, atau alasan agar cepat wisuda (bagi skripsi) dan cepat naik pangkat (bagi penelitian dosen).

Khusus kajian semiotik, saat ini banyak sekali dosen yang melarang mahasiswanya meneliti menggunakan metode dan atau teori tentang tanda itu. Alasannya simpel: bahwa semiotik terlalu mudah sehingga mahasiswa menggampangkan penelitian menggunakan analisa tersebut. Tentu saja ini alasan yang keliru. Pertama, semiotik bukan kajian gampangan yang bisa dikerjakan sambil lalu. Meskipun banyak mahasiswa pengguna teori ini yang dengan mudah (baca : menyepelekan) menyelesaikan skripsinya tidak bisa menjadi dasar bahwa semiotik itu ilmu gampangan.

Kedua, semiotik bukan sekadar menebak tanda yang arbiter (acak) dengan pengetahuan pas-pasan ala mahasiswa malas mikir. Untuk mengkaji tanda di dunia teks media atau video dibutuhkan pemahaman tentang relasi-relasi kenyataan yang ada di kehidupan sehari-hari. Semiotik tidak mengkaji sesuatu yang jauh dari kehidupan manusia, ia mengkaji bagaimana kita merasa bahagia mandi dengan sampo lidah buaya, atau bagaimana sesosok gadis lebih memilih mawar dan puisi dibanding kekayaan –yang nyatanya masih banyak gadis macam ini.

Tapi sekali lagi, bukan berarti kajian mengenai sesuatu yang sepele di sekitar kita bisa dilakukan dengan bercanda. Lagi pula, banyak mahasiswa dan dosen pembimbingnya yang menjengkelkan, hanya mampu menganalisis makna tanda di tatanan konotatif bagi semiotika Barthes. Tidak ada penelitian yang bisa sampai pada mitos. Kendalanya tentu ada, bisa jadi karena memang tidak serius untuk penelitian semiotik, bisa juga karena tidak memahami betul bagaimana mitos itu. Dalam hal apapun, kita mestinya disiplin untuk belajar sehingga hasil penelitiannya akan betulbetul berharga.

Sebagai bahan eyel-eyelan, semiotika bisa digunakan menganalisis bagaimana seorang dokter menggunakan tanda-tanda tertentu pada pasien (symptom) untuk menengarai diagnosis atas suatu penyakit dan obatnya. Semiotika juga bisa dipakai Ilmu Ekonomi untuk menjelaskan tanda-tanda pasar yang memengaruhi harga komoditi, dan dalam skala lebih luas bisa digunakan menentukan negara yang dapat ditanami investasi. Demikian pula di bidang pertanian, kimia, biologi, dan lain sebagainya. Semiotika yang pada dasarnya digunakan untuk mengkaji bahasa, kini berkembang menjadi kajian sosial.

Sebagaimana semiotika, kajian framing dan analisis wacana juga jeblok pemikirannya dalam penelitian di Indonesia. Buku yang selalu digunakan adalah milik Eriyanto, yang memang sangat berguna untuk memahami bagaimana analisis framing dan wacana bisa digunakan membedah realitas semu media massa. Tetapi pelaksanaannya, kajian ini berhenti hanya pada teks dan melupakan kerangka sosial yang membangun teks itu sendiri. Analisis teks media ini tidak bermual dan berakhir pada bagaimana pilihan kosakata, susunan pemberitaan, tebal dan besarnya judul, induk-anak kalimat, lebih dari itu adalah kognisi sosial yang menggerakkan seorang wartawan atau editor membungkus pilihannya pada bangunan beritanya.

Persis di situlah masalahnya. Karena framing dan wacana itu berhubungan langsung dengan konteks sosial, maka penelitian ini berhenti sebatas di analisis teks yang bisa dikatakan ‘parsial’. Analisis-analisis teks ini membuat semua redaksi media massa cacat ideologi karena lebih mengutamakan capital dibanding kebenaran. Sebatas pengalaman saya jadi wartawan, kami tidak pernah rapat redaksi kemudian memutuskan akan memihak suatu ideologi membabi buta. Jika berita yang kita buat kemudian dianalisis dengan tanpa mempertanyakan alasan-alasannya pada wartawan, maka saya ragu bahwa penelitian itu dapat dipercaya.

Ke depan, penelitian-penelitian teks harus lebih diperhatikan. Pertimbangannya, banyak dosen yang memanfaatkan skripsi mahasiswa untuk dijadikan jurnal sebagai salah satu nilai untuk kepangkatannya. Jadi, mengapa si dosen tidak memberlakukan penelitian yang ketat kepada mahasiswa tersebut? Padahal kualitas skripsi akan menentukan kualirtas jurnalnya, sekaligus mengantarkan pada kredibilitas sang dosen sebagai dosen pembimbing maupun penulis kedua jurnal itu. Itu adalah pertimbangan teknis yang memalukan. Tetapi ada pertimbangan yang lebih akademis dan teoritis, yakni dalam rangka mengembangkan keilmuan. Maka seriuslah membimbing mahasiswa yang punya potensi untuk mengerjakan skripsi dengan metode analisis teks yang baik.

2017-09-12

Ulasan Buku: Merekam Peradaban Melalui Teknologi



Identitas Buku
Judul Buku                         : Perkembangan Teknologi Komunikasi
Penulis                                : Nurudin
Penerbit                              : Rajagrafindo Persada
Tahun Terbit                       : 2017
Jumlah halaman                 : XV + 217

Pemikiran paling fenomenal yang sering dikutip untuk membahas perkembangan teknologi manusia adalah Marshall McLuhan (1911-1980). Konsepnya tentang determinisme teknologi membuatnya dikenal karena telah menyadarkan banyak orang bahwa kehidupan manusia salah satunya dibentuk dan ditentukan oleh teknologi. Padahal sebelum McLuhan mempopulerkan konsep itu, banyak pemikir yang sepakat teknologi dikendalikan oleh manusia bukan malah sebaliknya.

Penggunaan teknologi oleh manusia sangat menentukan bagaimana mereka bertindak. Penggunaan smartphone yang massif di zaman modern, membuat orang lebih sedih kehilangan telepon selulernya dibanding kehilangan dompet berisi uang. Di zaman tribal (kesukuan), orang-orang sering berkumpul untuk berinteraksi dan membicarakan berbagai persoalan. Sedangkan zaman sekarang, orang-orang lebih suka melakukan meeting melalui group dan jarang bertemu secara langsung untuk membicarakan sesuatu.

Untuk memahami peradaban manusia yang bergerak cepat, maka kita juga harus memahami perubahan teknologi. Ini adalah salah satu cara untuk bertindak tepat, efektif, dan efisien dalam berbagai lini. Dalam dunia pendidikan, pengajar sudah menggunakan teknologi komputer untuk membuat siswa lebih mudah memahami pelajaran. Di dunia bisnis, orang tidak lagi melakukan jual beli secara berhadap-hadapan, tetapi cukup dengan aplikasi di dalam smartphone. Siapapun dan apapun yang tidak mengikuti arus perubahan teknologi, dipastikan gulung tikar sebagaimana yang dialami Kodak, Nokia, dan raksasa Yahoo.

Dalam konteks inilah, buku “Perkembangan Teknologi Komunikasi” yang ditulis Nurudin, sangat penting untuk dijadikan rujukan pengetahuan, baik sebagai bahan bacaan diwaktu senggang, maupun bahan ajar perguruan tinggi. Pengarang buku ini telah melakukan riset awal bahwa bacaan tentang perkembangan teknologi di bidang komunikasi jarang ditemukan pada khazanah perbukuan Indonesia. Karena itu, kerja keras dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini patut diapresiasi karena turut membangun suatu peradaban yang dikatakan McLuhan sebagai ‘literature age’.

Buku yang diterbitkan Rajagrafindo Persada ini juga memuat informasi lengkap tentang perkembangan teknologi. Mulai dari alasan mempelajari perkembangan teknologi, pengertian-pengertian yang mengantarkan pada Teori Determinisme Teknologi, hingga faktor yang memengaruhi perkembangan teknologi. Nurudin juga memaparkan pendekatan untuk mempelajari tekonologi komunikasi, misalnya dengan pendekatan Dystopian yang paranoid terhadap perkembangan teknologi, pendekatan Neo-Futuris yang optimis bahwa teknologi adalah suatu keniscayaan sehingga harus diterima kehadirannya, atau dengan pendekatan Teknorealias yang mengkompromikan ketakutan dan optimisme terhadap teknologi.

Selain itu, Nurudin juga menulis dengan bahasa yang mudah dipahami terkait empat gelombang perkembangan teknologi komunikasi. Mengapa ini penting diketahui? Karena sekali lagi : “Sejarah teknologi komunikasi sejalan dengan peradaban manusia. Dengan kata lain, saat kita menceritakan perkembangan teknologi komunikasi, berarti juga bercerita tentang sejarah perdaban manusia, begitupun sebaliknya,” (halaman: 25).

Gelombang pertama tahun 8.000-7000SM. Manusia masih berkomunikasi secara interpersonal (tatap muka) untuk membangun pengertian sosial. Guna memudahkan kehidupannya, manusia zaman ini baru dalam tahap menggunakan tenaga hewan selain tenaganya sendiri. Gelombang kedua berada di tahun 1.700SM-1970 yang ditandai dengan munculnya revolusi industri. Mesin-mesin banyak diproduksi untuk keperluan industri, kesehatan, hingga pendidikan. Mobilitas manusia pun semakin cepat dengan dukungan transportasi.

Gelombang ketiga terjadi pada tahun 1979-2.000M yang juga disebut era informasi. Pada gelombang ini, manusia sudah berfikir untuk mencari sumber energi terbarukan (renewable energy), termasuk penggunaan satelit komunikasi yang memunculkan internet sebagai awal revolusi komunikasi. Gelombang terakhir adalah masa kontemporer atau saat ini yang memunculkan istilah global village (McLuhan) atau electronic cottage (Alvin Toffler), ditandai dengan media sosial yang memegang peranan penting dalam perubahan masyarakat.

Jika kita mampu memahami buku ini, bukan tidak mungkin kita akan tahu bagaimana cara membangun komunikasi yang efektif, baik bagi pendidik, pegiat sosial, hingga politisi. Karena penjelasan di dalamnya jelas dan lengkap, apalagi menggunakan bahasa popular yang jarang digunakan dalam buku teks perkuliahan. Pembahasan tentang Teknologi Komunikasi dan Masyarakat Maya di Bab 7 misalnya, berisi informasi terbaru mengenai ciri-ciri masyarakat maya, dampak, hingga kekuatan masyarakat maya. Dengan memahami ini, niscaya kita akan mampu merebut perhatian generasi milleneal yang lebih banyak mengakses media online dan media sosial.

Sisi menarik dari buku ini tidak hanya mengantarkan pemahaman pembaca pada pengertian-pengertian sempit sebuah teknologi, tetapi juga pada analisis persoalan sosial, budaya, ekonomi, hingga pendidikan yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi komunikasi. Nurudin banyak mengutip pendapat pakar untuk menguatkan setiap analisisya sehingga buku ini bisa dijadikan rujukan yang terpercaya. Data-data dari berbagai sumber pun menyebar di seluruh halaman guna memberikan gambaran utuh sebuah wacana mengenai peradaban manusia yang dinamis.

Contoh dampak sosial yang diberikan Nurudin akibat perkembangan teknologi ini adalah teratasinya ruang dan waktu. Saat ini, orang tidak perlu bertemu untuk menjalin komunikasi yang intens. Kedua, manusia mulai akrab dengan benda, yang bisa dilihat bagaimana orang-orang di tempat umum yang selalu memainkan gadgetnya, tanpa memperhatikan orang di sekelilingnya. Ketiga, tidak hanya akrab dengan benda, manusia saat ini juga memiliki ketergantungan yang tinggi pada teknologi.

Nurudin mencoba memberikan latar, contoh, hingga solusi bagaimana cara mengatasi efek negatif dari sebuah teknologi. Solusi ini tidak hanya penting untuk diajarkan kepada mahasiswa di perguruan tinggi, tapi penting untuk diberikan kepada setiap remaja. Misalnya, Nurudin menawarkan solusi menggalakkan literasi teknologi, yang berarti mengajarkan kemampuan untuk memahami, menggunakan, mengatur, dan menilai teknologi yang melibatkan proses dan ilmu pengetahuan dalam usaha memecahkan masalah serta memperluas kemampuan manusia. (Halaman 128).

Solusi lain adalah mendorong pemerintah untuk mengatasi dampak teknologi yang membahayakan. Menurut Nurudin, pemerintah memiliki daya paksa terhadap individu maupun kelompok yang ada di Negara Indonesia, baik melalui aturan-aturan maupun kebijakan turunan dari aturan tersebut. Peran negara yang minim untuk mengatasi persoalan negatif teknologi ini tampaknya membuat geram penulis:

Kegandrungan pada teknologi yang diproduksi bangsa asing bisa diatasi dengan kemampuan bangsa sendiri menciptakan teknologi. Namun lagi-lagi, ini membutuhkan peran pemerintah dalam menghargai produk-produk bangsa sendiri. Tidak sedikit dari penemuan bangsa sendiri, justru kemudian dibawa ke luar negeri karena di dalam negeri tidak dihargai (Halaman 130).

Terakhir, yang bisa kita peroleh dari buku ini adalah kemampuan menjadi cenayang yang bisa meramalkan masa depan. Bahasa ilmiah untuk orang yang bisa meramalkan masa depan menggunakan metode ilmiah adalah futurolog.kita bisa mengidentifikasi berbagai perubahan kaitannya dengan penerimaan, dampak, peluang, dan persaingan ekonomis di masa datang,” (halaman 6). Sebab itu, bagi orang yang berkepentingan terhadap perubahan sosial, ekonom, pendidik, dan secara khusus kepada akademisi dan praktisi ilmu komunikasi, buku ini bisa menjadi bacaan wajib yang mengenyangkan.

Tulisan ini pernah dimuat di Malang Post, 2017.

2017-08-31

Menjaga Kewarasan


Kehidupan ini penuh dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Kita tidak bisa menambah mengurangi mengali dan membagi dengan tepat segala sesuatu. Kehidupan sosial kita berkembang secara alamiah –dengan beberapa konstruksi yang saya kira tetap bisa dikatakan sebagai ‘apa adanya’. Kita sebagai manusia mengalami kebahagiaan juga kesakitan, mengalami masa penuh semangat dan motivasi, tapi juga pernah terpuruk pada suatu lembah tanpa dasar. Jika kita bahagia kita akan lupa pernah susah, dan jika mengalami kesusahan kita akan lupa bahwa kebahagiaan pernah kita alami.

Semua hal itu normal selama kita menerimanya sebagai gambaran obyektif sehingga tidak bisa kita tolak. Itulah kerja-kerja tuhan yang ilmuwan sosial sebut sebagai realitas. Ada pernyataan-pernyataan pesimistis yang diakui secara berjamaah: jika kita tidak bisa mengubah realitas, maka ubahlah cara pandangmu terhadap realitas itu. Asal kalimat tersebut adalah 'karena kita benar-benar tidak bisa mengubah realitas itu', jadi kita memanipulasi pemikiran agar ‘terlihat’ bahagia. Jadi kita akan pandai menyimpan kebahagiaan padahal sebetulnya tidak sama sekali.

Persoalan yang hampir dialami seluruh pemuda, lulusan perguruan tinggi, hingga orang-orang idealis selalu sama: menganggur yang pada akhirnya tidak punya uang meskipun hanya untuk makan sehari-hari; lalu tidak punya kawan yang bisa dimintai bantuan, hingga orang-orang yang awalnya dekat kemudian menjauh hingga tak tergapai. Dalam kondisi tertekan, kita akan melihat segala sesuatu sebagai penolakan. Kita hanya akan bisa mendekam diri di pojok kamar, menangis terisak, luka hati yang dalam seakan-akan tuhan tidak lagi menganggap kita ada.

Sebagai anak rantau yang hidup di kos, saya mengalami banyak masalah yang penyelesainnya harus menggunakan seluruh daya dan upaya yang saya miliki. Masalah tidak bisa makan berhari-hari adalah hal yang lumrah. Menjadi pengangguran yang memalukan, lalu kita seolah-olah berpakaian rapi dan menaiki sepeda motor keliling kota tanpa tujuan. Bahkan saya sempat googling, apa yang harus dilakukan oleh pemuda yang tidak punya pekerjaan? Tidak ada jawaban. Karena itu aku ingin membuat tulisan bagaimana cara bertahan dalam kesulitan yang paling menyakitkan dalam sejarah kehidupan kita.

Menjadi pengangguran dan tidak berguna dalam masyarakat adalah suatu proses. Banyak orang yang mengalaminya lalu menjadi gila dan tersungkur menjadi gelandangan. Tetapi banyak pula yang bangkit lagi yang akhirnya sukses. Beberapa cara dapat ditempuh ketika kita dalam kondisi tertekan :

Pertama, tetap berusaha dengan melakukan apapun yang mungkin. Kita harus melihat lagi bahwa setiap manusia punya kemampuan yang bisa dijual. Jika memang betul seseorang tidak memiliki kemampuan khusus, maka belajarlah. Cara belajar orang bisa berbeda-beda, paling mudah melalui Youtube atau dengan belajar kepada orang yang berpengalaman secara langsung. Jika kita berada di perantauan maka akan punya nilai plus karena kita tidak harus malu untuk melakukan pekerjaan apapun.

Ketika saya keliling Indonesia dan sampai di suatu tempat dengan kondisi keuangan mengenaskan, saya dengan malu-malu menemui orang yang berjualan. Di Palembang saya jualan sate, di Makassar saya jualan roti bakar dan nasi goreng. Caranya, tunggu sampai pemilik toko atau warung tersebut mau tutup lalu datangi. Jelaskan keinginan untuk bekerja dengan bayaran semampu pemilik warung. Jika gagal, cari warung lainnya, dan jika berhasil maka perut kalian akan terselamatkan untuk beberapa minggu ke depan.

Jika kalian ingin yang lebih fokus guna menyambung kehidupan, maka mintalah bekerja di bengkel-bengkel sepeda motor dan mobil. Atau di tempat reparasi televisi, computer, HP, dan kulkas, yang keilmuan itu bisa dimanfaatkan untuk membuka sendiri. Intinya, jangan malu dan jangan menyerah. Satu tempat tidak diterima, dipermalukan, atau diolok-olok, maka tempat lain mungkin ada yang terbuka. Tidak ada yang mudah untuk menjalani seuatu bagi orang miskin dan tidak diharapkan. Tapi kita harus membuktikan bahwa kita berhak sukses bukan?

Kedua, tirakat. Jangan manja dengan urusan perut. Perut bisa menunggu, tapi masa depan tidak. Kurus kering tidak masalah demi mendapatkan kegemukan di tahun-tahun berikutnya. Cara menghemat makan adalah dengan membeli krupuk mentah, minyak, dan heater. Jika tidak punya tetangga yang bisa dipinjam kompornya, maka heater bisa digunakan memasak nasi, masak mie instan, hingga goreng krupuk. Pengalaman saya ketika kelaparan, hanya terjadi pada jam-jam ‘sangat lapar’ sekitar 6 jam setelah makan. Tetapi setelah melewati masa kritis itu, maka 8 jam berikutnya biasa saja.

Kadang rasa lapar membuat kita gemetar, tidak kuat untuk melakukan apapun. Caranya dengan makan krupuk, lalu minum. Makan krupuk lagi, lalu minum. Orang miskin biasanya mampu bertahan dengan tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup. Kita juga harus bisa mengatur waktu jika memang hanya bisa makan sekali dalam sehari. Saya pernah mengalaminya bertahun-tahun ketika sekolah SMP-SMA dan kuliah dengan predikat sukses. Karena itu, saya yakin siapapun yang dalam masa kritis bisa bertahan dalam kondisi yang paling tidak bisa dibayangkan sekalipun.

Ketiga, jalin hubungan yang baik dengan setiap orang. Kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan menolong kita, dan siapa yang akan lari ketika kita mendapatkan kesulitan. Meskipun rata-rata orang yang mengalami nasib sial akan merasa bahwa orang-orang yang dulu ditolongnya malah berhampuran pergi. Karena itu menjalin hubungan baik degan setiap orang menjadi penting, baik di masa baik-baik saja ataupun di masa sulit. Seringnya, orang yang membantu kita saat kesulitan adalah orang-orang yang miskin, bukan orang yang kaya secara finansial. Hal ini bisa dibuktikan!

Hubungan yang baik juga bisa menjadi jalan keuangan. Jika memang kita memiliki kemampuan tertentu, maka kemampuan kita akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang memang sudah kita kenal. Misalnya saya berkemampuan dalam bidang jurnalistik, maka saya menawarkan hal itu kepada guru sekolah. Saya juga belajar dair Youtube bagaimana cara diklat kepemimpinan dan game-game yang biasa digunakan untuk diklat sekolah. Jika pun gratis tidak masalah asalkan akomodasi ditanggung. Jadi jangan mematok tariff mahal untuk teman sendiri.

Keempat, cari peluang kerja. Selain memanipulasi kebahagiaan diri sendiri, kita juga harus mencari kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan dunia ini bisa didapat, kebanyakan dengan memiliki materi yang cukup. Materi bisa segala sesuatu yang sifatnya duniawi, misalnya uang, makanan, perempuan, dan juga jabatan. Kita adalah manusia biasa yang sedang berjuang untuk menjadi manusia normal. Kita bukanlah rasul yang jika punya kesulitan bisa langsung mencurahkan hati kepada tuhan. Karena itu, saya sarankan untuk menggunakan jalan-jalan yang masuk akal untuk mendapatkan kebahagiaan yang real.

Bekerja merupakan satu bagian yang bisa menjadi sebab bagian-bagian yang lain. Pekerjaan membuat kita bisa merencanakan kehidupan selanjutnya. Tidak masalah bekerja untuk orang alias karyawan atau menjadi entrepreneur. Saya setuju keduanya, terutama entrepreneur. Yang tidak kusukai dari seorang entrepreneur adalah kecongkakannya yang membahayakan, yang kemana-mana selalu bicara : buat apa kita bekerja untuk orang lain, menjadi bos dari diri sendiri meskipun kecil, dan ucapan lainnya yang senada. Mereka seakan-akan merendahkan karyawan yang bergaji bulanan, bekerja untuk orang lain, dan tidak bisa menjalankan segala sesuatu seenaknya sendiri. Tidak masalah berusaha mandiri atau berusaha untuk orang lain. Selama niat kita baik, yang kita lakukan sesuai dengan tanggung jawab, menjadi apapun adalah sebuah keselamatan.

Kelima, berdoa. Sebagai orang beragama, hal terkhir ini adalah kunci pokok dari yang awal-awal. Jika kalian tidak percaya pada tuhan, ya terserah. Bagi saya, percaya pada suatu kekuatan besar di luar kendali kita adalah sebuah anugerah yang tidak ada duanya. Karena agama dan tuhan bisa menjadi jujugan imajinasi untuk persoalan yang pelik. Betapa banyak orang yang tidak bahagia, lalu berlabuh pada suatu dini hari untuk munajat dan mendapatkan kebahagiaan. Paling tidak, curhat kepada tuhan membuat kita lebih kuat keesokan harinya.

Jika anda memilih berdoa, maka fokuskan doa itu pada satu tujuan yang pasti. Jika ingin mendapat pekerjaan, maka berdoalah : ya tuhan, saya butuh pekerjaan untuk membahagiakan diri sendiri dan orang lain. Saya butuh pekerjaan untuk membuat orang-orang di sekitar saya tidak khawatir. Saya harus mendapat pekerjaan sehingga saya bisa mengandalkan-Mu untuk sesuatu yang tidak bisa saya pasrahkan pada manusia. Itulah doa saya ketika menjadi pengangguran. Dan memang, tuhan itu maha baik sehingga saya mendapatkan pekerjaan yang keren lalu saya menulis ini.