2016-02-27

Mantan


Ia menundukkan kepala. Di seberang meja dalam sebuah acara resmi. Senyumnya sesekali kepadaku. Ia adalah mantan kawanku, yang kini kawanku itu duduk di sebelahku. Kawanku ini sosok yang bagi sebagian besar perempuan, adalah lelaki keren. Wajahnya ganteng, puisinya jago, paling kinclong kalau sudah dandan. Tentunya, kemampuan otaknya membesar karena teman-temannya tidak sejago dirinya. Minunsnya hanya satu: dia sudah menikah.

Sementara perempuan di seberang meja adalah remaja centil yang digemesin banyak orang.  Entah bagaimana hubungan mereka itu tiba-tiba selesai. Karenanya, siang ini terjadi kecanggungan yang hendak ditepis dalam diam keduanya. Mereka berhasil, untung saja. Meskipun aku melihat isyarat-isyarat yang tak bisa dijelaskan. Sehingga tiba-tiba aku ingin bertanya pada mereka, bagaimana kita bisa berhadapan dengan mantan?

Menghadapi mantan, sebagian besar perempuan akan kesulitan, berbeda dengan lelaki. Karena seorang perempuan lebih bisa menghargai sebuah hubungan dibandingkan dengan lelaki. Lelaki melihat semua dari kacamata pragmatis –kesenangan sementara pun menjadi jujugan lelaki. Padahal perempuan menikmati hubungan sebagai sebuah kesenangan jangka panjang, yang kalau bisa, akan dibawanya hingga mati.

Klaim-klaim dalam tulisan ini tak terbantahkan bagi diriku sendiri. Kita akan melihat bagaimana perempuan ketika berbicara dengan temannya, menggunakan sentuhan, usapan, pelukan, dan bermacam gaya untuk menguatkan sebuah hubungan. Bahkan saat mereka berbicara banyak, curhat, meracau, itu adalah cara mereka menjalin hubungan. Hubungan bagi perempuan, adalah keniscayaan.

Lelaki, memiliki hubungan untuk sesuatu yang lebih janggal. Bersama kawan-kawannya, kebanyakan digunakan membahas sesuatu yang aneh, body seksi seorang wanita, lelucon seksual, kata-kata kotor, dan tertawa terbahak-bahak di sebuah warung kopi. Lelaki tak menggunakan sentuhan karena itu hal yang aneh. Ketika temannya curhat pun, kebanyakan lelaki akan diam, tertegun, dan langsung memberikan jalan keluar.

Dari dua sifat berbeda ini, seharusnya hubungan antar mantan akan sangat sulit bagi seorang perempuan. Meskipun kalau mau dibantah, ada-ada saja lelaki yang lebih terluka dibandingkan dengan perempuan saat putus cinta; atau ketemu mantan. Dari gambaran besar itu, saya ingin mengerucutkannya menjadi sebuah kesimpulan yang sebenarnya mendekonstruksi apa-apa yang ada di atas, yaitu kesakitan putus cinta dan kegalauan bertemu mantan, akan lebih berat dirasakan oleh salah seorang yang menaruh hubungannya sebagai ‘segalanya’.

Besar kecilnya rasa galau ini ditentukan dari konsep dirinya. Dalam konsep diri, kita diberikan clue, bahwa pandangan kita terhadap diri sendiri salah satunya karena bentukan lingkungan luar. Kekasih adalah lingkungan luar. Masalahnya, kekasih lebih sering dibela mati-matian dibandingkan keluarga  atau teman-teman lain. Ketika mendapat penolakan, kita akan rela meninggalkan semuanya demi kekasih.

Sehingga, ketika kekasih telah membentuk konsep diri kita sedemikian rupa, maka kita akan bergantung kepadanya. Tinggal menunggu waktu hingga kita sakit hati karena manusia berubah. Manusia yang tak berubah adalah batu. Karenanya, konsep diri dan penilaian tentang diri sendiri harus dibentuk dengan kesadaran. Sadar dengan kelebihan, kemampuan,: sadar dengan teman dan musuh: sadar dengan kondisi ekonomi dan sosial, maka konsep diri kita tidak akan berpengaruh terhadap ada tidaknya orang lain.

Dalam konsep diri ada komponen bernama harga diri atau self esteem. Harga diri juga bisa didapat dari orang lain. Misalnya perasaan dihargai, dipuji, dan dihormati. Bila kita dihargai sejak kecil, harga diri kita akan naik. Bila harga diri naik, maka kita akan hidup dalam kepoisitifan; bahagia dan menyenangkan. Hal itu berbeda saat kita hidup dalam kecemburuan dan dibenci orang orang lain. Kita akan murung, mudah marah, penuh aura negatif, dan hidup tidak bahagia. Nah masalahnya, kepada siapa kita meletakkan harga diri itu? Jika kita meletakkan harga diri dan penilaian pada pasangan, maka kita akan celaka. Khususnya saat pasangan sudah menjadi mantan.

Begitulah, bagaimanapun lelaki dan perempuan berhubungan, siapa yang paling besar terpengaruh dengan hubungan itu, akan menjadi orang yang paling tertekan. Karena itu, meskipun kita sudah memiliki kekasih, hiduplah untuk sesuatu yang lebih besar. Tidak bisa kita memutuskan tujuan bahagia kita adalah kekasih itu sendiri. Kekasih adalah teman seperjuangan menuju kebahagiaan. Bila kebahagiaan tidak dapat diraih bersama kekasih, maka berpisah adalah jalan terbaik.

Nah, bagaimana saat kita bertemu mantan? Cobalah percaya diri, bahwa kelebihanmu tidak ditarik seluruhnya oleh dia. Kita masih punya semiliar pesona untuk mendapatkan kekasih baru. Kita masih punya sejuta kesempatan bahagia bersama siapapun. Asalkan kita bahagia, apa saja patut dipertaruhkan. Maka, bye bye mantan.

2016-02-12

Menjadi Jurnalis, Ulasan Film: Spotlight


Jarang sekali kita melihat seorang jurnalis bekerja. Sebagai orang awam, biasanya kita hanya melihat sekilas-sekilias, lalu tiba-tiba keesokan harinya sudah ada berita. Kita tak faham bagaimana para jurnalis mulai mencari dan mengumpulkan data, lalu mengolahnya hingga menjadi sebuah news yang biasa kita konsumsi sebagai sebuah kebutuhan.

Dalam film berjudul Spotlight, kita dapat melihat hal itu. Bahkan bagi seorang wartawan pun, film spotlight mampu memberikan wawasan teknik mencari berita yang keren. Tentunya, sangat sulit melihat kualitas jurnalis sebagaimana yang ada dalam film tersebut, khususnya di Indonesia. Apalagi melihat jurnalis lokal yang cenderung terpuaskan dengan berita yang sudah ada, semacam rilis kepolisian, ataupun jumpa pers dari tokoh dan kegiatan.

Mungkin orang yang tidak pernah menjadi wartawan akan biasa saja dalam menangkap film ini. Spotlight hanya akan menjadi sebuah film yang mengesankan. Tapi bagi seorang jurnalis di Indonesia, Spotlight akan menjadi sebuah tuntunan. Terutama memang, bagi media investigasi yang membutuhkan waktu dalam mengolah isu menjadi manis. Tapi bagi media harian, apa yang dilakukan tim Spotlight akan sulit dilakukan –meskipun tidak ada hal yang tidak mungkin.

Kisah dalam film ini bermula saat Marty Baron (Liev Schreiber) mengambil alih posisi semacam Pimpinan Redaksi di The Boston Globe. Sebagai pimpinan baru di redaksi, Baron kemudian mengumpulkan masing-masing kepala bagian liputan. Mereka saling berkenalan, kemudian memaparkan “apa yang sedang dikerjakan”. Di sanalah Baron menelisik suatu persoalan yang tidak diangkat oleh redaksi menjadi sebuah berita.

Tim Spotlight awalnya menyelesaikan kasus proyek konstruksi yang buruk. Kemudian tinggal satu minggu investigasi, mereka tampaknya dapat menyelesaikan kasus manipulasi di kepolisian. Saat pertemuan redaksi dengan Pimrednya yang baru ini, Baron melihat ada kasus yang sudah pernah ditulis 2 kali, tapi kemudian hilang ditelan kelindan perkotaan Boston.

Keputusan pertama diambil oleh Baron, ia ingin agar The Boston Globe sebagai koran lokal, mengangkat kasus pencabulan yang dilakukan oleh Pastur. Karena beberapa waktu sebelumnya, ada seorang penulis kolom yang membahas tentang itu. Kuncinya sudah dipegang, ada seorang lawyer yang bisa memiliki bukti bahwa kejadian itu ada, dan seorang Kardinal mengetahuinya.

Ketika semua jurnalis sekelas editor itu kebingungan, Baron memberikan gambaran : aku tidak tahu hukum di sini, tapi bila di Florida, aku akan mulai dari pengadilan. Maka di sanalah seluruh cerita ini berjalan. Hampir pasti, drama yang diperankan Liev sebagai Baron ini memukau. Ia selayaknya seperti pimpinan Tempo yang ‘hanya’ jalan ke sana kemarin bertemu dengan para pimpinan kota, koordinasi, mencari dukungan, menekankan superioritas, dengan bahasa-bahasa yang halus.

Sementara anak buahnya, bekerja sesuai kapasitasnya; datang ke pengadilan, menemui lawyer para korban cabul yang mengetahui kasus ini, hingga menghubungi seorang peneliti pencabulan yang dilakukan oleh pastur di seluruh negeri. Oya, Baron sebagai Pimred, juga sudah melakukan silaturahim ke sang Kardinal Law, head to head, pimpinan media langsung ke pusat kekuasaan gereja. Sebagai seorang jurnalis yang agak-agak tahu, aku tersenyum dengan plotting yang dilakukan oleh penulis skenarionya: Josh Singer dan Tom McCarthy, ia seperti tahu apa yang harus dilakukan.

Salah satu sosok yang kuat dalam film ini adalah Michael Rezendes yang diperankan oleh Mark Ruffalo. Aksi pertamanya adalah saat ia harus menemui lawyer para korban cabul. Ia sebagaimana reporter lainnya yang tidak tahu siapa narasumbernya, datang ke kantor, tanya ke asisten, lalu disuruh menunggu. Saat ada orang keluar dari ruangan sang pimpinan, Rezendes berdiri, bertanya kepada sang asisten, “apakah dia orangnya?”. Saya yakin, semua jurnalis bisa merasakan bagaimana menjadi dirinya.

Dan ternyata tidak, si asisten mengejar orang yang baru keluar itu. Kosonglah kantornya. Rezendes kebingungan. Akhirnya ia langsung mengetuk dan membuka ruang sang Lawyer, Garabedian –yang temperamen, tidak suka berteman, dan awut-awutan. Tentu saja, Renzendes langsung akan diusir keluar. Tapi sebagai jurnalis handal, ia memiliki alibi, alasan, berbagai komunikasi yang menarik agar si narasumber mau ditemui. Kalau wartawan lokal, akan laporan ke Pimred : wah, saya diusir, dia nggak mau diwawancara.

Mungkin yang menarik dari film ini adalah pelajaran yang didapatkan dari peran yang dimainkan para jurnalis ini sendiri. Meskipun kalau digeneralisir, setiap persoalan yang tertutup rapat membawa permasalahan di dalam internalnya. Dan itulah makanan empuk dari media massa zaman ini. Masalahnya, terlalu banyak wartawan bodrek dan kepala-kepala dinas yang mau-mau saja dipermainkan oleh wartawan bodrek.

2016-02-01

Ulasan Buku: Dilan


Dalam dua malam, aku sudah menyelesaikan dua novel terbaik milik Pidi Baiq, Dilan 1990 dan Dilan 1991. Selesai membaca Dilan 1990, hatiku berbunga-bunga, ikut senang, bangga, dan menatap masa depan cerah. Dan selesai membaca Dilan 1991, hatiku terluka, sakit, batuk, flu, mimisan, gigi berlubang, panas dalam, disebabkan dua tokoh utama putus.

Begitulah, seringnya novel begitu mudah masuk dalam emosi pembacanya. Karena dengan membaca, seluruh imajinasi kita akan bermain. Bahkan bisa jadi, imajinasi kita lebih bagus dari pada apa yang tertulis dalam novel itu. Meskipun, bisa jadi sebaliknya. Dengan begitu, saya harus percaya bahwa dengan membaca novel Dilan 1990, mood dapat meningkat, dan kebahagiaan juga akan meningkat.

Sementara ketika membaca Dilan 1991, kita akan terpuruk dan mungkin saja mempengaruhi ketidakbahagiaan di dunia ini. Memang awalnya aku akan menyangka bahwa dua tokoh ini akan putus. Karena di awal novel, sudah diketahui bila kisah yang diceritakan hanyalah masa lalu. Dilan adalah masa lalu bagi Milea. Dan Milea menulis novel diary ini dalam posisi sudah menikah dan tinggal di Jakarta, yang katanya sudah mandi.

Satu hal yang harus kubenci adalah, kenapa Dilan harus keren, dan Milea harus cantik. Karena dua hal ini sangat sulit ditemukan di dunia ini. Di akhir cerita, memang Milea mengakui bahwa kisah mereka adalah kisah yang terlalu hebat untuk menjadi kenyataan. Memang begitulah adanya. Seperti sinetron, lelaki sebagai tokoh utama adalah sosok keren yang menjadi rebutan pembaca, lalu tokoh utama perempuan adalah sosok cantik kece yang menjadi rebutan lelaki dalam novel.

Bagiku, Pidi Baiq terlalu mainstream dalam menggambarkan tokohnya. Meskipun tetap saja, kisahnya asyik dan berbeda dengan novel pada umumnya. Dilan yang konyol, cerdas, dang geng motor. Lalu Milea yang sangat cantik, biasa saja, dan anak rumahan. Bisa membayangkan bukan bagaimana kisah mereka? Sangat 1990-an. Dilan disulap oleh Pidi menjadi sosok yang tak pernah menjemukan bagi Milea.

Bayangkan, bagaimana Dilan pertama kali menemukan Milea yang cantik, harus meminta doa ke Bundanya supaya berhasil. Kemudian menyapa Milea yang tengah berjalan menuju sekolah: “Milea ya? Boleh aku meramalmu? kita akan bertemu di kantin sekolah siang nanti”. Setelah gagal, Dilan mengirim surat lagi “Maaf ramalanku gagal, tapi aku akan meramal lagi, besok kita akan ketemu,”. Dan besok di dalam surat itu, adalah Hari Minggu.

Kisah lainnya, di Hari Minggu itu, Dilan mengirim surat undang kepada Milea. Tulisannya, mengundang si cantik untuk sekolah pada hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Sabtu, dengan tanda tangan pengundang adalah Kepala Sekolah. Belum lagi ketika Dilan mengirimkan surat cinta tapi dialamatkan kepada Ibu RT tempat tinggalnya Milea. Mengirimkan coklat lewat loper koran dan petugas PLN, serta mengirimi hadiah ulang tahun berupa TTS yang sudah diisi semua oleh Dilan.

Saya yakin, sebagaimana yang dirasakan Milea, seluruh perempuan di dunia ini akan terkesima, tersipu, dan merasa paling istimewa jika diperlakukan seperti itu. Dilan betul-betul menjadi panglima perang bagi Milea. Ia menjadi pelindung paling istimewa baginya. Dilan berkata: jika ada yang mengganggumu, nanti besok dia akan hilang. Atau kata Dilan : bila aku tidak menghubungimu, ketahuilah bahwa aku memperhatikan sekelilingmu untuk keselamatanmu.

Bagi Milea, Dilan adalah segalanya. Dalam Dilan 1990, hal ini sangat kerasa. Mungkin yang tidak disadari oleh Pidi, Dilan adalah representasi dari Pidi sendiri. Atau bukan sekedar Dilan itu, tetapi sifat mengejutkan dan menyenangkan dari Dilan, adalah representasi dari penulis. Kalau kita teliti, sifat Dilan bukan hanya ia miliki sendiri, tapi juga dimiliki oleh mamanya, dan adiknya yang bernama Disa.

Tentunya kita masih ingat saat Milea bertanya nama lengkap adiknya Dilan ini. Disa menjawab, Disaaa, dan nama lebih panjangnya adalah Disaaaaaaaa!. Demikian pula saat beberapa kali percakapan dilakukan antara Milea dan ibunya Dilan. Misalnya, Ibu DIlan saat marah harus meminta waktu kepada Dilan. Kalau sudah sama-sama siap, barulah ibunya bisa marah. Atau kisah lain yang saya lupa.

Namun marilah meninggalkan itu semua. Kembali kepada Milea dan Dilan yang memiliki hubungan yang romantis, manis, dan berubah miris sejak 1991. Sebagai seorang pacar, Milea menjadi perempuan pada umumnya. Meskipun mengerti apa yang dilakukannya, Milea tetap seorang perempuan. Ia menjadi pengatur, pencegah, pemarah, merajuk, dan sekian sikap wanita yang menjengkelkan hanya karena merasa memiliki.

Keretakan hubungan mereka bermula dari keinginan Milea mencegah Dilan yang hendak berperang dengan geng motornya ini. Berulang kali Milea menyegahnya meskipun awalnya Dilan menurut. Di sinilah letak kelemahan seorang lelaki. Saat membaca, saya menjadi sangat faham kegelisahan yang dirasakan Dilan. Saat ia sebagai panglima tempur bagi berandalannya, harus takluk dengan rengekan perempuan, meskipun si perempuan itu adalah pacarnya.

Dan memang akhirnya, tujuan pacaran adalah untuk putus. Bisa karena menikah, bisa karena berpisah. Begitulah kata Pidi yang diungkapkan lewat Dilan. Akhirnya mereka putus. Milea sedih, Dilan susah, dan pembaca kehilangan kebahagiaan.