2015-04-23

50 Jam Kebosanan


Pisang epek di Vietnam seharga 20.000 Dong
Seseorang, bagaimanapun akan mengalami salah satu kebosanan yang paling akut dalam hidupnya. Bisa jadi, kebosanan tersebut adalah memiliki pasangan yang sejatinya tidak pernah kita ingini. Atau yang lebih mudah adalah bosan menunggu seseorang yang mengacaukan waktumu yang tertata. Karena kebosanan, sama dengan kesedihan atau kesenangan, pasti akan dirasakan oleh setiap orang.

Mengenai kebosanan yang akan saya ceritakan, adalah sungguh kebosanan yang memuakkan, menyakitkan, melelahkan, dan segala jenis ketidakenakan bisa dialamatkan pada 50 jam kebosanan ini. Dan untungnya, bila bisa dikatakan demikian, aku pernah terlatih dengan beberapa kali kebosanan yang hampir mendekatinya. Namun itu cerita lain lagi –diakhir cerita saja.

50 jam kebosanan ini berhubungan dengan perjalanan dan bus. Sudah mulai bisa membayangkannya? 50 jam di dalam sleeper bus yang –katanya- hanya membutuhkan waktu 36 saja. Ini adalah perjalanan dari Hano ke Ho Chi Min City yang kedua tersebut masih berada di negara Vietnam. Hanoy adalah ibu kotanya, dan Ho Chi Min City atau menurut penduduk lokal disebut Saigon, adalah kota terbesar di Vietnam.

Katanya di internet-internet, perjalanan Hanoi (Vietnam) – Vientiane (Laos) adalah perjalanan neraka. Namun rupanya, ada yang lebih neraka dari itu, yaitu 50 jam perjalanan ini. Seharusnya memang, menurut referensi, pengalaman, dan janji travel agen, perjalanan adalah 30-36 jam. Namun kenyataan menjadi 50 jam rupanya membawa dampak psikologis tersendiri bagi saya yang mengalaminya.

Jika kita menggunakan satu bus saja dari Hanoi ke Saigon, saya kira tidak menjadi masalah karena kita bisa menyiapkan diri untuk tidur sepanjang 2 hari 2 malam. Namun tidak disangka, rupanya kita masih harus turun beberapa kali, yang dua kalinya adalah berganti bus. Kernet dan supir busnya pun tidak bisa memberikan penjelasan yang bagus bahwa berapa kali harus berganti bus, dan di mana saja akan berhenti. Di sinilah bahasa universal menjadi sangat amat penting.

Saya sebagai penumpang menjadi tidak merasa nyaman. Setiap bus berhenti di rumah makan atau toilet umum, saya terbangun untuk mendengar setiap suara yang ada. Apakah ada suara dalam bahasa inggris pas-pasan yang memerintahkan penumpang harus turun? Atau tidak ada suara sama sekali sehingga saya bisa lanjut tidur.

Karena setelah sampai di Hue (salah satu daerah antara Hanoi dan Saigon), salah seorang kernet bicara keras-keras bahwa Who go to Ho Chi Min stay in the bus, Hue come down. Saya tetap stay cool di bus sambil merubah selimut untuk lanjut tidur. Beberapa detik kemudian, orang lain lagi teriak-teriak bahwa everyone must go down. Yaelah pak dhe, nggak konsisten banget sih.

Kita akhirnya harus turun dari bus pukul 08.00 saat mata baru buka lalu diharuskan menunggu bus selanjutnya selama lima jam tanpa naungan. Menunggu, lagi-lagi menunggu yang pasti diasosiasikan dengan kebosanan. Kebosanan semakin menjengkelkan. Setelah mendapatkan bus pada pukul 13.30 waktu setempat, busnya tidak memiliki kondisi normal sebagaimana bus yang awal. Kembali lagi, kisah menjengkelkan harus dilalu dengan bus ini. Perjalanan masih jauh.

Kebosanan ini untungnya berakhir di Saigon pukul 21.00. Kami semua turun di samping Taman Le Loi yang terletak di Distrik 1 Ho Chi Min City. Rupanya, seluruh tempat wisata berada di Distrik 1 sehingga ini memudahkan kami semua untuk mendapatkan penginapan. Saking lamanya di dalam bus, dalam tidur pun saya merasa sedang perjalanan.

di depan jam dunia yang ada di dalam kantor pos ho chi min city
Kepala bergoyang-goyang, badan berhantaman ke sana kemari, dan kegelisahan melanda hati. Setelah terjaga, berulah saya sadar bahwa telah berada di penginapan yang nyaman di sekitaran Taman Le Loi. Keesokan harinya, petualangan yang baru dimulai. Dari Gedung Tua, Gereja, hingga Saigon River.

2015-04-22

Raja dan Biksu di Thailand


for monk only
Setiap pukul 06.00 dan 08.00 waktu setempat di Thailand, akan ada moment saat semua orang berhenti beraktifitas. Yang lari di taman berhenti. Yang menyajikan makanan berhenti. Yang sedang ke kamar mandi juga berhenti. Hening.

Biasanya, di setiap daerah (atau negara) akan kita temui orang yang sangat dihormati. Dan di thailand, sosok yang sangat di hormati adalah keluarga kerajaan thailand. Mulai dari rajanya, permaisuri, dan anak-anaknya. Sehingga sangat mudah kita temui di sudut negara thailand, akan banyak bertebaran foto keluarga kerajaan yang didekorasi sedemikan rupa.

Meskipun hanya beberapa hari di thailand, bisa kusimpulkan bahwa penghormatan kepada raja thailand adalah mutlak. Katanya, setiap nonton bioskop di Thailand, menit pertama kita akan diajak untuk berdiri karena diputarnya lagu untuk kemuliaan raja. Keluarga kerajaan ini, mungkin dianggap sebagai penyelamat bangsa atau lebih lagi, simbol tertinggi agama setempat. Sehingga penghormatan kepadanya seringkali –bagiku- berlebihan.

Mendapati pemandangan seperti itu, kita akan kikuk karena apa yang mereka sangat hormati itu, tidak pernah kita hormati juga. Jadilah aku menghormati orang yang sedang berdiri menghormati sang raja. Ini semacam toleransi dalam kehidupan sosial. Karena ketika semua orang sedang berdiri, lalu aku sendirian duduk, betapa tidak bersosialnya diriku.

Dan semasa di thailand ini, aku sangat menunggu saat di mana aku bisa mengambil foto yang menunjukkan mereka berdiri secara keseluruhan. Ketika di Taman Lumpini (Lumphini Park), ratusan orang yang sedang berlari sore, dan ratusan lainnya sedang senam di taman dalam beberapa kelompok, serentak berhenti tenang.

Begitu pula ketika berada di Terminal 2 Phuket, orang-orang berhenti bertransaksi ketika pukul 06.00 sore dan diputar sebuah lagu yang tidak kutahu artinya. Baik di lumpini maupun di terminalphuket ini, ketika kuambil foto, tidak tampak bahwa mereka sedang melakukan penghormatan khusus tersebut.

Dengan kekecewaan, aku selalu berharap menemukan moment tersebut. Hingga kemudian, saat berada di terminal terbesar di Bangkok, yaitu Terminal Mo Chit (1 km dari Chatutak Market), aku menemukan moment itu. Ketika ribuan orang duduk di terminal menunggu kedatangan dan keberangkatan bus, tiba-tiba terdengar aba-aba sebuah lagu kebangsaan dari speaker.

Sotomatis mereka berdiri dan aku bersama beberapa teman gelagapan. Antara berdiri dan tidak, akhirnya aku berdiri dengan cepat-cepat mengambil kamera. Beberapa jepretan secara ngawur tidak bagus, namun setelah dibandingkan dengan foto setelah mereka duduk, hasil yang memuaskan pun tampak. Lumayan lah. Ini akan menjadi moment yang luar biasa bila orang luar seperti kita, mendapatkan moment tersebut.

Selain penghormatan kepada Raja Thailand, penghormatan lainnya juga tampak pada para biksu budha. Di beberapa terminal dan stasiun kereta api, ada tempat duduk khusus untuk para biksu. Jadi ketika orang keroyokan duduk di terminal atau stasiun, para biksu masih akan selalu punya tempat duduk untuk menunggu kedatangan kereta atau bus.

Biksu di Thailand, ternyata juga melakukan perjalanan ke mana-mana sebagaimana manusia lainnya. Selama ini, kukira bahwa seorang biksu hanya melakukan peribadatan di kuil-kuil dan candi-candi. Mereka hanya melayani masyarakat untuk menyalurkan doa kepada sang budha. Namun hal itu salah karena di mana-mana, kita bisa melihat biksu berjalan ke mall, ke tempat wisata, dan di berbagai kendaraan umum.

Salah satu biksu yang kutemui di kendaraan umum pernah mengajakku mengobrol. Aku selalu bilang bahwa aku tidak bisa bahasa thailand karena aku orang Indonesia. Setelah lima belas menit ngomong kemudian, dia baru bilang : o, indonesia. Ya ya, terimakasih!. Lalu kami tertawa. Ia memberiku kue yang dibelinya di pasar, kue yang kalau di jawa di sebut apem. Dan kami melanjutkan perjalanan dari Ayyuthaya ke Bangkok tanpa sepatah katapun.

2015-04-15

Songkran

Festival Songkran : Jalanan dipenuhi warga yang saling siram.

Air bagi kebanyakan orang adalah sesuatu yang menghidupkan. Bahkan untuk agama saya, kata Tuhan, dari airlah segala sesuatu yang hidup berasal. Sedangkan bagi masyarakat Thailand, air menjadi sesuatu yang menyucikan, khususnya dalam tahun baru dalam bangsa itu : Songkran.

Di belahan dunia lain, orang merayakan tahun baru dengan kembang api dan petasan, dan bangsa Thailand merayakannya dengan air. Air adalah sebuah tanda untuk menyucikan manusia dari dosa-dosanya. Maka dari itulah, di jalanan orang-orang melakukan peperangan dengan amunisi air yang bisa didapat disetiap sudut kota (spesially Chiang Mai).

Tidak dapat dibayangkan bagaimana seseorang yang sedang bepergian di jalanan lalu tiba-tiba di guyur dengan air. Tidak ada yang akan marah, dan memang tidak boleh marah. Karena tahun baru thailand memang ditandai dengan “pesta” perang air. Di jalanan mereka menyiapkan ember dan pompa air untuk me”nyemprot” orang-orang yang lalu lalang dengan kegembiraan yang khas.

Khas karena semua orang di dunia akan berbahagia menyambut datangnya tahun baru, atau lebaran menurut saya. Tradisi yang mengikutinya pun harus disambut dengan hangat dan tanpa beban. Di jawa misalnya, orang miskin pun tetap membuat ketupat pada hari ke tujuh bulan Syawal. Padahal hal itu murni tradisi yang dinisbatkan dengan beberapa ajaran agama islam.

Kekuatan Songkran (Water Festival) memang menarik magnet tersendiri untuk para turis. Bagaimana tidak, kapan lagi kita bisa menyemprotkan air seenaknya kepada siapapun tanpa emosi dan bahkan saling merekatkan. Bahkan jika seseorang disemprot dengan air, maka orang yang disemprot akan tertawa dan membalasnya dengan lebih ganas.

Anehnya, ketika aku berjalan di Chiang Mai (salah satu kota di Thailand Utara), orang-orang segan menyemprotkan air kepadaku karena aku tampak tidak berdosa. Mungkin masyarakat thailand mampu mengetahui mana orang berdosa dan tidak sehingga air yang disemportkan juga pilih kasih (yang ini ngaco).

Mereka tidak menyemprotkan air kepadaku, tampaknya, karena pakaianku masih kering. Namun memang tidak membutuhkan waktu lama untuk basah kuyup karena air seperti tumpah. Di mana-mana orang menyemprotkan air. Entah melalui tembakan air, gayung, dan ember. Semua alat yang bisa dibuat menyemprotkan difungsikan sehingga tidak akan ada orang kering lagii di jalanan Chiang Mai.

Untungnya sebelum keluar, saya membawa kresek putih untuk membungkus kamera. Kamera alhamdulillah tetap aman namun kesulitan mendapatkan moment karena air berada di mana-mana. Dan konon, barang elektronik tidak cocok dengan air. Kalau seusai perhitungan kalender jawa, elektronik dan air memang tidak jodoh. Maka dari itu, malas sekali saya harus mengeluarkan kamera, namun kita akan kehilangan moment jika tidak mengambil gambar. Lihat, betapa sulitnya posisi seperti ini.

Dalam kesempatan seperti ini, yang paling diuntungkan adalah penjual pistol air. Satu pistol air kecil bisa seharga 50 Bath, dan pistol yang besar menjadi 200 Bath. Namun setahun sekali bagi warga Thailand bukanlah apa-apa. Memang beberapa hari sebelumnya, sejak dari Hatyai, Phuket, Bangkok, hingga Chiang Mai, penjual pistol air sudah meraja lela. Persis dengan penjual petasan dan kembang api saat lebaran di Indonesia.

Ada yang lebih heboh lagi. Yaitu saat setiap foreigner ikut ambil bagian dalam perayaan songkran ini. Mereka tampak berbahagia dengan membawa pistol air berukuran besar yang bisa menyemprotkan air dari ujung jalan ke ujungnya. Mereka yang sudah dasarnya seksi, plus pakai pakaian minim, dan basah, tentu saja semakin ehem ehem. Bukan saja orang bule yang ehem ehem, namun orang China, dan gadis-gadis thailand yang hanya mengenal pakaian minim lalu berlarian untuk saling menembakkan air menambah cair suasana di siang panas waktu itu.

Bisa dilihat bahwa semua orang tahiland lebih suka menembak ke orang bule dan pendatang dari pada menyemproti orang thailand sendiri. Dan apesnya (atau untungnya) dua teman backpackerku adalah gadis berjilbab khas orang PKS. Karena paling aneh diantara yang datang, mereka menjadi sasaran empuk oleh tembakan air, guyuran gayung, dan bahkan dikejar oleh beberapa orang hanya untuk menumpahkan air.

Lagaknya, menyemprot air ke pendatang lebih bermartabat dari pada menyemprot orang thailand sendiri. Dan itu hampir dilakukan oleh semua orang yang ada di sepanjang jalan. Padahal sebenarnya, diri ingin ke Kanal Chiang Mai yang katanya lebih ramai karena dekat dengan air. Namun pesta air di jalanan sudah sedemian liarnya sehingga tidak bisa lagi menantang bahaya ke lokasi yang bisa membuat kami tersesat.

Di beberapa titik, kita akan mendapati adanya air yang lebih dingin dibandingkan dengan air lainnya. Waktu itu saya percaya bahwa air di Chiang May memang dingin sekali sebagaimana di Batu-Malang. Namun setelah berjalan cukup jauh, rupanya banyak orang yang berjualan es batu di pinggir jalan untuk dicampur di dalam air sehingga menimbulkan sensasi yang luar biasa bagi yang terkena air tersebut.

Bisa dibayangkan, air es menimpuk tubuh kita di jalanan. Kulit yang tadinya kering bisa langsung keriput. Dingin yang brrr membuat kita semakin bersemangat, apalagi di beberapa titik sepanjang jalan ini terdapat beberapa panggung hiburan. Ada yang memang penarinya cantik dan bohay, dan ada yang penari-penari yang terdiri dari orang laki-laki tapi perempuan, atau perempuan tapi laki-laki. Tahulah, ladyboy.

2015-04-10

Modus Penipuan di Thailand


Lumphini Park
Di Taman Lumphini sore itu, orang –orang sibuk dengan jogging. Ada kira-kira ratusan orang yang berlarian pada jogging track yang telah disediakan, dengan kerimbunan pohon yang menaungi setiap langkah. Tiga kelompok lainnya melakukan senam sore dengan peserta beragam: kakek-nenek, orang dewasa, dan remaja (yang mempesona).

Saat foto-foto di taman, datang satu keluarga yang mengaku dari Dubai. Pertama dia tanya kepada kami tentang makanan halal di sekitar Taman Lumphini. Tentu saja kami tidak tahu sembari mengatakan bahwa kami dari Indonesia. Seketika itu, mereka menyebut Jakarta, dan bilang bahwa mereka akan ke Jakarta besok. Sok tidak tahu, mereka bertanya apakah kami punya uang rupiah karena belum pernah melihatnya.

Aku menunjukkan uang 10 ribu rupiah dari dalam dompet. Karena uang dolar yang kumiliki tidak banyak yang kubawa, si bapak-bapak Dubai ini tidak begitu tertarik. Namun saat temanku menunjukkan uang 100 ribu dari dalam dompet, dan sekilas uang ratusan dolar ada di dalamnya, mata si Bapak langsung berubah.

Bapak-bapak Dubai langsung merebut dolar milik temanku sambil menghitungnya terus menerus. Dalam beberapa detik, anak si Bapak-bapak dubai ini mendekatiku dan bertanya beberapa hal khusus kepadaku, si Istri dari bapak-bapak ini merangsek ke dua orang temanku dan juga bertanya beberapa hal khusus. Tinggallah temanku face to face dengan Bapak-bapak Dubai, namun ia segera merebut uangnya kembali dan memasukkannya ke dompet.

Kami tidak sadar dengan apa yang terjadi dan tidak berani menaruh curiga kepada keluarga Dubai ini. Sungguh memang kami sangat sangat curiga kepada orang asing karena sudah ada beberapa peringatan di internet. Namun sebagai orang Indonesia, kita masih memiliki anggapan bahwa muslim dari timur tengah tentu memiliki nilai keislaman lebih baik. Jadilah kami husnudzon saja.

Apalagi waktu itu kami disibukkan dengan mencari bus untuk menuju ke Jalan Khaosan. Karena bus di Thailand tampaknya tidka memiliki rute yang sama dengan bus di Indonesia. Di Surabaya misalnya, kalau menuju ke lokasi A, B, atau C, kita harus naik angkutan berawarna MERAH, maka nanti sekembalinya juga harus mencari angkot MERAH karena pasti akan melewati lokasi A, B, atau C.

Nah di Thailand, ternyata untuk menuju lokasi A, B, atau C dari lokasi Z misalnya, tidak menggunakan angkutan yang sama ketika kita dari lokasi A hendak ke Z lagi. Alhasil kita harus mencari-cari shuttle bus (Bus Stop) yang menyediakan bus bernomor khusus untuk menuju ke lokasi awal. Kasi kesulitan. Apalagi di jalanan seperti itu, orang yang memiliki kemampuan bahasa inggris pastinya susah ditemukan.

Setelah berhasil menemukan bus dan sampai di Hostel, pikiran agak lega namun perut meronta-ronta. Kami membeli beberapa makanan murah, dan makan sepuasnya. Saat duduk-duduk santai itulah, kami mulai menghitung pengeluaran dan temanku menghitung uang dolarnya. Sungguh, betapa kagetnya dia saat mengetahui uang 300 dolar miliknya telah hilang entah kemana. Ia membawa 700 dolar dan saat ini tersisa 400 dolar di dompetnya.

Saat kami bercerita mengenai orang Dubai ini, kecurigaan semakin menjadi-jadi. Saya sebelumnya pernah membaca mengenai kemampuan khusus seseorang untuk memainkan tangannya dengan cepat, lalu menghasilkan seni sulap. Kemungkinan, keluarga Dubai ini punya keahlian seperti itu. Karena caranya persis dengan pengalihperhatian korban, dan menyelipkan uang itu sedemian cepatnya. Apalagi, anak dan istrinya juga ikut mengalihkan perhatian kami dengan mengajak ngobrol secara khusus.

Namun waktu itu saya benar-benar tidak percaya dengan kemampuan orang Dubai ini mencuri uang 300 dolar dengan super cepat. Jadi saat teman-temanku ikut merasakan kesedihannya, aku hanya merenung dan merasa sedih seadanya. Karena mungkin saja temanku bohong. Untuk orang yang rasional seperti saya, hal itu tidak mungkin terjadi. Maka dari itu aku tetap saja tidak percaya.

Berulang

Kenyataannya, setelah temanku yang kehilangan uang ini pulang karena merasa tidak sanggup melanjutkan perjalanan dengan uang yang lebih minim. Akhirnya saya melakukan perjalanan lanjutan dengan dua orang lainnya. Tiga minggu kemudian, saat aku kembali ke Thailand –tepatnya di Terminal 21, ada dua orang Bapak-Ibu yang menyapa dan bertanya lokasi Mc Donald. Kami tentu saja tidak tahu dan tidak mau tahu karena kami langsung mau pergi.

Lalu dua orang ini bertanya kami dari mana, dan kami jawab kami dari Indonesia. Perlahan kecurigaan kami menguat. Karena pertanyaannya sama persis dengan apa yang terjadi beberapa waktu lalu di Lumphini Park. Mereka mulai berkata tentang Jakarta, dan aku tersenyum kepada dua temanku –hampir terpingkal.

Saat kami hendak meninggalkan saja orang ini, mereka langsung ingin tahu apakah kami punya uang rupiah karena mereka ingin tahu. Jadilah aku semakin curiga, karena modusnya persis. Sayangnya saya dan teman tidak punya banyak waktu sehingga kami langsung pergi saja. Oya, mereka berdua ini mengaku dari Arab Saudi. Karena entah kebetulan atau tidak, wajah seluruh penipu ini memilih face orang timur tengah.

2015-04-08

Backpacker Berjilbab


2 Jilbab Backpacker di Phuket
Melakukan backpacker bukanlah melulu pekerjaan orang kaya dan atau orang yang hobi dengan kesederhanaan. Sejak memiliki cita-cita ke luar negeri pada jaman kuliah dulu, memang yang kulihat para backpacker adalah orang yang modis dengan dandanan khas. Kalau boleh lebih tegas, biasanya dilakukan oleh orang yang sulit menjalankan agama islam secara baik.

Namun dalam perjalananku yang pertama ini, tiga orang berjilbab ikut rombongan dengan diet keagamaan yang lumayan ketat. Diet keagamaan ini adalah melakukan shalat lima waktu dengan tertib, menggunakan jilbab (lebar) dengan tas carrier ukuran 50+5 Liter, plus salah satu teman rombongan harus puasa seharian.

Memang mungkin agak dungu kalau saya tidak tahu bahwa sudah banyak jilbab backpacker yang menjelajahi negara ini. Namun saya tidak benar-benar melihatnya sehingga membuat sangsi. Kali ini, mereka benar-benar ada dan agaknya aku berharap betul bahwa mereka akan menunjukkan kualitas kemuslimahannya. Karena aku butuh bukti, aku butuh keteguhan itu sendiri, untuk membuatku percaya bahwa orang yang hendak menjalankan ibadah wajib tidak akan terhalang suatu apapun.

Tiga orang ini, dua orang adik kakak perempuan asli Makassar yang irit bicara dan hanya senyum-senyum sebagaimana perempuan berjilbab lain yang kukenal. Namanya Virna Shaleh dan Hartatik. Sekali dua kali mereka berbicara berdua, dan hanya ngobrol denganku ketika ditanya saja. Seorang lagi adalah ibu-ibu yang lebih terbuka, berpengalaman, dan tampaknya membimbing mereka dengan baik, bernama Farida.

Gara-gara mereka inilah, aku merasa bahwa perempuan muslimah pun bisa menjadi backpcker. Nantinya saat mereka sudah hafal dengan lekuk Singapura, Malaysia, Vietnam hingga Brunei Darussalam, mungkin mereka akan membuat rombongan backpacker khusus muslimah –yang katanya Bu Farida sudah ada. Dan kemungkinan dengan diet keagamaan ketat pula sebagai sebuah latihan.

Hal yang patut disayangkan memang, bahwa Hostel Backpacker yang murah pasti bercampur-campur antara lelaki dan perempuan. Lintas kelamin, lintas bangsa, lintas agama, dan lintas generasi tentu saja. Di sampingku misalnya, adalah seorang perempuan bule berbadan sebesar kasur. Di bawahnya seorang lelaki, dan di tempat lain ada seorang bule lelaki dan perempuan satu tempat tidur yang ranjangnya tidak berhenti berdenyit saat malam.

Dalam satu kamar hostel ini, ada 9 ranjang dua tingkat sehingga dapat dihuni 18 orang. Otomatis yang menghuni juga backpacker dari berbagai negara. Demikianlah kondisinya sehingga perempuan muslim yang hendak melakukan backpacker harus berfikir seratus kali. Ia akan banyak berkontaminasi dengan lelaki lain, dan sekaligus harus ekstra menjaga dirinya sendiri.

Kemarin, saat putar-putar mencari hostel ini, kami sempat duduk di pinggir jalan. Semua terlihat lelah, ringkih, dan ingin segera masuk ke hostel untuk menyandarkan punggungnya ke kasur yang empuk. Bagaimana tidak, kami semalam tidur di Changi Airport, berputar-putar sebentar lalu mencari hostel hingga kaki bengkok. Saat itulah tiba-tiba orang yang berjalan mengucap salam sembari melempar senyum hangat.

Aku yang berada di sana, ikut bergembira. Sebagai muslim, salam adalah doa menebar keselamatan. Maka dari itu, ketika nantinya ada serombongan muslimah backpacker, mungkin muslim Singapura atau muslim di manapun tempat ia datang, akan merasa mendapatkan teman. Namun memang, orang-orang masih belum bisa melepaskan anggapan bahwa muslimah berjilbab bukanlah istri dari teroris.

Mushalla

Kendala yang paling pasti adalah tidak adanya mushalla dan masjid yang memadai di Singapura, dan di tempat lain yang umat muslimnya terlalu minoritas. Jika di Indonesia setiap gang rumah ada mushalla atau masjidnya, maka hal itu tidak bisa dijumpai di negara lain. Jika kita melihat film 99 Cahaya di Langit Eropa, maka kita akan tahu bahwa sang tokoh pun kesulitan mendapatkan mushalla, bahkan ujian dibarengkan dengan shalat jumat sehingga harus memilih antara ujian atau jumatan.

Ketika masih di Bandara Soekarno Hatta, mereka masih dapat menemukan mushalla di samping toilet. Namun saat memasuki Changi Airport, kita tidak dapat menemukan satupun mushalla di lokasi bandara. Alhasil, mereka harus wudlu di kamar mandi yang saya jamin mereka akan kesulitan. Karena sebagai lelaki, saat aku mencoba ikut berwudlu untuk shalat, aku kebingungan mencari cara berwudlu.

Apakah di westafel yang hanya diberlakukan untuk mencuci muka dan tangan? Karena di kamar mandi tidak ada air lain, kecuali air yang masuk langsung ke toilet. Keluarlah aku dengan tangan kosong. Ketika memasuki waktunya tidur, mereka mulai melebarkan sajadah tipisnya ke lantai airport dan shalat bergantian. Hal-hal seperti ini harus mereka lakukan demi menjaga keteguhan ibadahnya. Yakin bahwa tidak ada yang dapat memisahkan mereka dari kewajiban (atau kebutuhan) ibadahnya kepada tuhan, kecuali maut itu sendiri.

Sementara yang lainnya sudah terbaring di kursi panjang Terminal 1 Changi Airport. Usai shalat, Mamak satu membuka nasi kotak dan rendangnya. Ia mulai sahur untuk puasa pada keesokan harinya. Mungkin karena tidak enak makan sendirian, berkali-kali ia menawari secara bergantian untuk ikut makan bersamanya. Setelah 100 kali ditawairi, akhirnya aku mau meski tubuh masih belum lapar.

Setelah ini, akan ada kerepotan lainnya yang tentunya berbeda dengan kerepotan di bandara. Hal itu bisa saja membuat teguh para muslimah berjilbab ini, dan dapat pula menjadi penghambat keimanan mereka. Pilihan akan selalu ada pada hambanya, namun tuhan maha mengetahui hati hambanya yang beribadah sungguh-sungguh, atau sekedarnya seperti saya. Bagaimanapun, keteguhan mereka beribadah membuat saya percaya bahwa seorang muslimah tetap dapat melakukan backpacker. Saya salut.

2015-04-02

Keteraturan


MRT Singapura sebagai lambang modernisme dan keteraturan
Orang indonesia pada umumnya tidak bisa hidup dengan keteraturan. Begitulah yang kita fahami bersama selama ini. Prasangka ini karena berkaitan dengan tata cara kehidupan orang luar negeri yang hendak kita pinjam. Sekaligus untuk menyalahkan bahwa karena tidak bisa hidup teratur, maka tidak bisa diatur, dan suka ngawur.

Akibatnya, lalu lintas macet. Orang miskin yang bertempat tinggal di lingkungan kumuh menumpuk. Pembuatan SIM dan KTP dan dokumen lainnya ribet berbelit. Ketidakteraturan ini disalahkan kepada penduduk Indonesia yang tidak bisa hidup teratur. Padahal jika kita tahu, petani di kampung selalu bangun pagi. Pedagang pasar juga selalu buka dagangannya pagi-pagi.

Orang bekerja juga berangkat pukul 07.00 dari rumah lalu pulang pukul 16.00 setiap harinya. Sebagian lagi berangkat lebih pagi agar tidak ketinggalan bus yang tidak bisa diatur itu. Orang-orang yang hendak bepergian juga selalu datang lebih cepat dari jadwal pesawat terbang ataupun kapal laut. Jadi siapa yang tidak bisa diatur atau tidak menyukai keteraturan?

Bisakah kita membayangkan bahwa di Indonesia, kereta api datang tepat waktu? Bus dan pesawat terbang tiba dan pergi tepat waktu hingga ke menit-menitnya. Lalu semua rute dalam kota disatukan oleh bus dan kereta yang sambung menyambung. Orang keluar dan masuk kereta menggunakan jalan yang telah disediakan. Hijau berarti (benar-benar) berjalan, dan merah berarti (benar-benar) berhenti.

Mungkin keteraturan ini patut diperjuangkan oleh seluruh pemerintahan di dunia. Bukan karena penduduk atau masyarakat yang tidak dapat diatur, tapi lebih kepada pemerintah yang tidak dapat menerapkan peraturan dengan baik kepada setiap sistemnya. Masyarakat tentu saja akan mengikuti apa kata sistem. Karena jika tidak taat pada sistem, ia tidak mendapatkan fasilitas.

Contohnya, peraturan bahwa bangsa indonesia harus sudah berada di bandara satu jam sebelum pesawat berangkat dengan tujuan domestik, dan dua jam untuk keberangkatan luar negeri. Jika tidak memenuhi peraturan ini, maka ia akan terlambat terbang dan tiketnya sia-sia. Seluruh agendanya ke depan juga akan porak poranda. Maka mana ada orang yang mau terlambat untuk hal-hal seperti ini?

Maka dari itulah, kalau ingin teratur, peraturan harus ditegakkan sedemian rupa. Kereta jangan sampai terlambat, begitupula pengurusan kebutuhan publik. Dan keteraturan yang kita harapkan ini bisa kita lihat di Singapura, misalnya. Seluruh tempat sepertinya sudah memiliki peraturannya sendiri. Untuk melakukan cap imigrasi misalnya, kita tidak diperbolehkan untuk menginjak garis kuning untuk mengantri. Sudah ada polisi yang siap mengingatkan di sana kepada pengunjung yang bandel.

Untuk masuk ke Mass Rapid Transportation (MRT) atau bahasa kerennya kereta kommuter, sudah ada tiga jalur di pintu keluarnya. Tanda panah di kanan kiri untuk orang masuk ke kereta, dan tanda panah di tengahnya untuk keluarnya orang dari dalam kereta. Memang tidak ada polisi yang menjaga di sana, tapi tatapan mata orang sudah cukup menyakitkan untuk kita ulangi : dasar indonesia!!!

Pada lampu merah, mobil akan benar-benar berhenti dan tidak bergerak lagi. Memang mobil jarang sekali, karena menurut kabar burung, pajaknya sangat besar. Jadi hanya orang kaya dan betul betul orang kaya yang punya mobil di jalanan. Sementara, tidak ada orang yang menyeberang sembarangan sebelum lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Dan sekali lagi, pendatang juga yang berlarian tidak peduli lampu merah kuning hijau.

Namun apakah keteraturan seperti ini menyehatkan? Tidak juga. Aku melihat bahwa singapura dan orang-orangnya layaknya robot. Tidak ada ekspresi mereka ketika pagi hingga sore. Yang ada mereka tidak mempedulikan orang lain. Tidak berbicara. Tidak bermain HP. Tidak tersenyum. Berjalan lurus ke satu tujuan. Seakan-akan di kaki mereka sudah ada garis yang tidak boleh di simpang. Tidak ada orang bingung karena tujuan sudah diprogramkan. 

Yang sudah menonton film Wall E barangkali akan sadar bahwa kehidupan manusia modern akan menuju pada kemonotonan. Keteraturan sepertinya akan menyebabkan kemonotonan ini. Kita makan sudah ditentukan menunya, dan pada jam berapa juga telah ditentukan. Lalu berjalan pada garisnya. Bahkan menonton film dan permainan sudah ada jadwalnya.

Untungnya, di singapura pada malam hari sangat berbeda dengan pagi atau siang atau sore. Saat malam tiba, orang-orang Singapura berjalan pelan sambil menikmati camilannya. Mereka saling menggandeng kekasihnya. Tidak jarang yang berciuman di pinggir taman. Mereka menjadi hidup. Apakah mungkin program mereka menjadi romantis saat malam saja?

Jadi selamatlah ketidakteraturan orang indonesia karena pemerintahannya memang susah untuk teratur.

Imigrasi dan Lamongan

Benar bahwa lebih mudah berurusan dengan tuhan, dari pada berurusan dengan manusia. Dan manusia yang paling susah kita takhlukkan adalah saat mereka tidak membutuhkan kita, dan kita (sangat) membutuhkan mereka. Ternyata psikologis kebutuhan mempengaruhi sikap dan penilaian seseorang.

Hal inilah rasa-rasanya yang kurasakan di imigrasi indonesia. Persis saat pertama kali aku mengurus pasport tahun 2012 lalu, kejadian itu terjadi kembali. Saat aku mengurus pasport, aku ditanya tujuan dan tiket keberangkatan. Tentu aku berbohong bahwa aku akan ke Malaysia dan hendak kuliah. Setelah berbagai macam basa-basi, aku diminta menunggu hingga dua hari ke depan untuk kembali lagi.

Secara singkat, sudah dua kali diminta menunggu dua hari-dua hari, tetap juga diminta menunggu. Akhirnya aku putus asa karena aku harus bolak-balik Lamongan-Surabaya hanya untuk mengurusi hal ini. Berakhirlah aku di calo pasport yang membutuhkan waktu hanya sehari, langsung foto, dan punyalah saya sebuah KTP Internasional.

Saat aku menggunakan pasport pertama kali ke Singapura pada tahun 2015 ini, pertanyaan yang sama, dan kerumitan yang sama terjadi padaku. Keberangkatanku tidaklah sendirian. Namun dari sekian banyak orang ini, hanya akulah yang sempat tertahan di imigrasi Indonesia. Setelah salah satu mamak-mamak jawa berwajah Chinese menjelaskan macam-macma, barulah Pasportku dicap untuk pertama kalinya.

Kegentingan belum berakhir karena menurut informasi, imigrasi singapura akan lebih ketat lagi. Sejak lepas dari imigrasi indonesia, di pesawat, hingga turun dari sana, aku semakin berdebar. Sesungguhnya keberuntungan mungkin sampai padaku akhirnya. Karena saat berdebar menghadapi lelaki berseragam imigrasi singapura ini, aku hanya diminta form yang kurang, lalu cap keimigrasian menembus keperawanan pasportku.

Langsung bibirku bersungging lima centi meter ke kanan dan ke kiri. Senyum yang sama saat aku diberi kepercayaan untuk presentasi lomba esai tingkat nasional saat jaman kuliah dulu. Sampai beberapa langkah, senyum masih mengembang dan dadaku seperti tidak menahan beban satupun. Tas carrier seberat 10 kg langsung terasa melayang, dan bebas berteriak : i’m asean backpacker now!
ISIS

Saat aku dan dua orang temenku yang paspornya masih perawan di tahan di petugas tiket Tiger Air, mereka membisikkan bahwa keluar negeri harus diperketat karena adanya beberapa warga Indonesia yang hendak berjuang bersama ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria) atau Daulah Islam Iraq dan Syiria.

Pertama aku dan kawan-kawana berfikir kenapa bisa aku dua kali tertahan, adalah gara-gara namaku yang islami banget. Fathul Qorib, semua orang berfikir bahwa aku mungkin saja pergi ke luar negeri, lalu tiba-tiba terbang ke Syiria atau Iraq untuk membangun daulah islam di bawah naungan ISIS. Bahkan jika memang aku ingin membangun Daulah Islamiyah, aku akan bergabung dengan kelompok lain, bukan ISIS.

Namun setelah kutelisik lagi, beberapa hari lalu ada 16 orang yang terdeteksi bergabung dengan ISIS, yang sebagian besar adalah warga Lamongan. Saya kira hal inilah yang membuat orang lamongan kesulitan ke luar negeri. Lagi-lagi, gara-gara kelompok Islam garis keras, orang lamongan yang lain terkena imbasnya. Sama dengan ketika Amrozi dkk membom bali, lalu aku dilarang berkunjung ke Bali untuk batas waktu tertentu.

Dari sini kita bisa melihat bahwa stereotype akan tetap menjadi masalah karena manusia tidak bisa melepaskan kebencian dari dalam hatinya. Stereorype adalah pandangan negatif kita terhadap seseorang atau sekelompok orang. Stereot berarti kaku, dan type adalah kesan. Sehingga kesan kaku –negatif kita terhadap orang lain.

Dan semua orang, yang berusaha menjadi baik sekalipun, gampang sekali terjebak dalam stereotype seperti ini. Misalnya, orang berjilbab lebar terkesan inclusive dan tidak mudah bergaul, atau orang berjenggot adalah teroris. Itu dari segi agama. Kita juga memiliki stereotype yang harus kita hilangkan dalam segi kebangsaan yang contohnya tidak perlu kusampaikan agar tidak menyinggung satu bangsa tertentu.

Namun dapat kupahami –dan semoga demikian- bahwa petugas imigrasi indonesia tidak sengaja hendka mempersulit. Namun hanya karena tuntutan pekerjaan, maka ia terpaksa berusaha tampak mempersulit orang lamongan untuk ke luar negeri. Dan bagiku, apalah daya bila orang imigrasi ini bersikeras bahwa aku tidak boleh ke Singapura dengan alasan kehati-hatian terhadap ISIS.

Inilah yang dinamakan kekuatan kebutuhan. Yang membutuhkan akan selalu kalah dengan orang yang dibutuhkan.