Festival Songkran : Jalanan dipenuhi warga yang saling siram. |
Air bagi kebanyakan orang adalah sesuatu yang menghidupkan.
Bahkan untuk agama saya, kata Tuhan, dari airlah segala sesuatu yang hidup
berasal. Sedangkan bagi masyarakat Thailand, air menjadi sesuatu yang
menyucikan, khususnya dalam tahun baru dalam bangsa itu : Songkran.
Di belahan dunia lain, orang merayakan tahun baru dengan
kembang api dan petasan, dan bangsa Thailand merayakannya dengan air. Air
adalah sebuah tanda untuk menyucikan manusia dari dosa-dosanya. Maka dari
itulah, di jalanan orang-orang melakukan peperangan dengan amunisi air yang
bisa didapat disetiap sudut kota (spesially Chiang Mai).
Tidak dapat dibayangkan bagaimana seseorang yang sedang
bepergian di jalanan lalu tiba-tiba di guyur dengan air. Tidak ada yang akan
marah, dan memang tidak boleh marah. Karena tahun baru thailand memang ditandai
dengan “pesta” perang air. Di jalanan mereka menyiapkan ember dan pompa air
untuk me”nyemprot” orang-orang yang lalu lalang dengan kegembiraan yang khas.
Khas karena semua orang di dunia akan berbahagia menyambut
datangnya tahun baru, atau lebaran menurut saya. Tradisi yang mengikutinya pun
harus disambut dengan hangat dan tanpa beban. Di jawa misalnya, orang miskin
pun tetap membuat ketupat pada hari ke tujuh bulan Syawal. Padahal hal itu
murni tradisi yang dinisbatkan dengan beberapa ajaran agama islam.
Kekuatan Songkran (Water Festival) memang menarik magnet
tersendiri untuk para turis. Bagaimana tidak, kapan lagi kita bisa
menyemprotkan air seenaknya kepada siapapun tanpa emosi dan bahkan saling
merekatkan. Bahkan jika seseorang disemprot dengan air, maka orang yang
disemprot akan tertawa dan membalasnya dengan lebih ganas.
Anehnya, ketika aku berjalan di Chiang Mai (salah satu kota
di Thailand Utara), orang-orang segan menyemprotkan air kepadaku karena aku
tampak tidak berdosa. Mungkin masyarakat thailand mampu mengetahui mana orang
berdosa dan tidak sehingga air yang disemportkan juga pilih kasih (yang ini
ngaco).
Mereka tidak menyemprotkan air kepadaku, tampaknya, karena
pakaianku masih kering. Namun memang tidak membutuhkan waktu lama untuk basah
kuyup karena air seperti tumpah. Di mana-mana orang menyemprotkan air. Entah melalui
tembakan air, gayung, dan ember. Semua alat yang bisa dibuat menyemprotkan
difungsikan sehingga tidak akan ada orang kering lagii di jalanan Chiang Mai.
Untungnya sebelum keluar, saya membawa kresek putih untuk
membungkus kamera. Kamera alhamdulillah tetap aman namun kesulitan mendapatkan
moment karena air berada di mana-mana. Dan konon, barang elektronik tidak cocok
dengan air. Kalau seusai perhitungan kalender jawa, elektronik dan air memang
tidak jodoh. Maka dari itu, malas sekali saya harus mengeluarkan kamera, namun
kita akan kehilangan moment jika tidak mengambil gambar. Lihat, betapa sulitnya
posisi seperti ini.
Dalam kesempatan seperti ini, yang paling diuntungkan adalah
penjual pistol air. Satu pistol air kecil bisa seharga 50 Bath, dan pistol yang
besar menjadi 200 Bath. Namun setahun sekali bagi warga Thailand bukanlah
apa-apa. Memang beberapa hari sebelumnya, sejak dari Hatyai, Phuket, Bangkok,
hingga Chiang Mai, penjual pistol air sudah meraja lela. Persis dengan penjual
petasan dan kembang api saat lebaran di Indonesia.
Ada yang lebih heboh lagi. Yaitu saat setiap foreigner ikut
ambil bagian dalam perayaan songkran ini. Mereka tampak berbahagia dengan
membawa pistol air berukuran besar yang bisa menyemprotkan air dari ujung jalan
ke ujungnya. Mereka yang sudah dasarnya seksi, plus pakai pakaian minim, dan
basah, tentu saja semakin ehem ehem. Bukan saja orang bule yang ehem ehem,
namun orang China, dan gadis-gadis thailand yang hanya mengenal pakaian minim
lalu berlarian untuk saling menembakkan air menambah cair suasana di siang
panas waktu itu.
Bisa dilihat bahwa semua orang tahiland lebih suka menembak
ke orang bule dan pendatang dari pada menyemproti orang thailand sendiri. Dan
apesnya (atau untungnya) dua teman backpackerku adalah gadis berjilbab khas
orang PKS. Karena paling aneh diantara yang datang, mereka menjadi sasaran
empuk oleh tembakan air, guyuran gayung, dan bahkan dikejar oleh beberapa orang
hanya untuk menumpahkan air.
Lagaknya, menyemprot air ke pendatang lebih bermartabat dari
pada menyemprot orang thailand sendiri. Dan itu hampir dilakukan oleh semua
orang yang ada di sepanjang jalan. Padahal sebenarnya, diri ingin ke Kanal
Chiang Mai yang katanya lebih ramai karena dekat dengan air. Namun pesta air di
jalanan sudah sedemian liarnya sehingga tidak bisa lagi menantang bahaya ke
lokasi yang bisa membuat kami tersesat.
Di beberapa titik, kita akan mendapati adanya air yang lebih
dingin dibandingkan dengan air lainnya. Waktu itu saya percaya bahwa air di
Chiang May memang dingin sekali sebagaimana di Batu-Malang. Namun setelah
berjalan cukup jauh, rupanya banyak orang yang berjualan es batu di pinggir
jalan untuk dicampur di dalam air sehingga menimbulkan sensasi yang luar biasa
bagi yang terkena air tersebut.
Bisa dibayangkan, air es menimpuk tubuh kita di jalanan.
Kulit yang tadinya kering bisa langsung keriput. Dingin yang brrr membuat kita
semakin bersemangat, apalagi di beberapa titik sepanjang jalan ini terdapat
beberapa panggung hiburan. Ada yang memang penarinya cantik dan bohay, dan ada
yang penari-penari yang terdiri dari orang laki-laki tapi perempuan, atau
perempuan tapi laki-laki. Tahulah, ladyboy.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.