2015-01-27

Selamat Setelah 11 Hari di Lautan




Hanya Makan Ikan Mentah dan Minum Kocokan Air Garam

Tidak pernah terlintas di pikiran Elisa Pihahei (50) bahwa dirinya akan hanyut dan terombang-ambing selama 11 hari di Laut Utara Jayapura. Berhari-hari ia hanya berdoa agar dapat diselamatkan, dan jika tidak selamat, maka ia memohon kepada Tuhan Yesus untuk menyertainya di perahu kecilnya tersebut.

Fathul Qorib – Jayapura

 Selasa (13/1), Elias Pihahei merasa bahwa ia harus pergi melaut untuk menangkap ikan sehingga bisa menghidupi keluarganya. Ia tahu saat itu bahwa laut sedang bergelombang, namun ia tidak rela jika keluarganya akan kelaparan. Maka dari itu, berbekal pancing dan perahu motor kecil dengan mesin 15 PK, ia melaut di perairan antara Biak dan Yapen.

 Malang tidak dapat ditolak, saat ia sudah memenuhi perahunya dengan ikan cakalang, malah perahunya dihantam gelombang hingga mesin perahunya mati. Gelombang disertai angin yang kencang tidak memberinya kesempatan untuk mengayuh sama sekali, bahkan untuk menebar jangkar juga sudah tidak bisa karena perahu terus melaju terbawa angin dan gelombang hingga melewati Pulau Padaido.

 Saat malam mulai datang, Elisa hanya dapat melihat daratan semakin jauh dan tidak mungkin dijangkaunya lagi. Dayungnya patah, mesin perahu mati, dan air memenuhi perahunya hingga hampir tenggelam. Alhasil, satu-satunya yang dapat menolongnya adalah menjaga agar perahu kayunya tersebut tidak tenggelam. Ia terus menguras perahunya meski air yang datang bergelombang terus menghantam.

 “Malam-malam itu saya terus lihat Pulau Yapen sudah tenggelam. Sampai perahu jauh di laut sudah tidak ada lagi daratan yang dapat saya lihat. Saya tidur sebentar, lalu bangun, menguras perahu, tidur sebentar, lalu menguras perahu, terus begitu sampai saya tidak tahu di mana lagi,” kata Elisa kepada Cenderawasih Pos saat ditemui di rumah saudaranya yang ada di Hamadi, Senin (26/1).

 Selama 11 hari terapung di laut, Elisa menceritakan bahwa ia hanya makan ikan yang sudah didapatkannya selama memancing tersebut. Karena perahu tidak tenggelam, sehingga ia bisa menjaga agar masih ada ikan yang ada di dalam perahu. Ketika siang hari, ikan-ikan tersebut akan dijemur di bawah matahari, lalu di makannya sedikit demi sedikit untuk menambah tenaga.

 Sementara untuk minuman ia mengaku kesulitan, karena di laut tidak pernah datang hujan. Maka ia kemudian memasukkan air ke botol minuman, lalu mengocoknya terus menerus hingga rasa air garamnya berkurang lalu diminumnya pelan-pelan. Dengan ikan yang dipanggang matahari dan air garam yang telah dikocok inilah ia hidup selama 11 hari di lautan dari Selasa (13/1) sampai Sabtu (24/1).

 Meskipun makanan dan minuman sudah bisa didapatkannya, namun bukan berarti kekhawatiran akan keselamatan dirinya tidak ada. Elisa mengaku sangat khawatir dengan kondisi dirinya jika tidak mendapatkan pertolongan secepatnya. Hingga hari ke-11 ia terus berdoa agar diberi keselamatan. Lalu ia mulai melihat Pulau Jayapura dari kejauhan yang tampak kecil. Waktu itu air tenang sehingga ia juga tenang.

 “Tubuh saya terlalu lemas sehingga saya tidak berani untuk ambil resiko berenang ke daratan. Jadi saya tetap berjaga di perahu sembari terus menguras. Tapi malam hampir tiba dan angin darat muncul sehingga perahu saya terdorong lagi menjauh dari daratan hingga saya sampai di perbatasan PNG itu. Sudah, saya sudah tidak ada harapan lagi,” ujar Elias.

 Di saat itulah ia kemudian memohon kepada Tuhan agar diberi keselematan jika memang ia memiliki umur panjang. Dan jika memang sampai di sana saja umur Elias, maka Elisa berdoa agar Tuhan turun ke dalam hatinya untuk memberi kedamaian dan menerima semua kenyataan. Ia minta Tuhan mendampinginya di perahu itu untuk menuntunnya menuju kematian yang damai.

 Saat ia berdoa dengan penuh kepasrahan itu, ia tertidur agak lama. Tiba-tiba ia mendengar ada suara mesin motor dari nelayan yang mencari ikan. Sontak ia terbangun lalu berdiri di atas perahu dan mulai mencari sumber suara. Lama kelamaan ia melihat ada perahu nelayan yang mendekat sehingga ia berteriak kepada dua nelayan Hamadi tersebut.

 Dua nelayan yang mendengar teriakan itu langsung menuju ke Elisa dan kemudian membawa Elisa ke daratan untuk mendapatkan pertolongan. Kondisi tubuh Elisa waktu itu sudah sangat lemas sehingga harus dipapah saat ke darat. Namun setelah beberapa waktu istirahat, ia kembali sehat dan sudah dapat dibawa ke RSUD Jayapura untuk melakukan medical check-up guna mengetahui kondisi tubuhnya.

 “Saat ini tenaga sudah seperti semula, saya bilang terima kasih kepada Tuhan, dan kepada nelayan yang menyelamatkan saya. Sekarang saya tinggal di sini dulu, keluarga di rumah juga sudah diberi tahu sehingga semuanya baik-baik saja,”tutup bapak dua anak tersebut.

Note:
Tulisan ini terbit di Koran Cenderawasih Pos

2015-01-18

Ulasan Film: Rise of the Planet off the Apes - Manusia dan Kebencian

bagaimana jika dari manusia mereka belajar sebuah kebencian?

Banyak hal yang dapat dipelajari dari manusia, kebaikannya, atau keburukannya. Tapi sekelompok kera cerdas ini, lebih banyak belajar tentang kebencian dari manusia dari pada sisi lainnya. Sekelompok kera (Apes) ini menyebut diri mereka sebagai bangsa kera, belum bersifat kerajaan, namun sudah mulai membentuk aliansi antar kera yang kuat, solid, dan penuh percaya diri.

Tentu pembaca sudah dapat mengingat bagaimana film Rise of The Planet of the Apes 2011 ini hendak membuat obat penyembuh kepada orang-orang yang memiliki penyakit alchezeimer. Dianggap sebagai binatang yang paling dekat dengan manusia dari segi penciptaannya, kera akhirnya dipilih untuk dijadikan “kelinci percobaan”. Inilah yang disebut Koba –salah satu tokoh antagonis kera- sebagai human work.

Garis besar dari film ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu bagaimana jika bangsa kera menginvasi bangsa manusia? Memang semua orang ingin mengetahuinya, seandainya umat manusia ini dijajah oleh binatang-binatang yang sebelumnya di jajah. Persis seperti imajinasi beberapa pengarang komik yang mengisahkan bahwa di dalam neraka  nanti, manusia yang suka mengadu binatang akan diadu oleh binatang.

Dari sekuel pertamanya ini, kemudian muncul sekuel kedua pada Juli 2014 lalu dengan judul Dawn of the Planet of the Apes. Di sinilah, kera ini dengan jelas merepresentasikan umat manusia yang penuh dengan pergulatan. Bahkan dari kehidupan kera di dalam hutan ini, mulai dari membuat koloni, membuat sistem pemerintahan, peraturan-peraturan, lalu kehidupan sosialnya, meniru umat manusia pada zaman dulu –yang pada intinya adalah meniru umat manusia.

Namun bagaimana mungkin, Caesar, Sang Pemimpin Apes, kemudian memunculkan statemen mengejutkan bahwa Koba hanya belajar kebencian dari manusia? Koba merupakan sosok yang unik, komplek, dan menjadi semacam manusia kera yang penuh dengan pengalaman buruk. Mukanya buruk rupa karena ada jahitan di bagian muka sebelah kiri, tangannya penuh jahitan, kakinya, dan seluruh tubuhnya. Jahitan itu, didapatnya dari manusia yang membedah-bedah tubuhnya untuk dijadikan percobaan.

Dari pengalaman mengerikan itulah, Koba bangkit untuk menjadi antagonis dalam sebuah film yang penontonnya manusia. Dia menyatakan sikap perang terhadap manusia, tidak mau berdampingan, dan siap kehilangan segalanya untuk memusnahkan manusia. Kalau mau jujur, dalam bangsa kera (dan seluruh binatang lainnya), tentu Koba-lah yang akan menjadi pahlawan. Karena dunia binatang tidak mengenal memaafkan, hanya ada balas dendam dan mempertahankan kekuasaan.

Pemikiran Koba yang tidak bisa diterima oleh pemimpinnya yang menjadi tokoh utama, Caesar, akhirnya melahirkan sifat pengkhianat dan kelicikan pada dirinya. Tepat ketika manusia datang ke pedalaman Hutan Muir untuk mencari sungai dan sumber PLTA, konflik dimulai. Para manusia yang tersisa ini, adalah yang selamat dari virus Simian Flu yang penyebarannya dibantu oleh para kera, namun pembuatnya sendiri adalah manusia di GenSys (ingat sekuel pertama).

Satu anak kera mati ditembak, lalu suarannya membahana ke seluruh hutan sehingga puluhan kera lain berdatangan mengerumuni lima manusia ini. Caesar berdiri paling depan, berdiri, pandangannya menelisik dalam membuat manusia gentar; kera macam apa yang dapat membuat gelagat sebaik itu. Caesar kemudian mengeluarkan kata : Pergi. Sang manusia terkaget-kaget, caesar mengulangi perkatannya menjadi sebuah perintah : pergi.

Caesar lalu memerintahkan Koba untuk mengikuti perjalanan manusia itu, untuk mengetahui dimana mereka bersembunyi. Setelah mereka kembali dan tahu persis tempat persembunyiannya, Koba tidak bisa bersabar untuk menghabisi manusia yang tersisa. Namun Caesar dengan kebijaksanaan seorang manusia mengatakan bahwa jika mereka berperang, maka apa yang telah dibangun akan seluruh rusak. Dari sini, Koba dan Caesar mulai berseteru, namun Koba tahu bahwa dia tidak bisa mengalahkan Caesar.

Kebencian

Bermula dari kebenciannya dengan manusia inilah, Koba akhirnya nekat melakukan segala cara. Lalu dengan modal mencuri sebuah senjata api dan topi manusia, Koba menyelinap di kejauhan dan menembak Caesar yang sedang merayakan kelahiran anak keduanya, sekaligus kesembuhan istrinya. Caesar sempat melihat Koba, namun ia tak sempat berbicara apa-apa karena timah panas langsung menembus dadanya hingga terjatuh ke jurang.

Invansi ke daerah manusia akhirnya terjadi di bawah komando Koba. Beberapa kera yang tidak mengikutinya kemudian dipenjara, lalu satu kera dibunuh oleh Koba dengan dijatuhkannya dari menara. Blue Eye, anak dari Caesar menyadari bahwa Apes mengikuti Koba karena ketakautan. Padahal satu pantangan yang ditekankan oleh Apes adalah, Apes not Kill Apes. Dengan melakukan pembunuhan terhadap kera inilah, Koba akhirnya tidak diakui sebagai kera oleh Caesar dan bangsanya.

Setelah semua selesai, perseteruan antara kera dan manusia, perseteruan antara kera dengan kera, akhirnya Caesar termangu. Ia dikelilingi seluruh anak buahnya, dan kepada bue eye ia berkata bahwa : Aku selalu berfikir, kera lebih baik dari manusia, tetapi sekarang aku tahu betapa miripnya kita dengan manusia. Kemiripan itu adalah dari segi ketamakan, kebencian, pengkhianatan, egoisme, dan lain sebagainya, hingga menyebabkan koloni yang dibangun hilang.

Tampaknya memang manusia penuh dengan kebencian di dalam hatinya. Jika kita lihat film ini, perjuangan antara Koba dan Caesar, maka kita akan melihat wajah kita sendiri. Kera Koba dalam aksinya, ternyata mewakili sekian banyak manusia yang rela melakukan apa saja demi mewujudkan ambisinya.