2013-09-27

Mendidik Papua Melalui Media

Salah satu fungsi media massa adalah sebagai pendidikan bagi khalayaknya. Jika suatu media masa tidak benar-benar mendidik maka dia tidak memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakatnya, juga tidak melaksanakan amanat dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 2009 pada Bab II Pasal 3 Ayat (1) yang berbunyi bahwa pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Fungsi seperti ini, bagi media massa yang ada di daerah-daeah dengan khalayak yang masih belum memiliki budaya literasi (baca-tulis) yang baik, memang membutuhkan keberanian. Keberanian dalam artian, tantangan yang dihadapi oleh sebuah media massa sebagai perusahaan pers bisa terancam. Dengan biaya produksi yang lebih mahal, belum tentu khalayak akan menerima jenis pendidikan yang diberikan oleh sebuah perusahaan pers. Maka dari itu diperlukan berbagai macam penelitian dan survey pembaca sebelum memutuskan pendidikan seperti apa yang akan dilakukan oleh media massa dalam memberikan fungsi pendidikannya.
Mengenai fungsi tersebut, kita bisa melihat bahwa dalam beberapa minggu ini Harian Cenderawasih Pos (Cepos) telah memasukkan fungsi tersebut kesecara khusus dalam terbitannya. Apa yang telah dilakukan oleh redaksi Cepos ini tergolong berani. Fungsi pendidikan dan sumber informasi yang menjadi nyawa dari media massa benar-benar digodok dan disajikan dalam bentuk yang sangat baik dalam bentuk rubrik baru yang khusus menyajikan informasi tertentu.
Rubrik baru yang diniatkan agar bisa lebih komunikatif dengan khalayak, merupakan langkah strategis bagi sebuah media massa besar yang hendak melakukan ekspansi kepada pembaca yang lebih besar lagi. Karena, rubrik komunikatif yang dihadirkan, disamping untuk pendidikan literatur bagi khalayak, juga bisa digunakan sebagai langkah untuk mengetahui minat pembaca, Dengan mengetahui minat pembaca tersebut, media massa tidak akan kekurangan informasi yang dibutuhkan, atau paling tidak, apa yang dianggap penting bagi masyarakat.
Mengapa pendidikan menjadi penting dalam pandangan media massa cetak? Karena seperti yang kita ketahui, bahwa bangsa Indonesia secara umum mengalami lompatan budaya (jumping culture) dari praliterasi (lisan) menuju postliterasi (teknologi informasi and komunikasi). Kita tidak pernah mengalami budaya literasi yang seharusnya mempersiapkan mental kita untuk berhadapan dengan dunia cyber seperti sekarang ini. Dari sinilah, media massa cetak yang merupakan produk budaya literasi, dirasa paling tepat untuk –meminjam istilah hpodhermic needle theory, menyuntikkan segala pengetahuan melalui sebuah tulisan. Dengan kemasan dan isi yang menarik, niscaya budaya literasi akan berkembang di tanah Papua.
Sebagaimana masyarakat Indonesia secara umum tersebut, begitulah budaya yang ada di Papua. Kita bisa melihat bahwa cerita lucu seperti MOP sangat penting dan menjadi salah satu identitas orang Papua. Bersamaan dengan budaya lisan yang menguat, budaya tulisan malah sama sekali belum tersentuh secara maksimal. Berbagai tulisan mengenai pendidikan di tanah papua tidak ada yang mengatakan baik. Analisanya, bahkan pendidikan di Indonesia di Papua berjalan mundur.
Melihat hal yang seperti itu, kita bisa menilai bahwa Cepos yang membuat rubrik baru, baik itu rubrik Kesehatan (Health), Opini, Selebriti, Resep, dan lain-lain, adalah langkah berani untuk membuka cakrawala masyarakat Papua terhadap berbagai macam pengetahuan. Sebagaimana teori stimulus-respon[1] yang mengatakan bahwa publik sangat rentan terhadap pesan-pesan yang disebarkan melalui media massa. Jika pesan-pesan tersebut tepat sasaran, maka masyarakat akan terpengaruh dengan efek yang diinginkan oleh pembuat pesan. Maka dari itulah, jika Rubrik yang ditawarkan oleh Cepos tepat sasaran, maka pembaca di Papua akan terpengaruh. Tinggal bagaimana pesan tersebut diolah agar menjadi sebuah pendidikan dan penyebaran informasi yang benar dan membangun.
Hal yang penting untuk ditindaklanjuti oleh Cepos antara lain, memahami bahwa salah satu alasan orang tetarik untuk membaca sebuah informasi adalah karena unsur proximity (kedekatan). Jika opini yang disajikan oleh Cepos, ataupun juga rubrik baru yang lainnya, tidak dekat dengan masyarakat pembacanya –Papua, maka secara langsung maupun tidak langsung itu namanya bunuh diri. Untuk itu, jika harus menaikkan rubrik Health, maka pilihlan cara menjaga kesehatan berdasarkan konteks Papua, termasuk rubrik Resep, opini yang dimuat, dan lain sebagainya.
Juga perlu diperhatikan oleh media massa, mengenai konsistensi penerbitan. Rubrik yang baru tersebut harus eksis dan diingat oleh masyarakat sehingga akan dicari karena dibutuhkan. Jika hari ini terbit rubrik Opini, besoknya terbit rubrik Selebritis, lusa terbit rubrik Resep, dan keesokannya malah tidak ada rubrik tambahan karena ada rubrik Papua Society, pembaca akan kebingungan. Pembaca malah akan memaknai penambahan rubrik baru hanya sebagai selingan, bukan sebagai kebutuhan. Dan pada titik ini, penambahan rubrik tidak akan menambah nilai bagi perusahaan, kecuali dana yang membengkak.


[1] De Fleur dan Ball-Rokeach (1998)

2013-09-20

Quo Vadis Motivasi

Banyak hal yang tidak terselamatkan dalam kehidupan ini. Banyak pula hal yang tidak tercapai,banyak orang gagal, banyak yang mati ditengah perjuangan. Tetapi orang yang positif terhadap kehidupannya masih sangat banyak, melebihi batas keyakinannya sendiri. Dia selalu mengelus dadanya dan berkata: sabarlah hatiku, kegagalan ini adalah sebuah jalan menuju kesuksesan. Tetapi tetap saja dia akhirnya gagal.

Saya kemudian mengingat lagunya jamrud yang liriknya bertolak belakang dengan mindshet orang selama ini. Liriknya seperti ini : berakit-rakit kita ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit dahulu senangpun tak datang, malah mati kemudian. Itu faktanya. Sungguh berbeda dengan lagunya Rhoma Irama yang optimis bukan?

Bagaimana dengan buku-buku motivasi yang memuat fakta mengenai kekuatan harapan dan cita-cita? Bagaimana dengan kisah-kisah motivasi mengenai kekuatan sebuah mimpi sehingga mereka benar-benar menjadi orang besar? Juga bagaimana energi positif yang disebarkan Mario Teguh sehingga membuat hidup kita menjadi benar-benar bermakna?

Oh tidak, itu adalah industri. Apakah itu buku-buku motivasi atau novel-novel based on true story, yang beredar pesat merupakan sebuah iklan yang menjual mimpi. Sama dengan iklan shampoo Pantene yang mengiming-iming bahwa jika anda memakai shampo tersebut, maka Ariel Peterpan akan datang mengetuk pintu kamarmu. Atau iklan Axe yang jika kau menggunakannya, maka bidadari sekelas Luna Maya akan mengunjungi kamar tidurmu, tidak peduli apakah kau sedang memakai baju atau tidak.

Dari sini, lihat, adakah bedanya buku motivasi dengan iklan shampo tersebut?

Maka motivasi dari mereka adalah sama dengan iklan yang seolah-olah hendak menerbangkan dirimu ke angkasa, mengejar mimpi yang hinga mati sekalipun, tidak pernah ada yang bisa menyamai mario teguh dan lain sebagainya. Orang-orang yang percaya dengan hal tersebut, biasanya akan percaya kepada janji-janji manis dari orang lain. Ia sama saja dengan orang yang mudah  terperdaya. Seperti seorang perempuan yang masih percaya dengan janji lelaki, bahwa dia akan hidup mati untuknya, rela sakit demi dia, akan mencintai hingga tua, dan blablabla yang lain.

Ini adalah pandangan saya sebagai orang normal. Saya merasa normal dan itu saya rasa bukan suatu kesombongan. Jadi ketika saya percaya bahwa motivasi yang ada di buku dan televisi adalah sebuah iklan belaka, maka saya sadar bahwa selama ini saya hanya hidup dalam buai mimpi. Saya percaya bahwa saya akan sukses dengan meraih beberapa keadaan yang membahagiakan, dan membanggakan, namun itu tidaklah semudah sebagaimana yang ada dalam buku.

Hidup itu seprti yang tengah kau jalani sekarang. Jika kau mahasiswa maka itulah duniamu, dan jangan pernah beani bermimpi macam-macam atau kau akan kecewa. Memang banyak orang yang sukses beradasarkan mimpinya, tetapi tetap tidak akan bisa dibandingkan dengan orang yang gagal karena mimpinya. Orang yang gagal selalu lebih banyak daripada orang yang sukses, hanya saja, orang yang sukses, kaya, dan tampan bisa membuat dirinya muncul di media massa sehingga lebih menonjol.

Mereka yang sukses ini kemudian membuat sebuah kilas balik bahwa dirinya dahulu merupakan seseorang yang sama dengan orang lainnya. Mereka menciptakan kondisi untuk bisa dipercaya, bahwa mereka dilahirkan di desa, bertemu dengan berbagai macam kegagalan, kemudian bisa bersinar. Kita sebagai orang luar, yang tidak bisa mengetahui niat baik dan buruk dalam hati manusia, tentu akan percaya bahwa memang kesuksesan harus dimulau dari titik nol. Dan memang, yang sedemikian itu ada, tapi tidak semuanya. Karena lebih banyak yang hancur lebur daripada yang berdiri menjadi pemenang. The winner, stands alone.

Hak dan Pemberian

Sukses, jika kita pandang sebagai kekayaan, kegagahan, kepintaran, posisi penting, maka hal itu tidak bisa menjadi hak setiap orang sebagaimana yang diucapkan oleh Adrie Wongso yang selalu berkoar bahwa success is my right. Akan selalu ada seorang looser, orang yang kalah, yang disia-siakan, yang mundur dengan hati sakit atau mundur teratur. Akan selalu ada dua sisi dalam mata uang kehidupan, satu berawajah ceria, satunya berawah suram. Tidak bisa setiap orang menjadi manager di perusahaan yang sama; sebuah dunia.

Hanya jika sukses berarti kebahagiaan, maka setiap orang akan merasakannya. Kebahagiaan, sebagaimana nasib sial, tidak akan kekal. Itu sudah sunnatullah, suatu hukum alam yang bahkan sejak Adam diciptakan pasti seorang anak manusia akan mengalami dua hal tersebut. jadi, bagaimanapun kita berusaha mengejar kesuksesan (baca:kebahagiaan) maka kita pasti akan mendapatkannya. Dan hal ini sebanding dengan bagaimanapun usaha kita untuk tidak bahagia, maka kita suatu saat akan tetap mendapatkan kebahagiaan tersebut.

Jadi sukses (bahagia) itu adalah sebuah pemberian dari Sang Maha Kasih Sayang. Itu bukan hak. Karena bagaimanapun kau menolak, maka kau akan merasakan kebahagiaan itu. Berusahalah yang baik untuk apa yang ada di depanmu, untuk sebuah cita-cita, tapi jangan percayakan sepenuhnya pada kekuatan cita-citamu. Karena Tuhan, memiliki selera humor yang tidak bisa ditebak.

2013-09-18

Mempertanyakan "Utamakan Orang Asli Papua"

Hidup di Papua memang menyenangkan. Banyak hal yang menyenangkan daripada yang menyengsarakan. Tetapi lama kelamaan, aku agak sinis terhadap tuntutan dari setiap orang untuk mengutamakan Papua di atas segalanya. Kalimat-kalimat seperti : utamakan orang asli papua yang muncul dalam setiap pembahasan tentang kemajuan masyarakat ujung timur Indonesia ini, memiliki kelemahan yang fatal dari segi psikologis.

Berdasarkan fakta kita bisa melihat bahwa bangsa Papua itu bangsa yang tertinggal. Hal yang menonjol adalah cara mereka menghabiskan uang dalam sekali pakai. Di daerah-daerah tertentu yang menjadi tempat pendulangan emas, seperti Timika, penduduk asli yang mendapatkan serpihan emas dan kemudian menjualnya seharga 2-5 juta, maka akan langsung dihabiskan dalam sekali pakai. Yang intinya dalam pemakaian tersebut, semuanya untuk bersenang-senang.

Selama mereka tidak belajar menjadi orang modern, dalam artian yang sepositif mungkin, maka pengutamaan orang asli papua hanya akan menambah kekerasan yang ada di sini. Dua kali aku berjibaku dengan kasus salah kaprah dalam pengutamaan orang asli papua yang seakan-akan, semua kesalahan dilimpahkan pada pendatang.

Keduanya kasus kecelakaan yang menimpa pendatang. Pertama di Sentani, Kabupaten Jayapura, terjadi kecelakaan bermotor yang menewaskan salah seorang penduduk asli. Penduduk asli tersebut, berdasarkan kronologis kejadiannya, saat itu sedang mabuk dan mengendarai sepeda motor. Dimanapun kita tahu, bagaimana orang mabuk yang mengendarai sepeda motor. Diapun menabrak belakang truk yang hendak menikung, kemudian seorang keturunan Cina yang membawa mobil disebelahnya dijadikan tersangka.

Orang keturunan Cina ini didatangkan ke Polres setempat, dijadikan tersangka, hendak ditahan, disuruh membayar denda adat 1 Miliar, dipukul didepan polisi oleh keluarga orang mabuk itu, hingga si orang Cina ini melapor ke Kepolisian Daerah Papua namun tidak menemukan hasil. Waktu itu, aku menemui orang Cina ini, dan dia akhirnya tidak jadi menghubungi wartawan meskipun dia kalah telak. Akupun bungkam. (kasus ini berdasarkan penuturan Irwan, family orang Cina yang ditahan)

Kasus kedua, sama juga tentang kecelakaan. Seorang anak pribumi yang hendak putar balik dijalanan menikung di Kota Jayapura. Dari arah depan, sebuah mobil Toyota Strada melaju dan kemudian membunuh orang yang dibonceng. Keteledoran ini jelas salah orang yang membonceng sepeda motor tersebut, dia seenaknya putar balik tanpa memperhatikan kendaraan lain. Faktanya di laporan polisi, dia malah sebagai saksi, dan pemilik mobil tersebut dikena denda adat, seluruh biaya pemakaman dan biaya lain-lain ditimpakan kepadanya, disamping keluarga orang mati menuntut dia tetap dihukum kurungan. Keluarga korban ini, bahkan sampai memalang jalan memaksa agar tuntutannya dipenuhi. (kasus ini berdasarkan laporan polresta jayapura)

Itu hanyalah salah satu contoh. Pengutamaan orang asli papua ini memang malah terkesan menunjukkan kelemahan mereka sendiri. Seakan-akan ada ketakutan akan dilibas oleh pendatang yang memang memiliki kemampuan hidup modern terlebih dahulu dibandingkan mereka. Ketakutan seperti itu memang benar, dan ini menjadi pisau bermata dua diantara kita pendatang, atau mereka yang penduduk asli.

Kita lihat saja, berapa biji Kepala Daerah di seluruh Papua dan Papua Barat yang kemudian bersih dari perkara korupsi. Setahu saya, itu seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Ironisnya adalah mereka semua anak asli Papua, anak sah peradaban yang menginginkan kemajuan. Uang yang berputar di masing-masing daerah di Papua ini sudah bernilai Triliun, bukan lagi Miliar ataupun ratusan juta sebagaimana di Pulau Jawa. Jadi, dengan sumber daya manusia yang masih belajar, mau dikemanakan uang sebegitu besarnya? Aku angkat tangan jika orang Papua tidak bergerak untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Lihatlah Kapolda Papua saat ini, dia bukan orang Papua, tapi dia menyatukan seluruh komunitas. Dia mengatasi masalah dengan tidakan persuasif, bukan represif. Lihatlah Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, dia bukan orang Papua, tapi sudah berapa koruptor kelas kakap yang ditahannya dalam kepemerintahannya yang baru dua bulan ini?

Jadi, orang Papua sendiri harus membuat resolusi. Jika selamanya hanya menuding pendatang sebagai biang masalah, selamanya pula kita tidak akan melangkah ke depan. Sejarah pendatang bukanlah sejarah satu warna yang terus menimbulkan konflik. Pada suatu kesadaran, kita membutuhkan pendatang untuk menata wilayah yang belum tertata. Pendatanglah yang meramaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sehingga kemudahan hidup bisa dirasakan.

Di Papua itu menyenangkan memang, jika dan hanya jika masyarakat pendatang bukan musuh adat, jika dan hanya jika penduduk pribumi belajar menjadi orang yang cinta pada tanahnya senditi. Dari sana, korupsi musnah, dan nyali orang Papua akan mengalahkan pendatang dengan sendirinya.

2013-09-12

Membuka Dunia di Papua

Pendidikan yang ada di Papua ini miris. Jika kita berfikir bahwa anak-anak yang putus sekolah itu hanya ada di pelosok Papua, terutama di Pegunungan, kita salah. Karena bahkan di Kota Jayapura sekalipun, yang notabenenya Ibu Kota Provinsi Papua, masih banyak kita temukan anak-anak yang tanpa malu-malu mengaku putus sekolah. Praktis, sekolah hanyalah milik segelintir orang.

Di samping hal itu, bisa dikatakan kalau pendidikan di Propinsi Indonesia paling timur ini berjalan mundur. Mundur karena pendidikan pada masa sekarang amat berbeda kualitas dengan pendidikan di masa dulu, terutama ditunjukkan ketika masa belanda. Paling tidak 50 tahun yang lalu, pendidikan amat diperhatikan karena orang Belanda yakin hal tersebut bisa membuat orang Papua dipekerjakan –ironis tapi manis.

Hal tersebut dengan gamblang disampaikan oleh beberapa tokoh adat maupun tokoh gereja ketika melakukan pertemuan dengan Gubernur Papua. Dikatakan oleh mereka bahwa dahulu, orang Belanda membuat asrama untuk sebagai tempat tinggal siswa. Ada pengawasan ketat terhadap para guru, termasuk memberi pendidikan orang pelosok untuk dididik yang kemudian dijadikan sebagai guru. Sekarang hal tersebut hanyalah kenangan menyakitkan. Realitas sekarang, bahkan gurupun tidak lagi menempati sekolah dimana ia mengajar.

Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi (Susenas) tahun 2006 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) Papua menunjukkan, sebanyak 73.729 orang dari 432.122 anak di Papua berusia 7-15 tahun tak pernah sekolah.[1] Itu baru yang tidak pernah sekolah, belum menyentuh kepada berapa ribu lagi anak-anak yang kemudian putus sekolah di tengah semester karena berbagai macam alasan; ekonomi, sosial, budaya, dll.

Pembangunan pendidikan yang sulit diharapkan dari pemerintah, baik daerah maupun pusat, harus dicarikan solusinya. Hal itulah yang kemudian dilakukan oleh Sekolah Menulis Papua, yang dalam hal ini concern kepada pendidikan luar sekolah. Ternyata pada awalnya kami juga mengalami gagap budaya. Masih banyak anak-anak yang kita kumpulkan di Kampung Yoka, Distrik Heram, Kota Jayapura, tidak bersekolah, atau putus sekolah.

Ketika malam Minggu, kita sengaja mengumpulkan beberapa anak yang ada di sekitar perumahan untuk bersenda gurau. Kebetulan ada ratusan buku yang telah dikirimkan oleh dermawan baik hati dari Bandung, kita perkenalkan kepada mereka buku-buku itu. Mereka kemudian berhamburan seperti kupu-kupu, memegang buku dengan rasa takjub, lalu memukulkannya ke temannya hingga buku berserakan, kulit mengelupas, dan warna menjadi kabut. Itulah fakta. Mereka kagum dan cinta kepada buku, tetapi mereka masih belum bisa memperlakukan buku dengan cara yang baik.

Berhadapan dengan anak-anak yang masih nyaman dengan tanpa sandal ini, kadang sering menjengkelkan. Tapi itulah seninya. Kita masih mengenalkan kepada mereka bahwa sebuah buku adalah harta berharga. Menyentuhnya harus dengan khidmat, membacanya harus gembira, dan memperlakukan sebuah buku harus dengan hati.

Kita masih mengenalkan kepada anak-anak ini, bahwa huruf W itu tidak sama dengan K, dan kata yang berakhiran huruf N tidak bisa dibaca seperti berakhiran huruf G. Jadi Ikan akan dibaca Ikang. Dan kata Panggang malah dibaca Panggan.[2]

Mereka rupanya begitu antusias ketika kita bercerita mengenai salah satu dongeng yang ada di buku. Mereka menganga, seakan-akan dunia itu menjadi luas seluas cakrawala. Setelah itu, mereka rutin datang ke rumah kami, Sekolah Menulis Papua, yang kemudian menjadi salah satu tempat berkunjung favorit setelah rumah mereka sendiri.

Sudah menjadi sifat manusia yang mudah bosan. Ketika buku-buku ini habis mereka lahap, terutama komik-komik berwarna yang menggerakkan imajinasi, dikhawatirkan mereka akan jarang berkunjung dan kembali kepada dunia tanpa huruf. Saya membayangkan bahwa mereka akan kembali bergumul dengan anjing-anjing, lalu bermain lumpur di sekitar danau. Itu seperti gerimis yang tiba-tiba datang mengetuk hati, tapi kita tidak memiliki rumah.

Inilah keberadaan kita sesungguhnya. Ketika pemerintah sudah sulit diharapkan, sebisanya kita memanfaatkan sisa-sisa semangat yang masih menyala. Kebutuhan akan berbagai macam buku anak untuk menggugah minat baca anak-anak Papua merupakan sebuah keniscayaan. Jika kita gagal membina mereka saat ini, kita akan menemukan mereka dijalanan dengan pikiran kacau penuh minuman keras. 10 tahun lagi, itulah fakta lain dari kehidupan pemuda Papua.

Maka dari itu, dari pemikiran dan kejernihan hati yang dalam, kami keluarga besar Sekolah Menulis Papua mengajak semua kalangan yang peduli kepada kemanusiaan untuk menyumbangkan buku-buku dari tanah sebrang. Demi kemanusiaan, menyumbang buku di sini, adalah sama dengan menyumbang dunia.


[1] Laporan Jurnalistik Kompas. 2009. Ekspedisi Tanah Papua. Penerbit Buku Kompas: Jakarta

[2] ibid