Ku lepas kaos biruku untuk menantang dinginnya malam. Di
luar, malam pekat seperti biasanya. Hutan ini terasa ramai, hewan-hewan kecil
yang kami koleksi sejak kemarin membuat bising seluruh penghuni kamar. Aku
sendirian, dan aku pernah merasakan hal ini ketika berada di gunung bromo.
Sendirian, dingin, lapar, dan seperti orang asing yang sedang mencari suaka,
aku terlantar.
Setelah itu aku tidak bisa tidur lagi. Aku terus berada di
luar sambil mendekapkan kedua tangan yang kupunya, seakan ingin kumiliki seribu
tangan yang bisa menutupi seluruh permukaan kulitku yang telanjang. Entah ada
partanda apa, aku seperti ingin pulang, tidak pernah aku merasa semendadak ini.
Pikiranku yang ingin terus mengembara, kalah dengan keheningan total yang
kurasakan malam ini. Apakah ada sesuatu yang terjadi, sesuatu yang harus aku
selesaikan di luar sana? Atau di luar pulau ini?
Kuhitung jam yang bergerak menyerupa daun jatuh. Tik tok,
tik tok, seperti jam dinding yang kesepian. Kuhampiri temanku, melihat betapa
pulasnya ia tidur, seakan tidak ada yang mengusiknya sama sekali. Aku tidak
tahu apa yang sedang kufikirkan, padahal esok pagi, aku harus menyelesaikan
penjelajahanku pada petak ke 51 dari hutan seluas 1.400ha ini. Semua ada 90
petak, dan aku hampir menjelajahi 2/3 dari seluruh hutan. Oh, malam yang
dingin, adakah yang ingin kau sampaikan kepada hatiku yang malang?
Malam yang mulai beranjak, jam yang lama berjalan, membawa
semburat merah jingga di kejauhan. Aku melihat sinarnya yang kemuning, dan itu
tetap saja indah. Tidak, tidak, aku harus segera menuntaskan apa yang ada di
hatiku, aku harus menuntaskan apa yang membuatku gundah. Di sini tidak ada alat
komunikasi yang bisa dijangkau. Tidak mungkin hapeku bisa di hubungi. Dan aku
ragu untuk melanjutkan perjalanan menapaki hutan ini. Setelah matahari terbit,
aku akan menelusuri jalan menuju ke bawah, semoga aku bisa sampai pos terakhir sebelum
malam menemukanku. Aku harus ke pulau Jawa.
*
Aku tiba di Bandara Internasional Soekarno Hatta, dini hari
pukul 03.40. Sebuah taksi berawarna orange meluncur dari kejauhan lalu berhenti
tepat di depanku. Aku menunjukkan sebuah alamat, tepatnya nama kampus, lalu
duduk diam hingga tertidur. Empat jam berikutnya, aku sudah dibangunkan dan
mendapati diriku berdiri di depan stasiun listrik Universitas Indonesia. Ada
enam puluh tiga pesan di hapeku sejak aku keluar dari hutan di Maros kemarin.
Anehnya, aku tidak mendapat pesan darurat satupun. Sungguh, jika begini, aku
tidak bisa lagi percaya pada hatiku.
Hanya ada satu pesan yang datang dari seorang perempuan yang
membuatku datang ke tempat ini, dan itupun bukan melalui hape, tapi melalui
facebook. Ah lelaki, selalu bisa mempertaruhkan segalanya demi perempuan
–bahkan perempuan yang tidak ia kenal sama sekali.
Aku datang ke stasiun itu, masuk ke dalamnya seakan-akan aku
telah lama tinggal di sana. Tas ranselku kutitipkan ke petugas berseragam, lalu
mencari kamar mandi terdekat. Kutenggelamkan kepalaku ke bak mandi beberapa
detik, mencuci seluruh tubuhku, membasuh luka-luka di kaki akibat duri tajam
semak belukar. Lalu dengan berlagak menjadi orang yang benar-benar baru, aku
keluar kamar mandi dengan ekspresi yang bersuka cita.
Ku pakai kaos hijau hadiah dari komunitas backpacker di
Lampung beberapa bulan yang lalu. Kaos yang selalu berucap “backpacker, besar
dan dewasa di jalanan Nusantara”. Dan aku tersenyum setiap mendengar kaosku
berbicara kepadaku.
Aku menuju ke perpustakaan UI yang gaungnya telah sampai ke
dunia internasional tersebut. Ini adalah perpustakaan terbesar se-Asia
Tenggara. Aku bisa membayangkanya sebagai sesuatu yang besar dan sombong. Tentu
kuberharap besar pada perpustakaan semacam ini, andaikata mahasiswanya juga
terbilang hebat. Yah, UI adalah representasi dari Indonesia secara umum, maka
jika aku ingin melihat bagaimana hebatnya Indonesia, aku cukup melihat itu dari
kampus ini.
Maka sampailah aku di pintunya yang besar, disambut dengan
tulisan aneka bentuk dan aneka bahasa hingga aku tidak bisa mengenalinya. Aku
melirik ke kanan-kiri, kanan-kiri, dan memilih duduk di sofa yang melingkar
mengelilingi meja-meja kayu hitam yang artistik. Ku keluarkan laptopku, membuka
facebook, berharap ada pesan dari perempuan itu. Aku bergumam sendirian, ia
tidak mengirimiku pesan lagi. Kemanakah dia? Di ruangan bagian mana?
Ku duduk saja di sana sambil memainkan laptopku, juga
memainkan imajinasiku. Ku pandangi setiap perempuan yang aku perkirakan seperti
dia. Macam orang kebingungan di tempat asing, atau seperti perempuan yang
mencari seseorang yang bisa di tanyai –tapi ia selalu ragu untuk bertanya, juga
bisa seorang perempuan yang sibuk mempermainkan hapenya, seakan-akan dia tidak
sedang kebingungan.
Ku melihat wajah-wajah. Perempuan pertama berlalu, wajahnya
tidak seperti yang aku lihat di fotonya. Ah, kenapa foto perempuan itu selalu
tidak simetris? Seperti ingin menyembunyikan kecantikannya, tapi, tentu, tentu
saja foto-foto itu bisa mencuri kencantikanmu. Perempuan berikutnya, berwajah
oval dengan mata agak berbinar sedang memainkan hapenya sambil berjalan. Lalu
dua orang yang lain serentak menyergapnya dari belakang dan mereka
tertawa-tawa. Ah, tentu bukan dia.
Yang lain lagi, ku lihat seorang perempuan dengan senyumnya
yang terus terpasang membaca buku tebal berwarna coklat di sofa agak jauh dari
tempatku. Ah, mungkin dia, tapi dari struktur wajahnya, dia berbeda dengan
perempuan yang aku kenal dari facebook itu. Dia membalik bukunya, lalu mencatat
sesuatu, membalik bukunya lagi, lalu mencatat lagi. Dia tentu mahasiswi UI yang
rajin ke belajar…
Kualihka panganku ke seorang gadis yang berdiri memandangi
lekuk-lekuk kayu berukir yang berada di tengah-tengah ruangan. Dia mungkin
sekali perempuan itu, ya, kuletakkan laptopku di meja, lalu berjalan mengarah
kepadanya, tiba-tiba suara perempuan di belakangku menghentikanku, aku tekejut,
berdebar, lalu menoleh kepadanya; dia cantik, bermata sipit, tersenyum… “Kak,
jangan meninggalkan laptop di sini, khawatir hilang”. Aku tersenyum pula dan
mengucapkan terimakasih, dan gadis yang tadi hendak kuhampiri telah hilang.
Akhirnya aku merampungkan beberapa puisi, lalu berjalan
lagi. Tas ranselku kutitipkan kepada petugas perpustakaan yang berada agak ke
dalam. Aku naik ke lantai dua di mana buku-buku di pajang. Sepanjang perjalanan
itu, aku terus memperhatikan perempuan yang aku berharap perempuan itu juga
memperhatikanku. Tapi tak satupun, tak seorangpun yang memperhatikanku. Kenapa
semua orang di sini tidak begitu tertarik denga orang lain? gejala apa ini?
Perempuan berjilbab ungu berdiri bersandar pada dinding di
luar ruangan. Ia membaca buku berwarna hitam dengan serius. Di sampingnya ada
komputer yang biasa di jadikan “search engine” untuk mencari koleksi buku di
perpustakaan ini. Maka aku mendekati komputer itu sambil menduga-duga bahwa
dialah perempua yang ku cari. Sambil mengetik buku karangan Tere Liye, aku
melirik buku yang di baca gadis itu. Itu buku matematika, ah, tidak mungkin
perempuan perawat itu membaca buku matematika.
Terus saja aku melewati lorong-lorong yang bisa ku lalui.
Menaiki lift, turun ke lantai dasar, naik lagi dari tangga, berjalan-jalan, dan
menilik beberapa perempuan yang aku bayangkan sebagai perempuan itu. Ah, hm…
sulit sekali mengenali seseorang yang tidak kita kenal. Semoga aku tidak gila
atau semacamnya.
Akhirnya aku keluar dari perpustakaan, memandangi danau luas
dengan percik airnya yang kemilau tertimpa sinar matahari. Sudah siang.
Kuberjalan menelusuri pinggiran danau itu hingga berakhir pada sebuah kantin.
Ku akan menunggu keajaiban perempuan itu sambil makan siang, barangkali saja dia
lapar dan beruntung kami bisa bertemu di kantin. Aku bisa mentraktirnya ice
cream, kopi latte, teh caramel, atau juga air putih.
Di kantin yang tidak terlalu lebar itu aku memesan segelas
kopi susu cappucino, lalu makan lontong sayur, dan sebagai penutup aku memesan
ice cream dengan sirup dari lidah buaya. Lidahku rasanya mencair mendapati
kenikmatan ice cream di tengah hari yang panas kota Depok. Huh, kemana lagi aku
harus mencarinya. Pesan di facebook itu hanya “aku hari Selasa minggu ini akan
berada di perpustakaan UI”. Dan aku mengirim balasan tapi tidak ada tanggapa
sama sekali. Bagaimana aku harus mencarinya?
Ku buka laptoku, menulis semua kejadian yang telah terjadi.
Mengungkapkan semua yang ada, juga beberapa kekesalan karena kita seperti
mencari ikan berwarna gelap ditengah kolam yang ikannya berawarna hitam.
“Ya ya, lelaki bodoh. Aku adalah lelaki bodoh yang pergi
begitu saja dari Makassar menuju Jakarta, berlari ke Depok, demi mau menemui
seorang perempuan yang bahkan kami tidak pernah bertemu, hanya bertukar pesan
lewat pesan facebook, dan bahkan aku tidak tahu dimana dia berada. Bukankah ini
perpustakaan terbesar se Asia Tenggara? Itu berarti, kau sama dengan mencari
seorang perempuan dengan mengelilingi seluruh perpustakaan di Asia Tenggara
ini. Wahai diriku sendiri, fahamkah kau dengan kejadian ini? Sebaiknya kau pulang,
menemui Ibumu, dan meminta maaf karena telah melakukan kebodohan yang teramat
sangat”
Aku bernafas lega setelah mengungkapkan itu. Aku tersenyum
sendiri, menyadari betapa kebodohan hampir memenuhi setiap jiwa lelaki jika
bertemu dengan perempuan. Oke, aku menutup laptopku dan berniat mengakhiri
petualangan gilaku ini.
Kelanjutannya ada dua macam, sad ending, dan happy ending. Tapi lebih baik kalau membaca yang sad ending dahulu. Klik di bawah ini :
1. Sad Ending
2. Happy Ending
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.