“Ah…aa”
“Clara? Kan?”
Pertemuan itu berlanjut di kantin yang kusebutkan tadi. Aku
memesankannya segelas besar es soda, aku tidak tahu kesukaannya apa, tadi ia
kusuruh pesan sendiri tapi dia masih tertegun dengan pertemuan ini, sedangkan
pelayan kantin sudah menunggu. Aku mencoba biasa, tapi aku juga tidak mampu
bercakap banyak sebagaimana biasa. Perempuan ini, tiba-tiba saja menjadi
sesuatu yang membuat musim menjadi dingin.
“Aku hanya mengabarimu saja, tidak lebih, tidak menyangka
bahwa kau akan mengunjungiku ke sini… ah, kau benar-benar gila” Dia tergelak
sendiri.
Aku hanya memandanginya saja, mencoba menyimpan kegilaanku
pada kedua mataku. Dia tersenyum, tertawa, bercerita bagaimana ia begitu kaget
dan tidak mampu mengatakan apa-apa melihat aku berada di sini. Dan tidak ada
yang kulakukan kecuali tersenyum sambil memandanginya. Kalau ada lima Clara,
dan di tanyakan kepadaku mana yang paling cantik, maka aku akan mengatakan
bahwa ada delapan Clara yang cantik.
“Aku ingin menuliskan sesuatu, boleh?” aku tersenyum. Ia
juga tersenyum tapi tidak memberi jawaban pasti. Namun aku tahu kalau
jawabannya “Ya, silahkan…”.
Maka aku membuka buku kecilku, menyiapkan pena faster yang
tebal, lalu menulis dalam bayangan matanya yang teduh.
“semua yang merayap dalam kelam malam yang dingin, telah
tersapu dalam pesona bunga kamboja yang mekar pagi ini. pertemuan yang tak
terencana seperti sebuah pesta para cinderela, adakah kau merasa bahwa ini
begitu cepat? Tangan-tangan takdir yang kau bicarakan, telah memenuhi
ketetapannya. Dan siang ini, betapa salju telah luntur dalam teduh matamu”
Ia mengintip. “Ah, aku kira kita telah sepakat tentang
pujian?” ucapnya mengingatkanku tentang awal percakapan kami.
Aku tertawa, mencoba mengingat bagian terbaiknya. “Ya, aku
ingat, dan lagi pula, itu sudah lama. Sepertinya laki-laki ditakdirkan untuk
memuji perempuan, jika kau tidak suka, berarti kau tidak menyepakati apa yang
di tetapkan oleh Tuhan”.
“Ya ya ya, tuan penyair, segeralah menyelesaikan tulisanmu.
Akan kubawa pulang dan kutempelkan di dinding kamarku untuk mengingat bahwa ada
lelaki gila yang memujaku di siang bolong”
Kami tertawa bersama. Waktu terus merayap seperti kejut listrik. Kulihat soda dinginnya telah habis tanpa sisa, dan aku masih bisa merasakan bagaimana manisnya bertemu dengannya. Ah, rasa-rasanya, aku tidak ingin lagi mengelilingi dunia.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.