“Cahaya bintang tidak secemerlang dulu”. Kata orang tua ini pelan-pelan.
“Lampu perkotaan telah lama menggantikan cahaya-cahaya bintang, kunang-kunang, dan terutama bulan –sudah tidak menarik lagi kecuali bagi penyair yang sedang jatuh cinta”. Malam itu aku sedang menunggu seorang perempuan tua yang sepertinya hendak melewati malam terakhirnya.
Sebagai sang utusan, aku akan mendampinginya hingga ia menyelesaikan waktunya, kebetulan aku tidak sedang terburu-buru. Ibu tua itu duduk sendirian memandang langit yang menghadirkan kenangan akan cahaya-cahaya gemerlap ketika ia masih kanak-kanak. Wajahnya kusut, rupanya hatinya sedang terperangkap dalam lubang kesedihan yang dalam. Berkali-kali ia menyalakan korek api yang ada di tangannya, tapi tangannya terlampau ragu untuk membakar cahaya.
Lalu ia berkata seakan memberitahuku “Ketika dadamu sesak, ketika hati tak mampu lagi, nyalakan api dan bakarlah matahari, bakarlah bulan, sehingga tidak ada lagi cahaya yang akan menampakkan dukamu” kata bunda suatu malam, dan di malam-malam yang lain, sekarang, aku adalah bunda dari anak-anakku. Anak-anak yang hidup di zaman yang tidak pernah ter-bayangkan oleh bundaku atau olehku sewaktu masih sekolah”.
“Mereka telah mengenal apa itu free sex, sebuah kosa kata yang begitu asing ketika aku hidup, bahkan ketika aku mencicipi perkuliahan pertamaku di Surabaya, aku masih belum mengenalnya dengan baik, dan sekarang, anak-anakku telah menjamahnya, menjadi salah satu dari malam-malam mereka. Lalu tempat-tempat untuk bermabuk-mabukan, diskotik, dan acara-acara perkumpulan atau pesta yang hingga melewati tengah malam. Aku merasa tidak lagi mengenal zaman”
Kadang dadanya sesak sendiri jika mengingat anak-anaknya yang jauh. Tapi ia selalu me-leraikan dadanya sendiri agar menjadi jiwa-jiwa yang tenang. Ia benar-benar tengah menunggu perjumpaannya denganku untuk membawanya kepada keabadian. Ia mengelus dadanya sendiri, berkata lamat-lamat “sabarlah, wahai jiwa-jiwa yang tenang. Sabarlah jiwa-jiwa yang tenang”. Lalu ia memejamkan mata, bernafas pelan-pelan. Kemudian berkata lagi.
“Sekarang aku terbenam di rumah sakit, sendirian. Anak-anakku pergi mencari pekerjaan dan uang. Mereka tidak akan pernah merasa bahwa hari tua begitu menjemukan kecuali mereka mengalaminya sendiri” ia terpejam lagi, kembali bernafas pelan dan melanjutkan pembicaraannya.
“Anakku, yang tertua adalah seorang penulis, kata orang-orang anakku yang satu ini begiu peka terhadap permasalahan sosial dan banyak membantu menyadarkan orang-orang yang sedang tamak terhadap dunia. Anakku yang sa-tu ini, ajaib, begitu orang-orang bergumam.
Tulisannya mencerdaskan, tulisannya serupa kebijakan yang lahir bagai air yang mengalir, ditulis dengan tinta emaspun tidak sepadan. Aduh, banyak sekali pujian kepada anakku yang penulis, tapi aku sendirian saja yang menyim-pan bagaimana ia memperlakukanku sebagai seorang ibu. Oh, tidak, bukan berarti anakku jahat padaku, tidak, buka begitu. Ia adalah se-baik-baiknya anak, ketika datang, ia membawa permasalahan dan aku memecahkannya dengan bijak. Lalu ia akan mencium keningku, kedua pipiku, lalu pergi menyongsong tulisan-tulisannya yang lain hingga bertahun-tahun tidak muncul. Lalu ia datang lagi dan menciumku lagi, dan pergi lagi. Aku tahu ia sayang padaku”
“Aku juga memiliki anak yang menjadi pejabat ibu kota. Katanya ia teman dekat gubernur. Aku tidak tahu kalau itu berarti sesuatu. Hanya saja, ia seperti orang penting yang selalu di kawal oleh orang-orang yang memakai kemeja putih dan jas hitam, plus kaca mata hitam dan bertubuh kekar. Di televisi dulu, aku melihat kejadian begitu sebagai orang kaya atau memang pejabat yang diiringi oleh intel dan militer”.
“Anakku lagi, sekarang menjadi tokoh agama di Kalimantan. Menurut orang-orang yang datang dari perantauan, anakku itu, si Halim telah mengubah namanya menjadi seperti orang Arab, panjang kalau disebut. Fotonya memakai udeng dari surban dengan puncak yang tinggi dan melebar seperti planet saturnus. Foto itu masih di kamarnya dulu, menjadi pajangan, dan sekali-kali aku menengoknya untuk melihat bagaimana ia akan menuju surga. Tapi apalah daya, mungkin Tuhan sedang mengujinya dengan ketaatan itu. Kadang Tuhan tidak pernah bisa ditebak”
Ia terbatuk-batuk. Ada darah yang keluar bersamaan dengan ludahnya yang menghitam. Angin malam begitu dingin, seharusnya dokter mengawasinya dan tidak membiarkannya duduk sendirin di luar begini. Ah, atau dokter memang sudah tahu kalau ibu ini akan meninggal sehingga dibiarkannya saja?
“Kemudian anakku yang lain, seorang demonstran, telah menjadi mahasiswa selama 9 tahun, berpindah-pindah seenaknya. Ia dipenjara karena sabu-sabu. Aku tidak tahu bagaimana bisa anakku terlibat barang haram begitu. Padahal selama bersamaku ia rajin beribadah di masjid dan pada waktu-waktu tertentu ia memberi makan anak-anak yatim dipanti asuhan. Ia juga sayang padaku, rajin memberi-kan padaku makanan yang enak. Ia adalah yang terbaik dari semuanya, selalu disisiku untuk menjagaku. Bahkan ketika ia mau menikah, syarat satu-satunya yang membuat ia gagal adalah karena dia dan istrinya harus tinggal disini menungguku hingga aku meninggal. Dan istrinya tidak mau karena ia mempunyai ibu yang serupa, yang harus di jaganya juga. Aku mema-hami itu, tapi anakku tidak. Akhirnya mereka gagal melanjutkan hubungannya. Begitulah anakku”.
Kisahnya miris sekali. Aku hanya bisa meng-gumam, lalu kupegang tangannya yang hampir dingin. Ia tidak merasakan apapun, hanya dadanya yang mengembang dan mengempis dengan cepat. Ada ribuan masalah bercokol disana.
“Sedangkan Bella, kuberi nama seperti tokoh perempuan dalam film twilight, perempuan karya Stephenie Meyer yang terkenal itu. Namun ia tidak menjadi hero karena namanya, hanya ia dicintai begitu banyak pria dalam waktu bersamaan. Anakku gadis ini, sekarang mahasiswi di universitas megah Surabaya. Aku tidak sanggup menceritakan bagaimana ia hidup. Ialah yang telah mengenal jauh dunia yang tidak ada di duniaku dulu. Ia membuatku mati berdiri. Kecantikannya yang luar biasa membuatku menyesal karena sewak-tu mengandungnya, terus-menerus ku bacakan al quran surat yusuf. Ia lahir dengan kesempur-naan perempuan, lalu menjadi kesempurnaan bagi lelaki-lelaki penikmat keindahan. Lelaki-lelaki itu tidak pernah punya anak perempuan yang disetubuhi ramai-ramai, tidak punya adik yang disetubuhi pacarnya, juga tidak punya kemaluan untuk menyetubuhi anak sekaligus saudara orang lain. Meski dengan cinta, aku ti-dak pernah akan rela dengan mereka”.
Ia terdiam sebentar, terbatuk-batuk. Kema-rahannya memuncak ketika membicarakan ten-tang lelaki-lelaki yang berpacaran karena men-gejar nafsu belaka. Nafasnya benar-benar tidak teratur, hampir akan putus. Lalu ia tertidur se-lama satu menit. Aku masih menungguinya dengan sabar. Kemudian ia bangun dengan ke-kagetan, memandang sekeliling, dan berkata “Apakah kau sudah datang Izrail?” aku diam saja, aku masih yakin bahwa ia tidak bisa me-mandangku dengan mata dunianya begitu. “Ah, kau malah diam saja, apa yang kau tunggu?” katanya lagi. Aku tetap diam saja. Lalu ia me-lanjutkan keluh kesahnya.
“Anak-anakku, begitu teganya mereka pa-daku. Membiarkanku roboh sendirian di kamar mandi dan aku memanggil ambulan dengan te-nagaku sendiri. Menggeser pelan-pelan bokong-ku yang sudah kusut, menggapai-gapai pesawat telepon dan belum sempat aku berkata apa-apa di telepon, aku sudah tergeletak menjijikkan – kau tahu, dengan tahi dan air kencing yang berceceran. Sungguh, kau tidak akan pernah ingin ditemui orang yang kau kenal dalam kea-daan seperti itu, apalagi malam itu orang yang tidak ku kenal juga ikut membawaku ke rumah sakit. Ah, percuma, kau tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana sakitnya itu”
Ia terdiam lagi. Memejamkan mata. Lamat-lamat ia berkata lagi, mungkin untuk yang te-rakhir.
“Aku masih mengingat bagaimana ibuku terbaring di dipan dan berkata padaku “Ketika dadamu sesak, ketika hati tak mampu lagi, nya-lakan api dan bakarlah matahari, bakarlah bulan, sehingga tidak ada lagi cahaya yang akan menampakkan dukamu”.
Ia menggapai korek api dan memicingkan matanya, lalu pelan-pelan ia menyalakannya dan mengarahkan kepada lampu-lampu yang ada dari tempat ia duduk. Ia membayangkan itu telah membakar cahaya dari lampu-lampu. Lalu ia mengarahkan korek apinya ke bintang dan rembulan di langit, membayangkannya lagi, bahwa cahaya-cahaya sudah terbakar. Lalu ia mulai melepaskan bajunya, membakarnya tan-pa ekspresi yang bisa kutebak. Rupanya botol air minuman itu tidak seperti yang kubayangkan. Botol itu berisi bahan bakar, ia meraihnya dan mengguyur tubuhnya yang keriput dengannya. Ia tersenyum padaku:
“Kuharap kau sudah tidak sabar, Izrail! Akulah cahaya bagi anak-anakku, aku akan membakar cahaya itu sebagaimana ibuku membakar cahayanya bagiku”
15 November 2011
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.