2019-06-13

Review Film Breaking Bad

Poster Serial TV Terbaik : Breaking Bad

Seseorang bisa berbalik menuju versi yang sangat bertolak belakang jika menghadapi kondisi yang sangat mendesak. Bayangkan, seorang guru kimia SMA, yang seharusnya mendidik dan mengajari kebaikan-kebaikan, lalu memutuskan menggunakan keahlian kimianya untuk membuat satu jenis narkoba 'methamphetamine', didistribusikan, dijual, dan memiliki keuntungan yang besar. Terlihat seperti film yang keren bukan? 

Kenyataannya, ketika Vince Gilligan, penulis dan produser Breaking Bad, menawarkan ide film itu ke studio Sony America, ia malah mendapat penolakan. Kata sang CEO, ide film ini adalah yang terburuk dari seluruh ide serial tv yang pernah ia dengar. Tapi toh ide ini tetap diakomodir meski tidak dengan keyakinan penuh. Lalu tiba-tiba 'Boom!!!', Breaking Bad menjadi serial TV terbaik sepanjang masa, mendapatkan 26 nominasi internasional, dan serial tv dengan rating tertinggi dari Guinnes World Records.

Galligan sebenarnya mendapatkan inspirasi menulis naskah film ini dari kejadian nyata adanya laboratorium sabu di Brooklyn. Dari ceplosan santai bersama rekannya, jadilah Breaking Bad. Bagi Galligan yang bukan seorang kimiawan, tantangan berikutnya adalah bagaimana agar benda-benda di dalam film ini -yant berhubungan dengan kimia- tetap masuk akal. Ia kemudian menjalin kerjasama dengan salah seorang doktor kimia dari universitas untuk membantunya merumuskan bahan kimia yang tepat di film tersebut.

Tapi serius, film ini memang keren, karena film semacam ini hanyalah sebuah angan-angan bodoh dari setiap siswa yang membayangkan garam (NaCl) menjadi sebuah bom. Yang keren dari film ini bukan hanya preview seorang guru yang menjadi produsen narkoba, tapi juga proses dan perjalanannya yang gagap menuju tempat yang sangat berbeda; bandar methamphetamine (meth) bernama Heisenberg.

Plot yang terjalin dalam film ini mirip seperti Game of Throne, yang hampir terjebak dalam kebingungan mengakhiri sekuelnya. Untungnya Breaking Bad segera berakhir sehingga tepuk tangan masih meriah. Ibarat Curt Cobain yang mati ketika Nirvana sedang jaya-jayanya di tahun 1990-an. Menurut pengakuan penulisnya, karakter dan bangunan ceritanya sering ada yang disesuaikan dengan improvisasi di lapangan, baik oleh pemain maupun sutradara. Barangkali ini yang membuat suatu cerita akhirnya tidak akan berakhir mengenaskan.

Di awal season, saya merasa keren ketika mengetahui bahwa ilmu kimia yang membosankan akhirnya bisa dibikin film yang keren. Di film ini, selain kimia bisa digunakan untuk membuat meth (sejenis sabu-sabu), juga dibuat untuk membentuk suatu bom berkekuatan tinggi untuk mengintimidasi bandar narkoba. Lalu juga, kimia digunakan oleh tokoh utama, Walter White (Bryan Carnston) untuk menghancurkan tubuh manusia yang dibunuhnya.

Film ini berjalan semi lambat tapi kadang cepat, khas serial tv yang bakal menghabiskan waktu yang panjang. Walter digambarkan sebagai sosok guru protagonis yang naif, baik hati untuk menyebarkan ilmu, bekerja serabutan sebagai pencuci mobil karena istrinya berhenti bekerja karena hamil besar. Anak satu-satunya cacat dan Walter merasa bertanggung jawab terhadap seluruh keluarganya. Tipikal pemain utama dalam sinetron Indonesia; baik hati, banyak tanggungan, lalu dijahati orang. Persis, ia dikerjai oleh siswa berandalan yang kaya, ketika ia mencucikan mobilnya ke Walter.

Sebagai sosok yang baik dan lemah, Walter tidak cocok menjadi penjahat. Ia lebih pantas berubah dari guru menjadi seorang pastor atau pendeta. Tetapi nasib berkata lain, ia didiagnosa menderita kanker yang akan membunuhnya dalam beberapa minggu ke depan. Walter ketakutan, bukan takut mati, tapi takut ketika keluarga ditinggalkannya dalam kemiskinan dan hutang. Melalui plot yang aneh dan kebetulan konyol, dia bertemu dengan mantan murid SMA-nya yang jago membuat meth dengan ciri khas 'chili powder'.

Ia kemudian bekerja sama dengannya, Jessie Pinkman (diperankan oleh Aaron Paul) untuk membuat meth. Jangan dibayangkan bahwa ajakan kerja sama itu berjalan lancar, tentu dengan tawar menawar alot, dialog dan aksi, saling ancam dan sebagainya. Hasil akhirnya, mereka membeli satu mobil box besar untuk dijadikan dapur membuat meth. Mobil itu dibawa ke padang sabana yang kering di Meksiko, lalu mereka mulai memasak meth. 

Sebagai ahli bahan kimia, Walter sangat percaya diri. Ketika kristal-kristal meth sudah jadi, Jessie yang juga seorang pemadat berpengalaman, terkagum-kagum dengan meth buatan Walter. Ia melihat bahwa meth buatan Walter sangat murni, berbeda dengan meth yang sekarang beredar di pasaran. Dari sana, Jessie dan Walter berpetualang untuk menjadi pengedar (diwarnai kematian Intel polisi), pemasok (bom canggih yang diciptakan Walter dan memporak-porandakan markas Tuco sang bos narkoba), hingga akhirnya Film ini sangat sibuk merangkai seluruh kisah agar tetap masuk akal dan menarik.

Satu hal lagi yang patut dicatat dalam film ini adalah alurnya yang tidak mudah ditebak. Sebagai tokoh sentral, seharusnya Walter menjadi sosok yang superpower, tidak mudah dikalahkan, juga penuh keberuntungan. Tetapi berkali-kali malah Walter terjebak dengan kehidupan complicated, hampir tertangkap kakak iparnya sendiri yang seorang anggota DEA (semacam polisi narkoba), bercerai, juga berurusan dengan pengacara maniak, dan persoalan lain yang tidak berhubungan dengan narkoba.

Kisah tentang bagaimana pergolakan pengedar hingga bandar narkoba di sini lebih realistis dan terang benderang. Menjadi bandar narkoba tidak semudah di film-film kriminal lainnya. Pembunuhan memang pasti akan mewarnai, bakal ada bom yang meledak, adegan tembak-tembakan, dan darah kemana-mana. Di breaking bad memang ada moment itu tapi tidak difilm kan secara lebai dan penuh drama. Bandar narkoba Tuco Salamanca, misalnya, pernah tembak-tembakan dengan Hank, ipar Walter yang juga anggota DEA (polisi narkoba) secara wajar, penuh emosi, dan Tuco tertembak. Masuk akal dan bagus.

Film dengan genre semi kriminal semi drama harus memiliki kekuatan di realitas ceritanya. Sekali ia terjebak dalam aksi superhero, maka ia akan sulit keluar dari kenyataan yang sesungguhnya. Persoalan moral juga menjadi penting dalam film ini, bahkan terjadi pertarungan yang kuat, antara kebaikan Walter sebagai guru dan keinginannya untuk menjadi bandar narkoba. Sepanjang film, sering saya merasa tidak tega akan nasib Walter, ingin menyudahi menonton ketika Walter mendapat kesempatan menjadi orang yang bahagia.

Tetapi kemudian saya berhenti khawatir, saya persilakan kepada Gilligan untuk mengatur film ini sedemikian rupa, dan saya tidak akan menuntut banyak hal tentang bagaimana penulis akan mengakhiri nasib Walter dan Jessie. Selamat menonton!.

2019-06-01

Lelaki


Kita didefinisikan oleh banyak hal. Biasanya terkait kekuatan otot, pikiran yang cemerlang, atau adrenalin yang berpacu menembus pegunungan dan lautan. Lelaki tidak boleh feminim. Ia boleh jadi berambut gondrong, tetapi harus garang. Ia bisa mencuci, memasak, dan menjahit tetapi musti melakukan segalanya dengan cara-cara maskulin. Tidak menye-menye, gak boleh nangis, dan menyelesaikan persoalan dengan baku hantam.

Betapa pernyataan di atas mengandung bias yang teramat. Beberapa definisi seorang lelaki memang penuh problem. Lelaki suka ngomong seenaknya dan bisa tidak ambil peduli dengan perasaan orang. Kata Alexander Supertramp dalam In to The Wild, "Fuck Society". Kita dibentuk oleh masyarakat kita melalui praktek bahasa yang maskulin, kita juga mengamininya, dan sesekali kita harus berontak dari masyarakat yang membentuk diri lelaki. Atau sebagai lelaki, seringkali kita lebih bangga dengan arogansi, menang sendiri, suka-suka, dan mengacungkan jari tengah kepada masyarakat.

Tapi di tempat yang jauh, di jiwa-jiwa yang damai dan tenang, di mana palung laut membeku pada otot dan otak lelaki, kita musti insaf. Bahwa menjadi lelaki tidak serendah itu. Kita musti menjadi ubermench -meminjam Nietzsche, menjadi pribadi yang menolak pakem-pakem yang dibuat oleh siapapun kepada diri kita. Manusia bebas yang benar-benar bebas, tidak didikte oleh keyakinan yang tak pernah kita ketahui kebenarannya. Kita memilih kebaikan karena baik itu muara kebijaksanaan.

Seorang lelaki harus bersikap 'ja sagen' -nietzsche lagi, yakni selalu mengatakan 'iya' untuk segala kehidupan yang datang. Kenikmatan yang kita peroleh, keluh kesah yang mengiringi keesokan harinya, kelahiran dan kematian yang mengelilingi sehari-hari, harus kita terima dengan : ya, kondisi itu datang untuk tidak dihindari. Lelaki musti menerima kodrat itu dan tidak pernah berpaling dari kehidupan. Lagi pula manusia macam apa yang lari dari segala konsekuensi kelahirannya sendiri?

Ketika kuliah dan kita tidak punya uang, miskin, terlunta-lunta, setiap semester harus datang ke Biro Keuangan Kampus demi meminta perpanjangan waktu; ya, kita harus menerimanya. Itulah kondisi yang ada dan musti kita selesaikan. Jika kita adalah lelaki jomblo yang sudah berupaya sekuat tenaga tetapi tetap gak laku, no problemo, no woman no cry. Kita yang setiap hari mendapat kebahagiaan, tidak pernah susah dan cenderung beruntung, ya, terima itu dengan suka cita.

Apapun yang datang, bahagia atau sedih, jangan lari. Sekali kita lari dari masalah itu maka kita akan lari selamanya dari kehidupan. Apakah ucapan saya sudah seperti motivator?

Oh tidak, karena motivator akan menyarankan anda untuk bertahan dengan berkata ; ya, saya yakin bisa, maka pasti bisa. Sedangkan saya akan memberikan saran dengan jalan serasional mungkin akibat dari konsekuensi mengatakan 'ya'. Mari menengok masalah pertama, persoalan ekonomi yang selalu menghantui mahasiswa di berbagai kampus, solusinya adalah : pertama, kerja lebih keras dari siapapun karena anda harus melawan ketidakmampuan ekonomi yang ditakdirkan oleh tuhan atau alam. Kau adalah alam itu sendiri, dan tuhan, tentu tidak akan serta merta memberikanmu uang jika tidak bekerja keras.

Kita cenderung lebih mudah menerima semua dengan pasrah, kalau tidak demikian maka kita lebih suka menyelesaikan masalah dengan mengumpat, menghujat, atau yang lebih lemah: curhat. Kita enggan berubah karena berubah itu membutuhkan tekad yang luar biasa sulit. Perubahan seorang penghujat dan pemalas menjadi orang yang paling bekerja keras ibaratnya memikul taurat dari atas tursina ke lembah berisi manusia sembrono gara-gara patung sapi emas.

Lihat saja di sekeliling kita berapa banyak yang mencoba berubah? Hampir tidak ada. Kita akan lebih banyak menemui orang-orang yang berencana berubah, hanya berencana beribah tetapi tidak ada realisasi apapun.

Kedua, pergi yang jauh dari kampus. Pergi dari kampus bukan untuk kabur lalu memaki dunia pendidikan yang semakin kapitalistik. Kau pergi yang jauh untuk memperoleh kesuksesan lainnya. Apakah kau yakin akan mengikuti persepsi umum bahwa jalan kesuksesan satu-satunya adalah melalui pendidikan tinggi? Fuck society. Jika kau berada di lingkungan yang memuja ijazah dan gelar akademis, hancurkan! Kau harus marah karena pendidikan tidak bisa ditempuh hanya bermodalkan belajar sungguh-sungguh. Ia butuh uang, waktu yang panjang, dan juga tekad.

Katakan ya pada seluruh yang datang kepadamu, jangan pergi, jangan lari. Menjadi lelaki harus lebih kuat dari beton dan baja yang membentuk gedung tinggi dan jalan tol di Indonesia. Jika semua terasa memuakkan, bising, dan stagnan, pergilah yang jauh. Rumah adalah tempat di mana kau lahir, bukan tempat di mana kau besar, bahkan bukan tempat kematian kita. Jika kau banyak berutang budi pada rumah, bayar secepatnya dengan seluruh yang kau punya. Lalu tinggalkan kotamu, tinggalkan rumahmu, mencari kekuatan superpower sebagaimana yang dimiliki Thanos.

Memang, hutang budi ke orang tua tidak akan pernah terbayar, tapi ingat satu hal : orang tua lebih bahagia jika kau sukses di negeri yang jauh, sesekali pulang membawa kebanggaan, bikin orang tua takjub, dibanding kau kembali ke pelukan mereka dengan kondisi mengenaskan, pulang beralibi menjadi anak yang berbakti. Itu adalah pilihan yang bertolak belakang yang harus dipilih oleh kalian para lelaki. Karena sejauh yang kukenal, lelaki masa kini banyak yang takut berkompetisi di luar wilayahnya, lalu pulang ketakutan dengan alasan membangun desa.

Jika kedua pilihan itu serasa janggal dan melankolis, maka okelah. Pulanglah dengan seluruh kebanggaan yang kau punya, kemudian jangan pernah merantau lagi. Hiduplah dari dan untuk desa yang menjadi ladang seumur hidupmu. Tumbuhkan dari ladang di kampung itu masyarakat mandiri dan tangguh, bangun menjadi basis kekuatan sosial yang baru dan tak kenal rasa takut terhadap modernisme, kau jaga kampung itu dari pembangunan wisata berkedok sosialis karena sesungguhnya hasil akhirnya adalah eksploitasi.

Menjadi lelaki itu sulit, tapi barangkali menjadi perempuan di negeri ini jauh lebih sulit. Maka sudah saatnya pemuda memilih jalan hidupnya akan seperti apa, karena jika lelaki tidak tegar seperti menantu yang tinggal serumah dengan mertua, maka kualitas macam apa yang akan diturunkan ke anak cucunya.