2019-01-20

Keluargaku yang Bahagia


(tulisan ini mengandung narsisme dan pemujaan berlebihan terhadap diri sendiri. waspadalah!)

Sebenarnya mau membuat sebuah tulisan tentang Kartini, tapi versi istriku. Judulnya bisa jadi 'Kartiniku di Rumah' atau semacam 'Kartini di Hatiku'. Tetapi agak sulit membayangkan bahwa Kartini akan mengerti menjadi istri dari lelaki biasa yang memiliki cita-cita luar biasa, tetapi cita-cita itu terpendam bersama kenyataan dan keikhlasan haha.

Jadilah aku membuat tulisan tentang istriku, yang juga perempuan biasa tetapi karena kami berdua mencoba hidup bahagia, lalu saling mencocokkan seluruh persamaan dan perbedaan, saling mengerti dan menerima apa yang terbaik dan memperbaiki apa yang buruk, jadilah ia istri terbaik yang bisa aku temukan saat ini.

Setelah menulis agak panjang, ternyata harus kuubah lagi fokusnya. Bukan menjelaskan tentang istri, karena menulis sesuatu seperti itu, di blog yang dibaca umum, rasanya menjadi agak kurang etis, kalau tidak dibilang memalukan. Karena itu kuputuskan untuk menulis tentang pengalaman berumah tangga yang harus selalu sesuai moto : membahagiakan. Karena rumah tangga bahagia itu bukan mitos.

Sejak tiga tahun kenal sebelum menikah, lalu sekarang memiliki anak berusia 5 bulan, kami sekalipun tidak pernah bertengkar. Kadang kami saling merasa beruntung ketika membandingkan dengan angan-angan di masa remaja akan jodoh yang akan kita masing-masing nikahi. Agak sembrono memang, membandingkan dengan sesuatu yang tidak riil. Tapi itu adalah salah satu cara mensyukuri hidup, bukan?

Kami hidup seperti manusia pada umumnya. Dia ibu rumah tangga yang sehari-hari di rumah, dan aku bekerja sejak pukul 08.00 - 15.00 WIB. Setelah aku berangkat kerja, istri tidak selalu menghubungiku untuk mengingatkan makan atau persoalan remeh lainnya. Itu membantuku fokus di tempat kerja. Tetapi sebisa mungkin aku mencoba wa istri karena di rumah saja tentu membosankan sehingga perlu diajak ngobrol -meskipun kadang aku balasnya lama karena sambil mengerjakan sesuatu.

Salah satu hal yang membuat kami bahagia adalah keterbukaan dan kepercayaan ke masing-masing pasangan. Sebagai lelaki, mungkin saya biasa saja dengan kondisi itu, ditambah istri tidak memiliki aktivitas di luar rumah. Tapi dia sebagai perempuan harus mendapat nilai plus karena saya lelaki yang menyukai aktivitas di luar rumah (bukan outdoor). Dia sering bilang "mas, aku cemburu kalau begini dan begitu", lalu aku jawab "oke, mas tidak akan begini dan begitu".

Ada beberapa kondisi yang kami tidak suka dilakukan oleh masing-masing pasangan. Tapi kami sampaikan juga. Dari sini kita belajar bahwa sesuatu yang terlihat keliru, tidak selamanya keliru, kadang ada pemahaman yang salah sehingga harus dikonfirmasi. Mirip-mirip sama kerjaan wartawan yang suka mengonfirmasikan berita hoax begitu. Nyatanya, banyak hal yang tadinya sepertinya salah, ternyata tidak sesalah itu jika dikomunikasikan.

Rumus sederhana dari dua orang yang menikah adalah cinta. Ingin muntah? Haha. Meskipun ini klise tetapi tetap kusampaikan karena ini membahas sesuatu yang serius. Bagi kalian yang sudah pernah mencintai orang lain, maka kebahagiaan orang lain itulah bahagiamu. Sama dengan, jika seorang anak sukses, yang paling bahagia bukan anak itu, tapi orang tuanya. Ketika saling cinta, maka kebahagiaan istri adalah bahagianya suami, dan kebahagiaan suami adalah bahagianya istri.

Bagi lelaki yang sudah berumah tangga 5 tahun, 10 tahun, dan seterusnya, memahami kondisi di atas tentu luas biasa berat. Atau bahkan saya akan ditertawakan. Karena selama ini, pernikahan yang sudah bertahun-tahun tidak lagi dibangun di atas pondasi cinta, tapi sudah terlanjur. Mereka berdua bertahan karena anak, karena keluarga besar, padahal sudah tidak ada lagi pembicaraan yang manis, tidak ada lagi gandeng tangan romantis.

Di keluarga kami, sentuhan, ucapan, dan perilaku sehari-hari sebisa mungkin ditunjukkan untuk mengungkapkan cinta. Tanpa ada acara tertentu, kami biasa berpelukan atau mengucapkan kata cinta yang manis ke telinga masing-masing. Perlu dicatat, lelaki biasanya tidak peka terhadap kondisi ini. Bagi lelaki, mengucap cinta ke istri itu menggelikan, bahkan cenderung menjijikkan. Padahal ini adalah pondasi yang kuat untuk meletakkan rasa bahagia di rumah.

Istri pernah mengucapkan kalimat yang bersungguh-sungguh dari hatinya. Bahwa pencapaian terbesarnya selama hidup, adalah menikah denganku. Lucu tapi ia serius mengucapkannya. Entah dengan alasan apapun, ucapan itu akan membekas di hatiku. Karena laki-laki suka dihargai menjadi pahlawan terbaik;semacam itu. Termasuk perlu ditulis adalah istri tidak pernah menuntut di luar batas kemampuan suami, ini yang keren dan tiada duanya.

Pernah suatu kali aku sakit selama satu minggu. Ia berangkat sendiri mengurus perpanjangan SIM di Polres Batu padahal dia baru dua bulan di sini. Dia tidak hafal tempat dan hanya mengandalkan google maps hingga tersesat. Membayangkan betapa mandirinya dia, sebagai lelaki, tentu aku terharu. Karena itu sebisa mungkin, akhirnya, aku harus selalu mengantarnya. Bahkan untuk perbuatan sepele seperti beli sayur dan lauk di setiap pagi.

Pun aku akhirnya harus mengimbangi dengan menjadi lelaki yang tangguh dan harapan terbaik bagi sang istri. Hampir jarang aku melarang atau menolak ketika istri mau belanja, betapapun belanjaannya nggak penting. Aku selalu bilang iya. Di hari-hari tertentu, secara acak, aku membelikan bunga mawar kesukaannya, sesekali coklat silverqueen meski mahal. Kutaruh bunga mawar di meja, kadang di atas bantal, sepulangku kerja. Begitu dia tahu ada bunga, dia akan berteriak, otomatis peluk, dan mengucapkan terimakasih.

Beberapa kali aku rela bolos kerja demi menyempatkan waktu untuk membawa istri keluar rumah. Kami makan di luar, sepeda motoran keliling kota, berakhir di taman dengan foto-foto untuk di upload ketika liburan. Istriku juga terus mempelajari masak-masakan yang enak. Salah satu hal yang menyenangkan adalah menemaninya masak, dia pegang wajan dan panci, aku memegang Gie.

Hubungan semacam ini tentu saja manis dan patut untuk dilanggengkan. Sayangnya, banyak sekali rumah tangga yang pupus di tengah jalan akhir-akhir ini. Sering aku mendengar lelaki yang sepulang kerja langsung sibuk dengan gadgetnya, menyapa anak ala kadarnya, dan langsung tidur. Banyak juga lelaki yang gengsi untuk menyapu rumah, mencuci piring kotor, atau berterimakasih kepada istri karena telah menjadi ibu rumah tangga yg luar biasa.

Aku dan istri memiliki banyak sekali perbedaan. Bisa dikatakan, persamaan kami hanya ada di satu atau dua hal saja. Misalnya kami sama-sama suka mie ayam. Selain itu semuanya berbeda. Tapi perbedaan ini tidak terlalu kami persoalkan karena tidak prinsipil. Kami banyak mengeksplorasi hal-hal yang mainstream, seperti jalan-jalan, makan-makan, dan menghabiskan waktu bercengkerama di beranda kontrakan.

Hidup sekali kuupayakan untuk tidak menyesal dari setiap pilihan hidup.
Mungkin istri pernah ragu menikah denganku dan akupun suatu waktu di masa lalu berharap lebih dari istriku. Tetapi itu tidak ada gunanya. Kami bahagia dengan pasangan pilihan tuhan, dengan cara yang kami upayakan dengan sungguh-sungguh. Setiap hari kami berbalas cinta dan tak satupun kondisi itu membosankan. Bahagia adalah pilihan berdua, bukan upaya dari satu orang.

2019-01-19

Ulasan Film: Sex Education



Kita tidak sedang membicarakan wacana pembelajaran seks bagi siswa sekolah. Sex Education adalah tv series original dari Netflix yang saya tonton sejak satu minggu ke belakang. Ide ceritanya menarik, sebuah film yang mengisahkan kehidupan anak-anak sekolah menengah pertama di Amerika

Protagonisnya adalah Otis Milburn, usia 16 tahun, siswa SMP yang tidak pernah berhubungan seks sekalipun. Jauh setelah film diputar, baru diketahui bahwa Otis mengalami fobia seks. Teman akrabnya, Eric, seorang lelaki pecinta lelaki, suka dandan dan memakai outfit mencolok ke sekolah. Ia dan Otis adalah lelaki biasa di sekolah, minoritas, dan cenderung rendah diri.

Tokoh protagonis lainnya adalah Maeve Wiley, salah seorang perempuan yang punya stereotip murahan dan terkenal dengan julukan 'penis bitter'. Maeve seorang pembaca buku feminist dan memiliki kehidupan yang semrawut dengan orang tua dan kakak seorang penjual narkoba. Maeve termasuk sosok yang mandiri di sekolah, apatis, dan tangguh.

Otis dan Maeve akrab gara-gara mereka mendapati Adam Grof di kamar mandi, yang pusing karena menenggak 3 tablet viagra. Penisnya mengacung keras dan tidak bisa mengecil. Sebenarnya Adam mengidap rasa tidak percaya diri akibat penisnya yang terkenal superb. Akibatnya ia tidak pernah bisa ejakulasi ketika main seks pacarnya.

Singkat cerita, Otis berhasil mengedukasi Adam untuk menerima kondisinya. Sehingga beberapa hari kemudian, Maeve tahu dari pacar Adam, bahwa ia bisa ejakulasi. Keberhasilan Otis ini tidak lepas dari posisinya sebagai anak seorang terapis seks, sehingga sejak kecil ia memiliki banyak pengetahuan soal alat kelamin sampai persoalan seksualitas.

Kondisi ini segera ditangkap Maeve sebagai peluang bisnis. Otis diminta menjadi konsultan seks sebagaimana ibunya, dengan kliennya adalah siswa sekolah yang memiliki banyak persoalan; pubertas, masalah tidak puas berhubungan seks, takut dengan kelamin, juga kecanduan masturbasi.

Dari sini kisah mengalir menjadi banyak cerita yang menarik. Tetapi bukan hanya soal Otis yang akhirnya banyak menyelesaikan persoalan seks teman-temannya, tapi lebih dari itu mengupas banyak persoalan remaja dan kehidupan siswa di Amerika.

Film ini banyak menggambarkan kehidupan yang riil, bukan seperti sinetron fantasi pada umumnya. Otis yang memiliki ibu seorang terapis seks malah fobia terhadap seks dan ibuknya pun tidak bisa menyembuhkan. Eric, sempat mengalami masalah berat dengan Otis yang menyebabkan hubungan mereka hancur lalu Eric harus mencari jati diri akan ke-homo-annya.

Maeve, yang sejak awal dijuluki 'penggigit penis' akhirnya juga bercerita bagaimana ia mendapatkan julukan itu gara-gara ia menolak berhubungan seksual. Ditunjukkan dengan jelas bahwa Maeve hanya berhubungan seks dengan seorang lelaki paling tampan, berkulit hitam, dan seorang bintang renang sekolah. Kehidupan pribadinya yang patut dikasihani juga terungkap dan inspiratif.

Adam Grof juga bisa disorot, sebagai seorang lelaki tinggi besar, suka mengganggu Eric, anak kepala sekolah, tapi selalu bermasalah dengan ayahnya. Semua tokoh digambarkan secara manusiawi, memiliki satu kelebihan dan banyak kekurangan. Tak terkecuali geng centil yang biasa ada di sinetron Indonesia, juga tidak menggangu secara fisik, tetapi bermain isu dan sinisme.

Film ini sangat greget mulai dari awal hingga akhir. Sebuah tontonan yang menghibur sekaligus memberi kita banyak perspektif soal etika dan moral di dunia ini. Apalagi kisahnya mengenai remaja yang rata-rata masih mencari jati diri. Semuanya sedang menghadapi masa puber yang menjengkelkan, juga menantang.

Mereka membentuk kelompok, menyusun strategi pertemanan, mencari trik agar memiliki pacar dan dapat berkencan. Bahkan di film ini ada seorang perempuan yang sangat ingin berhubungan seks sampai menawarkan tubuhnya ke siapapun yang dijumpai, termasuk Otis. Yang akhirnya dua orang ini hanya sampai telanjang di kamar tidur tetapi gagal melakukan tujuannya gara-gara fobia Otis.

Jika betul bahwa film merepresentasikan masyarakatnya, maka kita akan mengacungkan jempol ke bawah untuk bangsa Amerika. Etika timur yang kita anut di Indonesia sungguh bertolak belakang dengan yang terjadi di sana. Kita menjunjung tinggi asas kerahasiaan dan ke-tabu-an seks, sementara di sana diobral.

Dari sudut pandang pribadi, saya tidak menolak seksualitas bagaimanapun. Tetapi merayakan seksualitas sebagai tanda seorang remaja keren sungguh tidak patut. Jauh lebih berbahaya ketika seorang remaja malu tidak berhubungan seks dengan pacar atau teman sekolah, dibanding seorang remaja yang menjaga diri dari seks dan menyimpan moment itu untuk masa depan yang lebih siap. Seks tentu lebih baik dilakukan di ruang privat, dibanding di pesta-pesta sekolah.