2018-01-09

Intelektual


Sering dalam kondisi menggebu-gebu saya ingin menjadi bagian dari pemikir dunia. Tetapi dalam satu waktu, ketika angin mulai berhembus ke barat dan hujan turun tidak stabil, pikiranku menjadi kalut. Dalam wilayah lokal saja, pemikiran saya gagap menangkap banyak hal yang berkaitan dengan permasalahan sosial. Banyak peristiwa yang saya tidak tahu bagaimana awal mulanya, apalagi mengurainya menjadi solusi. Lalu saya mulai bekerja acak, membaca acak, dan tidak mencoba merumuskan tujuan sama sekali.

Kegelisahan-kegelisahan ini menjadi gumpalan mendung yang sering menghantam tengkukku. Bagaimana tidak, saat ini aku bekerja dalam industri intelektual yang mengagung-agungkan kemampuan analisis yang tepat dan tajam. Aku bekerja dalam industri yang sama dengan Horkheimer, Einstein, Al Ghazali, Emile Durkeim, Roland Barthes, Ibn Rusyd juga Bertrand Russel. Karena itu, membaca karya mereka membuat kegelisahan menjadi tak berujung. Semacam rendah diri yang meledak-ledak. Karena dengan belajar seribu tahun pun, aku akan sulit mencerna maksud dari cogito ergo sum-nya Descartes.

Karena itu, membaca buku sejatinya merupakan aktivitas psikologis yang mencoba memadu-padankan siapa diri kita kepada segala sesuatu. Membaca buku juga menjadi aktivitas perenungan yang mendalam ketika pada bab tertentu, kita menemukan sepenggal pemikiran yang sama, atau ketidaksetujuan yang menggelikan. Seketika itu juga kita akan dilalap berbagai macam kemungkinan-kemungkinan yang tidak ada jawabannya. Membaca menjadi aktivitas yang melelahkan, aktivitas yang berujung pada kematian berpikir yang menakutkan.

Kesakitan pikiran semacam ini sebenarnya banyak manfaatnya padaku. Paling tidak, ini menunjukkan bahwa aku masih manusia biasa. Pada beberapa tulisan lain, aku juga menunjukkan banyak kelemahan yang lagi-lagi, aku ingin berkata bahwa inilah manusiawi itu. Max Weber, ilmuwan sosial genius yang menderita sakit bertahun-tahun itu, juga berkata: penyakit semacam itu ada kompensasinya. Ia membukakan kembali sisi manusawi kehidupan, yang mana luput memberitahukannya padaku. Jadi, aku pikir, bagus juga menulis kesakitan-kesakitan pikir yang kualami di beberapa bagian kehidupanku.

Realitas Intelektual Kita

Maka suatu hari, saya lelah untuk menjadi sosok yang penting bagi dunia. Pada suatu titik, aku memahami bahwa kehidupanku dan kematianku tidak ada bedanya. 50 tahun dari sekarang, ketika aku mati, yang tertinggal adalah kenangan yang mungkin hanya bertahan 1000 hari di ritual cucu-cucuku –itupun jika mereka masih NU. Lalu dunia akan memunculkan sosok yang lain, sosok yang sama tidak bergunanya, atau satu sosok yang mewakili 1000 orang dalam kurun waktu tertentu.

Lagi pula, kelelahanku ini menemukan banyak pembenaran jika melihat tradisi intelektual di Indonesia. Pada banyak hal, kualitas pemikiran kita tidak akan menemukan dukungan jika tidak memenuhi persyaratan administratif. Bukan berarti aku punya pemikiran yang melampaui segala sesuatu sehingga harus dibebaskan dari beban adiministratif semacam. Tetapi karena aku masih mencari, maka contoh-contoh aktivitas akademisi menjadi menjengkelkan. Saat ini, menentukan kualitas intelektual seseorang menjadi sedemikian rumit mengingat kita bangsa yang suka santai.

Di kalangan akademisi, banyak yang menyebut bahwaintelektualitas kita didikte oleh Scopus. Orang-orang yang tidak bisa menulis jurnal yang terindeks oleh Scopus akan menemui kesulitan yang maha besar untuk jadi lektor kepala apalagi profesor. Jadi praktis, orang yang pandai dan tersohor sekalipun, jika tidak memiliki syarat administratif ini, maka akan gagal mendapatkan jaminan finansial yang dahsyat ketika diangkat sebagai guru besar. Dan bukan berarti aku tidak setuju soal Scopus. Aku akui, kita butuh standar untuk menentukan kualitas seseorang. Inilah kuantitatif itu. Kualitas kita ditentukan oleh kuantitas. Jadi Scopus itu bagus. Orang-orang yang serius dalam keilmuannya pasti suatu saat akan melampauinya.

Meski demikian, banyak orang di sekeliling industri intelektual ini yang santai dengan kondisi yang ada. Meskipun Scopus tidak bisa dikejar dengan jalan seadanya, namun tingkah kaum intelektual kita seakan-akan sudah bebas dari tugas terus belajar itu. Maka banyak orang, terutama pengajar di perguruan tinggi, mengalami pseudo intellectuall. Karena mereka ini jago di kandang, jago di hadapan mahasiswa, dan menjadi gagap saat keluar menghadapi realitas. Ketika diskusi diadakan di luar kampus, tidak jarang dosen bingung menganalisis dan menjawab persoalan yang ada di realitas.

Tidak salah lagi, aku menjadi bagian dari orang yang mengalami pseudo intellectual itu –hanya jika aku berhenti membaca dan diskusi. Tetapi membaca dan diskusi itu mengantarkanku pada kejemuan yang kronik. Melihat banyak orang yang seprofesi denganku bisa menjalani hidup dengan baik hanya dengan modal santai, membuatku bertanya-tanya: kehidupan macam apa yang aku jalani?. Orang-orang ini, bukan hanya mengabaikan kerja intelektual, tapi juga melepas tanggung jawab administrasi dan organisasi. Buktinya mereka tetap bisa hidup bahagia tanpa beban. Jadi siapa yang songong kalau begitu? Jelas aku.

Kemungkinannya jelas, aku bekerja dengan terlalu pongah. Seakan-akan aku adalah Weber itu sendiri, yang dalam kesakitan, mampu menulis esai-esai penting yang menjadi pondasinya merumuskan Ilmu Sosiologi di usia 13 tahun. Maka aku semakin ragu pada aktivitas intelektual yang jalani. Mungkin aku harus menurunkan standarku sendiri, mungkin juga harusnya aku abai dengan segala sesuatu yang menimbulkan kemelut ini. Kemungkinan-kemungkinan ini, menimbulkan gejolak yang tak pernah mau pergi.

Sering saya menemukan kesimpulan bahwa dunia berjalan acak. Orang-orang yang belajar giat malah berakhir di tong sampah. Atau orang-orang yang dulunya pemalas, di usia dewasa malah menjadi sukses dalam kategori tertentu. Pun ada yang bekerja giat lalu menuai kesuksesan, dan orang pemalas begitu menyesali masa lalunya karena tidak rajin belajar atau bekerja. Jika kondisi berjalan semacam ini, maka mana mungkin kita mampu memprogram suatu aktivitas dengan penuh keyakinan.

Jadi, suatu hari, mungkin aku akan muncul menjadi seorang pencetus wacana dunia yang berjalan acak dalam konteks sosial. Bahwa kita tidak selalu bisa memperkirakan masa depan seorang anak manusia berdasarkan apa yang dilakukan sekarang.

2018-01-07

Pilkada Malang Tanpa Media Sosial


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memunculkan budaya cepat saji untuk segala urusan. Handphone, misalnya, bisa memutus jarak komunikasi ratusan kilometer yang awalnya terasa mustahil. Bepergian pun sudah semakin mudah: pesan tiket menggunakan aplikasi, pesan ojek dan taksi menggunakan aplikasi, hingga pesan makanan pun menggunakan aplikasi. Termasuk media sosial yang memudahkan interaksi antar manusia dengan jaringan internet yang tidak pernah delay.

Media sosial ini bergerak cepat melebihi media konvensional dalam penyebaran informasi. Bahkan informasi di media sosial tak terbendung karena kemampuannya menjangkau seluruh khalayak, akses yang friendly, hingga biaya super murah. Tidak hanya digunakan ala kadarnya, tetapi media sosial juga dipakai untuk berbagai keperluan yang membutuhkan penanganan profesional, seperti bisnis, pendidikan, social movement, hingga suksesi politik. Politik yang awalnya kegiatan serius, harus lebih cair demi mendapatkan keuntungan dari dukungan generasi muda yang lebih mudah dijangkau dengan media sosial. 

Nurudin (2017) dengan baik memaparkan mengenai terpaan media massa yang tidak selalu berbanding lurus dengan perilaku masyarakat. Karena itu, politisi harus mampu membungkus iklan politiknya dengan lebih kreatif dan menyamarkan tendensi dibalik aktivitas-aktivitas mencari dukungan. Masyarakat memang sudah dewasa, tetapi bukan berarti sikapnya tidak bisa diubah. Media sosial yang dipenuhi oleh pemuda yang tengah mencari jati dirinya patut menjadi pertimbangan menghadapi iklan politik yang bombastis di media konvensional.

Sayangnya, dalam persiapan Pilkada Kota Malang, media sosial masih dipandang sebelah mata. Buktinya, politisi, partai politik, maupun orang-orang yang hendak mencalonkan diri sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang, masih belum memaksimalkan penggunaan media sosial. Hanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa kali update informasi seputar Pilkada di Facebook. Media sosial di Kota Malang masih lebih banyak didominasi informasi sampingan, belum menuju dukungan apalagi diskusi yang dipandu oleh tokoh politik. Bisa jadi, media sosial akhirnya tidak termanfaatkan dalam Pilkada yang diselenggarakan pada Juni 2018 ini.

Manfaatkan Generasi Milleneal!

Generasi milleneal merupakan sekumpulan remaja yang diklaim lebih banyak menggunakan gadget dan media sosial dibanding berdiskusi secara langsung (face to face). Generasi ini juga, menurut Majalah Time, adalah generasi yang sangat bergantung pada teknologi, individualistik, dan sayangnya, apatis terhadap politik. Upaya-upaya pedekatan terhadap generasi ini, selain menggunakan teknologi, rasanya mustahil. Karena itu, para petinggi politik perlu gerak cepat untuk menggalang dukungan dari remaja acuh tak acuh ini.

Dalam berbagai pemberitaan di media massa, termasuk di Malang Post beberapa waktu lalu, Yaqud Ananda Gudban disebut sebagai Calon Wali Kota Malang yang mewakili generasai muda. Hal itu betul jika hanya memandang perbandingan usia antara Yaqud dengan calon yang lain. Tetapi hal ini pun masih klaim. Karena mungkin malah terjadi kebalikannya, Calon Wali Kota dari Partai Kebangkitan Bangsa, Moh Anton, lebih millenealis di banding Yaqud Ananda Gudban, termasuk penantang mereka berdua: Sutiaji.

Calon yang diusung oleh tiga partai besar ini harus memperhatikan apakah dirinya beutl-betul merupakan wakil dari generasi zaman now yang aktif bermain gadget dan bisa diajak berinteraksi dengan gayeng melalui media sosial. Jangan dilupakan bahwa generasi milleneal bukan hanya soal usia, tetapi juga budaya. Karena generasi millenal sangat akrab dengan media sosial maka calon yang hendak mendapat dukungan dari mereka harus juga memainkan media sosial.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang telah merilis bahwa pemilih pemula di Pilkada tahun 2018 mencapai 30 persen dari 650 ribu pemilih, yakni sekitar 195 ribu orang. Didasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Pemkot Malang, untuk pemohon Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang baru di tahun 2018 diperkirakan mencapai 68 ribu. Dukungan dari generasi milleneal ini tentunya tidak bisa dipandang sebelah mata, meskipun KPU hanya menargetkan partisipasi pemilih sebanyak 20 persennya saja. Jika salah satu calon bisa menggalang dukungan dari pemilih pemula, tentunya akan berdampak signifikan pada penambahan suara yang telah disumbang oleh generasi yang lebih senior (baby boomer).

Mengapa melalui media sosial? Karena media sosial bisa menciptakan suatu hubungan imajiner yang rekat antara calon dan konstituennya, baik secara personal maupun kelompok. Meskipun di media sosial orang-orang bisa lebih cerewet, mempertanyakan segala sesuatu, banyak menuntut, dan bisa secara terang-terangan menyerang atau mendukung, namun itulah dinamika memahami masyarakat. Bagaimanapun, orang-orang seperti Moh Anton, Sutiaji, dan Yaqud adalah public figure yang jauh dari jangkauan masyarakat biasa. Sehingga ketika menyapa langsung warganet melalui media sosial, berdialog, diskusi, dan ngobrol dengan terbuka, tentu mereka akan mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat.

Dilihat dari komunikasi politik yang dilakukan banyak partai dan tokoh penting di Malang, fokus mereka masih pada koalisi dan mencari dukungan di tingkat atas. Mereka masih belum memikirkan betapa pentingnya memulai membuat grup-grup dukungan di media sosial, masuk ke berbagai komunitas dan menyikapi berbagai persoalan warga melalui media sosial. Harus ada satu tim yang dibentuk untuk sesegera mungkin mengurusi soal media sosial. Jika tidak, maka dalam jangka waktu yang sempit ini, tidak mungkin para tokoh mampu meraup dukungan milleneal.

Di banyak negara, media sosial telah menunjukkan kekuatannya dalam menggalang dukungan politik. Selain Barack Obama yang selalu dijadikan contoh politisi yang mampu memanfaatkan kekuatan media sosial, kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012 juga bisa dicontoh. Tim pemenangan mereka dengan kreatif membuat video parodi dari lagu What Makes You Beautiful serta flashmob baju kotak-kotak khas Jokowi-Ahok sehingga muncul gelombang #JokowiEffect.

Jadi sudah saatnya, politisi tidak hanya bermain di level yang jauh dari kebutuhan masyarakat. Media sosial memang bukan satu-satunya kunci kemenangan, tetapi kemenangan bisa lebih dekat dengan memanfaatkan media sosial. Seperti bermain Mobile Legend, hero yang baik dengan equipment yang tepat akan diganjar sebagai Most Valuable Player (MVP).

*Dimuat di Malang Post, 8 Januari 2018

2018-01-01

Menjalani Hidup


Hujan terus turun sejak Subuh tadi. Aku tetap harus melakukan perjalanan Surabaya – Batu agaar bisa melampui kesendirianku di tempat yang teduh, dingin, dan hening. Biasanya aku mendengarkan lagu-lagu silampukau, bossanova jawa, payung teduh, dan lagu-lagu inggris yang tak kupahami liriknya sepanjang jalan. Tetapi saat ini, suara hujan di perjalanan selalu membuatku takjub, sehingga earphone hanya berakhir menjadi kalung leher. Hujan deras itu, mendebarkan jantungku sendiri, memperkirakan kehidupan beberapa minggu ke depan.

Aku terlahir dengan menanggung beban berat. Masa kanak-kanak hingga remajaku bukanlah hidup yang menyenangkan jika dihubungkan dengan kepemilikan terhadap benda material. Aku selalu menjadi anak terakhir yang memiliki kesenangan duniawi. Lalu beranjak menjadi pemuda, aku sudah bisa membuat seluruh keinginanku terwujud –dan membuat banyak orang bahagia. Jika masa remaja tidak ada suatu hal yang bisa kupilih, semasa muda aku bisa memilih apapun semauku. Lalu, titik nadir kembali hadir. Saat ini.

Sejak kepulanganku dari Papua, finansial tidak menjadi persoalan sama sekali. Aku sangat yakin, sebelum uang itu habis kubelanjakan, aku akan punya topangan penghasilan dari jalan lain. Namun ternyata semua rencana tidak selalu berhasil, bukan? aku menghabiskan hampir puluhan juta demi sebuah kepercayaan kepada orang-orang. Dan mereka seakan tidak punya daya untuk membuahkan apapun terhadap apa yang kutanam. Kita sama terdesak oleh nasib: aku terdesak karena sesuatu hal yang kuanggap baik, dan mereka terdesak sebab kemalasan.

Sekarang ini keuanganku benar-benar menipis. Semua nominal perlahan kehilangan angkanya, dan aku hanya bisa memandang getir akan masa depan. Aku tahu bahwa ini bukan pertama kalinya, tetapi saat ini adalah masa-masa yangs sulit. Sehingga aku seharusnya tidak kehilangan kedigdayaan akan uang sebelum semuanya menjadi baik. Kakakku sedang memulai berdiri di penghasilannya sendiri dan sekarang belum menampakkan hasil sama sekali. Adikku terlihat sempoyongan mencari pekerjaan, sementara orang tua sejak zaman kelahiranku tetap tidak berdaya.

Bahkan aku harus menjauh, kehilangan kuasa untuk menemui mereka guna membuatnya tertawa. Sedangkan aku sendiri merasa tidak tahu apa yang harus kulakukan. Malam ini, aku hanya ingin menulis keresahan dan kesedihan yang mendalam. Karena aku adalah satu-satunya anggota keluarga yang diharapkan. Yang mampu menyelesaikan seluruh persoalannya sendiri sejak dulu, yang tidak cacat, yang cerdas, yang rajin, yang selalu juara pertama, dan tentunya laki-laki. Bahkan menelpon orang tua saja rasanya kata tercekat. Uang menjadi suatu yang amat penting dalam sejarah keluargaku. Aku tidak pernah munafik tentang hal ini. Dan jika aku yang menjadi satu-satunya pengharapan ini tidak bisa menghasilkan uang, maka aku tidak berguna.

Belum lagi, persoalan perempuan juga mengundang keresahan tersendiri. Aku musti berhati-hati menyampaikan segala sesuatu kepada gadis yang kuberjanji akan kunikahi. Tetapi kondisi seperti ini tidak mudah, dan lebih tidak mudah lagi membuat dia mengerti. Sepertinya, satu-satunya keinginan gadis masa sekarang adalah menikah, terbebas dari kungkungan orang tua, terbebas dari finansial, menimang anak, dan mendapatan cinta yang sempurna sepanjang hayat. Beberapa kali ia menampakkan kedewasaan yang menyenangkan, lalu tertimbun lagi dalam pembicaraan pernikahan yang tidak ada habisnya.

Jika bisa, aku akan meninggalkan semua itu, menganggapnya sebagai sesuatu yang membebaniku. Pergi dan membebaskan diriku dari tanggung jawab ini. Persis seperti ketika selesai kuliah, lalu mulai perjalanan antar pulau di seantero Indonesia. Toh aku tidak salah –menurutku. Tapi aku tidak bisa begitu bukan? Sebagai seorang hero, aku harus bertahan dan mengupayakan berbagai cara agar penghasilanku bisa menolong mereka. Tapi seperti manusia lainnya yang mengalami hal yang sama, kita tidak bisa memerintahkan dunia untuk menolong kita begitu saja. Aku dikoyak keadaan,dikoyak orang-orang yang menggantungkan hidupnya padaku.

Tetapi aku sudah cukup lama memikirkan dan menjalani hidup yang brengsek ini. Pernah mempercayai kekuatan alam bawah sadar dan semangat membara untuk bahagia, lalu terjatuh dalam lubang apatisme yang bergolak. Semua yang kita dapat adalah semua yang kita usahakan, tetapi ada kalanya apa yang kita tidak usahakan tidak sesuai dengan apa yang kita dapat. Atau kita mendapatkan sesuatu dari hal yang tidak kita usahakan. Dunia seperti berjalan acak, kita tidak bisa memperkirakan segala sesuatu seperti yang kita yakini, seperti yang kita kerjakan, atau bahkan seperti yang kita omongkan.

Aku kira keuanganku tidak akan cukup untuk dipakai hingga bulan depan. Dalam kondisi yang genting seperti ini, kuhubungi beberapa kontak yang bisa menempatkan aku dalam suatu kampus. Tetapi belum satu pun kabar menggembirakan yang kudengar. Keinginanku setelah menyelesaikan kuliah pasca sarjana adalah menjadi dosen dalam mata kuliah yang aku dalami. Tetapi lowongan dosen sudah menjadi pekerjaan nepotisme yang merepotkan, lagi pula lowongan dosen ilmu komunikasi masih sulit dicari –apalagi untuk lulusan kampus swasta kecil yang tidak menjadi pertimbangan kampus besar.

Persoalan seperti ini tidak biasanya aku bicarakan kepada siapapun. Bahkan aku tidak punya teman untuk menerima curhatan mengerikan seperti ini. Kebanyakan kawanku mengalami nasib yang lebih buruk, dan menjadikanku sebagai role model yang harus dicontoh. Jika pun aku bercerita kepada perempuanku, aku tidak yakin apa yang akan ia sarankan. Kehidupannya masih terlalu lugu untuk melihat kehidupan yang tak terkontrol ini. Lagi pula benar bahwa aku tidak perlu menceritakan hal-hal seperti ini kepada siapapun.

Jadi aku hanya akan berusaha, melihat segala jenis peluang dan menata semuanya dari awal. Aku percaya pada tuhan. Tuhan pernah menempatkanku dalam kondisi perekonomian terbaik sehingga banyak hal baik yang kurasa kulakukan. Dan dalam kondisi terjepit sekalipun, aku merasa tidak melakukan perbuatan jahat bagaimanapun juga. Maka tuhan akan menolongku. Tuhan akan menolongku, dengan segala cara yang aku tidak tahu.

Aku menulis ini pada November 2016 sebagai suatu catatan tentang ketidakberdayaanku sebagai manusia. Banyak hal yang tidak menguntungkan, banyak hal yang sekarang lebih baik -sematamata menunjukkan bahwa kita semua sama.