2017-11-29

Aku Menikah


Bagiku, menikah adalah hal yang biasa. Sehingga kumaklumi keputusanku yang enggan menyebar undangan, bahkan untuk orang yang paling dekat denganku sekalipun. Banyak orang yang akhirnya bertanya-tanya, curiga, penasaran, dan beberapa dari teman dekat ini marah lalu enggan menyapaku lagi. Tampaknya, diantara teman-teman menganggap bahwa undangan adalah sebentuk pengakuan pertemanan sehingga tidak adanya undangan dianggap sebagai pemutusan hubungan silaturahim. Aku menghargai keyakinan-keyakinan macam itu, meskipun aku tidak ingin mengakuinya.

Sejak remaja aku memahami bahwa suatu saat aku akan menikah, dan aku juga memahami bahwa aku pernah dilahirkan, suatu saat akan beranak pinak, menjadi tua, lalu mati dan hilang tak berbekas. Aku akan menjadi debu, beberapa masih mengingatku dan banyak manusia yang lupa bahwa aku pernah ada. Hal itu sama dengan menikah. Minggu lalu aku telah menikah, lalu sekarang beranda Facebookku telah berganti dengan puisi lain dan atau foto narsis yang menggemaskan. Minggu depan, tidak ada lagi yang mengingat pernikahan ini kecuali aku, istriku, dan orang tua kami.

Dengan pemahaman ini maka mana mungkin aku akan berlebih-lebihan di persoalan menikah. Segala yang berlebihan tampaknya terjadi pada orang di sekelilingku. Teman satu kompleks kos, misalnya, berteriak karena aku tidak pernah berkunjung dan menghabiskan waktu hingga tengah malam untuk ngopi bersama mereka. Teman satu kerjaku, menduga bahwa aku pulang lebih cepat dan tidak mampu menyelesaikan tugas tepat waktu. Teman yang biasanya ngopi dan diskusi, juga tiba-tiba bilang bahwa : aku sudah menikah jadi tidak mau ngopi denganku lagi.

Memang banyak yang harus berubah dari cara hidupku –karena hidupku sekarang bukan hanya milikku sendiri. Ngopi dengan siapapun sampai tengah malam tidak akan kulakukan semena-mena. Ngopi sampai berjam-jam harus memiliki alasan yang masuk akal sehingga tidak melukai anak orang yang telah kupinang. Tetapi aku masih tetap ngopi, tidak ada yang berubah dari itu. Dalam hal pekerjaan pun demikian. Tugas tetap kuselesaikan lebih baik dari siapapun. Karena itu, harusnya tidak ada yang menilai bahwa menikah tidak membuat kita menjadi pemalas dan banyak alasan.

Dalam hal pertemanan juga demikian, tidak ada yang berubah. Kebanyakan kawan perempuan, baik yang belum atau yang sudah menikah, langsung menjaga jarak denganku secara drastis. Bahkan diantara mereka mungkin memblokirku. Aku paham dan mencoba untuk menalar kondisi ini. Saya bersyukur bahwa ada beberapa kawan perempuan yang antusias dan ingin berkenalan dengan istri. Kami berkirim doa dan saling menjaga hubungan dengan baik. Kondisi-kondisi ini lebih banyak membuat perenungan di pikiranku, bahwa perbuatan kita bisa menjadi penggerak perubahan sedemikian besar bagi orang lain.

Jadi kutegaskan berulang-ulang, tidak ada yang berubah dariku, hanya lingkunganku berubah. Mereka lebih protektif dan bersikap keterlaluan padaku. Tentunya, ini adalah konstruksi yang terjadi di masyarakat selama ini tentang pernikahan. Pernikahan selalu diidentikkan dengan perubahan drastis, yang awalnya kurus, lalu menjadi gemuk karena ada yang masakin. Yang awalnya tidak rapi, dianggap lebih rapi karena ada yang menyetrikakan. Yang awalnya bekerja biasa saja, karena sudah menikah maka dianggap selalu mengejar proyekkan sehingga bisa dibuat menyenangkan istri. Perkara kecapekan saja, disuruh mencari istri agar ada yang mijitin.

Menikah sering dianggap sebagai solusi untuk segala persoalan, sekaligus masalah pelik untuk kesuksesan pekerjaan. Dua remaja tanggung yang pacaran, disuruh menikah agar terhindar dari zina. Apakah yakin bahwa setelah menikah mereka akan bahagia lalu menjadi keluarga sakinah (tenang) di usia labil? Pemuda yang rajin masak dan cuci baju sendiri, disuruh beristri agar ada yang masakin dan nyuciiin. Perempuan yang mandiri, diberi solusi segera bersuami agar tidak terlalu lelah. Banyak pula orang yang pekerjaannya ngawur, lalu beralasan : kalau saya kan sudah menikah, banyak yang dipikirkan di rumah. Nah kamu mumpung masih jomblo, harus rajin bekerja di kantor. Nah kan, aku yakin orang semacam ini tidak paham dengan ucapannya sendiri.

Menikah bukan solusi segala masalah. Kata temanku yang seniman : menikah itu mencari masalah baru. Ada yang harus dipahami bahwa menikah itu perintah agama. Maka paling tidak, menikah itu menuju pada tiga hal : sakinah, mawaddah, warahmah. Tetapi jangan dianggap bahwa setiap pernikahan bisa mengarah pada hal-hal macam itu. Secara obyektif, kita harus melihat menikah itu satu tindakan yang memiliki potensi kesuksesan dan kesedihan yang seimbang. Kebahagiaan bisa diwujudkan dengan atau tanpa pernikahan, begitupula kegagalan. Maka dari itu, orang yang menikah itu sama dengan orang bersekolah; banyak yang menjadi pandai, tapi lebih banyak yang tidak mendapat manfaat.

Maka nikahku adalah suatu keniscayaan, demikian pula dengan pernikahan orang lain, seniscaya kematian kita semua. Aku tetap akan bekerja dengan baik, menjalin pertemanan dengan penuh cinta, dan menciptakan kebahagiaan sendiri atas pilihan kemenikahanku di usia ini. Selamat untuk diriku sendiri yang telah memilih jalan riuh pernikahan.

2017-11-13

Jurnalis


Calon mertua saya, memandang jurnalis sebagai tukang tagih bulanan di kantor kedinasan. Menurutnya, jurnalis adalah sosok yang menjengkelkan. Ia merasa aneh karena jurnalis tampaknya seperti orang-orang baik, dipuja dan dilindungi, tetapi kenyataannya beberapa jurnalis yang ia temui berperilaku nggateli. Hal yang sama terjadi ketika saya mengajar kelas sore yang terdiri dari perangkat desa. Mereka yang tau saya pernah berprofesi sebagai wartawan, langsung curhat panjang –melebihi jam kuliah- tentang beberapa wartawan tukang tagih di kantor kelurahan.

Tentu saja hal ini menggelisahkan, terutama bagi wartawan yang setiap hari bekerja dengan penuh integritas. Wartawan yang serius dan professional sebenarnya menyadari bahwa pekerjaannya amat berpotensi disalahgunakan. Beberapa wartawan yang akhirnya memanfaatkan pekerjaannya sebagai ladang uang tidak ‘sah’ ini biasanya disebut wartawan bodrex. Dan wartawan jenis ini, dapat dipastikan tidak akan pernah bercengkerama dan berkelakar secara baik dengan wartawan ‘betulan’ di warung kopi.

Karena itu, kepada mahasiswa konsentrasi jurnalistik, saya sering menekankan bahwa tidak semua jurnalis salah. Ada banyak sekali jurnalis yang memandang pekerjaannya sebagai sesuatu yang suci, yang membuatnya berada di jalur-jalur sepi. Suatu kebenaran memang tidak banyak dilalui orang. Kebenaran ada di banyak tempat, tetapi kebanyakan tempat itu berisi undang-undang, kode etik, dan anggaran dasar/rumah tangga, sedangkan manusianya menghilang di mall dan belanja barang kebutuhan.

Maka jurnalis adalah salah satu profesi yang bisa mengarah pada dua hal yang berlawanan : jurnalis suci vs jurnalis kotor, wartawan bodrex vs wartawan penolak amplop, jurnalis partisan vs jurnalis ideologis. Jurnalis bukanlah pekerjaan yang bebas dari nait jahat. Kejahatan selalu ada dalam setiap pekerjaan. Seringkali kita menamakannya ‘ceperan’ untuk pekerjaan lain. Supir dapat ceperan dari pelanggan, PNS dapat ceperan dari perjalanan dinas, dosen dapat ceperan dari penelitian, jurnalis dapat ceperan dari narasumber, dan lain sebagainya.

Jika supir, PNS, dan dosen tidak memiliki hubungan langsung dengan masyarakat luas, maka jurnalis kebalikannya. Jika supir, PNS, dan dosen menerima ceperan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maka yang dirugikan hanya sebagian kecil, sangat kecil, dari rakyat. Tapi bagaimana jika jurnalis menerima ceperan lalu dia tidak memberitakan atau memberikan pesanan dari narasumber? Yang dibohongi adalah publik, publik yang tersebar dan anonim, dan apa yang dipercayai publik menjadi keliru.

Jurnalis Partisan

Orang-orang yang bekerja sebagai jurnalis, tidak semuanya memiliki sikap ksatria yang lebih membela kepentingan publik dibandingkan kepentingan pribadi dan golongan. Ada banyak jurnalis yang menganggap jurnalis hanya sebatas pekerjaan sebagaimana pekerjaan lainnya: pegawai bank, kontraktor, akuntan, atau satpam. Mereka tidak ambil pusing dengan tuntutan tertentu dari komunitas profesinya untuk bertindak professional dan bertanggung jawab.

Bagi jurnalis partisan, pekerjaan bisa didefinisikan sebagai aktivitas manusia untuk menghasilkan uang –uang untuk memenuhi kehidupan. Sehingga jurnalis dalam golongan ini tidak akan berfikir lebih jauh mengenai publiknya. Ia menggunakan paradigma pragmatis yang mengukur kualitas segala sesuatu berdasarkan kegunaan praktisnya. Alur berfikirnya jelas: jurnalis – pekerjaan – uang – kebutuhan hidup.

Ciri utama dari jurnalis jenis ini adalah pertama, mengharapkan narasumber memberikan amplop. Sebagai mantan jurnalis, saya merasa tidak masalah menerima amplop dari narasumber. Kadang narasumber bersikeras memberikan uang, atau memang ada keinginan kuat dari narasumber untuk memberikan uang agar seorang jurnalis bisa dikendalikan. Dan itu tidak masalah, selama jurnalis paham bahwa uang yang diterima tidak memengaruhi pemberitaan.

Utopis? Memang betul. Hipokrit? Bisa jadi. Tetapi koridornya jelas: jika jurnalis menerima uang lalu memberitakan/tidak memberitakan sesuatu berdasarkan pesanan, maka dia biadab. Jika jurnalis menerima uang lalu sama sekali tidak memengaruhi pemberitaan, maka oke saja. Kalau mengikuti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menerima uang bagi seorang jurnalis adalah salah, maka itu lebih baik. Jadi garis bawahnya terletak pada “mengharapkan narasumber memberikan uang”. Banyak sekali di lapangan, wartawan berfikiran : narasumber tidak memberikan uang = tidak menghargai kerja wartawan = tidak usah diberitakan.

Kedua, jurnalis hanya mengejar target jumlah berita dari perusahaan. Bagi saya jelas, seorang jurnalis harus mengejar berita yang sesuai dengan nilai pemberitaan: penting, berdampak besar, berguna, dan informatif. Jika memang mengejar sesuatu yang sensasional, infotainment, mengejar tokoh/artis, tidak masalah asalkan memenuhi syarat: menghibur, mendidik, dan informatif. Jika tidak ada kaitannya ke arah sana, maka secara idealis jurnalis tersebut telah gagal.

Patut dipahami bahwa jurnalis yang ‘hanya’ mengejar target berita akan menulis apa saja guna menuntaskan pekerjaannya hari itu. Jika diberi kewajiban 4 berita, maka ia akan memfokuskan pada 4 berita itu, lalu pulang tanpa merasa bersalah. Jika ada peristiwa pasca dia mengumpulkan 4 berita itu, maka dia akan cuek, atau paling tidak dia akan berangkat meliput sembari menggerutu. Wartawan macam begini tidak akan tahan untuk mencari berita yang berguna, membutuhkan pemikiran, tenaga dan waktu, apalagi berita yang tidak menghasilkan uang,

Ketiga, jurnalis yang hanya punya pertanyaan : kawan kita ke mana hari ini? Atau bertanya ke narasumber : Pak, ada informasi apa hari ini?. Ini adalah tipe-tipe jurnalis yang malas dan rasa ingin tahunya mati. Jika demikian maka jurnalis itu tidak akan menjadi professional bagaimanapun caranya. Dia hanya akan menjadi beban bagi jurnalis lainnya. Tidak punya ide dalam peliputan adalah sebuah kematian dalam proses pembuatan berita. Karena banyak cara mendapatkan ide, yang harusnya jurnalis sudah khatam dengan hal-hal semacam ini.

Jadi bagaimana cara mendapatkan ide peliputan? Hal yang paling sederhana dan hampir tiap tahun berulang adalah mencermati hari-hari penting. Membaca berita dari media sendiri atau media lain karena di sana ada ribuan informasi yang harus digali. Menghadiri acara, kegiatan, hingga keluar ke pasar, berdialog dengan emak terkait harga kedelai dan lombok, bahkan dengan cara rasan-rasan dengan setiap narasumber yang dekat dengan kita. Banyak sekali. Seorang jurnalis pasti akan bosan dengan informasi yang berseliweran dan hampir dianggap rutinitas sehingga tidak melihatnya sebagai suatu informasi penting.

Jurnalis Ideologis

Seorang jurnalis bisa menjadi seorang nabi. Tugas jurnalis adalah sebagaimana tugas seorang nabi dan rasul: sebagai penyampai kabar (tabligh). Jika jurnalis itu penyampai pesan yang cerdas, disertai niat baik, jujur, dan dapat dipercaya, maka dekatlah ia pada sifat-sifat nabawiyah. Tugas suci semacam ini, diikuti oleh jurnalis-jurnalis yang masih memegang teguh kode etik jurnalistik, terus berdiskusi dan mengasah wacananya terkait berbagai persoalan bangsa, dan turut serta mencari solusi dari persoalan itu.

Seorang jurnalis harus memenuhi tugas utamanya sebagai penyambung lidah rakyat. Keberpihakan yang boleh dilakukan oleh jurnalis, satu-satunya adalah kepada publik. Bahkan ketika yang menggajinya adalah perusahaan, maka ia tidak menomorduakan publik hanya agar mendapatkan pujian bagian pemasaran perusahaan. Jurnalis ideologis, melakukan pekerjaan ini sebagai sebuah profesi, yang mana harus tunduk pada kode etik yang telah disepakati aliansi jurnalis. Pertanggungjawaban utama jurnalis adalah pada kebenaran yang disampaikannya kepada publik.

Karena itu, tidak akan banyak ditemui jurnalis semacam ini. Apakah ini terjadi hanya pada profesi jurnalis? Tidak. Di semua profesi yang rawan penyalahgunaan, menemukan salah satu orang yang tidak menyelewengkan tugas dan wewenang yang diembannya juga sulit. Seorang jurnalis harus selalu mencari kebenaran sehingga tidak stagnan pada satu tempat yang sudah familiar dengannya. Karena pekerjaan ini tidak hanya bersifat kerja pragmatis, tapi juga kerja ideologis.

Mengukur jurnalis ideologis di sekitar kita tidak mudah. Karena indikatornya juga bisa jadi fleksibel, meskipun ada beberapa hal yang prinsipil. Misalnya, jurnalis yang tidak bisa dibeli hampir dapat dipastikan ideologis. Ia hampir pasti sosok yang tangguh, selalu mencari kebenaran, secara wacana terpelihara melalui bacaan maupun diskusi-diskusi, memihak pada kaum tertindas, hingga memberitakan secara berimbang.

Tetapi ada banyak hal lagi yang patut didiskusikan terkait perkembangan liputan di lapangan. Terkait cover both side (keberimbangan) inipun masih patut didiskusikan. Dalam banyak kasus, dan juga dalam kebebasan berbicara menjadi berlebih seperti saat ini, keberimbangan menjadi simalakama. Jika seorang ER tertangkap tangan oleh KPK, maka keberimbangan akan sulit dilakukan. Jika terjadi penembakan kelompok bersenjata terhadap warga sipil di Pegunungan Tengah Papua, maka keberimbangan hampir tidak pernah terjadi.

Keberimbangan atau bisa dikatakan fairness hampir sulit dilakukan dalam masyarakat massa yang suka gemuruh isu, tetapi tidak peduli pada kebenaran. Ketika muslim Indonesia menggelar aksi ke Jakarta gara-gara Ahok yang menghina Agama Islam, maka kebenarannya adalah kebenaran hukum. Jurnalis tidak musti cover both side dengan mewawancarai Ahok VS Habib Rizieq, atau memuat berita tentang massa 212 kemudian mewawancarai perwakilan dari pihak Ahok. Kebenaran bukan persoalan itu. Kebenarannya adalah bagaimana kasus ini dipandang dari segi hukum, sehingga harus pakar hukum yang diminta ulasannya.

Seorang jurnalis harus berpegang pada kebenaran, bukan sekadar keberimbangan. Berita tidak sama dengan kebenaran, itu satu hal yang pasti. Berita adalah informasi terkait suatu fakta yang sesuai dengan rumus penulisan berita plus nilai berita. Sedangkan kebenaran merupakan kondisi fakta yang sebenarnya, yang jika ditulis dalam berita, maka berita itu mampu memberikan pencerahan kepada khalayak.

Dalam bahasa komunikasi, berita adalah rekonstruksi –artinya, bangunan kedua terhadap realitas. Jika peristiwa, realitas, atau fakta adalah bangunan murni, maka berita adalah bangunan ulang terhadap fakta berdasarkan pemahaman sang jurnalis –dan sejauh pemahaman jurnalis benar, maka sejauh itu pula kebenaran suatu realitas. Karena itu, ada namanya angle atau sudut pandang dalam berita. Satu jurnalis dengan jurnalis lain memiliki angle berbeda terhadap satu fakta. Ini adalah bangunan ulang itu, yang sesuai dengan kebutuhan, kreativitas, hingga kepentingan tertentu dari seorang jurnalis.

Karena itu, jurnalis harus mampu mengemban amanah kode etik jurnalistik dengan kepatuhan yang tinggi. Jurnalis jelas bukan sembarang pekerjaan yang bisa dengan enteng menyepelekan hasil karyanya. Jurnalis barangkali, penjaga demokrasi itu sendiri. Karena media massa adalah tonggak demokrasi ke empat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, maka jurnalis juga harus menjaga marwah keprofesiannya. Jangan pernah melukai rakyat dengan informasi asal-asalan, karena rakyat sudah lelah dengan komedi yang perankan jajaran trias politika di Jakarta.