2017-05-24

Cerpen: Topo Jadi Wartawan



Seperti biasa, kisah ini dimulai dengan suatu hari. Pada suatu hari seorang lelaki yang hidupnya sudah lama tersia-siakan, Sutopo, mendapatkan pekerjaan penting di Kantor Berita Lokal (KBL). Dia merasa terdampar karena 13 semester kuliah, yang ia hafalkan hanya tabel periodik unsur-unsur kimia. Kata dosennya, tabel periodik merupakan inti kehidupan, karena dari sana Tuhan menciptakan seluruh alam.

Namun ia tetap bersyukur karena pekerjaannya bukan main-main; wartawan. Pekerjaan yang berhubungan dengan orang penting. Kartu nama dan kalung leher yang ia dapatkan satu minggu ini begitu membanggakannya. Hidung Topo agak mancung dan bergetar saat ia bangga. Jika ketahuan temannya, mereka semua akan tertawa. Sering kali ia merasa menjadi Pinokio, namun sejak menjadi wartawan, hidungnya bukan masalah lagi.

Topo menjadi ingat kalau keluarganya rata-rata menjadi penulis. Lalu ia tertawa sendiri. Bertanya-tanyalah dia pasca diterima jadi wartawan, kenapa ia mengambil jurusan kimia? Kakaknya yang pertama, Betawi, menjadi ahli kaligrafi. Kakak keduanya, Sularso, menjadi juru tulis di Kantor Urusan Agama. Lalu mbaknya, menjadi Sekretaris yang katanya pekerjaanya juga menulis. Dan kakak keempatnya, menjadi penulis kolom kematian di Koran Nasional Nusantara persis tokoh film The Closer.

Mungkin bapak dan ibunya dulu hobi menulis. Begitu pikir Topo. Lalu kakek buyutnya juga mungkin penulis juga. Bahkan ia sempat berfikir dengan pasti kalau nenek moyang yang melahirkannya telah menemukan tulisan. Semakin ia melamun, semakin ia bahagia. Padahal hapenya sejak 30 menit lalu berdering. 40 menit kemudian, ia membaca sms yang masuk. “Besok mulai kerja!”.

Saat terjun ke lapangan untuk mencari berita, ia disuruh mengawal seniornya. “Untuk belajar cara mencari berita,” begitu kata Bos KBL. Tapi ia terkaget-kaget karena tipikal wartawan senior di tempat kerjanya, dan wartawan senior di perusahaan lain, tidak sesuai dengan Sembilan Elemen Jurnalis karya Bill Covach yang semalam di downloadnya. Ia menjadi heran. Berhari-hari ia melamun, ia menjadi semakin galau.

Hingga tiga bulan berikutnya ia hafal bagaimana menjadi wartawan yang baik. Oya, tentang buku 40 tahun Karni Ilyas menjadi jurnalis, atau cerita Jakob Oetama selama 80 tahun memimpin Kompas sudah lama dibuangnya. Ia sudah tahu kalau buku-buku itu hanya berisi hal-hal indah dan heroik menjadi wartawan. Ia hanya tidak tahu, dan tidak ada yang suka diberitahu, kalau kalung leher dan kartu nama yang ia banggakan, menandakan ia punya juragan yang harus dipuaskan.

Semakin lama ia semakin menikmati menjadi wartawan. Bisa mengurus SIM tanpa harus tes dan membayar. Bisa makan enak dengan harga paling mahal –gratis. Bisa menginap di hotel paling mewah, gratis. Sekali waktu, ia dimintai tolong tetangganya, dimintai tolong saudaranya, dimintai tolong teman dari temannya; kalau tidak mengambil motor di kantor polisi, ya mengajukan proposal ke bupati.

Biadab!! Biadab!!! Begitu ia ngamuk setiap harinya. Ia menjadi telat makan, lalu pernah sakit magh tiga hari. Ia juga telat mengucapkan selamat pagi dan selamat malam kepada pacarnya hingga sekarang menjomblo. Kata si Bos, hidup wartawan sudah milik publik. Sehingga kalau ada tugas, Topo diminta percaya kalau masyarakat, atau rakyat dalam bahasa perjuangan, yang memanggil wartawan.

“Kalau wartawan makan, itu makannya wartawan. Kalau tidur, tidurnya wartawan. Kalau pergi jalan-jalan, ya jalan-jalannya wartawan. Saat ada tugas memanggil dan kita sedang capek ketiduran, cepat bangun dan segera berangkat. Lagi makan enak sama pejabat, tapi ada peristiwa penting, tinggalkan makan dan segera meluncur,” begitu teriak orang-orang kantor.

Topo tentu semakin bersemangat. Ia sangat yakin kalau menjadi wartawan sudah takdirnya, sebagaimana takdir saudara-saudara dan nenek moyangnya. Hidungnya lebih bersemangat cenut-cenut kalau Topo usai mendapatkan siraman rohani dari pimpinan redaksi. Tampaknya ia memiliki segala daya untuk menjadi sukses dengan menjadi wartawan.

Lalu tanpa sebab, ia tiba-tiba terpanggil menjadi orang yang lebih bermanfaat. Beberapa remaja putus sekolah di kampungnya, ia ambil dan ditempatkan di kota untuk merawat kebun bunga miliknya. Katanya ia kulakan di Malang dan bisa dijual 200 kali lipat di Surabaya. Ada Mawar, ada Melati, ada Anggrek, ada Lidah Buaya, plus bonsai yang ia ambil dari warga lokal untuk dijual 1000 kali lipat.

Tiga tahun kemudian, kebun-kebun bunga milik Topo sudah bisa diserahkan kepada salah satu anak buahnya. Ia tidak mengurusi lagi soal tetek bengek kulakan dan detail jualan bunga. Ia menikmati jadi wartawan senior. Media-media lokal yang punya wartawan junior ia manfaatkan. Ancamannya jelas, kalau tidak ngasih berita ya bakal dihalang-halangi informasinya. Wartawan junior tentu ketakutan setengah mati. Topo semakin bangga dan tidak pernah sakit magh lagi.

Sehari-hari yang dilakukannya hanya ngopi di kantin Pemkot berteman dengan PNS yang kini sudah naik menjadi Kepala Dinas. Karena itu, seluruh Kepala Dinas dikenalnya dengan baik. Termasuk mantan Sekda yang dulu juga mantan Kepala Dinas Pariwisata yang saat ini sudah menjadi Bupati, juga teman dekatnya. Karena itu wartawan junior takut bila menyakiti hatinya. Apalagi setoran ke kantor KBL juga lancar seperti Suramadu yang kini tanpa tiket.

Sementara kehidupan kewartawanannya membaik, anak buahnya yang berjualan bunga sudah alih profesi menjadi pengusaha. Bukan hanya bunga, tapi sudah merambah bisnis pohon pengayom pinggir jalan, tanaman untuk perkantoran, termasuk beberapa proyek pengadaan tanaman untuk taman-taman yang rencananya dibangun. Kata pendeknya, ia tinggal ongkang-ongkang kaki. Pekerjaan sampingannya hanya tanda tangan dengan gembira.

Setiap perencanaan APBD, ia masuk melalui anggota dewan dan dinas-dinas terkait. Bila tidak tembus karena beberapa anggota dewan kolot, ia masuk lagi dalam bulan-bulan terakhir saat Perubahan Anggaran Keuangan APBD. Dijamin berhasil karena Pemkot biasanya ngotot supaya anggarannya bisa terserap 100 persen untuk mengelabuhi BPK. Bahkan untuk menguntit dana hingga Rp 30 miliar menjadi mudah. Karena itu, sudah langganan Pemkot di sini diberi ganjaran penilaian Wajar Tanpa Pengecualian oleh BPK dengan nominal Rp 250 juta saja.

Saat memasuki tahun ke lima, Topo sudah benar-benar menjadi bos besar. Ia tidak perlu lagi pura-pura menjadi wartawan. Ia hanya pelesir tiap hari. Ke luar negeri tidak lagi menjadi mimpi. Bahkan ia baru pulang dari Hawai ditemani gadis-gadis bongsor dari tanah yang asing. Pulang dari sana ia kembali ke rumahnya, sementara media mengoyak-ngoyak anggota dewan yang tidak pernah disukainya. Ia santai saja di rumah, merasakan ketentraman.

Apalagi sekarang, anak buahnya yang berkebun bunga sudah menjadi kepala dinas pertanian dengan membeli ijazah di sekolah tinggi yang ia dirikan bersama kenalannya profesor kampus negeri. Bim salabim, orang kaya bisa melakukan apa saja. Bahkan ia juga sudah memiliki gelar doktor dari kampus luar negeri yang bukan main-main. Karena setelah punya uang, ia menjadi yakin kalau pendidikan itu penting.

***

Malam itu ia tidur di hotel. Damai ia ditemani Sulasti, mantan presenter yang dulu suka ngotot saat tanya ke narasumber. Tidak mendengar ketukan atau dobrakan, tiba-tiba rumahnya dibobol beberapa orang pakai senjata otomatis. Ia kaget. Biadab!! Biadab!!! Teriaknya. Sulasti yang masih telanjang dada terdiam di pojokan kamar.

Di televisi, rupanya disiarkan langsung adanya indikasi Topo terlibat korupsi. Nara sumbernya, para kepala dinas dan anak buah Topo yang jadi politisi. Topo menggeram. Ia sudah bukan wartawan lagi. Tapi ia masih menyisakan api, ia menyiapkan kartu AS untuk melengserkan para petinggi. “Permainan belum selesai,” kepal suaranya saat kena bogem.

2017-05-09

Keteguhan Pram



Pram, adalah gelombang yang membawa sisa-sisa keberanian bangsa Indonesia ke dalam konflik batin-fisik yang lebih melelahkan. Membela kemerdekaan indonesia, jelaslah siapa musuh dan kawan. Tetapi membela ideologi kebebasan menulis dan berpendapat di negara yang sudah merdeka, alangkah repot dan menyedihkannya. Pram hidup dalam bayangan ketakutan, tetapi ketakutan itu diubah menjadi keberanian menentang setiap rongrongan dari kekuatan resmi: negara.

Banyak yang menyetujui bahwa jalan hidup Pram disebut Pramis: sebuah gaya, pikiran, dan tindakan yang dilakukan selama dia masih hidup. Karena kehidupan Pram sendiri adalah sebuah elegi, roman, ditambah kisah suram, terkait berkawan dan berkhianat, tentang keteguhan dan ketersungkuran. Sehingga buku-buku yang ia karang tampaknya tidak jauh menggambarkan kehidupannya sendiri. Lagi pula ukuran ideologi Pramis tidak saja di buku-buku ciptaannya, tetapi terlebih pada bagaimana ia hidup. Seumpama nabi, Pram memiliki kualitas untuk diikuti setiap ucapan, tingkah laku, hingga ketetapan-ketetapannya.

Apakah Pram orang suci? Tentu tidak. Pujian terhadap Pram sepanjang waktu bukanlah karena Pram manusia suci yang diutus oleh tuhan, mendapat wahyu, atau dijaminkan surga kepadanya. Tetapi karena ia manusia biasalah, maka keteguhan pram mendapat banyak pujian. Di zaman apapun, teramat sulit mencari kualitas diri seperti Pram yang bisa tegak di tengah kecamuk kegilaan. Jika tidak ada Pram di Indonesia, kepada siapa lagi akan disangkutpautkan sosok penulis yang siap babak belur demi mempertahankan kebenaran yang telah dipegangnya?

Untuk menggambarkan keteguhan Pram, dalam riwayat-riwayat kematiannya, diibaratkan ia tengah menantang tuhan. Bahkan kepada tuhan sekalipun, Pram tidak meminta bantuan apa-apa. Di sini Pram menampakkan kediriannya sebagai seorang eksistensialis. Selain itu bisa dikata Pram seorang individualis sejati. Orang-orang seperti ini sudah memiliki kesenangan yang bisa mengalahkan nikmatnya berkumpul-kumpul dalam warung kopi. Lebih murah dan membahagiakan membaca buku, atau Pram biasanya mengkliping koran, sembari membayangkan Indonesia bakal maju puluhan tahun mendatang.

Dalam kepengarangan dan hidup Pram, terdapat tiga hal utama sebagaimana yang dikutip Muhidin M Dahlan dalam bukunya ‘Ideologi Saya Adalah Pramis’ dari Taufik Rahzen, yakni kebenaran, keadilan, dan keindahan. Kebenaran adalah jalan utama menuju hidup yang terang meskipun bakal dihalau segala kondisi yang menyakitkan. Dan jalan kebenaran Pram memang bukan jalan yang mudah, ia harus dihadang oleh berbagai macam tantangan. Kebenaran dan keadilan yang bergolak ini harus tahan uji di struktural maupun kultural. Hingga kemudian, muncullah keindahan dari kehidupan dan karya-karya Pram.

Hal yang paling menarik dari tiga jalan kepengarangan Pram adalah konsep tentang keindahan. Ia mempersepsikan keindahan bukan hanya sebagai sesuatu yang mempesona, mengkilap, dan murni. Tetapi keindahan ini harus diejawantahkan dalam memperjuangkan kemanusiaan. Keindahan bagi banyak penulis –terutama penyair- adalah kemampuannya dalam menyajikan bahasa yang indah: bak rima dalam puisi. Dan Pram mengonsep keindahan sebagai gerakan, daya juang, dan semangat pantang menyerah untuk membela kaum tertindas. Sehingga keindahan dalam karya Pram adalah kemampuannya menyajikan realitas yang tidak menguntungkan kaum lemah sebagaimana adanya.

Maka tidak heran jika lawan kepenulisan Pram yang juga tokoh sastra terhormat Mochtar Lubis, menyebutkan bahwa Bumi Manusia adalah novel yang datar dan tidak menarik. Membaca karya Pram memang tidak langsung melonjak ke konflik. Jika seseorang hanya membaca lima halaman pertama kemudian berhenti, maka ia tidak akan mendapatkan sesuatupun. Pram merupakan generasi tua yang tidak mempelajari secara sungguh-sungguh bagaimana membuat pembukaan paragraf yang menggoda atau mendobrak. Ia menulis novelnya dengan kekhusyukan terhadap seluruh kisah sejarah yang telah hadir dalam kehidupan orang Indonesia. Dan ia merasa bebas harus mulai dari mana, bagaimana cara pengkisahannya, dan bagaimana ending yang akan ia tuju.

Selain itu, membaca karya Pram kita akan melihat suatu kesopanan yang terjaga. Tidak ada adegan percintaan yang vulgar sebagaimana kebanyakan kisah percintaan Hollywood. Dan inilah keindahannya, keindahan masyarakat Indonesia yang masih memegang teguh kesusilaan. Sebagaimana kisah Musashi, legenda samurai Jepang, kisah cintanya dengan Otsu tak sekalipun menampakkan adegan yang tidak pantas. Kebudayaan timur ini memang mendarah daging dalam tubuh Pram. Ia punya karakter yang boleh jadi, lebih kuat dibandingkan dengan penulis besar yang hidup sezamannya.

Meskipun Pram adalah penulis besar, namun dia masihlah orang yang selalu tidak punya uang. Waktu itu, sebagai pengarang, Pram termasuk di gerombolan penulis miskin. Ia selalu menerima setiap suguhan istrinya dan tidak pernah mengeluh soal makanan. Bahkan untuk menikah dengan istrinya Maemunah, Pram dipinjami mas kawin oleh Ramadhan KH. Dengan kondisi seperti ini, sangat aneh jika Pram berani konfrontasi dengan Hamka, HB Jassin, Taufik Ismail, dan beberapa tahun lalu dengan Hasta Mitra hingga Goenawan Mohammad. Ini menunjukkan bahwa Pram tetap tegak menantang segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinannya –dengan tanpa kompromi dan sehormat-hormatnya.

Keteguhan Pram ini sebenarnya bisa ditelisik dari kecintaannya pada tanah air. Ia semacam jatuh cinta dan memiliki semangat patriotisme yang lebih tinggi dari siapapun, bahkan aparat negara atau pun presiden sezamannya. Kecintaannya ini membuat Pram kalut jika Indonesia tidak maju. Ia ikut bergolak, mendobrak, dan berhadap-hadapan dengan bermacam kelompok atau perorangan. Pram berpendapat bahwa sastra seharusnya tidak meninggalkan kaum miskin kota atau ketertindasan petani desa. Hal ini tentu berbeda dengan musuh politik sastranya yang lebih suka menjadikan sastra sebagai sastra, sastra untuk sastra, sehingga seakan tidak ikut bertanggung jawab akan lingkungannya.

Salah satu wujud kecintaan Pram terhadap nusantara ini adalah kegigihannya untuk membuat semacam ensiklopedi Indonesia. Ia rela menghabiskan 23 tahun hanya untuk mengkliping koran, demi mendapatkan gambaran lengkap tentang Indonesia. Yang ia kliping bukanlah persoalan politik, tetapi daerah-daerah yang ada di seantero Indonesia. Jika orang lain melihat Indonesia dari provinsi ke kabupaten ke kecamatan dan baru ke desa, maka Pram membaliknya. Ia catat seluruh nama desa yang ada di Indonesia, kemudian ia mendaftarnya sesuai urutan huruf.

Pram percaya, bahwa kerja-kerja kepengarangannya tidak hanya berbatas pada menulis, tetapi pada seluruh aktivitas untuk membesarkan nama Indonesia. Seperti kita tahu, Pram tidak hanya menulis pada awalnya, tetapi juga ikut dalam berbagai organisasi hingga ia dituduh komunis, ia aktif dalam gerakan sastra, dan termasuk ia mendirikan penerbitan sendiri guna mendukung langkah-langkahnya. Menurut Pram, inilah konsekuensi dari kecintaannya terhadap Indonesia. Ia pernah mengeluh bahwa kerjanya tidak banyak yang mengapresiasi, tetapi ia tidak pernah berhenti untuk menyelesaikan setiap perjuangan yang telah ia mulai. Dilihat atau pun tidak, kita sekarang lah yang memberikan penilaian.

2017-05-03

Ketidaksempurnaan Kesempurnaan



segala sesuatu yang kita anggap sempurna mengandung ketidaksempurnaan.

Manusia selalu memandang rumput tetangga lebih hijau. Bukanlah suatu hal yang aneh jika ada orang lain yang mengagumi kehidupan manusia lainnya, memuji, dan ingin sekali hidup seperti orang lain. Beberapa lainnya menyadari bahwa pikiran seperti itu hanyalah ilusi, tetapi kesadaran ini tidak bertahan lama. Suatu saat ketika ia tertimpa kesusahan, pikirannya akan langsung melihat kehidupan orang lain dan merasa ingin menggantikannya. Bahkan, kita sering pula merasa putus asa, menganggap tuhan tidak adil, dan merasa menjadi manusia paling tidak beruntung di dunia ini.

Manusia adalah makhluk yang tidak sempurna, tetapi kita sering memandang ada orang lain yang memiliki kehidupan sempurna. Banyak cara kita untuk menuding orang sempurna, mulai dari kekayaan yang tak terhitung, kepandaian yang tak terukur, kreatifitas dalam seni dan budaya yang tidak ada batasnya, hingga gelar dan jabatan yang kepalang tinggi sampai kita tak akan pernah menggapainya. Ternyata mereka tidak sempurna, sungguh. Kita hanya tertipu oleh bayangan-bayangan kesuksesan tanpa bisa melihat segala kondisi dengan lebih gamblang.

Ketidaksempurnaan adalah salah satu ciri dari makhluk, sebagai lawan kata tuhan yang maha kesempurnaan. Tuhan adalah entitas yang kesempurnaannya melampaui segala konsep tentang kesempurnaan. Kesempurnaan tuhan mutlak, dan kesempurnaan manusia adalah relatif. Relatif karena berhubungan dengan sebutan manusia lainnya yang bergantung pada konsep, latar belakang, dan tujuan-tujuan tertentu. Karena itu, bagaimanapun kita iri dengan kehidupan orang lain, kita harus paham bahwa manusia pada dasarnya adalah tidak sempurna meski terlihat sempurna.

Ada kesempurnaan yang berkelindan dengan ketidaksempurnaan dan hidup dalam tubuh orang. Kita bisa melihat sosoknya di John Nash, Allan Turing, Steve Jobs, Stephen Hawking, S Ramanujan, atau penulis kawakan Thomas Wolfe. Mereka semua adalah tokoh andalan dunia yang menciptakan beragam penemuan. Semuanya hebat, semuanya memiliki nasib lebih baik dibanding kebanyakan orang. Tapi bersamaan dengan itu, mereka juga punya kehidupan susah yang lebih buruk dibanding manusia pada umumnya.

John Nash adalah penerima Nobel Prize di bidang Ekonomi karena menemukan Teori Permainan saat ia minum bir bersama teman-temannya. Penyakit yang menggerogoti akal warasnya itu bahkan menjebloskannya ke rumah sakit jiwa. Ia yang awalnya nyentrik, jenius, ambisius, harus terpapar oleh orang-orang khayalan yang hidup bersama dirinya. Kehidupan Nash penuh dengan lika-liku yang mengurai air mata. Kehidupannya cemerlang, berubah menjadi memprihatinkan. Untungnya, di akhir masa hidupnya ia mampu melakukan ‘diet pikiran’ dengan mengeliminir setiap orang sebagai ‘manusia ilusi’. Karena itu, buku dan film yang mengisahkan hidup Nash diberi judul A Beautiful Mind.

Tokoh monumental lain yang dianggap sebagai bapak Ilmu Komputer, Alan Turing, mendapatkan autismenya di saat masa kejayaannya. Jika Nash punya imajinasi kronis tekait keterlibatannya dengan militer untuk melawan Nazi, maka Turing betul-betul berjuang di tengah militer. Ia adalah salah satu tim ahli pemecah kode enigma bersama beberapa rekannya. Sayangnya, autisme yang dimiliki Turing membuatnya menjadi individualis. Atau paling tepat adalah : dia tidak dapat bersosialisasi dengan manusia lainnya sehingga disebut sebagai individualis.

Turing mengabiskan masa kehebatannya di kamp militer. Ia menyembunyikan dirinya dari orang-orang karena memiliki selera seksual berbeda: homo –yang pada waktu itu dianggap sebagai sebuah penyimpangan sehingga harus diobati. Di masa tuanya, Turing memang menjalani suntik hormon untuk mematikan selera seksualnya tersebut. Otaknya yang cerdas dan hampir sempurna membuat Turing bisa membuat cikal bakal komputer seperti yang sekarang ini. Tetapi hidupnya tidak sesempurna kelihatannya, ia kalah dengan masyarakat sosialnya.

Kesempurnaan-kesempurnaan semu ini dialami juga oleh Steve Jobs. Siapa yang tidak mengenal orang ini? Meskipun tidak ada suara jelas apakah Jobs punya kelainan dalam sosialnya, namun kenyataan membuktikan bahwa Jobs hampir mirip dengan Turing. Jobs seringkali bentrok dengan para teman dan pegawainya gara-gara persoalan sepele; katakanlah demikian. Ia mudah sekali menyinggung orang lain sehingga secara pertemanan tidak ada yang menyukainya. Tetapi dia orang yang berintegritas, kreatif, dan mampu membangun masa depan. Jobs tidaklah sesempurna itu, ia juga pernah kalah dengan tidak menjadi siapapun di Apple yang diciptakannya.

Masih banyak lagi orang-orang yang tampaknya beruntung dengan suatu kesempurnaan, tetapi memiliki banyak kisah tidak menyenangkan. Contoh saja, Vincent Van Gogh, yang terkenal dengan lukisan-lukisan impressionismenya berharga ratusan hingga miliaran rupiah. Sayang sekali karena ia terkenal justru setelah meninggal bunuh diri dengan cara memotong daun telinganya. Gogh bisa jadi sempurna dalam hal melukis, namun di kehidupannya yang sederhana ini, ia menjadi orang yang tersingkir. Demikian juga S Ramanujan, matematikawan India yang disebandingkan dengan Euler, Gauss, dan Euclid. Lebih banyak lagi bacalah biografi komposer hebat Beethoven dan Mozart, atau jenius Stephen Hawking, dan penulis semacam Thomas Wolfe -yang mendapat julukan penulis jenius, juga memiliki ketidaksempurnaan yang akut.

Kesempurnaan tidak akan bisa dicapai oleh manusia, siapapun juga. Bahkan Nabi Muhammad yang kita ikuti setiap sunnahnya, tidak diperbolehkan mengaku sebagai orang yang sempurna. Ia adalah nabi, nabi adalah orang ma’shum, berarti dijaga dari dosa: bukan orang yang tidak memiliki dosa. Jika membaca sejarah penurunan wahyu, kita akan tahu bahwa tuhan pernah memperingatkan nabi dengan tidak menghubunginya selama berbulan-bulan. Lalu muncullah titah tuhan untuk mengucapkan ‘Insyallah’ jika manusia berjanji, sekelas nabi sekalipun.

Jadi ada paradox dengan kata kesempurnaan yang setiap hari kita gunakan. Orang di sekeliling kita, akan lebih banyak yang mengeluhkan pekerjaan, jodoh, makanan, penginapan, perkuliahan, dan lain sebagainya, karena mereka tidak sempurna. Tentunya kita akan kaget ketika ada seorang cewek cantik, cerdas, anak orang kaya, tetapi malah jadi perempuan panggilan: atau maksimal dia bunuh diri karena putus cinta. Tidak habis pikir, tetapi demikian hidup. Tidak ada yang sempurna. Paling tidak, dengan memahami bahwa ada ketidaksempurnaan di setiap kesempurnaan, kita bisa lebih bersyukur dan menikmati hidup.

Namun, ketidaksempurnaan yang melekat pada manusia bukan hanya sebuah takdir, melainkan juga seni yang halus dan indah. Justru melalui ketidaksempurnaan itulah manusia belajar, tumbuh, dan menjadi makhluk yang penuh warna. Sebuah pohon yang miring karena tertiup angin akan lebih kokoh dibandingkan pohon yang hanya berdiri di tanah datar tanpa tantangan. Begitu juga manusia, setiap luka, kekurangan, dan kegagalan adalah akar yang menancap lebih dalam ke tanah kehidupan. Karena itu, kita tidak perlu malu dengan ketidaksempurnaan, tidak pula harus menutupinya dengan topeng kesuksesan. Hidup bukan soal bagaimana menjadi sempurna, melainkan bagaimana menjadi versi terbaik dari diri kita yang penuh dengan celah dan retakan.

Lebih dari itu, ketidaksempurnaan adalah pengingat bahwa kita manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan. Sebuah jembatan yang kokoh dibangun dari batu-batu yang berbeda bentuknya, saling menopang satu sama lain. Sama halnya, kita membutuhkan sesama untuk melengkapi setiap celah yang ada dalam diri kita. Orang yang merasa dirinya sempurna sesungguhnya hanya hidup dalam ilusi kesendirian. Maka, ketidaksempurnaan kita adalah panggilan untuk saling memahami, menghargai, dan mengasihi. Bukankah hidup ini jauh lebih bermakna ketika kita mampu menerima diri kita apa adanya, dan pada saat yang sama, menjadi bagian dari kesempurnaan yang lebih besar.