2016-12-28

Catatan Menjadi Wartawan


semasa jadi wartawan yang alhamdulillah allahuakbar

Pekerjaan yang paling mengesankan adalah menjadi wartawan. Bagi sebagian besar orang, menjadi wartawan adalah pekerjaan idaman. Atau bagi sebagian besar mahasiswa lulusan Ilmu Komunikasi, menjadi seorang wartawan adalah impian sejak ikut pers kampus. Tidak jarang pekerjaan wartawan diidentikkan dengan pekerjaan yang mulia, semacam penyambung lidah rakyat –bagi Sukarno. Wartawan juga identik dengan sekelompok orang yang maha tahu. Karena itu jangan heran jika banyak orang menghormati kenalannya yang berprofesi sebagai wartawan.

Meskipun profesi ini dicintai, namun banyak juga yang membenci. Banyak orang yang ‘tampaknya saja’ menghormati orang yang berprofesi sebagai wartawan. Namun di balik itu, mereka mengolok-olok bahkan terkesan mencemooh wartawan. Sebabnya bisa jadi macam-macam, misalnya sekarang banyak berita hoax atau media yang meliput hanya mengandalkan angle yang menarik –bukan angle yang dibutuhkan masyarakat. Bisa juga karena perilaku wartawan yang dianggap sewenang-wenang, atau banyak wartawan bodrek yang memberlakukan tarif pada narasumbernya.

Terlepas dari dicintai atau dibenci, enakkah menjadi wartawan itu? Pertanyaan ‘enak atau tidak enak’ kebanyakan akan mendapatkan jawaban subyektif. Beruntungnya adalah saya pernah menjadi wartawan sehingga subyektifitas ini layak dipercaya. Dari pada menjawab dengan singkat, persoalan enak dan tidak enak ini lebih baik saya jabarkan di bawah :

Pertama, sibuk. Menjadi seorang wartawan selalu memiliki kesibukan yang teramat sangat. Ketika ada bencana alam, seorang wartawan tidak akan bisa istirahat dan ia malah mendatangi lokasi bencana. Ketika ada bom di sebuah pusat perbelanjaan, maka orang-orang akan berlarian menjauhi bom. Wartawan malah sebaliknya, ia datang, kalau bisa masuk ke dalam dan melihat rupa bomnya seperti apa, apakah hijau kekuningan, berapa jumlah kabel yang berjuntai, tidak lupa juga mengabadikannya.

Ketika tanggal merah berderet, orang-orang bisa terlena. Sedangkan bagi wartawan, tanggal merah berderet itu seperti dencit kereta api: waktunya berangkat menembus kabut. Ingat, jika tanggal merah maka orang pasti ramai memperingati sesuatu, bisa maulid Nabi, Natal, atau Waisak. Dan dalam acara-acara seperti itu, wartawan tidak bisa tidur tenang di rumah. Ia harus di sana, berjibaku dengan polisi yang mengatur kemacetan, atau membayangi kyai yang berkhutbah berapi-api.

Kedua, tidak punya waktu. Wartawan tentunya memiliki waktu 25 jam dibanding manusia normal pada umumnya. Namun wartawan sebenarnya tidak punya waktu untuk melakukan segala sesuatu. Terasa aneh dan janggal karena meskipun berjaga sepanjang waktu, seorang wartawan merasa telah melewatkan begitu banyak hal. Bagi orang yang tidak pernah menjadi wartawan, profesi ini diibaratkan profesi hantu. Pagi ia menyelinap di pasar, siang bertamu pemilik pabrik, sore meliput karnaval budaya, dan malamnya masih harus mengikuti polisi mengejar maling ayam.

Wartawan punya waktu 25 jam sehari untuk berita, tetapi ia tak pernah punya waktu untuk selain itu. Karenanya jangan heran kalau janjian personal dengan wartawan –bukan urusan berita- maka dipastikan terlambat, atau minimal berubah jam pertemuan. Karena bagi wartawan, bertemu dengan narasumber harus didahulukan dari pada bertemu dengan orang lain. Jika punya saudara atau teman wartawan, mereka sering kali tidak mendatangi undangan nikah, tidak ikut coblosan di kampung sendiri, jarang punya pacar yang bertahan hingga tiga bulan, bahkan tidak mendatangi upacara kematian tetangga rumah –kecuali tetangga rumah mati terkena malaria, atau tanggal kematiannya sama dengan tanggal lahir dan tanggal pernikahannya.

Ketiga, hidup untuk publik. Sudah lama diketahui bahwa fungsi pers adalah memberikan informasi kepada masyarakat luas. Di atas juga sudah disinggung bahwa wartawan hanya memiliki waktu untuk mengejar berita, dan berita adalah untuk publik. Karena itu bisa dikatakan, wartawan hidup untuk publik. Ia bisa jadi lupa kapan ulang tahun istrinya, tapi ia ingat dan diingatkan kapan istri Kapolres ulang tahun. Bukan karena istri Kapolres biasanya lebih cantik, tetapi ulang tahun istri Kapolres selalu dirayakan sehingga bernilai berita.

Bagi wartawan, publik adalah nomor satu. Meskipun tidak secara langsung berhadapan dengan publik, namun wartawan adalah kunci dari berita yang tersebar. Tanpa wartawan mustahil ada berita yang mampir di meja redaksi. Karena itu, apapun yang diketahui masyarakat tentang dunia luar, biasanya berasal dari kerja kewartawanan. Jika masyarakat merasa terbantu dengan berita itu, maka popularitas media yang bersangkutan akan naik –imbasnya adalah pujian kepada wartawan juga mengalir.

Konteks kerja untuk publik juga harus mengalir ke dalam nadi seorang wartawan. Ia tidak boleh dikekang oleh kantor redaksi, manajemen keuangan perusahaan, atau pun dikekang oleh pihak eksternal yang mencoba untuk menutupi informasi yang bernilai berita. Meksi demikian, seorang wartawan juga tidak boleh lebai, informasi ditutup sedikit saja oleh oknum aparat, langsung heboh dengan membuat pernyataan, aksi, atau melaporkan ke asosiasi jurnalisnya. Padahal dalam kerja investigative reporting, main kucing-kucingan dengan narasumber adalah hal biasa.

Jika wartawan sudah niat bekerja untuk publik, maka apapun yang ia lakukan di lapangan adalah demi rakyat. Ia bekerja demi kebenaran. Seorang wartawan akan rela bergelimang lumpur di sawah demi menguak kasus penjualan manusia, atau seorang wartawan demi berlarian di medan perang untuk meliput kejahatan yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya. Karena itu, jika sudah menyematkan diri menjadi pekerja publik, maka seorang wartawan tidak diperbolehkan manja lagi.

semasa jadi wartawan yang aduhai syalalalala
Keempat, tuntutan selalu tahu. Tidak jarang dalam diskusi umum, salah seorang akan berkata “ayo mas wartawan, menurut sampean gimana? Kan wartawan harusnya tahu persoalan seperti ini”. Ini jenis anggapan dan pertanyaan yang ngeri-ngeri sedap. Karena tidak semua wartawan tahu segala hal. Seorang wartawan hanya tahu apa yang ia pernah dengar atau apa yang pernah ia liput. Seorang wartawan yang pindah tempat liputan, dari kriminal ke pemerintahan, sudah jelas terlihat culunnya. Wartawan pemerintahan mana tahu bedanya pasal 351 dan 352, wartawan olahraga tidak akan ngeh dengan KUAPPAS dan PAK APBD, begitu pun wartawan kriminal tidak akan faham kenapa PSSI sampai sekarang memusingkan.

Karena itu, penyematan kategori ‘wartawan serba tahu’ adalah sesuatu yang jahat. Tuntutan serba tahu dari masyarakat ini kadang memaksa wartawan bicara asal bunyi. Yang terjadi wartawan kehilangan kredibilitasnya. Sehingga wartawan sebagai penulis berita yang mendidik, juga harus memberikan pemahaman kepada warga bahwa tidak semua wartawan tau kasus korupsi yang dilakukan kepala desa. Namun tuntutan masyarakat ini bisa diminimalisir dengan memperbanyak membaca berita temannya sendiri. Wartawan jangan malas membaca berita. Meskipun wartawan olahraga, ia harus tetap membaca berita kriminal dan budaya.

Tuntutan serba tahu yang paling sadis biasanya datang dari redaksi sendiri. Tidak jarang seorang editor, redaktur, dan pimpinan redaksi, memarahi  seorang wartawan karena ketinggalan berita dari media tetangga. Hal ini sering menjadi beban wartawan dalam pekerjaannya. Karenanya wartawan sering bekerja sama saat di lapangan. Mereka mengelompok, membuat grup, ngopi bareng, bahkan saling tukar berita demi tidak dimarahi redaktur di kantor. Padahal ketika rapat redaksi, selalu ditekankan bahwa wartawan media tersebut bekerja sendiri dan haram hukumnya barter berita dengan media lain. Kata wartawan : kayak redaktur tidak pernah jadi wartawan aja!.

Keenam, punya uang berlebih. Enaknya menjadi wartawan adalah punya uang yang lebih banyak dibandingkan dengan bekerja di tempat lain yang setara. Persoalan gaji, kita sering mengaku kurang –dimanapun tempat kerjanya. Karena saya pernah jadi wartawan, maka saya tahu dari mana saja sumber uang berasal. Misalnya, dari gaji pokok+tunjangan, dari penghasilan iklan, dan dari santunan narasumber. Untuk gaji dan uang persentase iklan, semua orang pasti sudah tahu. Misalnya jika wartawan berhasil mendapatkan iklan senilai Rp 50 juga, maka wartawan akan mendapatkan bagian, tergantung kesepakatan persentase dengan perusahaan persnya.

Khusus mengenai santunan narasumber ini biasanya ditutup-tutupi oleh wartawan. Kita juga tidak bisa menjustifikasi bahwa semua wartawan menerima amplop. Jadi lebih baik jangan menuding, dari pada wartawan marah dan akhirnya kita kena getahnya. Nilai dari santunan narasumber ini tidak sedikit, tapi juga tidak besar. Fungsinya pun bukan untuk menutupi suatu berita, tetapi lebih pada menjalin hubungan dan penghargaan narasumber atas kerja wartawan. Seringkali wartawan yang tidak diberi uang santunan ini ngomong; narasumber tidak menghargai kita sama sekali, saya tulis sedikit saja.

Mau membahas persoalan ini panjang-panjang kadang mengerikan juga. Karena banyak wartawan yang benar-benar tidak mau menerima apapun dari narasumbernya. Bahkan jika terpaksa menerima, uang itu akan dikirim ke kantornya untuk dikirim ke santunan anak yatim atau fakir miskin. Jadi kejadian ini tidak bisa digeneralisir. Percayalah hanya wartawan tertentu saja yang menerima uang dari narasumber, dan percayalah bahwa keuangan wartawan lebih banyak yang baik-baik saja dari pada yang kekurangan. 

Ketujuh, link bercabang. Jika kita sering ngobrol dengan orang lain, sering berdiskusi, apalagi sering menyenangkan hati orang, maka dengan sendirinya kita akan akrab. Keakraban semacam ini bisa mendatangkan manfaat berupa link jangka panjang yang serba guna. Misalnya memudahkan pengurusan proposal penggalangan dana Karang Taruna, memudahkan mengurus KTP dan SIM, hingga memudahkan keluarga wartawan untuk masuk ke tempat wisata gratis. Hal ini tidak dipungkiri, kadang dimanfaatkan oleh wartawan, dan banyak pula wartawan yang sering menolak fasilitas semacam ini.

Intinya adalah dengan link ini wartawan mendapatkan manfaat dan fasilitas. Sering kali kita harus menganggapnya sebagai fairness –karena orang-orang kadang suka menraktir wartawan agar nanti jika punya acara bisa diliput. Yang mengenaskan, wartawan diberi faslitas agar tidak menulis hal-hal yang buruk dari perusahaan multinasional atau personal. Kejadian ini juga banyak dialami profesi lainnya. Misalnya kita sering membawa rokok ke Kepala Desa agar ketika mengurus nikah sirri ketiga, tidak mendapatkan kesulitan. Jadi, selama masih di Indonesia, kejadian ini ‘dianggap’ sah-sah saja. 

Bekerja Serius

Itu adalah beberapa catatan indah dan tidak indah selama menjadi wartawan. Masih banyak hal yang bisa menjadi alasan kenapa kita tidak harus menjadi wartawan. Terutama adalah bagi kita yang sangat cinta sama keluarga, lebih baik tidak menjadi wartawan. Ketika saya sudah alih profesi sebagai pekerja kantoran, saya faham arti libur dan ketenangan batin. Karena saat menjadi wartawan, hape tidak pernah bisa di-silent, apalagi dimatikan. Hukumnya haram –menurut Pimred Malang Voice. Pun ketika ada bunyi WA, bbm, atau telepon dan sms, harus segera direspon seketika.

Perlu penggambaran memang, antara wartawan media serius dan tidak serius. Ketika wartawan bekerja di media yang serius, yang ingin bersaing dengan media lain, maka ia memberlakukan ketentuan kerja yang ketat. Wartawan tidak pernah bisa tenang bekerja di media yang seperti ini. Ia harus selalu memantau perkembangan, berfikir semalaman untuk berita besok yang spektakuler, memasang telinga di reserse kepolisian, hingga nongkrong sampai jam 02.00 demi wawancara dengan bencong yang berada di perbatasan Batu-Malang.

Wartawan jenis ini selalu tidak bisa tenang ketika mendengar dering hape. Rasanya di dada ada yang bergetar tidak mengenakkan. Sama seperti mahasiswa S1 semester 11 yang belum menyelesaikan skripsinya. Ketika ia ngopi santai di dermaga saksi bisu, kemudian ada temannya yang ngomong soal skripsi, dadanya langsung gemetar karena gentar. Serrr!. Nggak enak. Wartawan juga tidak punya jam pasti kapan ia harus liburan, kapan harus bekerja. Bahkan jika diberi libur pun, liburannya menjadi hal yang menggelisahkan karena setiap saat dihubungi narasumber.

Berbeda dengan wartawan yang bekerja di media tidak serius, ia bisa santai ngopi sampai pukul 12.00 siang tanpa khawatir tidak mendapat berita. Karena ia bisa mencontoh, kopi paste modifikasi, hingga mencuri berita wartawan lainnya. Wartawan model ini juga tidak dioyak-oyak (disuruh-suruh dengan keras) oleh kantornya. Kenapa? Karena kantor berita yang tidak serius tidak dapat menggaji wartawannya dengan pantas. Hukum jual beli berfungsi: tidak mampu memberi gaji tinggi, maka tidak mampu menyuruh pegawai untuk bekerja keras.

2016-12-11

Jangan Pecah : Umat dan Ulama

jumatan 212, sumber : Republika

Ada tiga kondisi umat islam di Indonesia saat ini; pertama, orang yang militan terhadap pengusutan hukum terhadap Basuki Tjahaya Purnama, kedua, orang cenderung mendukung ketidakbersalahan Basuki alias Ahok, dan terakhir adalah orang muslim yang memilih cuek dan tidak ambil pusing dengan seluruh kejadian tersebut. Persamaan diantara tiga kelompok ini adalah; mereka semua merasa benar dengan pilihannya sehingga banyak yang saling mencemooh dan menghujat di berbagai media publik.

Telah menjadi maklum bahwa Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah menistakakan agama Islam dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Dan fatwa seperti itu, bagi golongan muslim pertama bisa menjadi tongkat musa. Bagi golongan kedua, MUI akan semakin dibenci dan diduga diisi oleh ulama tak berilmu, dan bagi golongan terakhir, MUI adalah lembaga yang ada ataupun tidak adanya sama saja (wujuduhu ka’adamuhu). Kita patut menyayangkan kondisi yang silang sengkarut ini, namun selalu ada hikmah di setiap peristiwa.

Harus diakui bahwa sesalah-salahnya kemarahan umat islam, hikmah dari peristiwa ini juga sedemikian besar. Bagi masyarakat yang mau berpandangan obyektif, tentunya mengakui bahwa aksi yang dilakukan umat islam pada 411 maupun 212 merupakan aksi yang menggetarkan hati. Media sudah banyak mencuplik kisah-kisah di dalamnya, mulai dari massa yang berjalan kaki karena bus dilarang mengangkut mereka, makanan gratis bertebaran, hingga ketertiban umat islam saat melakukan aksi, salat, dan tetap kokohnya tanaman di taman Jakarta.

Kebersatuan umat islam ini bukanlah berdasar sesuatu yang diimajinasikan –sesuatu yang seperti konsep bangsa dan nasionalisme ala Bennedict Anderson. Kebersatuan ini mengambil Agama Islam secara mendalam sebagai dasar pergerakannya. Mereka bergerak karena mereka satu agama, satu rasa –yang sama marah dengan perkataan Ahok. Tentu saja banyak ulama’ yang aktif dalam aksi super damai tersebut,termasuk juga banyak umat yang taklid di sana. Tapi tidak salah juga bahwa banyak ulama yang tidak ambil bagian dalam aksi salat Jumat di Monas itu. Jadi semuanya sah demi alasan dan ijtihad masing-masing.

Peran Ulama

Di Indonesia, ulama masihlah sosok yang dimuliakan karena dipercayai sebagai warosatul anbiya’. Sehingga titah ulama sangat dipegang oleh jemaahnya; digunakan sebagai pedoman, bahkan digunakan senjata yang tidak mempan tembakan aparat bersenjata. Ada tanggung jawab besar yang dipegang ulama’ pada persoalan penistaan agama oleh Ahok ini. Karena sebagai pewaris para nabi, jangan sampai mereka mengeluarkan fatwa yang membuat umat pecah belah. Kita harus memahami bahwa banyak umat yang tidak mempraktekkan kearifan ‘undzur ma qola, wala tandzur man qola’ : lihatlah apa yang dibicarakan, bukan siapa yang berbicara.

Karena itu, sosok ulama masihlah menjadi tumpuan bagi Negara Indonesia untuk ‘menjinakkan’ umat islam ketika suatu persoalan terjadi –dan dengan kekuatan umat islam, persoalan itu akan selesai. Karena itulah, pemerintah berkali-kali mengunjungi markas NU dan Muhammadiyah untuk berkonsolidasi. Kita tidak tahu apa yang mereka bicarakan, namun dalam konteks positif, tentulah pemerintah ingin agar NU dan Muhammadiyah menjinakkan jemaahnya. Dan tebakan ini hadir dalam ‘kenetralan’ NU dan Muhammadiyah untuk aksi 212.

Namun keyakinan bahwa ulama’ dan organisasi keagamaan masih memegang kendali atas umatnya, kadang tidak terbukti 100 persen. Karena kekuatan media saat ini jauh melampaui kekuatan ulama dan organisasinya. Diakui ataupun tidak, banyak jemaah yang kini merasa memiliki kemandirian pola pikir –entah karena terprovokasi atau karena benar-benar berfikir. Hal itu yang menjadi sebab, banyak umat NU, Muhammadiyah, maupun organisasi keislaman lainnya tetap memenuhi Monas dan sekitarnya dalam aksi bela Islam. Seruan NU, Muhammadiyah, dan MUI malah cenderung ambigu, antara memperbolehkan atau melarang.

Tapi meski terlihat ambigu, langkah yang diambil organisai keislaman ini bisa menjadi langkah strategis. Banyak orang yang mencintai NU menganggap langkah NU adalah langkah sakral pengorbanan diri. Meskipun dihina karena dianggap tidak punya ghirah memperjuangkan nama baik islam, NU tetap kokoh untuk melarang jemaahnya demo ke Jakarta. Alasannya jelas; pertama hukum terhadap Ahok tidak dapat diintervensi; kedua, NU memilih jalur aman agar tidak terjadi gelombang massa yang maha besar jika NU memfatwakan jemaahnya agar datang ke Jakarta –ingat bahwa massa NU lebih tunduk pada fatwa kyainya dibanding jemaah ormas lain, dan NU adalah ormas yang punya massa islam terbesar di Indonesia.

Langkah-langkah yang sudah ‘benar’ tersebut jangan sampai dinodai lagi. Perkataan Ulama jangan ditambah-tambahi dan jangan mau dipancing oleh wartawan untuk mengomentari kasus ini tanpa pikiran yang jernih. Kalau dianggap keliru bisa menyebabkan blunder karena bermusuhan dengan jutaan massa aksi, kalau dianggap benar oleh massa 212 maka muslim golongan kedua dan ketiga bakal mecucu. Karena itu, tweet Gus Mus yang menyebut Jumaatan di jalan raya sebagai ‘bid’ah sedemikian besar’ itu menimbulkan polemik baru. Terjungkal-jungkal lah pecinta Gus Mus dengan muslim yang tergerak hatinya untuk jumatan bareng di Monas.

Di sini Gus Mus sepertinya membela Ahok, padahal di statusnya di facebook, beliau pernah menunjuk Ahok sebagai virus yang telah menyerang akal sehat jutaan umat muslim. Mungkin saya memahami bahwa Gus Mus hanya ingin meletakkan masalah pada tempatnya –yang menurut beliau: Ahok jelas salah, tapi mengumpulkan umat islam untuk salat Jumat di jalan raya Jakarta demi persoalan ini juga langkah yang tidak tepat. Gus Mus tidak memberikan jalan keluar secara syariat, hanya hakikat yang ia sampaikan : Jangan berlebih-lebihan. Termasuk sedang-sedang saja dalam menyenangi dan tidak berlebih-lebihan dalam membenci.

Saya tidak merasa lebih baik dibanding ulama, tapi ada perkara yang harus ulama ambil dari kasus Gus Mus ini. Bahwa suatu hal yang mengerikan ketika ulama memberikan pernyataan, lalu beberapa umatnya malah menjadi musuh dan melayangkan perkataan yang buruk. Karena itu, dalam kasus Sari Roti yang saat ini menjadi viral gara-gara pernyataannya yang ‘tidak mengenakkan’ peserta aksi 212, ulama pun mesti berhati-hati. Fikirkan juga ketika memasang foto sarapan Sari Roti bersama teh di facebook, akan ada orang yang menjadi musuh secara mendadak.

Bukankah hal itu harus dihindari agar umat Islam tidak semakin terpecah? Pemahaman umat jelas berbeda-beda, ada yang awam dan ada yang pemahamannya tinggi. Sehingga ulama sebagai orang yang kuasa pengetahuannya lebih banyak, harusnya lebih bijak menyampaikan hal kontroversial ini. Sungguh suatu kerugian jika umat terpecah, jika bersatu lebih baik.

Proses Hukum

Karena gema penolakan yang menggelegar ini, akhirnya Ahok mengucapkan permintaan maafnya. Ini adalah langkah yang bagus, kalau tidak bisa dianggap luar biasa, bahwa seorang pejabat Indonesia akhirnya mengucapkan permintaan maaf atas kesalahannya. Biasanya, kita cenderung berkaca ke Jepang, yang jika pejabatnya terlibat dalam kesalahan yang tak termaafkan, akan mengakui kesalahannya dan mengundurkan diri. Jadi Ahok sudah meminta maaf, meskipun akhirnya kita tahu bahwa permintaan maaf saja tidak cukup. Dan sekarang, Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri, apakah cukup?

Umat islam sudah menunjukkan kekuatannya yang luar biasa dengan dua aksi yang super mengejutkan. Presiden dan Polri harusnya tidak main-main dalam kasus ini karena hal ini bisa membahayakan status mereka di masa mendatang. Karena itu, umat islam lebih baik mendinginkan kepala terlebih dahulu. Ada proses hukum yang berjalan. Persoalan penahanan, memang hak subyektif dan obyektif kepolisian berdasarkan hukum materiil dan formil untuk melakukannya. Apakah penahanan ini akan disamakan antara Buni Yani dan Ahok, itu susah-susah gampang. Yang penting, jika ada hal yang tidak janggal, mereka tahu bahwa muslim tidak tinggal diam.

Yang perlu kita lakukan saat ini adalah berbuat santun di media sosial. Berminggu-minggu ini umat Islam seperti kesetanan karena debat yang tak berkesudahan di dunia antah berantah; mulai warung kopi, masjid, kampus, media konvensional dan media sosial, bahkan mungkin dalam tidurnya sekalipun. Jangan pedulikan orang yang ingin memancing pembicaraan yang tak berujung pangkal, karena sekali kita terperosok, agama yang dikorbankan. Kita musti menyontohkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan agama yang benar.