2016-12-28

Catatan Menjadi Wartawan


semasa jadi wartawan yang alhamdulillah allahuakbar

Pekerjaan yang paling mengesankan adalah menjadi wartawan. Bagi sebagian besar orang, menjadi wartawan adalah pekerjaan idaman. Atau bagi sebagian besar mahasiswa lulusan Ilmu Komunikasi, menjadi seorang wartawan adalah impian sejak ikut pers kampus. Tidak jarang pekerjaan wartawan diidentikkan dengan pekerjaan yang mulia, semacam penyambung lidah rakyat –bagi Sukarno. Wartawan juga identik dengan sekelompok orang yang maha tahu. Karena itu jangan heran jika banyak orang menghormati kenalannya yang berprofesi sebagai wartawan.

Meskipun profesi ini dicintai, namun banyak juga yang membenci. Banyak orang yang ‘tampaknya saja’ menghormati orang yang berprofesi sebagai wartawan. Namun di balik itu, mereka mengolok-olok bahkan terkesan mencemooh wartawan. Sebabnya bisa jadi macam-macam, misalnya sekarang banyak berita hoax atau media yang meliput hanya mengandalkan angle yang menarik –bukan angle yang dibutuhkan masyarakat. Bisa juga karena perilaku wartawan yang dianggap sewenang-wenang, atau banyak wartawan bodrek yang memberlakukan tarif pada narasumbernya.

Terlepas dari dicintai atau dibenci, enakkah menjadi wartawan itu? Pertanyaan ‘enak atau tidak enak’ kebanyakan akan mendapatkan jawaban subyektif. Beruntungnya adalah saya pernah menjadi wartawan sehingga subyektifitas ini layak dipercaya. Dari pada menjawab dengan singkat, persoalan enak dan tidak enak ini lebih baik saya jabarkan di bawah :

Pertama, sibuk. Menjadi seorang wartawan selalu memiliki kesibukan yang teramat sangat. Ketika ada bencana alam, seorang wartawan tidak akan bisa istirahat dan ia malah mendatangi lokasi bencana. Ketika ada bom di sebuah pusat perbelanjaan, maka orang-orang akan berlarian menjauhi bom. Wartawan malah sebaliknya, ia datang, kalau bisa masuk ke dalam dan melihat rupa bomnya seperti apa, apakah hijau kekuningan, berapa jumlah kabel yang berjuntai, tidak lupa juga mengabadikannya.

Ketika tanggal merah berderet, orang-orang bisa terlena. Sedangkan bagi wartawan, tanggal merah berderet itu seperti dencit kereta api: waktunya berangkat menembus kabut. Ingat, jika tanggal merah maka orang pasti ramai memperingati sesuatu, bisa maulid Nabi, Natal, atau Waisak. Dan dalam acara-acara seperti itu, wartawan tidak bisa tidur tenang di rumah. Ia harus di sana, berjibaku dengan polisi yang mengatur kemacetan, atau membayangi kyai yang berkhutbah berapi-api.

Kedua, tidak punya waktu. Wartawan tentunya memiliki waktu 25 jam dibanding manusia normal pada umumnya. Namun wartawan sebenarnya tidak punya waktu untuk melakukan segala sesuatu. Terasa aneh dan janggal karena meskipun berjaga sepanjang waktu, seorang wartawan merasa telah melewatkan begitu banyak hal. Bagi orang yang tidak pernah menjadi wartawan, profesi ini diibaratkan profesi hantu. Pagi ia menyelinap di pasar, siang bertamu pemilik pabrik, sore meliput karnaval budaya, dan malamnya masih harus mengikuti polisi mengejar maling ayam.

Wartawan punya waktu 25 jam sehari untuk berita, tetapi ia tak pernah punya waktu untuk selain itu. Karenanya jangan heran kalau janjian personal dengan wartawan –bukan urusan berita- maka dipastikan terlambat, atau minimal berubah jam pertemuan. Karena bagi wartawan, bertemu dengan narasumber harus didahulukan dari pada bertemu dengan orang lain. Jika punya saudara atau teman wartawan, mereka sering kali tidak mendatangi undangan nikah, tidak ikut coblosan di kampung sendiri, jarang punya pacar yang bertahan hingga tiga bulan, bahkan tidak mendatangi upacara kematian tetangga rumah –kecuali tetangga rumah mati terkena malaria, atau tanggal kematiannya sama dengan tanggal lahir dan tanggal pernikahannya.

Ketiga, hidup untuk publik. Sudah lama diketahui bahwa fungsi pers adalah memberikan informasi kepada masyarakat luas. Di atas juga sudah disinggung bahwa wartawan hanya memiliki waktu untuk mengejar berita, dan berita adalah untuk publik. Karena itu bisa dikatakan, wartawan hidup untuk publik. Ia bisa jadi lupa kapan ulang tahun istrinya, tapi ia ingat dan diingatkan kapan istri Kapolres ulang tahun. Bukan karena istri Kapolres biasanya lebih cantik, tetapi ulang tahun istri Kapolres selalu dirayakan sehingga bernilai berita.

Bagi wartawan, publik adalah nomor satu. Meskipun tidak secara langsung berhadapan dengan publik, namun wartawan adalah kunci dari berita yang tersebar. Tanpa wartawan mustahil ada berita yang mampir di meja redaksi. Karena itu, apapun yang diketahui masyarakat tentang dunia luar, biasanya berasal dari kerja kewartawanan. Jika masyarakat merasa terbantu dengan berita itu, maka popularitas media yang bersangkutan akan naik –imbasnya adalah pujian kepada wartawan juga mengalir.

Konteks kerja untuk publik juga harus mengalir ke dalam nadi seorang wartawan. Ia tidak boleh dikekang oleh kantor redaksi, manajemen keuangan perusahaan, atau pun dikekang oleh pihak eksternal yang mencoba untuk menutupi informasi yang bernilai berita. Meksi demikian, seorang wartawan juga tidak boleh lebai, informasi ditutup sedikit saja oleh oknum aparat, langsung heboh dengan membuat pernyataan, aksi, atau melaporkan ke asosiasi jurnalisnya. Padahal dalam kerja investigative reporting, main kucing-kucingan dengan narasumber adalah hal biasa.

Jika wartawan sudah niat bekerja untuk publik, maka apapun yang ia lakukan di lapangan adalah demi rakyat. Ia bekerja demi kebenaran. Seorang wartawan akan rela bergelimang lumpur di sawah demi menguak kasus penjualan manusia, atau seorang wartawan demi berlarian di medan perang untuk meliput kejahatan yang dilakukan oleh negara kepada rakyatnya. Karena itu, jika sudah menyematkan diri menjadi pekerja publik, maka seorang wartawan tidak diperbolehkan manja lagi.

semasa jadi wartawan yang aduhai syalalalala
Keempat, tuntutan selalu tahu. Tidak jarang dalam diskusi umum, salah seorang akan berkata “ayo mas wartawan, menurut sampean gimana? Kan wartawan harusnya tahu persoalan seperti ini”. Ini jenis anggapan dan pertanyaan yang ngeri-ngeri sedap. Karena tidak semua wartawan tahu segala hal. Seorang wartawan hanya tahu apa yang ia pernah dengar atau apa yang pernah ia liput. Seorang wartawan yang pindah tempat liputan, dari kriminal ke pemerintahan, sudah jelas terlihat culunnya. Wartawan pemerintahan mana tahu bedanya pasal 351 dan 352, wartawan olahraga tidak akan ngeh dengan KUAPPAS dan PAK APBD, begitu pun wartawan kriminal tidak akan faham kenapa PSSI sampai sekarang memusingkan.

Karena itu, penyematan kategori ‘wartawan serba tahu’ adalah sesuatu yang jahat. Tuntutan serba tahu dari masyarakat ini kadang memaksa wartawan bicara asal bunyi. Yang terjadi wartawan kehilangan kredibilitasnya. Sehingga wartawan sebagai penulis berita yang mendidik, juga harus memberikan pemahaman kepada warga bahwa tidak semua wartawan tau kasus korupsi yang dilakukan kepala desa. Namun tuntutan masyarakat ini bisa diminimalisir dengan memperbanyak membaca berita temannya sendiri. Wartawan jangan malas membaca berita. Meskipun wartawan olahraga, ia harus tetap membaca berita kriminal dan budaya.

Tuntutan serba tahu yang paling sadis biasanya datang dari redaksi sendiri. Tidak jarang seorang editor, redaktur, dan pimpinan redaksi, memarahi  seorang wartawan karena ketinggalan berita dari media tetangga. Hal ini sering menjadi beban wartawan dalam pekerjaannya. Karenanya wartawan sering bekerja sama saat di lapangan. Mereka mengelompok, membuat grup, ngopi bareng, bahkan saling tukar berita demi tidak dimarahi redaktur di kantor. Padahal ketika rapat redaksi, selalu ditekankan bahwa wartawan media tersebut bekerja sendiri dan haram hukumnya barter berita dengan media lain. Kata wartawan : kayak redaktur tidak pernah jadi wartawan aja!.

Keenam, punya uang berlebih. Enaknya menjadi wartawan adalah punya uang yang lebih banyak dibandingkan dengan bekerja di tempat lain yang setara. Persoalan gaji, kita sering mengaku kurang –dimanapun tempat kerjanya. Karena saya pernah jadi wartawan, maka saya tahu dari mana saja sumber uang berasal. Misalnya, dari gaji pokok+tunjangan, dari penghasilan iklan, dan dari santunan narasumber. Untuk gaji dan uang persentase iklan, semua orang pasti sudah tahu. Misalnya jika wartawan berhasil mendapatkan iklan senilai Rp 50 juga, maka wartawan akan mendapatkan bagian, tergantung kesepakatan persentase dengan perusahaan persnya.

Khusus mengenai santunan narasumber ini biasanya ditutup-tutupi oleh wartawan. Kita juga tidak bisa menjustifikasi bahwa semua wartawan menerima amplop. Jadi lebih baik jangan menuding, dari pada wartawan marah dan akhirnya kita kena getahnya. Nilai dari santunan narasumber ini tidak sedikit, tapi juga tidak besar. Fungsinya pun bukan untuk menutupi suatu berita, tetapi lebih pada menjalin hubungan dan penghargaan narasumber atas kerja wartawan. Seringkali wartawan yang tidak diberi uang santunan ini ngomong; narasumber tidak menghargai kita sama sekali, saya tulis sedikit saja.

Mau membahas persoalan ini panjang-panjang kadang mengerikan juga. Karena banyak wartawan yang benar-benar tidak mau menerima apapun dari narasumbernya. Bahkan jika terpaksa menerima, uang itu akan dikirim ke kantornya untuk dikirim ke santunan anak yatim atau fakir miskin. Jadi kejadian ini tidak bisa digeneralisir. Percayalah hanya wartawan tertentu saja yang menerima uang dari narasumber, dan percayalah bahwa keuangan wartawan lebih banyak yang baik-baik saja dari pada yang kekurangan. 

Ketujuh, link bercabang. Jika kita sering ngobrol dengan orang lain, sering berdiskusi, apalagi sering menyenangkan hati orang, maka dengan sendirinya kita akan akrab. Keakraban semacam ini bisa mendatangkan manfaat berupa link jangka panjang yang serba guna. Misalnya memudahkan pengurusan proposal penggalangan dana Karang Taruna, memudahkan mengurus KTP dan SIM, hingga memudahkan keluarga wartawan untuk masuk ke tempat wisata gratis. Hal ini tidak dipungkiri, kadang dimanfaatkan oleh wartawan, dan banyak pula wartawan yang sering menolak fasilitas semacam ini.

Intinya adalah dengan link ini wartawan mendapatkan manfaat dan fasilitas. Sering kali kita harus menganggapnya sebagai fairness –karena orang-orang kadang suka menraktir wartawan agar nanti jika punya acara bisa diliput. Yang mengenaskan, wartawan diberi faslitas agar tidak menulis hal-hal yang buruk dari perusahaan multinasional atau personal. Kejadian ini juga banyak dialami profesi lainnya. Misalnya kita sering membawa rokok ke Kepala Desa agar ketika mengurus nikah sirri ketiga, tidak mendapatkan kesulitan. Jadi, selama masih di Indonesia, kejadian ini ‘dianggap’ sah-sah saja. 

Bekerja Serius

Itu adalah beberapa catatan indah dan tidak indah selama menjadi wartawan. Masih banyak hal yang bisa menjadi alasan kenapa kita tidak harus menjadi wartawan. Terutama adalah bagi kita yang sangat cinta sama keluarga, lebih baik tidak menjadi wartawan. Ketika saya sudah alih profesi sebagai pekerja kantoran, saya faham arti libur dan ketenangan batin. Karena saat menjadi wartawan, hape tidak pernah bisa di-silent, apalagi dimatikan. Hukumnya haram –menurut Pimred Malang Voice. Pun ketika ada bunyi WA, bbm, atau telepon dan sms, harus segera direspon seketika.

Perlu penggambaran memang, antara wartawan media serius dan tidak serius. Ketika wartawan bekerja di media yang serius, yang ingin bersaing dengan media lain, maka ia memberlakukan ketentuan kerja yang ketat. Wartawan tidak pernah bisa tenang bekerja di media yang seperti ini. Ia harus selalu memantau perkembangan, berfikir semalaman untuk berita besok yang spektakuler, memasang telinga di reserse kepolisian, hingga nongkrong sampai jam 02.00 demi wawancara dengan bencong yang berada di perbatasan Batu-Malang.

Wartawan jenis ini selalu tidak bisa tenang ketika mendengar dering hape. Rasanya di dada ada yang bergetar tidak mengenakkan. Sama seperti mahasiswa S1 semester 11 yang belum menyelesaikan skripsinya. Ketika ia ngopi santai di dermaga saksi bisu, kemudian ada temannya yang ngomong soal skripsi, dadanya langsung gemetar karena gentar. Serrr!. Nggak enak. Wartawan juga tidak punya jam pasti kapan ia harus liburan, kapan harus bekerja. Bahkan jika diberi libur pun, liburannya menjadi hal yang menggelisahkan karena setiap saat dihubungi narasumber.

Berbeda dengan wartawan yang bekerja di media tidak serius, ia bisa santai ngopi sampai pukul 12.00 siang tanpa khawatir tidak mendapat berita. Karena ia bisa mencontoh, kopi paste modifikasi, hingga mencuri berita wartawan lainnya. Wartawan model ini juga tidak dioyak-oyak (disuruh-suruh dengan keras) oleh kantornya. Kenapa? Karena kantor berita yang tidak serius tidak dapat menggaji wartawannya dengan pantas. Hukum jual beli berfungsi: tidak mampu memberi gaji tinggi, maka tidak mampu menyuruh pegawai untuk bekerja keras.

2016-12-11

Jangan Pecah : Umat dan Ulama

jumatan 212, sumber : Republika

Ada tiga kondisi umat islam di Indonesia saat ini; pertama, orang yang militan terhadap pengusutan hukum terhadap Basuki Tjahaya Purnama, kedua, orang cenderung mendukung ketidakbersalahan Basuki alias Ahok, dan terakhir adalah orang muslim yang memilih cuek dan tidak ambil pusing dengan seluruh kejadian tersebut. Persamaan diantara tiga kelompok ini adalah; mereka semua merasa benar dengan pilihannya sehingga banyak yang saling mencemooh dan menghujat di berbagai media publik.

Telah menjadi maklum bahwa Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa Ahok telah menistakakan agama Islam dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Dan fatwa seperti itu, bagi golongan muslim pertama bisa menjadi tongkat musa. Bagi golongan kedua, MUI akan semakin dibenci dan diduga diisi oleh ulama tak berilmu, dan bagi golongan terakhir, MUI adalah lembaga yang ada ataupun tidak adanya sama saja (wujuduhu ka’adamuhu). Kita patut menyayangkan kondisi yang silang sengkarut ini, namun selalu ada hikmah di setiap peristiwa.

Harus diakui bahwa sesalah-salahnya kemarahan umat islam, hikmah dari peristiwa ini juga sedemikian besar. Bagi masyarakat yang mau berpandangan obyektif, tentunya mengakui bahwa aksi yang dilakukan umat islam pada 411 maupun 212 merupakan aksi yang menggetarkan hati. Media sudah banyak mencuplik kisah-kisah di dalamnya, mulai dari massa yang berjalan kaki karena bus dilarang mengangkut mereka, makanan gratis bertebaran, hingga ketertiban umat islam saat melakukan aksi, salat, dan tetap kokohnya tanaman di taman Jakarta.

Kebersatuan umat islam ini bukanlah berdasar sesuatu yang diimajinasikan –sesuatu yang seperti konsep bangsa dan nasionalisme ala Bennedict Anderson. Kebersatuan ini mengambil Agama Islam secara mendalam sebagai dasar pergerakannya. Mereka bergerak karena mereka satu agama, satu rasa –yang sama marah dengan perkataan Ahok. Tentu saja banyak ulama’ yang aktif dalam aksi super damai tersebut,termasuk juga banyak umat yang taklid di sana. Tapi tidak salah juga bahwa banyak ulama yang tidak ambil bagian dalam aksi salat Jumat di Monas itu. Jadi semuanya sah demi alasan dan ijtihad masing-masing.

Peran Ulama

Di Indonesia, ulama masihlah sosok yang dimuliakan karena dipercayai sebagai warosatul anbiya’. Sehingga titah ulama sangat dipegang oleh jemaahnya; digunakan sebagai pedoman, bahkan digunakan senjata yang tidak mempan tembakan aparat bersenjata. Ada tanggung jawab besar yang dipegang ulama’ pada persoalan penistaan agama oleh Ahok ini. Karena sebagai pewaris para nabi, jangan sampai mereka mengeluarkan fatwa yang membuat umat pecah belah. Kita harus memahami bahwa banyak umat yang tidak mempraktekkan kearifan ‘undzur ma qola, wala tandzur man qola’ : lihatlah apa yang dibicarakan, bukan siapa yang berbicara.

Karena itu, sosok ulama masihlah menjadi tumpuan bagi Negara Indonesia untuk ‘menjinakkan’ umat islam ketika suatu persoalan terjadi –dan dengan kekuatan umat islam, persoalan itu akan selesai. Karena itulah, pemerintah berkali-kali mengunjungi markas NU dan Muhammadiyah untuk berkonsolidasi. Kita tidak tahu apa yang mereka bicarakan, namun dalam konteks positif, tentulah pemerintah ingin agar NU dan Muhammadiyah menjinakkan jemaahnya. Dan tebakan ini hadir dalam ‘kenetralan’ NU dan Muhammadiyah untuk aksi 212.

Namun keyakinan bahwa ulama’ dan organisasi keagamaan masih memegang kendali atas umatnya, kadang tidak terbukti 100 persen. Karena kekuatan media saat ini jauh melampaui kekuatan ulama dan organisasinya. Diakui ataupun tidak, banyak jemaah yang kini merasa memiliki kemandirian pola pikir –entah karena terprovokasi atau karena benar-benar berfikir. Hal itu yang menjadi sebab, banyak umat NU, Muhammadiyah, maupun organisasi keislaman lainnya tetap memenuhi Monas dan sekitarnya dalam aksi bela Islam. Seruan NU, Muhammadiyah, dan MUI malah cenderung ambigu, antara memperbolehkan atau melarang.

Tapi meski terlihat ambigu, langkah yang diambil organisai keislaman ini bisa menjadi langkah strategis. Banyak orang yang mencintai NU menganggap langkah NU adalah langkah sakral pengorbanan diri. Meskipun dihina karena dianggap tidak punya ghirah memperjuangkan nama baik islam, NU tetap kokoh untuk melarang jemaahnya demo ke Jakarta. Alasannya jelas; pertama hukum terhadap Ahok tidak dapat diintervensi; kedua, NU memilih jalur aman agar tidak terjadi gelombang massa yang maha besar jika NU memfatwakan jemaahnya agar datang ke Jakarta –ingat bahwa massa NU lebih tunduk pada fatwa kyainya dibanding jemaah ormas lain, dan NU adalah ormas yang punya massa islam terbesar di Indonesia.

Langkah-langkah yang sudah ‘benar’ tersebut jangan sampai dinodai lagi. Perkataan Ulama jangan ditambah-tambahi dan jangan mau dipancing oleh wartawan untuk mengomentari kasus ini tanpa pikiran yang jernih. Kalau dianggap keliru bisa menyebabkan blunder karena bermusuhan dengan jutaan massa aksi, kalau dianggap benar oleh massa 212 maka muslim golongan kedua dan ketiga bakal mecucu. Karena itu, tweet Gus Mus yang menyebut Jumaatan di jalan raya sebagai ‘bid’ah sedemikian besar’ itu menimbulkan polemik baru. Terjungkal-jungkal lah pecinta Gus Mus dengan muslim yang tergerak hatinya untuk jumatan bareng di Monas.

Di sini Gus Mus sepertinya membela Ahok, padahal di statusnya di facebook, beliau pernah menunjuk Ahok sebagai virus yang telah menyerang akal sehat jutaan umat muslim. Mungkin saya memahami bahwa Gus Mus hanya ingin meletakkan masalah pada tempatnya –yang menurut beliau: Ahok jelas salah, tapi mengumpulkan umat islam untuk salat Jumat di jalan raya Jakarta demi persoalan ini juga langkah yang tidak tepat. Gus Mus tidak memberikan jalan keluar secara syariat, hanya hakikat yang ia sampaikan : Jangan berlebih-lebihan. Termasuk sedang-sedang saja dalam menyenangi dan tidak berlebih-lebihan dalam membenci.

Saya tidak merasa lebih baik dibanding ulama, tapi ada perkara yang harus ulama ambil dari kasus Gus Mus ini. Bahwa suatu hal yang mengerikan ketika ulama memberikan pernyataan, lalu beberapa umatnya malah menjadi musuh dan melayangkan perkataan yang buruk. Karena itu, dalam kasus Sari Roti yang saat ini menjadi viral gara-gara pernyataannya yang ‘tidak mengenakkan’ peserta aksi 212, ulama pun mesti berhati-hati. Fikirkan juga ketika memasang foto sarapan Sari Roti bersama teh di facebook, akan ada orang yang menjadi musuh secara mendadak.

Bukankah hal itu harus dihindari agar umat Islam tidak semakin terpecah? Pemahaman umat jelas berbeda-beda, ada yang awam dan ada yang pemahamannya tinggi. Sehingga ulama sebagai orang yang kuasa pengetahuannya lebih banyak, harusnya lebih bijak menyampaikan hal kontroversial ini. Sungguh suatu kerugian jika umat terpecah, jika bersatu lebih baik.

Proses Hukum

Karena gema penolakan yang menggelegar ini, akhirnya Ahok mengucapkan permintaan maafnya. Ini adalah langkah yang bagus, kalau tidak bisa dianggap luar biasa, bahwa seorang pejabat Indonesia akhirnya mengucapkan permintaan maaf atas kesalahannya. Biasanya, kita cenderung berkaca ke Jepang, yang jika pejabatnya terlibat dalam kesalahan yang tak termaafkan, akan mengakui kesalahannya dan mengundurkan diri. Jadi Ahok sudah meminta maaf, meskipun akhirnya kita tahu bahwa permintaan maaf saja tidak cukup. Dan sekarang, Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri, apakah cukup?

Umat islam sudah menunjukkan kekuatannya yang luar biasa dengan dua aksi yang super mengejutkan. Presiden dan Polri harusnya tidak main-main dalam kasus ini karena hal ini bisa membahayakan status mereka di masa mendatang. Karena itu, umat islam lebih baik mendinginkan kepala terlebih dahulu. Ada proses hukum yang berjalan. Persoalan penahanan, memang hak subyektif dan obyektif kepolisian berdasarkan hukum materiil dan formil untuk melakukannya. Apakah penahanan ini akan disamakan antara Buni Yani dan Ahok, itu susah-susah gampang. Yang penting, jika ada hal yang tidak janggal, mereka tahu bahwa muslim tidak tinggal diam.

Yang perlu kita lakukan saat ini adalah berbuat santun di media sosial. Berminggu-minggu ini umat Islam seperti kesetanan karena debat yang tak berkesudahan di dunia antah berantah; mulai warung kopi, masjid, kampus, media konvensional dan media sosial, bahkan mungkin dalam tidurnya sekalipun. Jangan pedulikan orang yang ingin memancing pembicaraan yang tak berujung pangkal, karena sekali kita terperosok, agama yang dikorbankan. Kita musti menyontohkan bahwa Islam adalah agama yang damai dan agama yang benar.

2016-10-26

Ulasan FIlm: Ketakterbatasan S Ramanujan

poster film the man who knew infinity
sebuah persamaan tidak mempunyai makna bagiku, 
kecuali persamaan itu mengekspresikan pikiran tuhan.
-ramanujan

Orang yang menyandang nama besar menciptakan dirinya sendiri dari antah berantah. Kita akan kesulitan menemukan orang-orang yang memiliki kecerdasan yang luar biasa. Namun yang lebih menyulitkan lagi adalah menemukan mereka menjadi orang yang mengubah arah dunia. Saya bisa membayangkan satu nama –Lintang, yang dalam buku Laskar Pelangi digambarkan sebagai anak kecil jenius. Namun ia tidak beruntung karena harus menjadi nelayan miskin, lalu tinggal selamanya di sana dengan bakat tidak tersalurkan sama sekali.

Orang-orang seperti Lintang mungkin teramat banyak sekali. Beberapa diantara tidak terselamatkan dan dianggap gila, lalu beberapa lagi terselamatkan oleh kegigihannya sendiri. Dari orang-orang genius yang terselamatkan inilah, kita kemudian mengenalnya dan menuai pengetahuan dari kecerdasannya. Salah satu genius yang ada di dunia ini berasal dari India, Srinivasa Ramanujan. Biografi Ramanujan telah ditelusuri oleh Robert Kanigel lalu dibubukan dengan judul The Man Who Knew Infinity pada tahun 1992. Buku ini kemudian diadaptasi ke layar lebar oleh sutradara Matt Brown tahun 2015 lalu, dengan Dev Patel sebagai tokoh utamanya.

Bagi orang yang tidak mengenal matematika, mungkin nama Ramanujan sangat asing. Namun banyak orang percaya bahwa dia adalah salah satu dari genius matematika yang pernah dimiliki dunia, seperti : Phytagoras, Newton, Blgollo alias Fibonacci, hingga Euler dan Gauss. Oleh ahli matematika Inggris sekaligus mentornya, G.H Hardy, Ramanujan disamakan kedudukannya seperti Euler, Newton, Gauss, dan Archimedes. Beberapa penemuannya dalam bidang matematika menjadikan para matematikawan terperangah. Namun sayangnya, film ini tidak memaparkan pentingnya penemuan Ramanujan, atau setidaknya aplikasi dari penemuannya. Sehingga kita tidak bisa menyematkan emosi yang maksimal saat mengetahui bahwa Ramanujan hanya berakhir di usia 32 tahun.

Seperti penjelasan di awal, menjadi pria jenius bukan berarti bisa berbahagia selamanya. Kesulitan yang dihadapi oleh Ramanujan, bahkan terjadi tersebab ia lahir di India. Bagi orang-orang Eropa, keturunan bangsa Asia tidak pernah menarik sehingga akan diabaikan betapapun geniusnya mereka. Apalagi India adalah bangsa jajahan Inggris, sehingga sangat tidak masuk akal jika harus menerima kejeniusan Ramanujan. Selain persoalan rasis, Ramanujan juga diuji dengan ke-brahmana-annya. Ia  tidak bisa makan daging sehingga harus menyiapkan sayur-sayuran sendiri padahal jika makan di kantin, semuanya gratis.

Ditambah, Inggris pada waktu itu dalam masa peperangan sehingga makanan serba sulit. Berhari-hari ia tidak bisa mendapatkan sayur (sebagai satu-satunya bahan yang dapat ia makan) di pasar karena seluruh pasokan makanan dikirim untuk tentara perang. Ia hanya memakan sayur seadanya, bahkan sering mengunyah sayur yang sudah lembek dan basi. Hal-hal seperti ini, tidak hanya dibuat oleh industri perfilman untuk menunjukkan kesan dramatis. Tetapi penghayatan kita akan hidup harus lebih dari sekadar artistik film. Karena faktanya adalah kebanyakan orang-orang cerdas dan rajin memiliki ketegangan dengan keuangan. Itu harus mereka terima.

Dalam film ini, Ramanujan juga digambarkan sebagai orang India yang taat. Ia sering menulis persamaan matematikanya di lantai tempat persembahyangan. Dan sejak sekolah menengah pertama, kejeniusan Ramanujan dalam bidang matematika sudah dapat dilihat oleh guru-gurunya. Hal itu yang menjadikannya gagal di selama pendidikan formalnya. Bisa dibilang, Ramanujan tidak mendapat pendidikan yang semestinya dalam bidang matematika. Sehingga ia belajar secara otodidak dari beberapa buku matematika, seperti Synopsis of Elementary Results in Pure Mathematics oleh G.S Carr. Lalu pada usia 12 tahun, ia telah menguasai Trigonometri karya S.L. Loney yang diperuntukkan tingkat mahir.

Ramanujan menulis seluruh pengetahuan matematikanya dalam buku dua buku tebal. Ketika ia bekerja di sebuah instansi pemerintah sebagai juru ketik dan juru hitung, pimpinan perusahaan pribumi melihat kemampuannya yang luar biasa. Untunglah ia mendukung Ramanujan, yang kemudian dihadapkan dengan pimpinan perusahaan yang berasal dari Inggris. Ia kemudian disuruh menulis surat beserta teorema yang dimilikinya ketiga orang. Dua surat pertama ia tulis untuk Baker dan Hobson (keduanya ahli matematika yang aku tidak tahu nama lengkapnya), lalu surat ketiga dialamatkan ke G.H Hardy di Trinity University London.

Surat setebal belasan halaman berjudul orders to infinity yang memaparkan berbagai teori matematika di tingkat mahir itu menerangkan antara lain : teorema barisan tak hingga, teori angka, dan pecahan berkelanjutan (continued fraction) hanya dijawab oleh Hardy. Memang mengherankan bahwa, teman Hardy yang menjadi bos di perusahaan India, mengirimkan surat berisikan teorema matematika yang ditulis oleh seorang juru hitung. Hardy tentunya berfikir matang. Setelah didesak oleh koleganya, Littlewood, Hardy akhirnya harus jujur bahwa pemikiran dan penemuan Ramanujan harus disebarkan, tidak boleh dibiarkan mati di India.
S. Ramanujan

Demikianlah, Ramanujan akhirnya mendapat undangan dari Hardy untuk pergi ke Trinity University di Cabridge London. Hardy dan Littlewood inilah yang berjasa besar dalam mengembangkan bakat alamiah yang dimiliki Ramanujan. Meskipun jenius, namun jangan dikira bahwa Ramanujan langsung mendapatkan ketenarannya tanpa usaha yang ketat. Karena rumus-rumus yang datang ke pikiran Ramanujan sudahlah menjadi bentuk rumus yang valid/baku sehingga dibutuhkan pembuktian melalui penjabaran bertingkat sebagaimana yang digunakan dalam keilmuan matematika.

Ramanujan mengatakan, rumus-rumus itu datang dari dewanya melalui penglihatan maupun mimpi yang jelas. Seluruh penjabaran dan pembuktian tentang rumus itu sudah berada dalam kepalanya –yang oleh Hardy tidak dapat diterima begitu saja. Hardy yakin akan kebenaran rumus yang dimiliki Ramanujan, namun ia tidak bisa membantu publikasi karyanya jika pembuktiannya tidak disertakan. Hardy membimbing Ramanujan dengan keras sehingga hampir mereka puasa bicara karena kekukuhan Ramanujan yang khas seperti jenius pada umumnya. Hardy tentunya bukan sosok yang menyenangkan bagi Ramanujan. Tapi begitulah yang memang harus dilakukan Hardy.

Bahkan Ramanujan diminta mengikuti perkuliahan meskipun akhirnya seorang profesor harus dipermalukan oleh kecerdasannya. Demikian beratnya untuk mendapat pengakuan dari orang lain, Ramanujan akhirnya memutuskan untuk tidak mau kalah dengan egoismenya. Ia dalam masa sakit TBC-nya, semakin tekun menulis pembuktian teoremanya dan menghasilkan tanggapan yang luar biasa dari masyarakat matematika.

Meninggal pada usia 32 tahun karena penyakit TBC, Ramanujan telah mencatat sebanyak 3.900 teorema yang memberikan kontribusi untuk analisis matematika, teori bilangan, seri terbatas, dan pecahan. Beberapa teorema yang dihasilkan oleh Ramanujan membawa perubahan besar dalam bidang matematika. Salah satu tulisan menyebutkan, beberapa teorema yang ditulis Ramanujan muncul karena membawa buku matematika karya G.S Carr. Buku itu berisikan 5.000 teorema baik yang sudah maupun belum terpecahkan. Ramanujan menuliskan semua teoremanya dalam buku tulis, dan beberapa tulisan orisinilnya ternyata sudah dipecahkan oleh matematikawan terdahulu seperti Euler, Gauss, Jacobi dan sebagainya, namun ia tidak pernah tahu.

Salah satu teori yang membuat orang terkagum-kagum dalam film itu adalah adalah keberhasilannya memecahkan teka-teki partisi. Konsep ini sederhana namun tidak pernah terpecahkan. Partisi adalah jumlah pemotongan yang mungkin dari sebuah bilangan. Misalnya, partisi dari angka 5 adalah 7 karena ada tujuh cara pembagian yang dimungkinkan agar menjadi lima. Ia juga menyisakan beberapa rumus yang ada dalam catatannya, namun ia belum kerjakan pembuktiannya. Bahkan Ramanujan juga dianggap telah memecahkan rumus yang selama 1 abad tidak terpecahkan bernama ‘Mock Modular Forms’. Sekali lagi sangat disayangkan bahwa kita sama sekali tidak mengetahui kegunaan dari rumus-rumus yang telah ditemukan Ramanujan sehingga kurang dikenal.

Ramanujan adalah pemuda yang taat dalam agamanya. Meskipun dikaruniai kejeniusan yang luar biasa, ia tetap mengedepankan agamanya, apalagi ia terlahir dari kasta Brahma. Untuk meyakinkan istrinya, Ramanujan memaparkan bahwa dengan mempelajari matematika, seorang manusia bisa melihat ekspresi ilahiah. Ia terpesona dengan matematika karena tampaknya, dunia ini diciptakan dari teorema matematika. Ia melihat pasir yang berkilau dan warna-warna dalam cahaya membentuk suatu pola yang khas dan menawan. Pola yang berbeda pada tiap benda ini menunjukkan keindahan yang tiada tara. Sehingga ia semakin yakin bahwa matematika adalah jalan hidupnya. Yang pasti, ia berucap: sebuah persamaan tidak mempunyai makna bagiku, kecuali persamaan itu mengekspresikan pikiran tuhan.

2016-10-14

Bob Dylan, Musik yang Menggerakkan

DylanPostcard - sumber : nobelprize[.]org

Komite Nobel Sastra 2016 dengan berani memberikan hadiah paling bergengsi di dunia itu kepada seorang pemusik dan penulis lirik lagu; Bob Dylan. Keputusan ini sangat berani mengingat ada beberapa kandidat penulis – sastrawan kelas dunia yang diunggulkan, seperti Haruki Murakami yang dalam tiga tahun ini selalu diharapkan menang, penulis AS Joyce Carol Oates, penulis Irlandia John Banville, juga penulis asal Indonesia; Eka Kurniawan yang baru-baru ini muncul dalam pemberitaan.

Penghargaan yang diberikan kepada Bob Dylan ini bakal menimbulkan dampak yang besar di kalangan sastrawan, terutama dalam hal menerapkan standarisasi karya sastra dan sastrawan itu sendiri. Selama ini, karya musik –khususnya lirik lagu, masih belum dianggap sebagai karya sastra yang diperbincangkan dalam diskusi kebudayaan. Lirik lagu dan musiknya hanya akan menjadi bahasan dalam diskusi musik, bukan diskusi karya sastra. Maka dengan penghargaan Nobel Sastra kepada pemusik ini, sastrawan akan mulai membincang lirik lagu sebagai ‘awal pergerakan baru’, sebagai sastra yang hidup.

Nobel Sastra adalah penghargaan yang paling dinanti di seluruh dunia. Tidak ada yang punya kuasa untuk menggugat penghargaan ini, meskipun banyak orang yang tidak puas terhadap keputusan mereka dari waktu-waktu. Namun demikian, penghargaan nobel masihlah sesuatu yang membanggakan dan akan dijadikan tolok ukur dari sebuah penilaian. Jika panitia nobel kemudian membuat pemusik legendaris AS ini sebagai pemenang di bidang sastra, maka demikianlah ke depannya pemusik punya kesempatan mendapatkan hadiah serupa.

Sementara pemusik mendapatkan tempatnya yang memukau di kalangan sastrawan dunia, pemusik di Indonesia masihlah belum menunjukkan keberhasilan sama sekali. Kecuali Anggun C Sasmi dan Agnes Monica yang diberitakan sudah mendunia, namun lirik ataupun aliran musik yang mereka mainkan belum banyak dibicarakan. Kita boleh sedikit senang karena masyarakat kelas menengah yang diwakili pemuda-pelajar, sekarang dibuat terpesona dengan pemusik yang membawakan lagu-lagu di luar mainstream. Kebanyakan pemusik seperti ini bekerja sendirian bersama teman-temannya (pemusik indie), dan tidak bakal dilirik sesentipun oleh perusahaan rekaman mayor kecuali terikat kontrak yang mengerikan.

Karena itu, pemusik-pemusik indie ini sudah seharusnya mengambil langkah secepatnya agar mendapat penghargaan yang serupa. Saya kira, mendorong pemusik indie kepada penghargaan semacam nobel adalah kesulitan level dewa. Namun bukankah kita tidak boleh menyerah? Jika bukan nobel yang didapatkan, paling tidak pemusik akan turut mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemusik harus membuat tempatnya sendiri karena musik adalah bahasa universal yang dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Bagaimanapun juga, sebuah bangsa dipastikan punya lagu kebangsaan dibanding dengan syair kebangsaan. Sehingga tentunya musik punya prestasi yang harusnya lebih menggerakkan karena pekerjaan pemusik adalah menyentuh hati pendengarnya. Di manapun orang demo, mereka akan menyuarakan lagu-lagu perlawanan. Bahkan ketika terdapat kematian diantara keluarga kita, sebagian besar bangsa dan peradaban membuat lagu saat persemayaman. Apalagi, musik adalah budaya yang sangat tua yang bisa kitemukan di berbagai daerah pelosok, musik adalah hiburan yang menyenangkan dibanding menonton televisi.

Ini adalah momen kebangkitan bagi pemusik. Kita harus menggunakan cara-cara penyadaran yang paling masuk akal, dan jangan terjebak oleh klausul klasik : yang penting niatnya. Jika kalian menulis syair berjudul “Jancuk” lalu di dalamnya berisi syair-syair yang keji dan urakan, maka kalian hanya akan diterima oleh generasi remaja yang seperti itu. Yang memiliki pembenaran yang masuk akal terhadap alasan mendengarkan musik macam itu. Sebagus apapun niatnya, lagu berjudul ‘Kelamin’ tidak akan didengar oleh generasi yang lebih lanjut. Bahkan bisa jadi, lagu itu dimasukkan dalam daftar hitam.

Hal yang patut saya banggakan saat berkunjung ke teman saya di Mojokerto selama beberapa waktu lalu adalah adanya social movement dari pemuda-pemuda setempat yang ingin membangkitkan musik indie. Saya kira gerakan ini bisa tumbuh menjadi sesuatu yang berpengaruh tidak hanya di Mojokerto, tapi juga di Indonesia. Selain manajemen media dan pengorganisasian yang perlu ditata oleh pemuda-pemuda ini, hal lain yang krusial adalah masalah lirik. Sebagaimana Bob Dylan, pemusik dan penulis lirik ini harus mempertimbangkan kekuatan sebuah musik.

Sebatas yang saya dengar beberapa kali di warung kopi, lagu-lagu yang digagas oleh mereka belumlah membawa perubahan ke arah positif. Terakhir kali saya mendengar lagu di warung kopi tersebut adalah saat vokalisnya bolak-balik meneriakkan kata ‘Kimcil’. Saya tidak tahu bagaimana lirik itu secara keseluruhan. Tetapi teman saya dan beberapa temannya sangat menyukai musik ini dan ikut bernyanyi. Sepersekian menit berikutnya, saya berfikir apakah sesuatu yang seperti ini bisa diubah? Benar bahwa kemunculan gerakan punk di Amerika berawal dari penentangan terhadap kapitalisme. Tapi apakah, lagu-lagu yang memiliki lirik ‘tabu’ ini juga diniatkan untuk hal-hal yang demikian?

Jika kita bena-benar menginginkan perubahan, sebagaiknya kita memikirkan kembali apa yang telah kita lakukan. Khususnya mengetahui sejarah bermusik Bob Dylan yang akhirnya ia diakui dunia dan memenuhi takdirnya sebagai penerima Nobel Prize dengan hadiah sebesar Rp 11,8 miliar. Lagu-lagu Dylan dianggap menginspirasi masyarakat untuk demonstrasi menentang peperangan di Vietnam dan menyuarakan kebebasan sebagai hak yang asasi. Lagu-lagu Dylan, sebagaimana lirik puisi Widji Tukul yang kemudian dimusikalisasi, telah menjadi lagu wajib bagi pergerakan sosial dan pejuang anti perang.

Bahkan, siapa sangka, The Beatles sekalipupun sering mendapatkan semangat dari lagu-lagu Dylan lalu menjadi kelompok musik terbaik sepanjang massa. Seperti rilis yang dikeluarkan majalah musik paling kredibel di dunia, The Rolling Stone, Bob Dylan adalah the second greatest artist of all time -pemusik terbaik kedua sepanjang massa setelah The Beatles. Dan memang tidak mendadak tiba-tiba Dylan diganjar berbagai hadiah yang dipungkasi dengan Nobel Sastra, karena sejak tahun 1960-an hingga saat ini, Dylan tidak pernah berhenti berkarya dan memberikan inspirasi melalui lagu-lagunya.

Sekretaris tetap penghargaan Nobel, Sara Danius, menganggap penghargaan kepada Dylan mengingatkan manusia akan pencapaian sastra dari zaman sastra klasik seperti Homer dan Sappho. Homer adalah penulis buku-syair-mitos berjudul Odyssey tahun 700 sebelum Masehi yang merupakan buku terlaris sepanjang masa dan buku yang paling dicari. Sementara Sappho adalah penyair perempuan yang berasal dari abad ke 600 sebelum Masehi. Persamaannya, adalah karya mereka masih dibaca hingga saat ini, dan karya Dylan sekalipun masih didengarkan hingga saat ini sejak 50 tahun yang lalu.

Musik Penyadaran

Musik yang saat ini dipandang sebagai kebutuhan tak terleakkan dari manusia, masihlah belum mengarah ke pergerakan yang memiliki daya ubah. Musik masih mengedepankan kecantikan seorang artis, lagu-lagu yang sekadar enak didengar, dan penjualan ala kapitalistik. Ketika musik menjadi sebuah pergerakan, pendengar pun akan semakin berkurang. Dan itu bisa jadi mimpi terburuk bagi seorang pengarang lagu dan pemusik secara umum.

Namun bagaimana jika lirik bernada perjuangan tapi dikemas dalam lagu yang menyenangkan? lagu-lagu Bob Dylan bisa dijadikan referensi. Coba saja mulai dari blowin in the wind-nya yang menggerakkan masyarakat Amerika. Kata-katanya mendalam dan sangat luar biasa, bahkan jika tidak dinyanyikan. Kalau tidak mau jauh-jauh, kita bisa mendengarkan lagu Rhoma Irama yang saat ini orang-orang mulai membencinya gara-gara keterlibatannya dalam persoalan politik. Jika mau yang agak nasionalis, bisa kita dengar lagu Iwan Fals dan Slank, dan versi lain adalah Efek Rumah Kaca atau pemusik lainnya yang tidak saya kenal. Jika masih ingat tentang sejarah, lagu ‘Darah Rakyat’ sempat disebarkan ke seluruh orang saat rapat akbar di Lapangan Ikada. 

Sungguh banyak sekali pemusik yang menjadi penggerak kebangkitan sosial, seperti John Lennon, di Chile ada Victor Jara, kemudian Silvio Rodríguez di Cuba, Karel Kryl di Czechoslovakia, Jacek Kaczmarski di Polandia, dan Vuyisile Mini di Afrika Selatan. Dan jangan sampai, remaja-remaja kita masih terjebak dalam arus industri musik yang melahirkan generasi cengeng. Tetapi jangan pula kita membuat lagu-lagu yang ngglambyar,kehilangan bentuk dan kekuatannya, dan cenderung tidak dapat dipahami sebagaimana yang dibuat oleh beberapa pemusik indie.

Musik memiliki peran penting dalam membuat suatu gerakan karena memiliki dua hal yang pokok, pertama lirik yang dinotasikan ke dalam bahasa, dan musik yang hanya bisa dirasa. Bahasa adalah alat utama manusia untuk saling bertukar simbol sehingga menimbulkan interpretasi dan persepsi  lalu melahirkan sebuah tanggapan. Sementara emosi yang dihasilkan oleh musik membawa dampak yang dalam dari sisi psikologis, yang mampu membangkitkan manusia dari keterpurukan yang mengerikan.

Dalam ilmu neuro-linguistik, emosi menempati peran penting dalam hal menggerakkan fisik. Dalam satu hari seminar misalnya, kita hanya akan memahami 1-10 persen dari materi yang disajikan. Namun jika kita menggunakan emosi, maka kita akan dapat meningkatkan pemahaman hingga 90 persen. Karena itu, jika suatu musik sudah mengena ke hati seseorang maka lirik yang ada di dalamnya pun akan ditangkap dengan sempurna. Jika liriknya mengajak perubahan, maka perubahan akan bergerak. Namun jika lirik yang disuguhkan berupa ‘tai kucing’, maka dijamin orang yang mendegarnya juga akan merasa bau dan tidak tergugah sama sekali.

Jika kita misalnya memandang setengah hati akan lagu-lagu Sonata dan Rhoma Irama, maka penelitian William H Frederick terhadap musik dangdut akan memecahkan argumentasi kita. Karena pada tahun 1975, Islam di Indonesia mengalami kebangkitan yang diduga disebabkan musik-musik Bang Haji. Seiring berkembangnya penelitian di Indonesia, diketahui bahwa musik bisa menggerakkan perubahan sosial sehingga sudah ada genre baru mata kuliah bernama Sosiologi Musik. Musik yang juga digolongkan menjadi karya seni, selalu bisa diterima banyak orang sehingga secara langsung maupun tidak, orang akan ikut bergerak karena menyentuh emosional mereka.

Jika seseorang sebagai pemusik enggan mengetengahkan perlawanan dalam musik-musiknya, maka dunia tidak akan berubah. Pemusik sama berharganya dengan penyair Rendra, demonstran Gie, dan aktivis Munir. Saat pemusik-pemusik indie mengambil bagian dari perlawanan terhadap hal-hal yang tidak akan pernah selesai dari bangsa ini, betapa beruntungnya orang-orang yang mendengar musik itu. Karena lirik musik dengan bahasa yang kita pahami dan mengangkat persoalan yang tidak hari kita geluti, akan lebih mudah menyadarkan dari pada membaca kitab suci itu sendiri -yang masih perlu banyak penafsiran. Jadi, Bob Dylan yang saat ini berusia 75 tahun mungkin akan segera luruh dalam debu, namun apa yang dilakukannya pasti akan dikenang. Bukti awalnya, Nobel Sastra telah ia genggam.

Untuk melengkapi tulisan ini, berikut saya kutip lagu Bob Dylan berjudul Blowin In The Wind;

How many roads must a man walk down Before you call him a man? Yes, 'n' how many seas must a white dove sail Before she sleeps on the sand? Yes, 'n' how many times must the cannon balls fly Before they're foreve banned? The answer, my friends, is blowin' in the wind, The answer is blowin' in the wind

Lihat juga cuplikan lagu berjudul Master of War di bawah ini :

Come you masters of war
You that build all the guns
You that build the death planes
You that build the big bombs
You that hide behind walls
You that hide behind desks
I just want you to know
I can see through your masks

You that never done nothin’
But build to destroy
You play with my world
Like it’s your little toy
You put a gun in my hand
And you hide from my eyes
And you turn and run farther
When the fast bullets fly

Like Judas of old
You lie and deceive
A world war can be won
You want me to believe
But I see through your eyes
And I see through your brain
Like I see through the water
That runs down my drain

2016-09-29

Tuhan*



Orang-orang yang gelisah, pada suatu saat akan mempertanyakan keberadaan tuhan. Orang-orang yang selama hidupnya dirundung masalah, suatu ketika akan lelah dan mempertanyakan keadilan tuhan. Santri dan mahasiswa filsafat, suatu saat akan dihadapkan pada pemikiran-pemikiran tentang keberadaan tuhan. Dan orang yang masih hidup di dunia ini, bagaimanapun caranya, akan memikirkan bagaimana, apa, dan seperti apa, wujud tuhan yang katanya telah menciptakan dunia ini –dari ketiadaan, atau dari dirinya sendiri.

Tuhan bersemayam dalam Arsy, kata guruku ketika mengaji kitab tauhid. Tetapi pelajaran tauhid ketika itu, hanya membahas tentang kepercayaan mutlak kepada tuhan dengan menghafalkan sifat wajib, sifat muhal (tidak mungkin), dan sifat jaiz (mungkin) bagi tuhan. Memang pelajaran tauhid harus disesuaikan dengan tingkat usia dan pemahamannya, namun selama perjalanan di kebanyakan pondok pesantren, mempelajari ketauhidan terhadap tuhan dipandang sebelah mata karena dianggap bias ke arah atheisme. Sehingga pelajaran mengenai nalar dan rasionalisme dianggap membahayakan kehidupan beragama.

Mungkin pemahaman seperti ini terbentuk dari pengalaman para ustad dan kyai yang mendapati mahasiswa filsafat kebanyakan terjebak dalam lubang hitam rasionalisme. Kenapa demikian? Karena mereka tergesa-gesa untuk mengungkapkan kegelisahannya. Tanpa mempertimbangkan faktor sosial di masyarakatnya atau ketidakmampuan dirinya membuat penalaran yang logis. Mahasiswa main gempur seakan-akan kebenaran hanyalah pemikirannya dan itu membuatnya merasa wah. Karena itu, sudah waktunya kita menjadi dewasa dengan mempelajari sejarah pemikiran dengan sungguh-sungguh. Jika muslim terus menghindari filsafat semacam ini, bukan tidak mungkin kita akan lebih tergilas.

Keyakinan ini, saya dapatkan dari kenyataan bahwa kebanyakan muslim tidak betul-betul memahami bahwa Al Kindi, Ar Razi, Abu Hasan Al Asyari, Al Farabi, Al Ghazali, Ibn Rusyd, hingga Ibnu Sina dan Ibn Arabi, juga memikirkan tentang wujud tuhan sebagai dasar berfilsafatnya. Kebanyakan kita hanya membaca atau mendengarkan cerita mereka dengan sekilas, bahwa mereka adalah tokoh muslim yang ahli di bidang ilmu pengetahuan dan ilmiah. Bahkan saya yakin, banyak yang hanya mengerti bahwa Al Ghazali ahli di bidang tasawuf saja. Begitu pula, dikira Ibnu Sina hanya berurusan dengan ilmu kedokteran melulu, atau Ibn Rusy hanya memikirkan soal sosiologi semata.

Padahal Al Ghazali sekalipun, bahkan pernah dibuat pusing dan mengalami depresi klinis gara-gara mempelajari hakekat keberadaan tuhan yang telah jamak dibahas filsuf, dan akhirnya ia mempercayai satu hal : bagaimana bisa filsuf memikirkan tuhan jika percaya bahwa tuhan tidak bisa dikenali melalui akal kita yang juga diciptakan oleh tuhan. Tuhan menjadi realitas tertinggi yang tidak bisa diidentifikasi oleh akal sehingga tidak bisa dibuktikan secara empiris. Bahkan tersebab kebingungan ini, Al Ghazali melepaskan gelar akademisnya dan tidak mau mengajar lagi, lalu membelok ke kehidupan para sufi dan mistisisme.

Dari beberapa kegalauan ini kemudian, muncullah kitabnya yang keren, Tahafut Al Falasifah (Kerancuan Filsafat) yang menyanggah pendapat para filusuf, termasuk menyanggah Ibn Sina dan Al Farabi sekaligus. Di dalamnya, Al Ghazali terus menggali pengetahuan manusia tentang alam metafisika,khususnya tentang ketidakmampuan manusia membuktikan keberadaan tuhan. Ia dengan yakin menyimpulkan, tuhan memang tidak bisa dijamah melalui pengetahuan akal, tapi harus ‘dialami’ sendiri. Istilahnya, tuhan harus ditemukan. Melalui apa? Melalui jalan mistis dan jalannya kaum sufi. Karena itulah, orang NU menjadikan Al Ghazali sebagai imam untuk ilmu belajar kesufian. 

Jalan tentang pengetahuan tuhan yang digambarkan oleh Al Ghazali ini, hampir sama sebagaimana yang dilakukan oleh Buddha (Sidharta Gautama). Saat sang Buddha resah memikirkan umatnya yang terus hidup dalam samudera samsara, ia menemukan ritual yang bisa membuat manusia mencapai realitas tertinggi yaitu nirwana. Dalam islam, ritual semacam itu bisa disamakan dengan thariqat atau jalan, dan kaum sufi telah menemukan jalannya dengan menerapkan ritual tertentu hingga zuhud terhadap hal-hal duniawi. Karena setelah muslim melampaui syariat dengan ritual-ritual wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram, mereka bisa menapaki jalan thariqat yang telah dirintis para sufi. Dari sana, muslim bisa mencapai hakikat dan ma’rifat yang dipercaya : jika melihat, ia melihat dengan mata tuhan; jika melangkah, ia melangkah dalam bimbingan tuhan.

Jika muslim mengira persoalan teologi tidak pernah menjadi beban orang islam sendiri, sungguh ia buta sejarah. Karena pada masa kegemilangan islam saat dipimpin Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah, Mu’tazilah menjadi madzhab resmi negara. Yang mana, kaum Mu’tazilah bagi orang sunni adalah sesat. Pada masa itu, terjadi pertarungan yang menegangkan karena seluruh ulama’ harus mengakui bahwa Al Quran adalah makhluk –serta konsekuensi-konsekuensi akibat akal yang didahulukan dalam memahami Al Quran. Sehingga muncullah ulama’ sunni tradisionalis ahli hadits, Imam Ahmad Ibn Hambal, yang dipenjara gara-gara berpegang teguh bahwa Al Quran adalah qadim sebagaimana Allah.

Ibn Sina yang dilahirkan dari keluarga Syiah dan dipengaruhi oleh keilmuan kaum Syiah Ismailiyah, juga mempelajari keberadaan Tuhan. Ia menerapkan konsep untuk memahami tuhan melalui rumusan-rumusan yang telah ditulis oleh Aristoteles. Bahwa apa-apa yang ada di sekeliling kita merupakan kemajemukan yang luar biasa, yang selamanya kita berfikir, selama itulah kita akan menemukan hal-hal baru. Realitas yang kita lihat ini, membutuhkan satu penyebab tunggal yang tak disebabkan oleh sesuatu yang lain. Ia adalah realitas tertinggi, yang menurut Aristoteles; yang menggerakkan dunia ini tanpa digerakkan. Dialah tuhan, yang menurutAl Ghazali, tetap saja hal itu tidak membuktikan bahwa tuhan ada. Karena sekali lagi, tuhan tak bisa dinalar, hanya bisa ditemukan.

Teolog Ibn Arabi juga merupakan sosok yang tidak bisa diabaikan. Dengan konsep wihdatul wujud-nya, Ibn Arabi menganggap keberadaan alam merupakan wujud tuhan juga. Kalau di Indonesia, mungkin manunggaling kawula gustinya Syaikh Lemah Abang (Siti Jenar) juga perlu dijadikan referensi. Karena rata-rata pemikir muslim juga mempelajari tuhan ala Socrates, Plato, Aristoteles, hingga rabi-rabi kaum Kristiani dan Yahudi, maka kita yang ‘mampu’ juga hendaknya demikian. Karena pembicaraan tuhan itu milik seluruh kaum beragama –sementara pembicaraan mengenai keesaan Allah adalah milik umat muslim, Trinitas milik Kristiani, dan Akal Murni adalah tuhan milik kaum filsuf.

Jadi bagaimanakah tuhan itu?

Tuhan adalah sosok yang paling misterius dari seluruh pengetahuan yang ada di dunia ini. Ia hanya bisa dilihat oleh para nabi yang pengetahuannya tentu lebih baik dari pada para filsuf. Menurut Ibn Sina, filsafat nabi langsung diberikan oleh tuhan, sedangkan filsafat para filsuf hanya dikonstruksikan oleh akal. Sebagian besar filsuf percaya bahwa tuhan itu ada meskipun masih belum bisa membuktikan secara empiris bahwa tuhan itu ada. Analogi yang digunakan oleh para filsuf kebanyakan masih bersifat elitis karena begitulah dasarnya ilmu pengetahuan. Sehingga orang awam sulit memahami apa yang mereka pikirkan.

Memang sukar mengetahui kesejatian tuhan tanpa benar-benar mengetahui-Nya. Namun akal yang tidak ‘mencapai’ pemahaman tentang tuhan tidak dibenarkan pula untuk mereduksi eksistensi tuhan. Karena itu kita harus berhati-hati, terutama jika kita masihlah orang yang ragu dan tidak rajin mencari kebenaran yang sesungguhnya. Jalan yang mudah adalah, sembari mencari jawaban-jawaban soal eksistensi tuhan, cobalah percayai lebih dulu bahwa tuhan itu ada. Karena dalam setiap perdebatan nggak penting antara orang atheis dan orang bertuhan, pasti dimenangkan oleh orang yang bertuhan.

Yang saya pikirkan sekarang adalah betapa tuhan itu narsis karena menciptakan dunia dari ketiadaan (creatio ex-nihilo). Jika tuhan sudah ada sejak belum ada ketentuan soal waktu, lalu kun fayakun tuhan menciptakan iblis, manusia, dan semesta; berarti tuhan memang ingin dikenal. Semuanya ini butuh sebuah keyakinan. Dan hal-hal yang tidak dapat saya bayangkan ini menunjukkan betapa lemahnya pemikiran dan referensi  saya. Jadi apa alasan sesungguhnya dari keberadaan dunia ini? Apakah secara tiba-tiba tuhan berkeinginan menciptakan manusia untuk menyembahnya? Pikiran-pikiran kita kadang liar memikirkan awal mula penciptaan. Apakah dari sesuatu yang hidup, atau betul-betul dari ketiadaan. Saya masih belum tahu jawabannya.

*tulisan ini ada setelah membaca The Hostory of God by Karen Armstrong. Reviewnya bisa dilihat di Metamorfosis Tuhan