2015-09-29

Sangat Berani


Merencanakan kehidupan bisa jadi adalah salah satu pekerjaan yang bisa membuat kita putus asa. Putus asa karena kita tidak punya banyak hal yang cukup membuat kita optimis. Bahkan bagi sebagian orang, optimis saja tidak cukup karena karena tidak bisa begitu saja mempercayakan segala nasib baik dan buruk kepada tuhan. Karena itu, kemungkinan untuk merasa senang dan baik-baik saja dalam zona nyaman adalah sesuatu yang wajar dan tidak perlu ditakuti.

Kenyataannya, dibutuhkan seseorang yang sangat berani untuk dapat berubah. Merencanakan kehidupan dengan tingkat keberhasilan hingga 80 persen juga butuh seseorang yang sangat berani. Kebanyakan kita sudah berani atau bahkan pengecut, namun itulah kewajaran hidup di dunia. Karena itu, tidak mungkin orang biasa-biasa saja dapat mencapai tingkat kepuasan sebab keberhasilannya hingga 100 persen.

Kesimpulan-kesimpulan ini bisa didapatkan saat kita menonton film, misalnya, atau membaca buku. Untuk sebuah film, marilah kita mengingat lagi Divergent. Di sana kita akan mendapati manusia yang hidup dalam suatu kota ini dibagi menurut pekerjaannya. Ada yang disebut sebagai Candor (jujur), Erudite (genius), Amity (suka damai), Dauntless (pemberani) dan Abnegation (penolong tanpa pamrih). Sedangkan Divergent adalah golongan yang memiliki sifat menonjol yang bisa jadi adalah gabungan dari beberapa golongan tersebut.

Untuk suatu kehidupan yang normal, seseorang tidak akan menciderai hal-hal yang telah ditentukan oleh pendiri suatu kota tersebut. Hal itu sama dengan film The Hunger Game yang membagi sebuah negara menjadi 13 distrik (Distrik 13 sudah punah). Orang-orang yang hidup setelah penegakan negara tersebut, tidak akan memiliki keinginan untuk merubahnya, atau memiliki keinginan tapi takut dengan keinginannya.

Kedua film ini memberikan gambaran bahwa orang yang berani sekalipun tidak akan dapat mengubah nasib yang telah ditentukan. Dibutuhkan Beatrice Prior atau biasa dipanggil Tris dan Katnis Everdeen yang sangat berani guna mengubah nasib diri sendiri, nasib keluarga, dan nasib seluruh bangsanya. Jika kebetulan keduanya adalah perempuan, maka bukan berarti saya ingin menggerakkan feminisme. Tapi disadari atau tidak, kedua perempuan itu tidak dapat berdiri kukuh tanpa peluk dan cium lelaki pasangannya.

Oleh karena itu, lihatlah di sekeliling hidup ini. Bagi orang-orang yang telah dilahirkan dalam keluarga biasa dan hidup pas-pasan, mereka akan kesulitan untuk bangkit lalu menjadi kaya dan bahagia. Apalagi orang yang dilahirkan dalam keadaan miskin, kemampuan berontak mereka sudah terkurangi sejak ia merasakan kemiskinan memenjarakannya. Kebangkitan dari keterpurukan ini, bukan hanya membutuhkan orang yang sekedar berani, tapi harus sangat berani.

Namun diam-diam pertanyaan seperti, kenapa orang tidak bisa sangat berani guna mengubah nasibnya sendiri? Perkiraan jawaban yang pas adalah karena ia merasa aman berada di lingkungannya sekarang, dan ia mau saja berubah menjadi orang yang sangat berani untuk mengubah nasibnya, tapi ia ragu bahwa apa yang dilakukannya akan membuahkan hasil.

Bila hasilnya bagus, maka ia hanya akan bersyukur karena mendapatkan keberuntungan. Tapi apakah ia akan sanggup bangkit lagi bila gagal? Terutama bila ia gagal lalu menyakiti banyak orang. Bisa jadi, saat ini mereka sudah memiliki janji dengan seseorang dan tidak ingin mengundi nasibnya untuk menjadi sangat berani. Karena bila ia gagal, maka ia akan kehilangan seluruh harapannya, termasuk kepercayaan orang disekelilingnya.

Menjadi sangat berani bukan persoalan mudah. Ia bukan hanya bagaimana agar lulus kuliah dengan nilai cumlaude, ia juga bukan hanya sekedar mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan bank nasional. Meskipun dua hal tersebut menjadi prioritas sebagian orang yang menginginkan sebuah status dalam kehidupan –status yang bagus dan jelas sebagai sebuah pertanda kesuksesan di mata orang lain.

Tampaknya, semasa hidup ini, kita akan sangat kesulitan mendapatkan teman yang bisa kita golongkan sebagai orang yang sangat berani. Orang-orang yang sangat berani ini, selalu saja orang jauh yang sudah sukses lalu menulis buku. Kita hanya menjadi pembaca bukunya dan menunjang kesuksesannya sebagai penulis buku/novel motivasi. Jadi, adakah orang yang sangat berani di sekeliling kita, yang mampu mengubah nasibnya sendiri –pertama-tama- dengan keluar biasaan?

2015-09-27

Ulasan Film : Kon Tiki



“lakukan seperti penduduk asli, sampai ke detil terkecil. Jangan gunakan paku jika mereka menggunakan tali, jangan gunakan baja jika mereka  menggunakan tulang, nenek moyang perlu belajar 1000 tahun, dengarkan mereka”. –Peter Freuchen.

Akan ada banyak orang yang meragukan apa yang kau yakini meskipun disertai dengan sebuah argumentasi –yang sepertinya masuk akal. Entah orang-orang itu tidak setuju karena membencimu, ataupun karena memang keyakinanmu tidak masuk akal. Dan dimentahkan oleh orang lain adalah pengalaman yang menakutkan.

Namun dalam ketakutan ini, selalu akan ada ketakutan yang lain. Dan bagi kebanyakan orang, ketakutan akan membuat mereka putus asa. Sedangkan bagi sebagian yang lain, ketakutan membuatnya semakin berani. Paling tidak, itulah hal yang dapat kita lihat dari kisah akhir sebuah film yang di release pada tahun 2012 ini, Kon-Tiki.

Film Luar Biasa?

Bagiku, melihat film ini memang terlalu terlambat. Dirilis tahun 2012 namun baru saya lihat tahun 2015. Namun tidak apalah, hal-hal yang universal tetap bisa kita lihat dalam setiap hasil karya manusia. Dan di dalam film ini, kita akan melihat sebuah keberanian –dalam kata lain adalah kenekatan, bisa membawa perubahan besar –meskipun harus dibarengi dengan pengorbanan.

Dan apakah ini film yang luar biasa? Di satu sisi, film Kon-Tiki memiliki banyak kesamaan dengan film hollywood pada umumnya. Namun Kon-Tiki tidak dibuat oleh Hollywood melainkan oleh lembaga film di Swedia. Untuk perjuangannya sendiri, hampir sama dengan film “semacam” the Son of God dan Noah yang memperjuangkan keyakinan agamanya meskipun diolok-olok oleh kaumnya.

Kalau dari kisahnya ditengah lautan, memang tidak dapat mengimbangi film Life of Pi yang begitu dramatis, artistis, dan penuh teatrikal di tengah lautan dengan hanya Pi dan seekor Harimau Benggala. Dan perjuangan hidup semacam film ini, bisa kita dapatkan pada tokoh utama Cast Away atau Chris Gardner dalam The Pursuit of Happynes.

Jadi apakah film luar biasa? Ada satu hal yang membuat film ini luar biasa. Bahwa film ini bukanlah fiksi (sama dengan cast away dan the pursuit of happynes). Namun keunikannya, film Kon-Tiki memperjuangkan sesuatu yang bernilai ilmiah. Si Tokoh Utama, Thor Heyerdahl yang sekaligus seorang ilmuwan  ini begitu kuat keyakinannya untuk membuktikan bahwa penduduk Fatu Hiva, Polynesia, berasal dari Peru, Amerika Selatan.

Cobalah lihat peta, dan rasakan bagaimana hal itu mungkin terjadi.

Alkisah, film ini bermula dari seorang antropolog-etnografer yang melakukan penelitian di sebuah pedalaman bernama Fatu Hiva, Polynesia. Ia tinggal bersama mereka selama lebih dari 10 tahun demi melakukan penelitian doktoralnya bersama pacar-istrinya, Liv, hingga berjenggot lebat tidak terurus. Dari sanalah ia memahami budaya dan sistem sosial kemasyarakatan di sana, termasuk sistem beragamanya.

Dalam penelitiannya itu, ia mendapati kesimpulan bahwa masyarakat di Polynesia bukanlah berasal dari Asia sebagaimana pendapat ilmuwan antropolog pada umumnya. Thor ngeyel bahwa bangsa Polynesia ini keturunan orang Peru, Amerika Selatan yang telah berlayar melewati 8000 km lautan dengan rakit sederhana.

Setelah Thor pulang dengan kesimpulannya, sang Professor yang menjadi dosen pengujinya terkagum-kagum dengan hasil penelitian Thor. Namun sesuatu yang mengagumkan tampaknya tidak mudah dipercaya, sehingga sang professor juga enggan percaya –karena rasanya mustahil. Ia dengan enteng : “Rakit? Hahaha... apakah kau ingin teorimu di terima? Apakah kau merasa benar? Maka berlayarlah dari Peru ke Polynesia dengan rakit Kayu Balsa itu.” Sang professor melemparkan berkas penelitian si Thor, tidak lupa terkekeh sembari berkata: Good Luck!.

Percaya Diri


Thor menghadapi kenyataan pahit. Sejak ditantang oleh sang Professor, ia kemudian mencari sumber dana kemanapun untuk bisa membuktikan teorinya sendiri. Ia hendak berlayar dari Peru ke Polynesia yang memiliki jarak 5000 Mil atau 8.000 km melintasi Laut Pasifik yang ganas. Thor sangat yakin dan percaya diri, bahwa laut bukanlah hambata, tetapi jalan, bukanlah rintangan, tetapi jalur.

Ia berbicara dengan majalah ilmiah, ia berbicara dengan pelaut, ia berbicara kepada setiap orang yang diharapkan dapat membantu perjalanannya, namun nihil. Ia terpuruk di dalam kamarnya, tidur dalam kedinginan yang bukan oleh cuaca, tetapi oleh dinginnya tatapan setiap orang yang tidak mempercayai kepercayaan dirinya.

Orang-orang seperti ini, akan banyak sekali kita lihat di jalanan Indonesia. Orang yang memiliki idealisme tinggi, namun tanpa harapan. Dan ia harus ditolong. Saya sering kali melihat film yang mirip seperti ini. Mereka harus ditolong oleh sebuah harapan kecil dari teman. Pada saat keputusasaan Thor itulah, Herman Waltzinger datang dengan memperkenalkan diri sebagai insinyur, tetapi pekerjaan terakhirnya adalah tukang kulkas.

Dari sinilah Thor kembali memperoleh kepercayaan. Herman menunjukkan cara bagaimana agar kayu balsa yang akan digunakan rakit tidka bergesekan sehingga memutuskan tali-tali di tengah laut hingga kayu berpencaran. Keyakinan ini membawa perubahan. Ia akhirnya menemui raja namun tidak jelas raja mana, yang kemudian mengantarkannya kepada Angkatan Laut Kanada yang diminta untuk memenuhi seluruh kebutuhan Thor beserta enam kawannnya untuk ekspedisi ilmiahnya tersebut.

Keputusasaan yang hampir terjadi itupun tertolong. Dan inilah sesungguhnya kehidupan. Dalam film Divergent, pasukan Dauntless (berani) diajarkan untuk bertahan hingga titik terjauh, baik fisik maupun mental. Karena dari sanalah akan muncul mukjizat berupa pertolongan tuhan, berupa kemudahan-kemudahan sebagaimana yang dijanjikan: setelah kesulitan akan ada kemudahan.

2015-09-26

Pengalaman


budha laser, mencari pengalaman hingga keliling Asean
Ada dua macam pengalaman yang dikatakan seorang sastrawan saat memulai workshopnya. Dua pengalaman tersebut adalah pengalaman kognitif dan pengalaman empirik. Pengalaman kognnitif bermain dalam pikiran, pengandaian, dan ide-ide yang bersifat buatan di alam pikiran. Lalu pengalaman empirik adalah pengalaman yang terjadi pada diri seseorang secara nyata dan disadari.

Hebatnya dari pengalaman inilah kita mempersepsi sesuatu. Seseorang memiliki nilai standar, nilai moral, apa yang jahat dan apa yang baik, mana yang benar dan mana yang salah, segala sesuatu, didasarkan pada pengalaman. Maka dari itu, pengalaman menjadi penting bagi seseorang untuk memandang sesuatu sesuai dengan nilai yang dianutnya.

Membaca buku, baik buku fiksi atau nonfiksi adalah termasuk bagian dari mencari pengalaman itu sendiri. Pengalaman dari membaca buku ini akan menjadi dasar-dasar nilai yang akan kita anut, sehingga membaca buku termasuk dalam pengalaman empirik. Ia dengan sadar kita baca dan kita amini bila sejalan, atau kita tolak bila tak setujuan. Bahkan dari penolakan alamiah ini kita akan menemukan pengalaman yang akan kita gunakan dalam menilai.

Pengalaman sendiri berasal dari kata alam, sehingga peng-alam-an berarti alam yang sudah menjadi milik kita, atau kita menyerupai sosok alam itu sendiri. Ketika indera kita bersentuhan dengan alam, maka terjadilah pengalaman itu. Ketika pengalaman itu memberi kita sesuatu yang baru, maka terjadilah “tahu” atau akumulasinya disebut pengetahuan. Seseorang yang mengetahui suatu hal dengan porsi tertentu, maka akan disebut ahli.

Jadi tampaknya dasar segala sesuatu adalah pengalaman. Maka dari itu tidak heran jika salah satu dosen di Universitas Dr. Sutomo, Drs. Hartopo Eko Putro yang lebih akrab dipanggil “Papi” mengatakan “jangan pernah menolak pengalaman”. Dalam kuliahnya selama lima jam tersebut, dua jam pertama dihabiskan untuk merumuskan sebuah dasar dari pengetahuan manusia. Ia mengupas persoalan pengalaman yang rupanya, menjadi akar dari seluruh mata kuliah kehidupan manusia.

Pengalaman memiliki dua wilayah, frame dan field. Jika di-Indonesiakan, frame berarti kerangka, dan field berarti mendalam. Maka frame of experience adalah kerangka pengalaman yang dimiliki manusia dalam kesehariannya. Frame ini menjadi dasar pertama kali bagi seseorang untuk menangkap sesuatu, lalu menjadi persepsi. Persepsi yang paling awal ini, tidak lebih dari sekedar hipotesis (dugaan sementara) yang bisa saja 50 persen benar, dan 50 persen salah.

Misalnya kita melihat sosok lelaki berkulit gelap, tinggi besar, gondrong, lalu dari ujung bahu kaosnya terlihat sebuah tato berwarna biru melingkar-lingkar. Berdasarkan frame of experience, maka kita akan melihat sosok yang cocok berperan jadi penjahat. Mengapa kita melihat hal demikian? Karena citra tersebut menunjukkan sosok penjahat. Dari mana citra ini muncul? Ada dua jalur, pertama dari kenyataan di kampung-kampung, dan kedua dipatenkan dalam sinetron abal-abal made in Indonesia.

Inilah adalah frame yang kita bawa ke mana-mana. Pemikiran dan pengalaman yang cekak, ecek-ecek, cethek, membentuk sebuah persepsi yang bahkan bisa menjadi 90 persen salah. Paling tidak itulah pengalaman Papi dalam menghadapi seorang penumpang bus yang seperti sosok di atas. Ketika diajak ngobrol, bisa jadi dia usai mengantarkan gadis kecilnya mondok di Gontor, atau ia adalah penjual sayur keliling yang menghidupi puluhan anak yatim di panti asuhan, dan bisa jadi ia adalah sesuatu yang menakjubkan.

Ketika kita menggali apa yang ada dari frame of experience inilah, maka pengalaman akan menjadi mendalam lalu kita sebut field of experience. Jika hanya berhenti pada frame, maka kita menjadi kolot. Maka dari itu, menjadi manusia belum sempurna jika tidak sampai mendalami pengalaman guna memastikan bahwa persepsi kita tidak salah. Paling tidak, jika kita semakin banyak memiliki pengalaman mendalam, maka keterbukaan pikiran dan hati dalam memandang segala peristiwa menjadi jernih.

Maka dari itu betul, jangan pernah mencoba menolak pengalaman. Sebaliknya, jika ada kesempatan berpengalaman, maka ambillah sebanyak-banyaknya. Bisa jadi, mencoba pengalaman ini akan berakhir buruk. Tapi bisa jadi keberhasilan dalam genggaman. Memang begitulah kehidupan, simalakama, tidak selamanya orang baik menang. Hanya di cerita Nabi saja, kebaikan menang.

Dalam kenyataan sehari-hari, jangan heran kita banyak mendapati kisah sejati seorang miskin yang sudah bekerja keras namun tidak juga berhasil. Atau seorang mahasiswa yang tiap malam merangkum materi namun IPK tetap setengah mati. Keberhasilan yang dialami sepatu butut macam Dahlan Islan, atau pemakan singkong macam Chairul Tanjung, dan santri kecil macam A Fuadi, adalah tiga keberhasilan dari ribuan kegagalan orang lain –tumbal.

Namun, sebagaimana banyak orang katakan; hasil itu tidak penting, yang penting adalah prosesnya. Boleh percaya atau tidak, saya merasakan proses yang mengerikan juga termasuk menyakitkan. Alangkah senangnya bila kita hidup berproses mudah, lalu menghasilkan karya gemilang. Karena itu, yang dinamakan doa sapu jagat adalah : Tuhan, berikan saya hidup di dunia yang baik, di akhirat yang baik, dan jauhkanlah kami dari api neraka.

Pengalaman, sebaik apapun akan menjadi masa lalu, seburuk apapun juga merupakan masa lalu. Tapi dari pengalaman baik buruk ini, pengalaman yang mendalam ini, yang akan menjadikan kita manusia yang bertuhan, manusia yang tahu terimakasih, dan manusia yang tanpa penyesalan. Mari mencoba pengalaman baru.

2015-09-01

Mencari Hidup Bahagia


Kenyataannya, hidup tidak semudah sebagaimana yang kita bayangkan. Dari ratusan teman BBM, dan ribuan teman Facebook, mungkin hanya satu persen yang tidak pernah mengeluh, dan selalu “terlihat” bahagia. Hampir 99 persen lainnya mengeluh dan mengumpat, atau bersembunyi dalam doanya kepada tuhan melalui quote yang ia temui di internet.

Mengapa banyak yang sedih di dunia ini? Adalah hal yang sangat membingungkan bila Allah menciptakan kehidupan menyedihkan yang selalu mengelilingi umatnya. Tapi sekaligus menggelikan karena Allah bukanlah makhluk, tapi Dia adalah Tuhan, yang dengan demikian ia menciptakan segala sesuatu dengan sempurna. Maka jalan rumit yang diusulkan oleh Pak Kiyai adalah : semua ada hikmahnya.

Kehidupan memberikan kita fasilitas berupa kesulitan sehingga kita bisa berjuang, juga kemudahan agar kita tidak putus asa. Itulah esensi yang mestinya kita tahu. Maka dari itu, belajar adalah hal yang sangat baik, belajar serius melakukan sesuatu yang tidak kita senangi. Akan ada banyak kesulitan dalam perjalanan ini, dan yakinlah bahwa bukan hanya kita sendiri yang mengalaminya.

Semua orang pernah mengalami bahwa hari itu adalah hari terburuk sepanjang hidupnya. Lalu esok hari setelah persoalan itu selesai, ia lupa bahwa ia telah menghentikan hari terburuknya tersebut. Dan saat ia merasa bahwa hari itu adalah hari terbaiknya sepanjang masa, ia juga lupa bahwa besok akan menghadapi kesedihan lagi.

Lalu adakah orang di dunia ini yang berbahagia terus menerus tanpa pernah bersedih? Tentu saja tidak ada. Kebahagiaan dan kesulitan itu ada sesuai dengan porsinya. Kita yang menjadi manusia normal, akan memandang setiap orang yang berkelas seperti Harry Taoesoedibjo, atau Dahlan Iskan, atau Choirul Tanjung, atau Jacob Oetama sebagai orang yang selalu bahagia.

Dan kalau kita memandang anak-anak gelandangan, penjual pentol yang keliling pakai sepeda ontel, pengemis yang rumahnya di bawah jembatan, orang tua yang berjualan pracangan di pinggir jalan setiap hari Minggu pagi, dan yang sebangsa dengan mereka, adalah orang-orang yang selalu bersedih dan berkesusahan.

Kita bisa melihat, bahwa pandangan kebahagiaan dan kesedihan kita lebih didasarkan pada kepemilikan materi, bisa uang atau pakaian atau kendaraan, dibandingkan dengan kepemilikan hati yang bersih. Ini adalah sesuatu yang naif. Bahkan kita sebetulnya tidak benar-benar mengerti ukuran kebahagiaan.

Sebagian besar kita faham bahwa kebahagiaan bukan didasarkan pada hal-hal yang bisa dilihat, namun dalama prakteknya kita selalu lupa. Itulah manusia. Kita yakin bahwa kekayaan paling penting adalah kaya hati, tapi sekaligus kita melupakan keyakinan itu dengan mengambil harta dan hal-hal fisik sebagai tolok ukur.  

Kepada setiap orang saya selalu bilang bahwa jangan menyerah untuk bahagia. Kenapa jangan menyerah? Karena kebahagiaan adalah tujuan utama. Demi kebahagiaan, semuanya harus dikorbankan. Susunlah kebahagiaan menurut kita sendiri, lalu perkirakan apa saja yang perlu dilakukan untuk meraih kebahagiaan tersebut.

Kita musti belajar apapun juga untuk meraih kebahagiaan itu. Jika kita memang yakin bahwa kebahagiaan adalah berhubungan dengan uang, maka tidak perlu malu-malu mengungkapkan bahwa uang adalah sumber kebahagiaan kita. Tunjukkan kepada orang-orang bahwa kamu mengejar uang.  

Jika kebahagiaan adalah bekerja dengan orang-orang secara sosial demi mewujudkan kehidupan orang lain yang sejahtera, maka peganglah pekerjaan sebagai pekerja sosial. Dan bila bahagiamu adalah dengan memiliki istri yang cantik lagi kaya, maka berjuanglah demi cita-cita tersebut.

Tentu saja, semua itu harus didasarkan pilihan rasional, memilih dengan hati tanpa emosi, pikiran tenang dan damai, dan akal yang sehat lagi beradab. Semua orang berhak bahagia dengan pilihannya masing-masing, namun ketahuilah pilihanmu dengan rasional agar kebahagiaan menjadi lebih dekat dan mudah dicapai.