2014-10-31

Kisah Guru SM3T Mengabdi di Pegunungan Papua Bagian II



Semangat para siswa-siswi di Disktrik Kiwirok untuk mengenyam pendidikan begitu tinggi tapi tidak dibarengi dengan fasilitas yang memadai. Namun demikian, hal itu tidak membuat para siswa berkecil hati karena mereka tetap bertekad sekolah meski harus menempuh perjalanan sejak pukul 02.00 WIT tanpa alas kaki.

Fathul Qorib - Pegunungan Bintang

Ketika pembicaraan antara Cenderawasih Pos dan para guru Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Terpencil ini sampai kondisi pendidikan dan para siswa, mereka mendadak antusias. Mata mereka berbinar dengan senyum mengembang. “Kami punya siswa yang luar biasa, andai semangat ini bisa sampai pendidikan tinggi, sungguh Papua akan jauh berbeda,”ujar Bekti, salah satu pengajar SM3T.

Bagaimana tidak, para sarjana ini, Bekti, Dimas, Irin, Hesty, Rezky, Aprillia, dan Fera, memiliki siswa yang begitu luar biasa karena bisa menempuh perjalanan berjam-jam hanya untuk datang ke sekolah. Mereka bercerita bahwa beberapa siswanya memiliki rumah yang jauh dari Distrik Kiwirok, dimana satu-satunya Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) berada.

“Mereka sudah harus berjalan dari rumahnya jam 02.00 WIT, ada yang jam 03.00 WIT, menuju ke Distrik Kiwirok. Ini yang membuat kami, betapapun sulitnya hidup di sini, tetap betah demi menularkan sedikit harapan dan cita-cita. Hal-hal seperti ini yang nantinya akan menjadi kenangan manis kami,”sambung Dimas disertai anggukan teman-temannya.

Sekolah yang menjadi tempat mengajar para guru SM3T ini terletak di bebukitan, yaitu SMP dan SMA, sedangkan SD ada di kawasan perumahan penduduk. Dengan kondisi ini, setiap siswa yang datang dari lembah akan naik ke SMP dan SMA dengan kondisi geografis yang cukup ekstrem. Pertama kali wartawan koran ini mengunjungi SMP tempat mereka mengajar, wartawan harus berhenti lima kali agar mata tidak berkunang-kunang.

Yang lebih ekstrem lagi adalah rumah yang disediakan untuk para guru tersebut juga terletak di atas perbukitan, lebih tinggi dari SMP tempat mereka mengajar. Rumah ini terletak cukup jauh dari rumah penduduk yang ada di lereng dan lembah, dimana landasan pesawat terbang berada. Namun dari ketinggian itu, mereka dapat mengawasi seluruh area yang memiliki pemandangan yang luar biasa.

“Kalau kami bosan, biasanya ya kami ada belajar kelompok dengan anak-anak. Dulu katanya tidak ada namanya anak-anak belajar selesai sekolah, adanya ya mereka ke kebun atau main-main. Tapi sekarang kita senang karena anak-anak juga senang belajar,”tambah Irin.

Untuk siswa-siswi yang belajar di SD, SMP, dan SMA Kiwirok, para guru ini mengakui bahwa mereka tidak ada yang pakai sepatu ketika belajar. Hal itu tidak dipermasalahkan sama sekali oleh para guru SM3T karena yang dituju bukanlah secara fisik, tetapi mental pembelajar yang dimiliki oleh para siswa. Apalagi kondisi alam di Kiwirok memang tidak ramah terhadap sepatu karena memiliki geografis yang bergunung-gunung sehingga becek ketika hujan.

Selain tidak ada yang pakai sepatu, kepemilikan buku tulis juga merupakan barang berharga. Karena harga buku di Kiwirok juga mahal sebagaimana harga kebutuhan pokok. Satu eksemplar buku tulis di sana berharga Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu, dan harga pena Rp 5 ribu yang paling murah. Dengan kondisi ini, wajar jika buku adalah kemewahan bagi para siswa. Untuk menyiasati kebutuhan buku ini, termasuk seragam, mereka pesan di Jayapura baru kemudian dititipkan agar dibawa ke Kiwirok.

Terkait kehadiran para guru SM3T ini, Pelaksana Harian Kepala Sekolah SMP Negeri I Kiwirok, Nixon Nawipa,S.Pd mengatakan bahwa itu adalah suatu karunia yang besar. Ketujuh guru yang disebar di SD, SMP, dan SMA ini banyak membantu para guru yang bertugas di sana sehingga kekurangan guru sementara dapat teratasi, dan perluasan cakrawala pengajaran dapat terpenuhi.

“Kami senang dengan kehadiran para guru ini karena dapat menutupi kekurangan para guru. Ini kan tahun ke dua, jadi kami berharap setiap tahun di Kiwirok ini terus diadakan bantuan guru dari Jawa sehingga kualitas pendidikan juga dapat ditingkatkan,”kata Nixon.

Kata Nixon, sebenarnya guru yang ada di sekolah yang saat ini dipimpinnya tersebut sangat banyak dan cukup. Namun sebagian besar dari menghulang menghilang berbulan-bulan dan tidak pernah kembalu ke Kiwirok, termasuk Kepala Sekolahnya. Sehingga Nixon yang merupakan anak asli dari Kiwirok itu bertekad akan terus mengajar meskipun dibantu oleh beberapa guru yang tidak mencukupi.

“Ini anak-anak kalau kuliah ada yang ke Jayapura itu banyak yang prestasinya bagus, masuk ke jurusan-jurusan yang sulit dibidang eksakta. Tapi saya yakin ke depan prestasinya akan terus meningkat apalagi dengan kehadiran para guru dari SM3T yang membantu kami mengajar siswa-siswi,”tandasnya.***

*oleh Fathul Qorib, dimuat oleh Koran Cenderawasih Pos

bagian I
http://www.fathulqorib.com/2014/12/kisah-guru-sm3t-mengabdi-di-pegunungan.html

Kisah Guru SM3T Mengabdi di Pegunungan Papua I


Bagi orang pegunungan tengah Papua, makan keladi dan sayur tanpa lauk adalah hal yang biasa. Namun bagaimana jika orang yang terbiasa tinggal di jawa dengan fasilitas lengkap, kemudian harus tinggal setahun di pegunungan Papua demi pendidikan? berikut kisah tujuh orang guru yang ada di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang.

Fathul Qorib - Pegunungan Bintang

Tujuh orang guru program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) dari Universitas Negeri Malang, Jawa Timur, ini telah berada di Distrik Kiwirok, Kabupaten Pegunungan Bintang sejak dua bulan yang lalu. Mereka adalah Agung Subekti (22), Dimas Aji Bagus Saptanu (24), Wasirin (22), Hesty Yussanti (25), Rezky Astarina (23), Fera Indrawati (26), dan Aprillia Fitriani (24).

Menuju Distrik Kiwirok ini, kita harus menggunakan pesawat khusus yang berbadan ramping sehingga hanya cukup untuk memuat 12 orang saja dari Banadara Sentani, Kabupaten Jayapura. Perjalanan memang hanya memakan waktu kurang lebih 45 menit, tetapi itu lebih dari cukup untuk mencari kehidupan masyarakat terluar sebagaimana tujuan dari program SM3T: Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.

Apalagi Distrik Kiwirok termasuk daerah terluar yang berbatasan langsung dengan PNG dengan 12 kampung yang tersebar dalam medan yang luar biasa sulit. Dari kampung-kampung inilah, anak-anak sekolah setiap paginya pergi ke Distrik Kiwirok, dimana terletak satu-satunya Sekolah Dasar, Sekolah Memengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas baru berusia dua tahun.

Saat Cenderawasih Pos berkunjung ke base camp para pengajar ini, mereka tengah memasak nasi dan sayur di tungku yang terbuat dari tumpukan batu. Berbeda dengan kebiasaan saat di kampus, mereka masih bisa menggunakan magiccom yang untuk menanak nasi tinggal mencolokkan ke listrik. Di sini, setiap kali memasak mereka harus bersusah payah mencari kayu bakar dan minyak tanah agar kayu bisa menyala.

“Pertama kali tiba di sini, kami jengkel sekali karena api tidak mau menyala. Kita coba berkali-kali tapi tidak mau menyala. Yah, kami belum pengalaman menggunakan kompor alami begini, tapi sekarang kita sudah biasa,”kata Agung Subekti yang biasa dipanggil Bekti itu.

Lelaki asal Pemalang, Jawa Tengah itu mengatakan bahwa kesulitan di Kiwirok bagi kelompoknya adalah harga kebutuhan bahan-bahan pokok yang amat mahal, sinyal HP tidak ada, listrik yang sering kali mati, termasuk tidak adanya hiburan sama sekali. Hal-hal ini, kata Bekti, kadang membuat frustasi, namun sering malah dijadikan sebagai tantangan untuk menjadi lebih tangguh di pedalaman.

Ditambahkan oleh Dimas, bahwa untuk mendapatkan sinyal HP, mereka harus menuju ke bukit yang disebut penduduk sebagai Puncak Dua, dengan jarak kurang lebih empat jam berjalan kaki bagi penduduk Kiwirok. Namun Dimas ragu, bahwa dalam waktu empat jam dirinya akan mampu berada di Puncak Dua.

“Kalau kita mungkin enam jam baru sampai di atas, bisa dibayangkan 12 jam kita butuh untuk pulang pergi. Makanya kita sampai sekarang belum ke sana padahal kami belum pernah menghubungi keluarga di rumah juga,”jelas lelaki asal Lumajang ini.

Mengenai soal listrik, Wasirin melanjutkan, disuplai dari Pembangkit Listrik Tenaga Air Microhidro atau PLTAM yang terletak di sungai sebelah barat Distrik. Empat hari pertama sejak kedatangannya berasama enam kawannya itu, dia disambut dengan matinya listrik sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan apapun pada saat malam hari.

“ Di sini kalau hujan deras lampu mati karena turbin PLTA tidak jalan. Makanya kita selalu jaga-jaga lilin. Kalau dulu pertama kalinya ke sini, empat hari tanpa listrik, kita pakai lampu tempel bikin sendiri,”tambah Wasirin yang rindu dengan kampung halamannya di Brebes.

Hesty dan Fera, dua perempuan asal Banyuwangi dan Malang ini, mengaku sebenarnya menikmati berada di Kiwirok. Namun pernah selama dua minggu bulan lalu, kehabisan bahan makanan berupa beras sehingga harus makan tela dan keladi yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan beras. Hesty tidak pernah membayangkan akan mengalami hal seperti itu di perantauan.

“Harga beras 1kg itu Rp 60rb, harga Rinso 1kg Rp 60rb, harga minyak 1lt Rp 60rb, dan harga gula 1kg juga Rp 60rb. Jadi setiap harga satuan di sini itu Rp 60 ribu. Dibandingkan dengan di Jawa misalnya, ini puluhan kali lipat. Ini yang kadang membuat uang yang kami bawa tidak cukup sehingga menyulitkan kami yang ingin bertahan dengan nasi,”sambung Fera, mahasiswi asli Malang.

Maka dari itu, tidak heran jika di sana para guru ini tidak pernah makan daging sejak berada di Kwiirok. Sehari-hari mereka hanya makan nasi, sayur, dan ikan asin yang dipesannya jauh-jauh hari dari Sentani, Kabupaten Jayapura. Jika selama satu tahun bertugas di daerah Kiwirok tersebut, maka otomatis selama itulah mereka tidak akan menyentuh daging, kecuali ada yang menjamu mereka.

“Di sini semua warganya wellcome banget jadi kita betah di sini. Meskipun pernah kekurangan bahan makanan, tapi warga di sini baik sehingga kami dipinjami beras, dan tidak jarang dikasih sayur-sayuran. Kangen keluarga itu pasti, tapi kami akan bertahan karena tujuan kami mulia, untuk mencerdaskan bangsa Indonesia,”tegas Aprillia yang disambut senyum oleh Bekti, Dimas, Wasirin, Hesty, Fera, dan Rezky.

Itu hanyalah sekelumit dari kehidupan awal ketujuh guru SM3T yang merelakan dirinya mengajar di daerah terdepan, terluar, dan terpencil. Bagaimana dengan suasana belajar di sekolah yang ada di Kiwirok? Termasuk kisah seorang siswa yang harus berjalan sejak pukul 02.00 WIT demi bisa sekolah.. (bersambung)

sambungan 2
http://www.fathulqorib.com/2014/12/kisah-guru-sm3t-mengabdi-di-pegunungan_22.html