2012-06-12

Sejarah Televisi


“Televisi, disana ada realitas yang lebih riil dari pada kehidupan sebenarnya”

A. Televisi dan Kehidupan

Ketika Michael Jackson meninggal dunia, dibelahan bumi lain, termasuk indonesia yang tidak pernah sekalipun orang itu menginjakkan kakinya, seakan-akan merasakan kedukaan yang sama dialami oleh keluarga mendiang Michael Jackson. Diberbagai penjuru dunia yang lain bahkan melakukan doa bersama, menyanyikan lagu sang legenda pop bagi fansnya, dan berbagai kegiatan menyedihkan lainnya. Ketika perang berkecamuk di Baghdad, Irak, di dunia kitapun ikut terusik. Perang itu begitu dekat mengiringi langkah kaki kita, telinga terngiang jerit tangis bocah, ratapan perempuan-perempuan banghdad, dan desingan pelor tajam mengoyak waktu. Kita menjerit, kita ikut menangis sambil berdoa berharap perang usai, dimana-dimana seruan boikot zionis terdengar. Televisi ini akan lebih diakui kedahsyatannya ketika satu peritiwa terjadi saat ini. Sepak bola. Saat piala dunia, ataupun piala Eropa digelar, semarak persepakbolaan tanah air seperti tersihir. Jam berapapun acara itu ditayangkan, maka dengan segenap kesadaran yang dimiliki, para gila bola akan menyempatkan untuk menontonnya. Perasaan yang dialami mungkin sama dengan penonton yang berada dalam tribun stadion sesungguhnya di luar negeri. Apakah ada yang aneh? Hanya karena sebuah tabung yang didalamnya ada panel-panel ruwet, kita bisa serentak mengetahui informasi dari belahan bumi lain dalam waktu sekejap. Tentu saja.

Diakui ataupun tidak, terlepas dari adanya kontroversi, televisi merupakan karya terbesar bagi sejarah peradaban manusia –bukan satu-satunya-. Hingga saat ini, televisi telah melekat pada keseharian manusia. Kita dalam menonton televisi akan sama dengan kegiatan kita mandi dipagi hari, makan, hingga tidur. Ini kemudian tidak bisa dipungkiri lagi bahwa televisi bukan dianggap sebagai kebutuhan tersier lagi, tapi telah menjadi kebutuhan primer. Seorang anak akan lebih terlatih melafalkan slogan-slogan tayangan televisi tertentu dari pada berdoa sebelum makan atau sebelum tidur. Seorang ibu rumah tangga dan gadis-gadis akan lebih tersentuh dan bisa menangis dengan hanya melihat tayangan reality show atau sinetron dari pada bencana alam nyata di luar desanya. Bila kita pandang dari sisi negatif, tentu saja ini ironis. Namun suatu teknologi baru tidak melulu menghasilkan kenegatifan, tentu disisi lain dari penggunaan televisi menghasilkan kepositifan yang luar biasa pula. Namun keuntungan dan kerugian saya kira bukan bagian saya untuk menjelaskan.

Sebelum menginjak pada sejarah perkembangan dan analisa politik terkait penggunaan televisi, layak kita ketahui dahulu arti televisi secara bahasa maupun secara kamus saya. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision; yang mempunyai arti masing-masing jauh dan tampak. Jadi televisi berarti tampak dari jarak jauh. Atau secara kamus saya, televisi berarti ‘sebuah benda dengan teknologi tertentu yang mampu memasukkan dunia nyata yang bergerak sehingga dapat dilihat dari jarak jauh dengan cara tertentu pula’.

B. Kronologis Perkembangan Teknologi Televisi Dunia

Sang penemu cikal bakal televisi mungkin akan terkaget-kaget kalau dibangkitkan dari kuburnya saat ini. Tentu ia tidak menyangka dengan keisengannya menciptakan sebuah tabung jelek dimasa lampau, ternyata menjadi menggemparkan. Banyak ahli dibidang teknologi yang berjuang mati-matian untuk menyempurnakan penciptaan televisi. Sebuah keahlian yang harus kita akui dan kita kenang jasa-jasanya.

Secara kronologis, mungkin bisa saya tuliskan seperti dibawah ini. Namun karena sebuah kebodohan yang telah lama bersarang di otak saya, bahasa-bahasa ilmiah yang ada di dalam masa poenciptaan televisi ini sangat mengganggu kepahaman saya sendiri sehingga tak satupun bisa saya menceritakan secara rinci. Cuplikan tahun dan nama orang yang berjasa saya harap cukup menggantikan keterangan yang panjang lebar.

1. 1876 - George Carey menciptakan selenium camera yang digambarkan dapat membuat seseorang melihat gelombang listrik. belakangan, eugen goldstein menyebut tembakan gelombang sinar dalam tabung hampa itu dinamakan sebagai sinar katoda.

2. 1884 - Paul Nipkov, ada yang mengatakan seorang ilmuwan dari jerman namun di banyak sumber dia hanyalah seorang mahasiswa, berhasil mengirim gambar elektronik menggunakan kepingan logam yang disebut teleskop elektrik dengan resolusi 18 garis. Ia mematenkan untuk pertama kalinya elektromekanik sistem pada televisi yang bekerja dengan pemindaian disk, pemintalan sebuah disk dengan sejumlah lubang sulur yang menuju pusat. Pada lubang yang sama di interval dalam rotasi disk akan memungkinkan cahaya untuk melewati setiap lubang dan menuju selenium sensor yang menghasilkan listrik pulses. Disebut dengan teleskop elektrik dengan resolusi 18 garis.

3. 1888 - Freidrich Reinitzeer, ahli botani austria, menemukan cairan kristal (liquid crystals), yang kelak menjadi bahan baku pembuatan LCD. namun LCD baru dikembangkan sebagai layar 60 tahun kemudian.

4. 1897 - tabung sinar katoda (CRT) pertama diciptakan oleh ilmuwan jerman, Karl Ferdinand Braun. Ia membuat CRT dengan layar berpendar bila terkena sinar. inilah yang menjadi cikal bakal televisi layar tabung.

5. 1900 - Istilah televisi pertama kali malah ditemukan pada tahun ini. Dikemukakan Constatin Perskyl dari rusia pada acara international congress of electricity yang pertama dalam pameran teknologi dunia di paris. Dialah yang mempopulerkan nama tele (jauh) dan vision (tampak) yang kemudian disepakati di dunia television.

6. 1907 - Campbell Swinton dan Boris Rosing dalam percobaan terpisah menggunakan sinar katoda untuk mengirim gambar.

7. 1920 – Charles F. Jenskin (AS), John Logie Baird (Skotlandia), dan Ernst FW Alexander (AS) membuat penelitian yang mengantar mereka pada pada tahun 1925...

8. 1925 - Charles F. Jenskin berhasil membuat gambar bayangan atau sillhoute, John Logie Baird menunjukkan transmisi dari gambar bayangan hitam bergerak di London, menemukan sistem video recording untuk pertama kalinya dan juga berhasil menemukan dasar-dasar bagi televisi berwarna. Dan Ernst FW Alexander pada 11 september 1928 menayangkan serial dramanya di Amerika Serikat.

9. 1927 - philo t farnsworth ilmuwan asal utah, amerika serikat mengembangkan televisi modern pertama saat berusia 21 tahun. gagasannya tentang image dissector tube menjadi dasar kerja televisi.

10. 1923 - Vladimir Kozma Zworykin, mendaftarkan paten atas namanya untuk penemuannya, kinescope, televisi tabung pertama di dunia. Setahun kemudian, dia mendapat kewarganegaraan Amerika Serikat dan menyelesaikan studi Doktornya di Universitas Pittsburgh. Vladimir lahir di rusia, 30 juli 1889. dia menyempurnakan tabung katoda yang dinamakan kinescope. temuannya mengembangkan teknologi yang dimiliki CRT. dia bekerja di perusahaan elektronik RCA dan selama 1930 hingga 1940-an, perusahaan itu memanjakannya dengan menguras dana US $ 150 juta untuk produksi teknologi televisi. Keterbukaan Zworykin pada kritik, membuatnya menemukan penemuan baru lagi. Sebuah kamera tabung. Ini melengkapi teknologi televisi tabung penemuannya. Penemuan itu dinamakannya iconoscope, berasal dari bahasa Yunani, icon yang berarti citra dan scope yang berarti mengamati. Ia meninggal karena usia tua pada 29 juli 1982.

11. 1939 - Tepatnya tanggal 11 mei, untuk pertama kalinya, sebuah pemancar televisi dioperasikan di kota berlin, jerman. dengan demikian, dunia mulai berkenalan dengan alat komunikasi secara visual. Stasiun televisi itu kemudian diberi nama nipko, sebagai penghargaan terhadap powel nipkov, ilmuwan terkenal jerman dan salah seorang penemu peralatan televisi.
12. 1940 - Peter Goldmark menciptakan televisi warna dengan resolusi mencapai 343 garis.

13. 1956 - Robert Adler (AS) bersama rekannya Eugene Polley, menemukan remote control televisi. walaupun bukan televisinya, tetapi penemuannya menjadi sangat penting bagi teknologi televisi. Dia meninggal dalam usia 93 tahun. Penerima penghargaan emmy tahun 1997 karena penemuannya itu mendapatkan lebih dari 180 paten amerika selama karir 58 tahunnya. Menurut istrinya, pengendali jarak jauh televisi itu bukanlah penemuan favoritnya dan dia jarang menonton televisi. Tujuan sebenarnya dari penemuan remote ini adalah untuk menghindari iklan. Apakah ini lucu?

14. 1958 - Sebuah karya tulis ilmiah pertama tentang LCD sebagai tampilan layar televisi dikemukakan oleh Dr. Glenn Brown.

15. 1964 - prototipe sel tunggal display televisi plasma pertamakali diciptakan Donald Bitzer dan Gene Slottow. Langkah ini dilanjutkan larry weber.

16. 1967 - James Fergason menemukan teknik twisted nematic, layar LCD yang lebih praktis.
17. 1968 - layar LCD pertama kali diperkenalkan lembaga RCA yang dipimpin George Heilmeier.
18. 1975 - Larry Weber dari universitas illionis mulai merancang layar plasma berwarna.

19. 1979 - para ilmuwan dari perusahaan kodak berhasil menciptakan tampilan jenis baru organic light emitting diode (OLED). Sejak itu, mereka terus mengembangkan jenis televisi OLED. Sementara itu, Walter Spear dan Peter Le Comber membuat display warna LCD dari bahan thin film transfer yang ringan.

20. 1981 - Stasiun televisi jepang, NHK, mendemonstrasikan teknologi HDTV dengan resolusi mencapai 1.125 garis.

21. 1987 - Kodak mematenkan temuan OLED sebagai peralatan display pertama kali.

22. 1995 - Setelah puluhan tahun melakukan penelitian, akhirnya proyek layar plasma Larry Weber selesai. Ia berhasil menciptakan layar plasma yang lebih stabil dan cemerlang. Larry Weber kemudian megadakan riset dengan investasi senilai 26 juta dolar Amerika Serikat dari perusahaan Matsushita.

23. 2000-an, masing-masing jenis teknologi layar semakin disempurnakan. baik LCD, plasma maupun CRT terus mengeluarkan produk terakhir yang lebih sempurna dari sebelumnya.

24. 2008 dan seterusnya, menyusul perkembangan televisi digital di negara-negara amerika dan eropa, indonesia juga akan menerapkan sistem penyiaran televisi digital (digital television/dtv) adalah jenis tv yang menggunakan modulasi digital dan sistem kompresi untuk menyebarluaskan video, audio, dan signal data ke pesawat televisi.

Bapak pertelevisian dunia sementara ini ada dua pendapat. Yaitu Paul Nipkow dari Berlin Jerman (nomor 2) yang mematenkan ciptaannya itu pada tahun 1884. Nopkow disk atau jantra Nipkow melahirkan televisi mekanis, yaitu prinsip gambar kecil yang dibentuk oleh elemen-elemen secara teratur (scanning device).

Dari sumber yang berbeda, Bapak pertelevisian dunia adalah Vladimir Kozma Zworykin (nomor 10) yang mematenkan penemuannya, kinescope, televisi tabung pertama di dunia pada tahun 1923.

Menurut hemat saya, maka saya lebih condong ke Paul Nipkow sebagai Bapak Pertelevisian dunia lebih disebabkan karena dialah yang meletakkan dasar keilmuan tentang teknologi televisi. Paul Nipkow telah mematenkan karyanya dibidang teknologi televisi di tahun 1884 sedangkan Vladimir Kozma Zworykin mematenkan karyanya ditahun 1923. Jadi selang waktunya adalah 39 tahun bagi Vladimir Kozma Zworykin untuk mengembangkan apa yang telah dihasilkan dari Nipkow. Bisa saja pada selang waktu yang panjang tersebut Paul menciptakan teknologi yang lebih besar dari pada 39 tahun yang lalu tersebut. Apakah anda setuju dengan pendapat saya?

C. Perkembangan Televisi Sebagai Media Massa di Indonesia

Tidak ada catatan kapan Indonesia berhubungan dengan teknologi televisi. Namun secara pasti dapat dituliskan bahwa siaran televisi pertama di negara kita ini tepat pada tanggal 17 Agustus 1962, ketika memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) yang ke - 27. Siaran pertama kali tersebut berlangsung mulai pukul 07.30 sampai pukul 11.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB) untuk meliput upacara peringatan Proklamasi di Istana Negara Jakarta. Siaran televisi pada saat itu dilakukan Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang kemudian baru melaksanakan siaran secara kontinyu pada 24 Agustus 1962. Liputan perdananya adalah upacara pembukaan Asian Games ke IV di Stadion Utama Senayan Jakarta.

Pada saat itu media massa masih belum bisa bergerak secara bebas. Demokrasi tentu belum difikirkan seperti saat ini. Semua yang bergerak dan berhubungan dengan masyarakat berada dibawah kuasa rezim otoriter yang mengekang kebebasan dan kemerdekaan berpendapat. Pada masa orde baru, media hidup dibawah kondisi politik yang monopolistik. Eksistensi media sebagai institusi sosial direduksi menjadi instrumen politik. Akibatnya fungsi media sebagai kontrol sosial tidak dijalankan dengan baik.

Deddy Iskandar Muda merumuskan enam fungsi pers dan media dalam bukunya yang berjudul Jurnalistik Televisi untuk megukur sebuah negara dikatakan demokratis. Disini nanti bisa kita tahu seberapa demokratis indonesia kita saat ini, apalagi masa orde baru. Sebagai berikut :

1. Menyampaikan fakta : Media massa menyediakan fasilitas arus informasi dari dan oleh masyarakat kepada pemerintah. Fakta disini haruslah dilakukan analisa independen dari media sendiri, jangan sampai didanai oleh pihak luar yang nantinya akan mempengaruhi kualitas berita (fakta) yang disajikan. Satu sisi mencerminkan kebutuhan dan keinginan pengirim berita (iklan, propaganda, elite, dll) dan sisi lain kebutuhan dan harapan (berita, laporan, dll)

2. Menyajikan opini dan analisis : Pada laporan berita, reporter memasukkan opini orang-orang luar yang kemungkinan masih banyak sekali keberpihakan diri ataupun kelompok. Karena banyak sekali opini-opini yang masuk melalui reporter mengatasnamakan sosial, tapis kemudian setelah dianalisa malah demi kepentingan pribadi. Maka disinilah peran staf redaktur untuk menyeleksi setiap opini yang masuk. Biasanya untuk media cetak, akan disediakan halaman khusus opini, ataupun masuk pada kolom dan editorial.

3. Melakukan investigasi : Fungsi yang ketiga ini mungkin yang paling sulit untuk dilakukan mengingat investigasi berhubungan dengan pencarian data yang valid dan terperinci. Disamping itu diperlukan juga kecanggihan staf yang berpengalaman. Namun kesulitan tentunya akan mempengaruhi hasil dari reportase. Karena jika berhasil dalam melewati kesulitasn ini, berita akan memiliki kualitas.

4. Hiburan : sajian pers dan media massa kadang-kadang berfungsi sekaligus, yaitu menghibur, mendidik, dan memberikan informasi. Namun kadang juga secara terpisah. Jadi sebuah media massa tidak melulu diisi dengan berita dan sejuta hal yang serius. Audience maupun pembaca membutuhkan hal lain yang bisa mengistirahatkan pikirannya dengan menonton hal-hal yang lucu. Yang harus diperhatikan oleh

5. Kontrol : Fungsi inilah yang bisa digunakan untuk melihat sebuah sistem yang ada dalam negara. Karena media massa bisa melakukan kontrol terhadap pemerintah, juga sebaliknya akan sangat tergantung pada sistem pers.

6. Analisis kebijakan : Fungsi ini merupakan kecenderungan yang kini sedang tumbuh di media Amerika Serikat. Dimana isinya adalah menyoroti kebijakan yang diterapkan pemerintah kemudian dianalisis oleh media dengan memberikan solusi alternatif lain.

Setelah kita baca beberapa fungsi pers dan media massa diatas, maka marilah kita tilik indonesia ini dari sudut politik dalam berbagai masa.

Pada era soekarno, peta perpolitikan hanya bergelut pada kolonialisasi dan cara memperjuangkan kemerdekaan. Disini saya hanya menganalisa televisi, jadi media cetak dan radio yang pada masa itu sedang gencar melakukan berbagai gerakan bawah tanah tidak dapat saya analisis.

Pada masa soeharto peta perpolitikan sangat panas dan banyak sekali jebakan-jebakan politik yang sesungguhnya. Tidak hanya memakan harta rakyat (korupsi) namun juga mengorbankan nyawa demi menegakkan kesatuan indonesia. Seperti yang sudah saya tulis diatas, televisi baru dikenal orang indonesia pada tahun 1962, pada masa orde baru. Pada awal bergulirnya orde lama ke orde baru, masyarakat bersuka cita karena orde baru menjanjikan perubahan disegala bidang. Memang jika kita lihat melalui kacamata sejarah, kita akan disuguhi berbagai polemik pemerintahan soekarno. Kita tidak hendak membicarakan keburukan seseorang, sebagus-bagusnya seorang presiden memerintah, jika keadaan yang sangat labil menguasai hampir seluruh komponen kehidupan maka keadaannya akan sama. Hal seperti inilah yang dijadikan senjata bagi orde baru, sebagai janji merubah keadaan. Maka mulailah pemerintahan soeharto, sebagai seorang jenderal tangguh, untuk membangkitkan perekonomian indonesia. Semua bidang kehidupan harus dimulai dari nol. Ekonomi, politiik, sosial, budaya, dan psikologis manusia indonesia sendiri. Program-program dicanangkan untuk memperbaiki taraf kesejahteraan rakyat.

Namun dikemudian hari pemerintahan soeharto menjadi sangat tercemar. Semua kegiatan manusia yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak diawasi. Puncaknya, terjadi pembredelan berbagai media massa, khususnya media cetak karena mempublikasikan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan penguasa. Pers menjadi pincang, media massa tidak diperbolehkan melakukan fungsinya terutama dalam fungsi kontrol sosial, menyampaikan fakta, dan analisis kebijakan. Jika pers berani melanggar yang ditetapkan pemerintah, maka ancaman pembredelan akan dilaksanakan.

Pada waktu itu yang menangani pers dan media massa adalah Departemen Penerangan yang di kepalai oleh Harmoko. Padahal menurut undang-undang saat itu, dikatakan bahwa sistem pers adalah pers pancasila yang berarti pers yang bebas dan bertanggung jawab. Namun kenyataannya pers dikekang sedemikian rupa hingga fungsinya kabur dan tidak bisa dijalankan.
Pers kemudian menjadi media penguasa untuk memperkuat kekuasaan pemerintah. Memang pada saat itu (sudah masuk tahun 1962) stasiun televisi yang ada hanya TVRI. Sehingga dengan mudah dilakukan sentralisasi siaran televisi. Memang televisi tidak bisa dilepaskan dari kekuasaan pemerintah. Menurut Garin Nugroho yang dikutif oleh Fredy H Istanto dalam karya ilmiahnya, Televisi Indonesia adalah sejarah propaganda sekaligus penerangan selama lebih kurang 30 tahun. TVRI adalah jabang bayi politik mercusuar Asian Games (tahun 1967). Kemudian di masa Orde Baru, TVRI adalah sejarah penerangan dan ketika swastanisasi lahir pada tahun 1990-an, televisi adalah medium hiburan dan informasi. Namun tetap dalam perspektif mendukung dan tidak mengganggu kekuasaan Orde Baru. Dengan kata lain, sejarah tigapuluh tahun televisi Indonesia adalah sejarah penggunaan televisi untuk penegakan kekuasaan.

Saat itu dibentuk juga Dewan pers untuk mengurusi masalah pers dan media massa di indonesia. Sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999, dewan pers adalah lembaga independen yang dibentuk sebagai bagian dari upaya untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional.

Ada tujuh fungsi dewan pers yang diamanatkan UU, diantaranya :

1. Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain.

2. Melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers.

3. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan kode etik jurnalistik.

4. Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

5. Mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah.

6. Memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan.

7. Mendata perusahaan pers.

Jika kita lihat, maka tugas dewan pers sesungguhnya adalah menaungi pers dan media masa indonesia dari segala sabotase yang bisa mengekang kebebasan pers. Sedangkan pada masa Orde baru, fungsi dewan pers ini tidak dijalankan. Bahkan ini bukan salah dari dewan pers, Dewan pers hanyalah formalitras semata, menutupi kebusukan pemerintah karena telah memasung kemerdekaan pers dalam melakukan konbtrol ssosial. Dewan Pers menjadi anak buah dari pemerintah Orde Baru untuk membredel semua media yang tidak sesuai dengan keinginan pemerintah.

Pada masa ini, maka konsep kebebasan pers dapat dikelompokkan dalam Authoritarian yang memberikan asumsi bahwa pemerintah adalah mutlak. Yang berarti kebijakan-kebijakan pemerintah sangat sulit dipertanyakan, sehingga pers harus tunduk pada kuasa pemerintah.
Saya kira perkembangan pers dalam perpolitikan soeharto belum cukup sampai disini. Karena setelah melewati masa swastanisasi stasiun televisi sekitar tahun 1990-an, saat RCTI dan SCTV hadir, kuasa politik pemerintahan tetap berjalan. Karena pemilik dari stasiun televisi swasta nasional yang berdiri adalah kroni-kroni Soeharto.

D. Televisi sebagai Media Pencitraan Elite dan Partai Politik

Politik pencitraan sangat ampuh untuk menggaet suara dalam pemilihan umum. Entah pemilihan Gubernur ataupun Presiden. Perputaran uang bertriliunan rupiah akan bergulir mengalahkan perputaran rupiah dalam rangka mengembangkan perekonomian indonesia sendiri. Elite-elite politik yang busuk telah dipahami masyarakan terpelajar di indonesia. Namun secara refleks itu tidak mengganggu sama sekali. Kenyataan yang telah dipahami akan di bantah oleh iklan-iklan pencitraan yang disiarkan di media cetak, radio, dan terutama televisi.

Iklan kampanye politik merupakan media komunikasi politik baru yang muncul akibat dinamika demokratisasi. Kebutuhan akan bentuk komunikasi politik yang lebih bersifat massal ini telah dimulai dan dianggap penting oleh partai-partai politik lama maupun baru sebagai sarana memobilisasi dukungan pemilih ketika bertarung memperebutkan suara pada saat Pemilu. Tentu saja baru kemarin kita menyelenggarakan pesta demokrasi dengan memilih presiden dan wakil presiden yang akhirnya di menangkan oleh duet Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono. Bisa kita lihat pertarungan yang dahsyat diberbagai media menjadi sebuah sirkus politik yang menyenangkan untuk ditonton. Untuk dilihat betapa bodohnya sekaligus betapa pintarnya mereka –para capres- dalam mengiklankan dirinya.

Sebaga masyarakat saya ikut bingung memandang fenomena ini. Bagaimana mungkin saya ikut terpengaruh dengan iklan yang jelas-jelas itu bohong. Saya tahu Megawati yang blusukan di pasar tradisional hanyalah sebuah rayuan gombal wanita yang menginginkan sesuatu. Juga Susilo yang dengan gaya kewibaannya meneriakkan kata ‘lanjutkan!’ hanyalah sebuah upaya agar terlihat gagah perkasa, tegas, dan memiliki kredibilitas presiden. Apalagi partai baru seperti Gerindra yang tiba-tiba menguasai pikiran masyarakat, sehingga mencitrakan Prabowo yang merakyat, berjuang untuk buruh, petani dan nelayan. Padahal saya tahu, dia tidak pernah selama menjadi jenderal nyambangi nelayan di pantai utara atupun selatan.

Partai-partai besar seperti Partai Demokrat, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), PAN (Partai Amanat Nasional), Partai Golkar, PKS (Partai Keadilan Sejahtera), dan Gerindra telah banyak membelanjakan anggaran belanja kampanye dengan memasang iklan-iklan kampanye partai politik baik melalui media cetak maupun media televisi nasional. Memang dahsyat permainan iklan politik saat memasuki Pemilu.

Yang disayangkan dari hal ini adalah bagaimana partai-partai besar tersebut berusaha mati-matian untuk membangun citra sedangkan ketika telah menjadi Presiden mereka lupa dengan janji yang telah mereka layangkan dalam iklan dan kampanye. Dunia televisi merupakan dunia citraan, dan realitas yang ditampilkan merupakan realitas semu hasil proses suntingan (editing) dari realitas kehidupan sesungguhnya. Realitas tiruan ini mempunyai hukum, logika, dan dunianya sendiri, yang pada titik ekstrimnya di terima bahkan diyakini sebagai realitas sesungguhnya. Disinilah sehingga televisi meskipun sekilas saja menampilkan sosok, maka akan mempengaruhi realitas dan rasionalitas berfikir orang kebanyakan.

Bahkan media massa sering ditempatkan sebagai medan perang sekaligus panglima oleh partai-partai politik. Hal itu wajar karena medialah yang memiliki kekuatan penuh untuk memutuskan informasi mana yang seharusnya diketahui atau tidak diketahui publik. Kondisi ini menempatkan media sebagai pembentuk citra baru bagi elite maupun partai dan menjadikan pula kualitas sebuah media dipertanyakan dalam fungsinya memberitakan fakta kepada publik.
Konsekuensinya adalah fakta bisa berubah menjadi realitas semu yang bisa diciptakan, sehingga berita yang tercipta kini berada di antara wilayah fiksi dan non fiksi. Fakta juga kini telah berubah menjadi barang yang mudah dikemas. Maka wajar jika hampir seluruh media memberitakan hal yang sama dan dari sumber berita yang sama. Seperti halnya pemberitaan masalah pilkada langsung, hampir setiap media cetak maupun elektronik memberikan porsi ruang dan waktu untuk mengulas pilkada langsung. Dalam konteks komunikasi politik, peran media dalam mengulas pilkada langsung tak sebatas hanya pada masa kampanye saja. Boleh dikatakan konstruksi citra politik justru dibangun terus-menerus mulai pendaftaran calon kepala daerah ke dalam berbagai ruang publik yang disediakan media massa. Citra dan stereotip secara sadar atau tidak merupakan dua hal yang terus diusung media. Efek dari komunikasi politik disengaja atau tidak disengaja telah melahirkan keberpihakan media.

Ada yang salah dengan media massa kita saat ini. Pembentukan citra dari elite dan partai, memang mendatangkan keuntungan yang berlipat-lipat, apalagi saat menjelang pemilu. Namun media seharusnya ingat dengan fungsi yang telah lama disandangkan pada dirinya. Menurut Mochtar W Oetomo, ketua Surabaya Survei Center dan Dosen Komunikasi Politik Universitas Trunojoyo Madura, ada lima fungsi pokok media, yaitu :
a. To inform the fact
b. To educate
c. To connect
d. To entertaint
e. To control social
Pada saat menjelang pemilu memang media sangat kebanjiran order iklan politik. Sehingga seorang dosen Universitas Trunojoyo, Nikmah Suryandari, S.Sos., M.Si mencuplik dari buku etika komunikasi Dr. Haryatmoko ; mengungkapkan dalam kuliah Etika Komunikasi bahwa media kini dihadapkan dengan dua dilema, yaitu idealisme media massa yang menuntut media sebagai sarana pendidikan agar masyarakat kritis dan idealisme pragmatis yang berkutat pada spektakuler, populer, dan sensasional sehingga membawa keuntungan finansial.

Demikian perkembangan media massa televisi indonesia dari segi politik. Jangan percaya apa ditayangkan oleh televisi, disana ada realitas yang lebih riil dari pada kehidupan sebenarnya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Haryatmoko, Dr. 2007. Etika Komunikasi, Manipulasi Media, kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius
2. Istanto, H Freddy. Peran Televisi dalam Masyarakat Citraan Dewasa Ini, Sejarah, Perkembangan dan Pengaruhnya. Karya Ilmiah. Universitas Kristen Petra.
3. ........................ 1994. Jurnalistik Televisi Modern. Bogor : PT Ghalia Indonesia
4. .................................... 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Modernisme, Bandung : Mizan.
5. http://id.wikipedia.org/wiki/stasiun_televisi

Keberpihakan Media


Media massa telah mencapai masa kejayaannya di dunia. Ini adalah zaman informasi, millenium telah berganti menjadi abad yang sangat bergantung kepada adanya informasi. Jalan satu-satunya untuk mengakses informasi adalah media, cetak, elektronik, maupun cyber. Ditengah pusaran arus informasi yang diharapkan kebenarannya inilah kemudian media mass muncul sebagai momok yang tidak disangka-sangka, diharapkan menjadi pelepas dahaga akan infoormasi nyang benar dan akurat, malah menampilkan peristiwa-peristiwa pemberitaan yang telah dikonstruksi.

Seharusnya sudah jelas bahwa media adalah satu-satunya alat yang bisa mengontrol dunia agar berjalan dengan baik, namun kepentingan-kepentingan lebih diminati oleh media saat ini. Di satu sisi tentunya media ingin menonjolkan kebebasan, independensi, dan idealismenya, tapi disisi yang lain justru membodohi dirinya sendiri dengan tindakan keberpihakan yang semakin besar pada berbagai kepentingan ; kapitalisme, politik, dan malah tida kehilangan sikap kritis terhadap pemerintahan. Media seakan menjadi musuh masyarakat itu sendiri dengan menyembunyikan informasi yang benar, selalu saja pemberitaan berbau entertainment dan merampas hak dasar masyarakat untuk mengetahui dan memperoleh informasi yang benar. Media berdosa.

Demokrasi yang di anut Indonesia kemudian menjadi jalan utama bagi media untuk membenarkan dirinya sendiri melayani kepentingan kapitalis. Media massa selalu mencati cara agar berita-berita yang disampaikannya membawa keuntungan yang besar, satu-satunya cara adalah dengan berselingkuh. Perselingkuhan nyata antara media dengan birokrasi pemerintahan dan dengan antara media dengan pasar. Memang sudah tidak ada lagi istilah imparsial, cover both side, ataupun obyektif, yang ada adalah uang, idelogi uang. Persis seperti apa yang dikatakan oleh taufik ismail, keuangan yang maha esa.

Selanjutnya media menjadikan masyarakat sebagai suatu kaum yang bisa di bodohi dan menghasilkan uang banyak. Keuntungan-keuntungan dari penjualan berita-berita, ikaln-iklan, dan semua produk media adalah karena kebodohan yang dialami oleh masyarakat. Ini tidak saja menyangkut produk-produk seperti baju, kosmetik, atau sepatu, namun lebih dari itu, media telah menciptakan realitas palsu pemerintahan dengan menutupi kebejatan para pejabat pemerintahan dan menggunakan sistem tebang pilih dalam pemberitaan. Orang-orang yang telah membayar tinggi kepada media tentu saja tidak akan tersentuh kebusukannya, inilah yang nantinya menimbulkan kesadaran paslu (false consiusness).

Nyata sekali, dapat kita lihat ketika pemilihan umum (pemilu) 2009. Bagaimana politikus beramai-ramai mengemas kampanye dengan strategi pencitraan yang menarik. Ini didalam media, yang dipermasalahkan adalah media yang dengan bagitu mudahnya dicekoki uang dan dengan sigap mengemas dan menayangkannya menjadi iklan politik sempurna yang merongrong ruang sadar masyarakat, menawarkan berbagai alternatif, ajakan dan nada sejuk untuk merebut simpati publik, sehingga publik hanya menganggukkan kepala.

kampanye politik yang dibungkus dengan pencitraan menjadi tren, perusahaan-perusahaan pembangun citra kebanjiran order. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla, Wiranto, Prabowo Subianto, Sutrisno Bachir, Muhaimin Iskandar, Tifatul Sembiring, dan berbagai politisi lainnya bersaing merebut simpati publik dengan iklan kampanye. Di Jawa Timur, Pilgub 4 November lalu, iklan politik Kaji (Khofifah-Mudjiono) dan Karsa (Soekarwo-Saifullah Yusuf) juga menggenangi ruang kehidupan warga Jatim. Televisi hanya berisi dua pasangan yang manis, senyumnya menggelayut manja, keberaniannya berkobar, dan janji-janjinya minta ampun kerennya.

Inilah era ruang politik yang penuh sesak dengan strategi kata-rupa. Tipuan Kata-Rupa Dengan memuja strategi pencitraan, ruang politik akhirnya penuh sesak dengan lipstik, kamera, facial-lotion dan seperangkat aturan yang mendukung madzhab kata-rupa. Politikus akhirnya lebih mementingkan image daripada esensi aspirasi rakyat. Kompas politik berganti haluan, mencari sudut permainan citra dan strategi informasi. Inipun dosa media massa,

Tidak ada lagi media yang mengutamakan kepentingan raklyat. Rakyat dibiarkan berfikir sendiri, karena pemerintah dan media sendiri tahu bahwa masyarakat itu bodoh dan sayang kalau tidak dibodohi. Masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa, karena –mungkin sudah hukum alam- rakyat indonesia memang penurut, apalagi orang jawa yang sendiko kawulo gusti, nurut apapun yang disuruh gustinya.

Pada akhirnya, media menjadi pelacur. Memang apa bedanya? Sama-sama menuhankan uang, hanya saja media selalu bangga dan tidak pernah merasa bersalah, sedangkan pelacur selalu menangisi hidupnya malam-malam sepi. Media hanya melayani orang-orang berduit, jika tidak ada kepentingan dan tidak menguntungkan maka berita sebagus apapun tidak akan diliput. Sangat ironi, tapi itulah kenyataan yang terjadi. Media seakan menjadi pelacur baru didunia globalisasi ini, menjual dirinya demi kepentingan material semata tanpa mempertanyakan apakah itu berdampak jauh terhadap kepentingan masyarakat. Sekali lagi, masyarakat dijadikan sasaran empuk untuk menumpuk kekayaan para pemilik media. Bahkan kalau bisa, biarkan masyarakat tetap dalam kemiskinan dan kebodohannya, karena itu menguntungkan untuk pemberitaan. Jika kemudian masyarakat pandai, maka tentu saja kesadaran media tidak diharapkan.

Memang tidak bisa dipungkiri karena pemilik raksasa bisnis media akhirnya adalah orang-orang yang dekat pada kepemerintahan, ataupun orang-orang yang terjun ke politik praktis. Media sudah tidak sanggup lagi mengemban amanat demokrasi yang diteriakkan pada mei 1998, media adalah penghianat demokrasi yang harus dikembalikan kepada jalan yang lurus. Berbagai iklan pencitraan yang berkembang pra-pemilu seharusnya tidak dipandang media sebagai hal yang menguntungkan, media seharusnya harus mengedepankan verifikasi. Tidak menelan serta-merta apa yang nantinya membohongi publik.

Kompas yang digadang-gadang menjadi media massa cetak nasional yang berimbang ternyata masih juga menyimpan sejuta kebusukan, tentu saja jika kita analisa lebih cermat. Seperti yang ditulis Eriyanto dalam bukunya Analisa Framing dijelaskan bahwa kompas lebih pro ke Amerika Serikat dalam pemberitaan perang irak dibandingkan dengan media massa cetak lainnya di Indonesia. Begitu pula kompas lebih berpihak ke-barat dalam hal teori evolusi, kompas edisi 07/01/08 halaman 40, yang mengutip dari Reuters tentang pendapat peneliti bahwa nenek moyang ikan paus adalah sejenis rakun. Sudah beberapa kali kompas memunculkan hal-hal yang kebarat-baratan, meskipun tidak terang-terangan namun akhirnya kita tahu ; dengan menggunakan analisa framing tersebut kita akan mampu melihat media berpihak pada siapa dan memusuhi siapa.

Setelah ini, media apa lagi yang bisa dipercaya untuk menyalurkan aspirasi masyarakat? Media elektronikpun (Televisi) tidak bisa menyembunyikan keberpihakannya terhadap pemberitaan-pemberitaan. Benteng terakhir demokrasi telah koyak, berserak. Akhirnya semoga kita berharap masyarakat tahu bahwa medianya seperti itu, ketidakpercayaan masyarakatlah yang akan meruntuhkan kapitalisme media.

Media : Metafora dan Simulakra


“Aku lebih takut jurnalis dengan pena-nya
dari pada seribu tentara dengan bayonetnya”
Napoleon

Ketika kita duduk santai di rumah sambil mendengarkan music di radio, saat jalan di mall, saat lari pagi, saat duduk dibangku kuliah, maka saat itulah kita sedang mendengar informasi. bahkan kita seringkali tidak menyadari kalau sedang menerima informasi. Misalnya ada koran dimeja, ada gambar full color yang menarik pandangan anda sehingga anda menghampirinya dan membaca sebagian dari berita tersebut. Tentu anda tidak berniat mencari apa-apa. Tiba-tiba saja anda mengangguk-angguk dan faham akan sesuatu yang sebelumnya tidak tahu. Itulah informasi.

Informasi, yang kemudian dikonstruksi oleh orang-orang tertentu menjadi media massa telah memasuki hal yang paling privasi dari seseorang. Tidak ada lagi ruang pribadi yang benar-benar pribadi untuk bersembunyi dari segala hiruk pikuk dunia. Semua tingkah laku menjadi representasi dari keterpengaruhan kita dari media. Semuanya, ketika jalan-jalan dan kemudian dengan tidak sengaja kita melihat Mc Donald maka tanpa sadar kita akan ingat bahwa itu rumah makan cepat saji yang enak, lezat, ekonomis, dan prestisius. Atau lagi-lagi ketika kita tiba disuatu toko dan hendak membeli shampo, maka kita akan menelusuri berbagai macam merk shampo tersebut berdasarkan iklan yang sering kali kita lihat. Shampo yang kita beli akhirnya adalah yang sesuai dengan pedoman iklan tersebut, anti ketombe, untuk menghitamkan, atau untuk menghentikan kerontokan.

Ada yang menarik dari sekian banyak evolusi makna media, yaitu the medium is the methapor. Makna media ini muncul tahun 1985 oleh Neil Postman yang mengatakan bahwa setiap pesan yang disampaikan media mengandung methapor-metaphor yang secara tersirat akan dirasakan oleh khalayak tanpa disadari. Methapor adalah gambaran-gambaran yang dalam pikiran seseorang tentang sesuatu. Media massa sangat ahli dalam membangun methapor ini, media selalu menampilkan sesuatu yang kemudian diyakini masyarakat sebagai suatu kebenaran karena ditampilkan secara terus-menerus.

Contoh yang sederhana dari methapor ini adalah sinetron indonesia yang selalu menampilkan orang-orang muda dengan umur 25 – 30 tahun namun sudah menempati posisi tertinggi di perusahan yang dimilikinya. Rumah yang ditampilkan pasti besar dan mewah, dengan mobil, cewek cantik, pembantu-pembantu, dan hedonisme yang lain. Methapor yang di bangun adalah kesuksesan seseorang diukur dengan sebuah perusahaan dan mobil. Bahkan banyak sinetron yang menampilkan cinderela-cinderela modern. Kisah gadis yang baik hati, cantik, dan selalu disakiti orang-orang terdekatnya. Methapor yang dibangun adalah kejahatan ada dimana-mana. Bahkan dari saudara kita sendiri, namun jika bersabar suatu saat kita akan bahagia sebagaimana cinderela yang akhirnya ditemukan pangeran yang tampan dan kaya raya. Lihat saja kebodohan yang hendak disebarkan media massa.

Dikehidupan nyata tentu saja sangat sulit menemukan pemuda yang seumur jagung sudah menduduki top manajer perusahaan besar, mempunyai mobil, dll. Dan lakon cinderela tentu saja hanya omong kosong.

Realitas media telah menggiring wacana konsumen ke dalam simulakra, yaitu penggunaan tanda dan citra yang telah terdistorsi, menyimpang, bergeser, bahkan telah terputus sama sekali dari realitas yang sebenarnya, tetapi semuanya diklaim sebagai "realitas" dan "kebenaran". Iklan, sinetron, pemberitaan, film, dan semua produk media kemudian hanyalah menjadi komoditas yang tidak dipentingkan isinya, semua hanyalah simulasi yang mementingkan kulit luarnya.

Dikatakan oleh Jean Baudrillard dalam Simulations pada tahun 1981, simulakra adalah strategi penyamaran tanda dan citra (disguising), sebuah proses penjungkirbalikan tanda yang menciptakan kekacauan, turbulensi, dan indeterminasi dalam dunia representasi dan pertandaan. Ia semacam mesin (simulacra machine) yang memproduksi segala yang palsu (false), menyimpang dari rujukan (referent) dengan menciptakan tanda sebagai topeng (mask), tabir, kamuflase, atau fatamorgana.

Ini kemudian menjadi menarik, karena jika benar media seperti apa yang dikatakan oleh Baudrillard, maka tidak ada staupun hal yang benar (real) didalam media. Maka yang terjadi adalah ketidakpercayaan terhadap media. Bayangkan saja jika apa yang disampaikan oleh Baudrillard ini kemudian menyebar dan sama-sama diyakini oleh masyarakat sebagaimana keyakinan mereka terhadap kebenaran realitas media, maka ada dua kubu besar dalam penyampaian informasi. Yang satu kubu tidak terpengaruh dan tetap meyakini apa yang ada dalam media, dan yang lainnya membenci media dan menganggap media sebagai kekuasaan yang mesti dihancurkan. Tentu saja, kita harus sadar bahwa kubu yang kedua sulit terjadi karena masyarakat tidak akan peduli dengan pemahaman dan penyadaran yang hanya disampaiakan lewat buku, dan itu tentu saja sekilas. Tidak seperti media massa yang selalu menyajikan hal-hal yang tidak menarik, tidak penting, dan tidak perlu, menjadi sebaliknya. Inilah kemampuan media dalam mengagendakan masyarakat luas agar menganggap penting apa yang dianggap penting media.

Kepalsuan yang dibangun media ini memang keterlaluan. Media bahkan menciptakan realitas kedua (realitas semu) setelah realitas pertama (realitas peristiwa). Berbagai kejadian ditampilkan dalam aneka ragam tergantung kearah mana sebuah media menginginkan, atau siapa yag mendanai media tersebut. Kepentingan terus bermain dalam media massa sehingga tidak ada lagi ceritanya bahwa media harus verifikasi, berimbang (imparsial) ataupun obyektif (cover both side). Media sepenuhnya berada dalam genggaman kekuasaan tertentu, kapitalisme, komunisme, demokrasi, dll.

Masih tentang Jean Baudrillard yang pada tahun 1995 dalam The Perfect Crime menyebut perfect crime (kejahatan sempurna) sebagai sebuah 'penggelapan' dan 'pemerkosaan realitas' kejahatan; sebuah kejahatan yang menyembunyikan dirinya secara sempurna, sehingga ia tidak pernah dapat diketahui, tidak pernah dapat dibuktikan; sebuah kejahatan yang menyembunyikan dirinya secara halus di balik 'model-model image kejahatan' pihak lain, sehingga tidak tampak seperti sebuah kejahatan-the simulacrum of violence.

Siapa lagi yang bisa menciptakan sebuah kejahatan yang begitu sempurna kalau tidak media? Kejahatan sempurna yang diciptakan media adalah sebuah kejahatan; dalam berbagai bentuknya seperti teror, intimidasi, propaganda, disinformasi, agresi, profokasi, yang begitu halus tersembunyi sehingga yang tampak adalah sebuah alasan tentang moralitas, kedamaian, pemberantasan teroris, dan penegakan Hak Asasi Manusia.

Kebebasan media sebagai tonggak demokrasi seharusnya tidak berakhir mengenaskan seperti ini. Kejahatan yang diciptakannya bisa meruntuhkan semua orang/instansi/organisasi/ karena kebohongannya, ataupun mengembalikan dan membangun pencitraan yang sangat kuat. Seharusnya media menjadi alat demokrasi yang berjalan bersama rakyat, beriringan membangun kepercayaan untuk mengontrol kebijakan pemerintah. Media adalah penyambung informasi untuk rakyat dan sudah seharusnya bersikap netral dalam menyajikan berita. Masyarakat sudah percaya penuh kepada media. Jadi, seharusnya sikap netral media sangat penting.


2012-06-10

Global Paradox ; small is power

Mengapa buku-buku Naisbitt menjadi fenomenal? Sebelum kita membahasa lebig lanjut tentang Megatrend dan Global Paradox, sebaiknya kita mengenal dahulu bagaimana bigrafi dari John Naisbitt.
Biografi
John Naisbitt (lahir 15 Januari 1929 di Salt Lake City, Utah) adalah seorang penulis Amerika dan pembicara publik di bidang studi berjangka. Megatrends pertama bukunya diterbitkan pada tahun 1982. Ini adalah hasil dari hampir sepuluh tahun penelitian. Itu di daftar buku terlaris NewYork Times selama dua tahun, kebanyakan sebagai # 1. Megatrends diterbitkan di 57 negara dan terjual lebih dari 14 juta eksemplar. John Naisbitt belajar di Universitas Harvard, Cornell dan Utah. Dia mendapatkan pengalaman bisnis ketika bekerja untuk IBM dan Eastman Kodak. Dalam dunia politik, ia menjadi asisten Komisaris Pendidikan di bawah Presiden John F. Kennedy dan menjabat sebagai asisten khusus untuk Departemen Pendidikan Sekretaris John Gardner selama pemerintahan Johnson. Dia meninggalkan Washington di tahun 1966 dan bergabung Science Research Associates. Pada tahun 1968 ia mendirikan perusahaan sendiri, Urban Research Corporation. Naisbitt mendirikan Naisbitt Cina Institute, sebuah perusahaan nirlaba, lembaga riset independen yang mempelajari transformasi sosial, budaya dan ekonomi Cina yang terletak di Tianjin University. Pada tahun 2009, Naisbitt menerbitkan Megatrends China, sebuah buku menganalisis kebangkitan Cina. Penasehat pada pengembangan Pertanian untuk pemerintah kerajaan Thailand, mengunjungi sesama mantan di Harvard University, profesor tamu di Moskow State University, dosen di Universitas Nanjing di Cina, dibedakan Internasional Fellow, Institut Studi Strategis dan Internasional (ISIS), Malaysia - - pertama non-Asia untuk mengadakan perjanjian ini, profesor di Universitas Nankai, Tianjin Universitas Keuangan dan Ekonomi, anggota Dewan penasehat dari Bisnis di Asia Sekolah, Tianjin, penerima 15 gelar doktor kehormatan dalam teknologi, humaniora dan ilmu pengetahuan. John Naisbitt dan istrinya Doris yang berbasis di Wina dan Tianjin / Cina.
Dengan pengalaman yang sedemikian rumit dan luar biasa, maka tidak heran jika Naisbitt akhirnya mampu menciptakan buku yang semuanya masuk dalam kategori
  • Megatrends : Sepuluh Arah Baru Transformasi Our Lives. Warner Books, 1982
  • Reinventing the Corporation : Transformasi Pekerjaan Anda dan Perusahaan Anda untuk Masyarakat Informasi Baru. Warner Books, 1985
  • Megatrends 2000. Sepuluh Arah Baru untuk tahun 1990-an.William Morrow & Company, Inc, 1990
  • Paradoks Global. The Bigger Ekonomi Dunia, Pemain Its Lebih Powerfull Terkecil. William Morrow & Company, Inc, 1994
  • Megatrends Asia. Delapan Asia Megatrends Itu Apakah Reshaping Our World. Simon & Schuster, 1996
  • High Tech / High Touch. Teknologi dan Search Dipercepat kami untuk Makna. Nicholas Braely Penerbitan, 2001
  • Pikiran Set! Berpikir ulang Anda dan Lihat Masa Depan. Collins, 2006.
  • China Megatrends: The 8 Pilar Masyarakat Baru Dari Sebuah.HarperCollins, 2010.
Semangat yang di usung oleh John Naisbitt sebenarnya tidak lepas dari Globalisasi, yang digembar-gemborkan oleh kalangan Ilmuwan Barat. Sehingga semua hal yang disajikan dalma buku ini memang harus dikaji agar tidak sampai membuat kita mengamini segala keinginan kapitalis barat.

Globalisasi
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global. Anggapan atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuanteknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudulGlobal Paradox ini memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988) mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.

Paradox Global
Paradox yang disajikan oleh John Naisbit dalam bukunya tersebut merupakan hal yang tidak disangka-sangka akan muncul dalam permukaan dan menjadi sesuatu yang nyata. Perubahan dramatis dan sangat berbeda yang bekerja di dunia pada akhir abad kedua puluh hampir bisa dipahami sebagai beikut: ekonomi global, komunikasi global, negara-negara terpecah-belah, penentuan nasib sendiri-sendiri para etnis tertentu, negara berkembang, dan pariwisata meningkat. Dan yang tak alah kontroversialnya, Naisbit menilai pada waktu itu bahwa Negara yang akan menjadi besar dari segala lini adalah Cina. Sungguh tidak disangka kalau sekarang korporasi Cina menyebar luar keseluruh Negara di dunia denga Mata Uang Yuan sebagai symbol perdagangan mereka. Mungkin kedepan, Yuan aka menggeurs Dollar sebagai mata uang perdagaga dunia. Inilah yang digunakan oleh John Naisbitt sebagai sebuah misiuntuk memahami semua yang tengah dan akan terjadi. Dan sekali lagi ia menyediakan pemahaman yang rinci dengan dasar realitas dimana para pemimpin dalam bisnis dan pemerintah dapat dan harus bertindak sebelum tergilas oleh zaman.
Dalam contoh-contoh yang disajikan oleh Naisbitt tersebut, kita menjadi tahu banyak hal tentang paradox yang terjadi di dunia ini. Dari penjelasan Naisbitt sebenarnya kita akan menjadi tahu akan banyak hal yang akan terjadi 50-100 tahun yang akan datang dengan ketepatan seorang peramal masa depan ; futurolog.
Analisis Naisbitt dimulai dengan diskusi tentang apa yang dilihatnya sebagai paradoks sentral: Ketika dunia menjadi lebih terintegrasi secara ekonomi, entitas politik dan bisnis yang terdiri dari hal itu menjadi lebih kecil dan lebih banyak. Sebagai sebuah konsekuensi, Naisbitt mencatat bahwa karena perekonomian dunia menjadi lebih besar dan lebih terbuka, perusahaan yang lebih kecil dan menengah akan mendominasi karena inovasi dan fleksibilitas mereka yang lebih besar.
Mengikuti perkembangan sebuah paradoks, kata Naisbitt, maka kita juga akan membahas revolusi dalam bidang telekomunikasi. Pertukaran informasi seketika di seluruh dunia hampir membuat individu, usaha kecil, dan negara-negara yang baru mulai memiliki kesempatan yang besar untuk menjadi penguasa baru di dalam dunia mareka. Naisbitt juga merinci secara detail sintesis yang muncul dari komputer, telepon, dan televisi, serta mengidentifikasi kekuatan teknologi dan perusahaan yang membentuk perkembangan informasi, yang kemudian ia sebut sebagai superhighway.
Industri perjalanan (travel) juga memainkan peranan penting dalam Paradoks global, kata Naisbitt, dengan menyediakan dana untuk ekonomi global. Dia mengatakan bahwa manusia lebih mengintegrasikan dunia, semakin mereka membedakan pengalaman-dan mereka semakin mereka cenderung untuk mengunjungi budaya lain. Dalam bab tentang aturan baru perilaku, Naisbitt mengatakan bahwa kesadaran baru dari budaya lain dan visibilitas mereka yang lebih besar karena telekomunikasi akan menghasilkan empati yang lebih besar dengan dan kepedulian terhadap penderitaan orang lain.
Naisbitt menggunakan Cina sebagai studi kasus bagaimana ekonomi, besar perencanaan pusat memberikan cara untuk penggerak berbagai pengusaha individual, dengan konsekuensi bahwa China akan, menurut prediksi, ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2000. Menyadari berkembang minat pasar di luar Amerika Serikat dan Eropa Barat, Naisbitt menyimpulkan dengan memeriksa daerah baru kesempatan di Asia dan Amerika Latin.
Dari beberapa hal di atas, bisa saya simpulkan hal-hal yang menarik yang ada di dalam buku Global Paradox tersebut, diantaranya :
  1. Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, justru perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan semakin mendominasi"
  2. Semakin kita menjadi universal, tindakan kita justru akan semakin bersifat kesukuan.
  3. Berfikir lokal, bertindak global
  4. Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan.
  5. Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat.

Paradox Indonesia
Indonesia sebagai Negara yang bardaulat sejak 1945 menjadi sesuatu yang membanggakan untuk dikenang oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, kita menemukan banyak sekali paradox sehingga kita menjadi jemu dan tidak lagi bangga menjadi Indonesia. Mindset paradoks adalah pemikiran yang realistis, visioner, ambigu, terlihat nyleneh tidak masuk akal namun sejatinya logis dan benar. berpikir melampaui zamannya.
Di dunia banyak tokoh yang berpikir demikian. Ada Leonardo Da Vinci, Ki Joyoboyo, dan John Naisbitt. Dalam Islam ada Nabi Khaidir, mentor singkat Nabi Musa atau pemikir muslim seperti Agus Mustofa. Pemikiran yang tidak lekang tergerus zaman, bahkan di negeri ini banyak yang menyakini dan menjadikannya petunjuk dalam menyikapi pergeseran tata nilai sebuah bangsa. Petunjuk menyikapi turbulensi perubahan. “Zaman wes edan, sing ora edan ora koman” pemikiran Ki Joyoboyo banyak diyakini berbagai kalangan di negeri ini.
Gobalisasi membawa dampak “Semakin besar ekonomi dunia, semakin kuat perusahaan kecil yang membentuk jejaring.” Tren ekonomi kerakyatan, soko guru masyarakat madani. Pemikiran Hatta salah satu tokoh terbaik negeri berpuluh-puluh tahun lalu. Pemikiran yang melahirkan konsep “Koperasi” , merangkai cluster-cluster kecil dalam masyarakat madani, pilar ekonomi bangsa. Diaplikasikan oleh Mohamad Yunus di Bangladesh, sukses menggondol Nobel Ekonomi. Bagaimana sukses negara sekelas Jepang, Denmark, China, India, Korea, dan Singapura dalam merangkai cluster-cluster perusahaan kecil sebagai penyokong perusahaan besar konsepnya tidaklah beda jauh dengan konsep bung Hatta tempo dulu dalam mencetuskan “Koperasi sebagai penebar kemakmuran rakyat, yang berkeadilan.”
Ke depan trend masyarakat madani, mengharuskan kita transparan, adil dan makmur dinikmati bersama seluruh bangsa sampai ke lini-lini terkecil negeri. Itu artinya Perusahaan besar dengan Economies of scalenya dipaksa membagi lahannya ke bagian-bagian usaha rakyat kecil sekelas koperasi, membentuk jejaring wirausaha, demi kelangsungan hidup bersama.
Itu artinya trend Konglomerasi sudah usang karena tuntutan jaman. Meski masih terjadi tarik-menarik, kebijakan negara seharusnya mengarah kesana, kalau ingin mendapat dukungan politik dari rakyat. Kenapa? Karena ke depan peran negara akan semakin tergantikan, semakin tidak penting, dan akan semakin tergantung pada cluster-cluster komunitas kecil yang membentuk jejaring. Batas-batas ras, suku, agama akan semakin absurd, semakin kabur, tergantikan oleh barisan jejaring politik, jejaring ekonomi, jejaring sosial budaya. Militansi akan terbentuk disana. Dan itu milik komunitas madani yang kecil-kecil itu. Dunia politik, bisnis, setiap saat harus berhadapan dan berurusan dengan paradoks-paradoks itu.
Itu pemikiran Hatta, salah satu pendiri negeri ini. Mindset paradoks kalau dikelola dengan benar akan menjadi solusi membangun negeri, menyatukan gerak langkah, mengurangi gap, delay yang sangat panjang antara keinginan pengusaha, keinginan rakyat dengan kemauan penguasa. Gerak negara akan semakin lincah bermanufer di tengah badai turbulen dunia, mampu melewati semua jaman, mampu berselancar di dunia global yang semakin tembus pandang.
Itu akan menciptakan roadmap ke depan yang jelas, politik kesejahteraan pro-rakyat, lebih fokus ngurus rakyat sambil memikirkan strategi menghadapi perang global. “Pre-emptive Strike.” “Bersih - bersih negeri” sudah harus dilakukan dengan Keras, Vulgar, lugas dan Transparan. sudah bukan saatnya lagi sopan santun aneh nyleneh, tapi korupsinya luar biasa, seperti SBY dan Demokratnya!.
Paradox Indonesia tidak hanya berhenti disana, namun terus begulir menjadi sebuah racun di tubuh demokrasi Indonesia. Ditengah-tengah mengagung-agungkan simpul demokrasi, malah pimpinan dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak bisa dipercaya untuk membawa Indonesia ke depan.

Pradoks Identitas Nasional
Paradoks utama yang mewarnai Indonesia sejak awal kelahirannya sebagai sebuah negara-bangsa adalah paradoks identitas nasional (the paradox of national identity). Bagi negara-negara pasca kolonial (post-colonial states), masalah identitas nasional merupakan hal yang sangat penting, terutama dalam bentuk identitas bersama (shared identity), yang dibutuhkan untuk menyatukan berbagai komponen masyarakat, yang kerap terpilah ke dalam identitas etnik, budaya dan keagamaan yang beragam, ke dalam sebuah wadah yang disebut negara-bangsa (nation-state).

Identitas nasional pasca-kolonial juga dibutuhkan untuk menunjukkan adanya kekhususan dalam status baru masyarakat tersebut sebagai sebuah entitas politik yang merdeka dan berdaulat, yang berbeda namun sejajar dengan negara-negara yang pernah menjajah mereka. Dalam konteks itu, perumusan identitas nasional, yang menjadi dasar bagi pengorganisasian dari komunitas politik baru yang disebut negara-bangsa itu, tidak hanya menjadi raison detr'e bagi pembentukan negara itu sendiri, tetapi juga menjadi dasar legitimasi yang penting bagi para penguasa nasional (indigenous rulers).
Negara-negara pasca kolonial di dunia Islam, yang tersebar di Timur Tengah, Asia, dan Afrika, juga dihadapkan kepada persoalan identitas nasional ini. Bagi mereka, proses pembentukan identitas nasional ini menjadi  salah satu isyu sentral dalam proses politik. Proses itu menjadi bagian terpenting dari tantangan nation-building. Tantangan-tantangan yang dihadapi memang berat karena, seperti yang dikatakan oleh Michael Leifer, "nation-building... is not an exercise which comes within the compass of five-year plans or indeed within the life span of any one generation of political leaders."  Keberhasilan proses ini kemudian akan ditentukan oleh kemampuan pemerintah untuk mengatasi sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh banyak negara pasca kolonial, seperti kelemahan ekonomi dalam negeri, perpecahan ideologis dan politik, identitas nasional, terbatasnya institusi-institusi politik dan hukum yang modern, dominasi pemerintahan personal, hubungan sipil-militer yang tidak stabil, perbedaan etnik dan agama, serta ketergantungan terhadap pihak internasional.
Pentingnya masalah identitas negara ini sangat terasa di negara-negara Muslim, terutama dalam hal adanya ketegangan dalam merekonsiliasikan identitas negara yang resmi (official state identity) di satu pihak dan identitas masyarakat (identity of the society) di pihak lain. Pemerintah nasional di negara-negara ini dihadapkan kepada pilihan sulit antara menciptakan sebuah identitas baru atau mengadopsi identitas dominan masyarakat sebagai identitas negara yang resmi. Ketegangan itu antara lain berakar pada hakekat hubungan antara agama dan politik. Di satu pihak, Islam -sebagai nilai, norma, dan prinsip-prinsip yang menjadi acuan umat-sudah sejak lama menjadi referensi bagi masyarakat dalam mengidentifikasikan jati dirinya. Posisi Islam sebagai sumber identitas memang sudah lebih dulu ada sebelum terbentuknya negara itu sendiri. Di lain pihak, pemerintah di negara-negara pasca kolonial sering merasa bahwa identitas negara yang resmi -yang melewati batas-batas agama dan etnik-perlu dirumuskan untuk mendorong terbentuknya kesadaran bersama akan sebuah identitas bersama di antara masyarakat yang memiliki karakteristik etnik dan agama yang berbeda.
Dalam menghadapi persoalan identitas nasional itu, pilihan pada umumnya hanya dirumuskan dalam bentuk negera sekuler atau negara agama. Beberapa negara Muslim, terutama di Timur Tengah, umumnya telah menyelesaikan masalah ini dengan menjadikan Islam sebagai identitas resmi negara. Di negara-negara ini, masalah identitas negara pada umumnya tidak menjadi permasalahan serius, karena negara sejak awal proses pembentukan negara (state-formation) telah didefinisikan menurut Islam. Masalah muncul apabila sebuah negara menolak untuk mendefinisikan identitasnya secara eksklusif menurut Islam. Dalam kasus demikian, dilema identitas negara menjadi isyu yang serius dan bahkan menjadi sumber pertikaian dan perpecahan. Identitas negara yang non-teokratis kerap menjadi rallying point bagi kelompok oposisi dalam mempersoalkan basis negara maupun legitimasi pemerintah.
Menjelang kemerdekaan, Indonesia juga mengalami dilema yang sama. Dengan penduduknya yang hampir 90 persen Muslim, Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Namun, hubungan antara negara dan agama kerapkali mengalami ketegangan. Ketegangan itu tampak jelas selama proses persiapan pembentukan Indonesia menjelang proklamasi kemerdekaan tahun 1945, pada saat para pendiri bangsa memperdebatkan secara mendalam soal dasar negara. Perdebatan itu, yang akhirnya ditengahi melalui formulasi Indonesia sebagai negara Pancasila -yang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler (neither secular nor theocratic)-menunjukkan bahwa mendefinisikan tempat Islam dalam politik Indonesia pasca-kolonial bukanlah perkara yang mudah.
Namun, kompromi itu tidak berarti bahwa masalah identitas nasional sudah terselesaikan. Identitas Indonesia tetap diwarnai oleh paradoks. Di satu pihak, mayoritas penduduknya adalah Muslim. Realitas ini tidak dapat diabaikan oleh negara, karena Islam merupakan sumber nilai dan norma yang menjadi acuan kehidupan masyarakat. Islam juga memainkan peran sentral bagi  proses legitimasi sosial dan politik dalam masyarakat. Di pihak lain, Indonesia juga dihadapkan pada realitas keberagaman etnik, kultural dan agama yang menghalanginya untuk merumuskan negara atas dasar agama, karena identitas negara teokratik akan mempersulit cita-cita persatuan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa. Pancasila sebagai dasar dan identitas resmi negara (official state identity) merupakan upaya menengahi paradoks ini.
Namun, meskipun telah tercapainya konsesus nasional tetang Pancasila sebagai identitas dan dasar negara, Islam sebagai salah satu unsur identitas nasional -bukan identitas negara-- juga kerapkali mengalami marginalisasi. Identitas nasional, yang seharusnya mencerminkan keberagaman Indonesia, juga ingin ditunggalkan dan dipaksa mengikuti tafsir resmi negara. Politik otoritarian selama masa kekuasaan Presiden Sukarno dan Presiden Suharto memaksa publik untuk menerima tafsir negara mengenai identitas nasional yang tunggal, melalui kombinasi strategi kooptasi, reward, dan hukuman. Negara mencampuradukkan antara "persatuan" (unity) --yang berarti keberagaman dalam suatu kesatuan-dengan "kesatuan" (uniformity) --yang bermakna keseragaman.
Paradoks identitas ini tampak menonjol dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.  Unsur-unsur masyarakat lainnya, khususnya Islam, tidak diizinkan untuk mewarnai identitas nasional yang ingin diproyeksikan negara ke panggung internasional. Negara tidak ingin identitas internasional Indonesia didefinisikan dan diekspresikan dalam bentuk ke-Islaman. Berbagai kebijakan luar negeri Indonesia juga kerap menghindari penggunaan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan agama. Bahkan, sejak awal masa pasca kemerdekaan, politik luar negeri lebih dipengaruhi oleh pertentangan ideologis Barat-Timur, yang menjadi dasar prinsip bebas-aktif dalam politik luar negeri Indonesia.
Selama masa Orde Lama (1957-1966), penghindaran dari dimensi keagaman dari identitas negara dalam politik luar negeri dilakukan dengan proyeksi identitas internasional Indonesia sebagai pejuang kepentingan Dunia Ketiga dan kekuatan anti-imperialisme ketimbang pejuang kepentingan Dunia Islam. Selama masa Orde Baru (1966-1998), dengan tetap mempertahankan identitas sebagai negara Non-Blok, Indonesia merasa nyaman dengan citra-nya sebagai pemimpin alamiah Asia Tenggara, sebagai penyumbang bagi stabilitas regional, dan sebagai negara Dunia Berkembang yang ramah terhadap Barat.  Islam, sebagai salah satu unsur identitas nasional, tidak mendapat tempat dalam pencitraan identitas Indonesia di panggung internasional.
Pembatasan pencitraan Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim ini mengundang ketidakpuasan di kalangan Islam. Posisi Indonesia di Dunia Islam menjadi salah satu tema sentral dalam berbagai perdebatan mengenai politik luar negeri dalam kurun waktu 1907-an dan 1980-an. Kelompok-kelompok Islam pada umumnya kecewa terhadap kecilnya perhatian dan ketertarikan pemerintah terhadap Timur Tengah dan Dunia Islam pada umumnya. Mereka pada umumnya berpandangan, adalah absurd jika Indonesia --yang berpenduduk mayoritas Muslim- hanya menduduki posisi pinggiran dan memainkan peran yang marginal di Dunia Islam.
Namun, negara bersikukuh bahwa mengakomodasikan Islam sebagai salah satu dimensi identitas internasional Indonesia merupakan negasi terhadap identitas nasional yang non-teokratis. Oleh karena itu, meskipun identitas internasional yang diproyeksikan negara ke panggung internasional tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi dan realitas yang ada dalam masyarakat, negara bersikeras untuk memaksakan penerimaan publik atas tafsir identitas nasional yang ingin diproyeksikannya ke dunia internasional. Menyangkut pencitraan internasional ini, politik luar negeri Indonesia --sampai tahun 1998-mencerminkan paradoks identitas nasional Indonesia.

Paradoks Demokrasi
Perubahan politik yang terjadi sejak Mei 1998 telah membuka pintu yang lebar bagi proses pengayaan identitas nasional. Demokrasi dan Islam kini menjadi unsur yang melekat dalam identitas nasional Indonesia. Negara tidak lagi leluasa dalam memonopoli tafsir atas identitas nasional Indonesia. Islam kembali menduduki tempat yang seharusnya, sama dengan unsur-unsur identitas nasional lainnya. Terakomodasinya Islam kedalam identitas nasional itu tidak dapat dilepaskan dari revolusi demokrasi yang terjadi. Sebaliknya, demokrasi Indonesia tidak akan pernah sempurna tanpa sumbangan dan peran Islam di dalamnya. Oleh karena itu, Indonesia -yang sebelumnya dicitrakan secara ketat sebagai negara terbesar di Asia Tenggara-kini juga dicitrakan dan dilihat sebagai "negara berpenduduk Muslim terbesar di muka bumi yang sedang berproses menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia".
Namun, di mata dunia internasional, perpindahan Indonesia dari rumah otoritarianisme ke rumah demokrasi kembali dilihat sebagai sebuah paradoks, yakni paradoks demokrasi. Leonard Sebastian, pengajar di Nanyang Technological University (NTU) Singapura, menyebutkan demokrasi Indonesia sebagai paradoks, karena demokrasi ternyata dapat berjalan dalam masyarakat yang beragam secara etnis, dan dengan tingkat kemiskinan yang tinggi, seperti Indonesia.  Yang lebih menjengkelkan, demokrasi Indonesia dianggap paradoks karena di dalamnya terdapat peran Islam, yang meskipun belum sentral tetapi jelas tidak dapat diabaikan. Bagi sebagian kalangan, adalah sebuah paradoks jika demokrasi dapat tumbuh dalam masyarakat yang mayoritas Muslim.
Dalam merespon mispersi tentang citra paradoks Islam dan demokrasi, kita tidak perlu marah kepada mereka yang beranggapan bahwa demokrasi tidak akan pernah bisa subur di dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kita juga tidak perlu berang jika stigma demikian dilekatkan kepada Indonesia. Sebaliknya, justru kita berada pada posisi untuk membuktikan bahwa demokrasi dan Islam bukanlah sebuah paradoks. Untuk itu, adalah keharusan bagi kita untuk membangun terus sebuah demokrasi pluralistik dimana Islam memainkan peran penting dalam menjaga dan menjamin aspek kemajemukan dalam demokrasi Indonesia itu.
Dalam hal ini, politik luar negeri Indonesia menjawab citra paradoks Islam dan demokrasi dengan mengakomodasikan kedua dimensi identitas nasional itu kedalam formulasi dan pelaksanaan kebijakan politik luar negeri. Politik luar negeri tidak lagi alergi terhadap unsur Islam dalam mencitrakan identitas nasional Indonesia ke panggung internasional. Perubahan politik dalam negeri, dan perkembangan politik internasional yang diwarnai oleh tirani "perang terhadap terorisme" ala Amerika (war on terror), telah mendorong negara untuk merumuskan identitas internasional yang harus memperhitungkan Islam, bersama dengan demokrasi, sebagai dimensi penting dari identitas nasional. Indonesia tidak lagi dihinggapi sindrom menyembunyikan identitas ke-Islamannya dalam mengelola hubungannya dengan negara-negara lain. Bahkan, Islam --bersama demokrasi-- kini menjadi aset bagi politik luar negeri, khususnya dalam membangun citra internasional Indonesia.
Kecenderungan untuk menempatkan Islam sebagai dimensi penting dalam pencitraan identitas nasional ini tampak jelas dalam berbagai pernyataan para penyelenggara pemerintahan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, menyebutkan bahwa "we are the world's third largest democracy. We are also a country where democracy, Islam and modernity go hand-in-hand."  Menteri Luar Negeri Hassan Wirayuda juga tidak segan memproklamirkan bahwa "as a nation with an overwhelmingly Muslim population, Indonesia is a living refutation of the erroneous notion that Islam and democracy are incompatible."  Islam tidak lagi menjadi kata yang tabu dalam politik luar negeri Indonesia. Dengan menjadikan Islam dan demokrasi sebagai aset politik luar negeri, Indonesia berkeinginan untuk memposisikan dirinya dalam tatanan dunia sebagai "a moderating voice, not only between the Muslim world and the rest buat also within the Muslim world itself." 

Paradoks Posisi Internasional
Pada saat kita mendeklarasi keinginan untuk mendapat tempat yang terhormat dalam tatanan internasional, pada saat itu pula kita dihadapkan pada paradoks ketiga, yakni paradoks posisi internasional Indonesia diantara bangsa-bangsa. Bersamaan dengan berbagai harapan yang dialamatkan oleh masyarakat internasional kepada kita, lahir pula kesangsiaan terhadap kemampuan Indonesia dalam mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Dalam konfigurasi hubungan internasional dewasa ini, Indonesia dilihat sebagai negara yang memiliki potensi untuk maju dan gagal sekaligus. Meminjam Robert Chase, Emily Hill, dan Paul Kennedy, Indonesia disebut sebagai pivotal state; yakni negara "yang berdansa diantara potensi sukses dan kemungkinan gagal, dan tidak jelas skenario mana yang terbukti lebih akurat."
Dalam tulisannya di Majalah Time edisi September 2008, Michael Schuman melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik: what's holding Indonesia back? Kenapa Indonesia tidak bisa maju? Padahal, kata Schuman, negeri ini memiliki hampir semua bahan (ingridient) yang dibutuhkan untuk menjadi negara maju, yang harusnya telah membawa Indonesia untuk berada dalam satu kategori dengan Cina, India dan Brazil. Bagi Schuman, demokrasi, kekayaan alam, dan pasar domestik yang besar sudah cukup untuk membuat Indonesia on par dengan ketiga negara BRIIC itu. Kalau kita lihat faktor-faktor tambahan lainnya, seperti adanya kelas menengah terdidik yang cukup besar, akar kultural yang mapan, masa lalu yang penuh kisah kejayaan, dan rasa nasionalisme yang tinggi, seharusnya Indonesia bisa lebih cepat melangkah ke kehidupan yang lebih baik.
Namun, yang kita alami selama ini justru sebaliknya. Wajah kita adalah wajah dengan sejumlah paradoks. Meskipun kaya akan sumberdaya alam dan dikaruniai tanah yang subur, Indonesia terjebak ke dalam situasi yang disebut oleh Terry Lynn Karl sebagai paradoks keberlimpahan (the paradox of plenty): negara kaya, tapi miskin.
Adalah sebuah paradoks pula ketika Indonesia setelah begitu lama membangun, tetap saja sulit berkembang. Setelah pembangunan ekonomi selama lebih dari empat dekade, namun pada saat yang sama ia masih berada pada ranking ke 109 dari 197 negara dalam Human Development Index (HDI).
Adalah sebuah paradoks ketika Indonesia merupakan salah satu masyarakat paling agamis di antara masyarakat bangsa-bangsa, namun pada saat yang sama ia juga menduduki posisi sebagai salah satu negeri terkorup di dunia. Adalah sebuah paradoks ketika Indonesia merasa dirinya sebagai negara yang besar, namun "kebesaran" itu ternyata tidak menimbulkan rasa hormat dari negara-negara di sekitarnya. Lihat saja bagaimana rentannya wilayah udara dan laut kita terhadap intrusi asing. Lihat pula betapa lemahnya posisi kita dalam membela hak-hak warga negara yang mencari nafkah di negeri orang. Lihat lah bagaimana mudahnya kita menyerah dalam berbagai perundingan dengan bangsa-bangsa lain. Kita tampaknya enggan, atau bahkan sungkan, untuk mengatakan tidak kepada bangsa lain. Kita mudah terjebak dalam sikap yang selalu mencari kompromi dalam menjalankan hubungan kita dengan negara-negara lain, bahkan pada saat kompromi itu merugikan kepentingan nasional kita sekalipun.
Indonesia juga akan menjadi paradoks, ketika demokrasi tidak kunjung menghadirkan kemakmuran dan keadilan yang merata bagi seluruh rakyatnya; yang justru menjadi tujuan utama dari demokrasi itu sendiri.

Penutup
Dari ketiga paradoks yang disebut diatas, paradoks posisi internasional ini merupakan yang tersulit, karena ia merupakan resultante dari sejumlah paradoks yang mewarnai wajah kita sendiri. Kita menyadari bahwa Indonesia tidak boleh terus menerus menjadi negara yang bergelimang dalam paradoks. 
Kita juga menyadari bahwa Indonesia harus berhenti menjadi negara yang besar potensinya, namun tidak memiliki signifikansi strategis dalam tatanan internasional. Kita juga tahu bahwa berbagai paradoks Indonesia ini perlu segera ditanggulangi apabila kita tidak ingin menjadi bangsa yang terpinggirkan, dipinggirkan atau pinggiran. 
Namun, pertanyaan utamanya adalah, mampukah Indonesia mengelola dan keluar dari berbagai paradoks itu? Tentu saja bisa. Untuk itu, Indonesia harus segera berubah apabila tidak ingin menjadi sekedar catatan kaki dalam percaturan antar-bangsa. Keharusan untuk berubah (the imperative for change) ini tidak hanya merupakan tuntutan dari cita-cita Indonesia sebagai sebuah bangsa, tetapi juga merupakan fungsi dari semakin besarnya tantangan dan kompleksitas lingkungan internasional Indonesia.
Dan, keinginan untuk berubah biasanya datang apabila kita menyadari dan mehami apa yang sedang berubah di sekitar kita, dan dimana posisi kita dalam perubahan itu. Kesadaran tentang perubahan orang lain kerapkali mendorong perubahan dalam diri sendiri. Pemimpin Cina Deng Xiaoping, misalnya, memaksa bangsanya untuk berubah pada awal dekade 1980-an setelah ia melihat sendiri perubahan yang membawa Singapura, Malaysia, dan Thailand menjadi macan Asia.  Bagi Indonesia, keinginan untuk berubah itu seharusnya dapat datang dengan mudah apabila kita menyadari bahwa lingkungan dimana kita berada sedang mengalami transformasi drastis.
Pada tataran global, misalnya, dunia sedang berubah ke arah yang disebut Farid Zakaria sebagai dunia pasca-Amerika (post-American World), sebuah dunia yang ditandai oleh berlanjutnya posisi dominan AS, tetapi pada saat yang sama diikuti oleh "the rise of the rest".  Namun, yang dimaksud oleh Farid sebagai the rest itu, sayangnya, belum termasuk kita-kita dari Dunia Islam. Yang dimaksud dengan the rise of the rest dalam analisis Zakaria adalah dunia yang sedang berubah akibat kebangkitan Cina dan India. Kedalam ketegori the rest ini dapat pula dimasukkan Brazil dan Afrika Selatan, dua negara yang menjadi new emerging markets. Dari negara-negara ini, kita perlu belajar bagaimana menarik investasi dan dukungan asing tanpa harus kehilangan independensi politik. Pada tataran regional, perubahan juga sedang terjadi di Vietnam, dan bahkan Kamboja. Negara-negara ini sedang berupaya keras mengejar ketertinggalannya, untuk bisa mengungguli Indonesia, dan sejajar dengan Thailand dan Malaysia.


Silahkan di Kopy asal dicantumin sumbernya yak...
Sumber tulisan :

[1] http://www.naisbitt.com/
[2] Wikipedia.com

[3] www.kompasiana.com

[4] http://hmi.or.id


incoming search :
John Naisbit
Global paradox
Pemikiran Global
Politik Ekonomi Internasional