Menulis
merupakan kegiatan mendokumentasikan pemikiran. Realisasi nyata dari sesuatu
yang imajinatif –dalam arti tidak bisa di indera, menjadi benda yang riil,
nyata, dan bisa di indera. Karena mau tidak mau, gagasan tidak akan bisa
diketahui kalau ia tidak di wujudkan. Entah itu lewat tulisan, lewat suara,
lukisan/gambar, patung, ataupun video.
Jadi
inti menulis hampir sama dengan kegiatan fotografi atau sinematografi dalam
proses kreatif membentuk ide/gagasan menjadi sesuatu yang nyata. Untuk membuat
karya yang bisa di akui secara layak, dibutuhkan kesempurnaan proses dan hasil.
Ibarat membuat patung, maka tidak akan bisa diketahui sosoknya jika hanya
terdiri dari dada dan tangan saja.
Kelau
mau dikatakan sulit, menulis memang pekerjaan yang sulit. Dibutuhkan banyak
teknik menulis dan komitmen diri untuk menyelesaikan satu buah tulisan. Belum
lagi masalah pengetahuan, referensi, kompleksitas, dan hal-hal yang bersifat
ideologis maupun teknis. Itu jika kita mau yang sulit. Jika mau yang mudah, menulislah
berdasarkan pengalaman. Karena, kata Timur Budi Radja, pengalaman adalah inti
dari menulis.
Pengalaman
ini memiliki peran penting dalam membentuk sebuah tulisan. Ia seperti awal
pengembaraan untuk mendapatkan feel
dan taste yang akan membedakan kita
dengan pengarang yang lain. Jadi, sesungguhnya menulis yang paling efektif
adalah menulis berdasarkan pengalaman, karena ia mampu membawa pembaca
seakan-akan melihat sendiri bagaimana pengalaman penulis tersebut –hal ini
mirip dengan teknik menulis deskriptif bukan? Yang perlu digaris bawahi adalah
pengalaman tidak hanya sebatas fisik saja, namun juga imajinatif. Jadi kita
bisa membagi pengalaman ini menjadi dua garis besar; 1. Pengalaman nyata/fisik
2. Pengalaman Imajinatif/non fisik.
Pengalaman
fisik bisa kita lihat pada tulisan-tulisan seputar artikel perjalanan yang
ditulis beberapa orang seperti Claudia Kaunang dan Trinity. Ada juga Laskar
Pelangi yang ditulis oleh Andrea Hirata, serial buku Chicken Shoup, bahkan karya sastra novel seperti A Child Called It
oleh Dave Pelzer dan Musashi oleh Eiji Yoshikawa[1].
Sedangkan untuk pengalaman imajinatif, kita bisa melihatnya pada hampir seluruh karya sastra yang beredar
diseluruh dunia. Disini bisa kita lihat, bahkan pengalaman imajinatifpun bisa
menjadi sangat nyata seperti; Harry
Potter oleh JK Rowling, The Davinci Code oleh Dan Brown, Count of Monte Cristo
oleh Alexnder Dumas, dan masih banyak lagi.
Saya
sepakat dengan pendapat bahwa menulis itu bukan bakat alam. Ia bukan sesuatu
yang diadakan oleh Pencipta kita, namun lebih kepada usaha-usaha kita untuk
membuat diri kita mampu menjadi penulis. Jadi saya ulangi lagi, menulis itu butuh
kerja keras dan ketekunan. Namun disadari ataupun tidak, dari sekian banyak
orang yang ada, berapa banyak dari mereka yang menulis denan ketekunan yang
luar biasa? Bahkan yang memiliki bakat menulis saja banyak yang gugur ketika
berhadapan dengan keyboard laptopnya,
apalagi yang tidak memiliki bakat? Jadi, saya memiliki kesimpulan bahwa menulis
itu sama dengan pekerjaan lain, tidak lebih. Ia sama dengan memotret, ia sama
dengan menghitung, ia sama dengan belajar komputer, ia sama dengan belajar
mesin sepeda motor, ia sama dengan kuliah. Karena penulispun tidak bisa
membenahi sepeda motornya yang rusak. Dan fotograferpun belum tentu bisa
menulis tentang fotonya sendiri. Apalagi ahli matematika, juga belum tentu bisa
menulis biografinya.
Intinya,
kalau ingin bisa menulis ya harus tekun. Kita mesti kerja keras untuk
berkomitemen melatih diri. Entah berbakat ataupun tidak, kalau tekun kita pasti
akan menghasilkan sebuah tulisan yang layak untuk ditunjukkan ke orang lain.
Kritik pasti akan selalu ada, bahkan pemenang Nobel Sastra “Orhan Pamuk” untuk
novelnya My Name Is Red-pun tidak lepas dari kirtik dan kecaman sebelum ia
menjadi besar. Apalagi si Pramoedya Ananta Toer yang bahkan terkenal sebab
Trilogi Bumi Manusia-nya yang ditulis di dalam Penjara Pulau Buru, diapun di
kecam ramai-ramai –bahkan hingga sekarang.
Menulis Bukan
Berak
Menulis sama
dengan berak.
Istilah itu kerap kita dengar dari para penulis senior dan diyakini begitulah
adanya. Sebenarnya istilah tersebut muncul untuk memberi semangat kepada para
pemula agar rajin membaca. Karena apa yang kita tulis sangat dipengaruhi apa
yang kita baca. Untuk itu ada istilah lain dirimu
adalah apa yang kau baca. Jadi artinya adalah, jika ingin menulis yang
berkualitas, membacalah buku yang berkualitas. Namun itu tidak mesti menjadi jika ingin berakmu berkualitas, maka
makanlah makanan yang berkualitas. Mana ada berak berkualitas?
Itulah
mengapa, Ajib Rosidi mengatakan kepada Pramoedya “Kau tidak menulis Pram, kau
berak”. Saya yakin, Ajib Rosid sangat tahu kalau menulis dan berak itu berbeda.
Bahwa Pram pada mulanya bukan penulis yang baik, itu benar, karena secara
genre, Pram tidaklah sama dengan penulis lainnya. Atau bahkan sebaliknya, bahwa
Ajip sedang tidak tahu bahwa sebenarnya Pram adalah calon penulis besar dengan
gagasan sosial realisme-nya. Meskipun
Ajib Rosdi sendiri merupakan pembaharu karya sastra modern Indonesia.
Kebutuhan
membaca itu, yang benar adalah sama dengan kebutuhan makan. Hal ini bisa dijalankan
kedalam tiga bentuk :
1. Jika ingin
tulisan kita bagus maka membacalah yang banyak;
2. Jika ingin menulis
menggunakan genre tertentu maka bacalah genre tersebut;
3.
Jika ingin menulis seperti seorang tokoh tertentu, maka bacalah karya-karyanya.
Biasanya
orang-orang hanya menjalankan disiplin menulis secara parsial. Yaitu membaca saja tanpa mau menulis. Atau menulis saja
tanpa mau membaca. Padahal seharusnya komposisi membaca dan menulis itu 3:1, read-read-read-write. Membaca karya
orang lain juga akan memberikan keluasan ilmu pengetahuan sehingga bisa
digunakan data dan perbandingan ketika kita akan menulis dengan tema yang sama.
Pun, membaca bisa memperbanyak perbendaharaan kata sehingga tidak kehilangan kata-kata saat ditengah
jalan. Jadi, bisahkah dipisahkan antara menulis dan membaca?
[1] Kecuali Musashi yang merupakan
novel berdasarkan fakta sejarah. Meskipun bukan pengalaman pribadi
pengarangnya, namun sebuah fakta (bukan imajinasi) bisa menjadi dasar yang kuat
untuk membentuk cerita. Sebagaimana Laskar Pelangi adalah kisah nyata yang imajinatif.
15 Februari 2012
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.