2019-07-31

Kuliah Itu Gak Penting


Kuliah itu gak penting. Kesimpulan ini paling banyak disukai karena rata-rata kita malas kuliah, malas disuruh baca buku, malas mengerjakan tugas, malas bikin skripsi dan macam-macam kerjaan yang diberi dosen. Untuk mendukung asumsi kuliah tidak penting ini, disajikanlah data orang terkaya di dunia yang tidak makan bangku sekolah; terutama yang sering disebut adalah Bill Gates, dan tentu Susi Pudjiastuti.

Bahkan ada ilustrasi yang menggemaskan, bahwa suatu hari hidup seorang terpelajar, sarjana ekonomi. Dia membawa seluruh teori pemasaran yang jempolan, kemudian melamar pekerjaan di sebuah perusahaan besar. Ketika ia telah bekerja, bosnya ternyata adalah temannya yang tidak kuliah. Kata si bos, ketika si pekerja susah payah mencari teori pemasaran, ia langsung bekerja dan belajar hingga punya usaha besar. Uang kuliahnya dipakai modal wirausaha hingga sekarang dapat mempekerjakan sarjana.

Sampai di titik ini kita harus paham bahwa kuliah memang tidak sepenting itu. Siapa sih yang masih mengingat materi kuliah ketika seorang mahasiswa sudah semester delapan? Hampir tidak ada bahkan untuk yang IPK 4.00. Teori yang diajarkan di kelas-kelas ibaratnya dongeng orang tua tentang masa depan yang sulit dibuktikan. Teori itu seperti saran-saran orang miskin kepada orang kaya tentang tips dan trik menghasilkan miliaran rupiah dengan ikut MLM.

Apa lagi kebobrokan perkuliahan? Banyak. Mahasiswa tidak diberi kesempatan yang luas untuk berkreasi, kreatifitas dikekang, kebebasan berfikir dilarang, bahkan sikap kritis mahasiswa selalu berakhir dengan ancaman nilai dan pemutusan beasiswa. Kondisi-kondisi semacam ini, jika terjadi di kampus kalian, maka harus menggerakkan massa mahasiswa guna berunjuk rasa menggaungkan keadilan berpendidikan. Karena pendidikan harusnya membebaskan bukan malah mengekang.

Jika masih belum cukup, akan saya sebutkan lagi. Bahwa perkuliahan tidak mengajari mahasiswa untuk secara mandiri hidup dengan kemampuannya sendiri. Berdasarkan pengalaman, sarjana melamar ke 10 perusahaan dan hanya 1 yang dipanggil atau tidak mendapatkan panggilan sama sekali. Perkuliahan tidak mengajari mahasiswa menjadi kaya, menjadi orang hebat seperti Mark Zuckerberg atau Sukarno, juga tidak mengajari mahasiswa hidup penuh karya semacam Pramoedya Ananta Toer dan Anggun C Sasmi.

Kualitas kampus kita di Indonesia berkali-kali disorot karena tidak ada perkembangan yang berarti. Kehidupan kampus ibarat aliran sungai yang mau tidak mau, daun-daun kering yang jatuh harus mengikuti arusnya sampai ke muara. Melihat kondisi ini, kita ingin melimpahkan kesalahan pada orang lain; rektor, dosen, sistem pendidikan Indonesia, gaji dosen yang kecil, mahasiswa yang pemalas, sarana kurang, hingga kesempatan berpendidikan yang tidak ada ruang.

Kehidupan Kampus

Jadi apa yang penting dari perkuliahan sesungguhnya? Jawabannya jelas; ruang-ruang publik yang diciptakan oleh kampus membuat mahasiswa menjadi intelektual yang mumpuni dan bermanfaat bagi masyarakatnya. Klise, tetapi inilah yang terjadi. Perkuliahan membuat banyak hal yang tadinya tertutup, sekarang menjadi terbuka. Kuliah membuat mahasiswa yang tadinya abai terhadap lingkungan sekitarnya, menjadi peduli.

Yang mahal dalam perkuliahan adalah aktivitas di luar perkuliahan itu sendiri. Ketika anda di kelas ngantuk, maka bisa jadi ketika demo di balai kota mata melotot tanpa kantuk demi membela korban kekerasan. Ketika teori susah dipahami di kelas, maka kajian yang dilakukan mahasiswa terhadap hoax dan fake news akan menjadi ajang terbukanya pemahaman yang jauh lebih berguna dari sekadar teoritis.

Dengan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa, mereka akhirnya bisa gabung menjadi aktivis HMI, PMII, GMNI, PMKRI, dan sebagainya, lalu melupakan kuliah (ups), dan bersikap kritis terhadap sivitas akademik juga kampus sebagai institusi. Dengan menyandang gelar mahasiswa, kalian akhirnya bersikap lebih dewasa dan bisa menjadi contoh penting bagi adik-adik di kampung. Kehidupan di kampus membuat mahasiswa memiliki banyak relasi, berkompetisi, hingga berprestasi di bidang lain yang sebelumnya tak mungkin dijamah.

Kampus dan perkuliahan merupakan bagian paling kecil dari kehidupan. Sehingga mahasiswa yang gupuh gara-gara nilainya mendapat C, B, dan B+ dan ingin berlomba-lomba mendapatkan A, sejatinya telah melupakan esensi perkuliahan dan terjebak dalam rutinitas kesialan seumur hidup. Mahasiswa harus berdiri melebihi khawatirnya terhadap UAS dan absensi yang kelewat merah, karena kehidupan kampus akan membentuk masa depan kalian; sadar ataupun tidak.

Sehingga ketika kuliah, mahasiswa harus berorganisasi secara serius untuk mendapatkan pengalaman kolaboratif, kompetitif, kerja sama, kompromi, manajemen emosi dan kesan, hingga belajar kepemimpinan. Untuk bisa bekerja sama dengan orang lain, mahasiswa tidak cukup dengan mengikuti materi di kelas. Bahkan hal sepele seperti menulis surat pun tidak diajari di kelas -kecuali kalian jurusan kantor pos. Jalin komunikasi dengan banyak orang, belajar dari mereka, dan dewasalah.

Jadi apa yang harus diperbaiki?

Saya akan menyajikan kenyataan pahit di dunia perkuliahan. Rata-rata mahasiswa jika diberi kesempatan ghibah dosennya, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan yang bobrok adalah salah dosen. Mahasiswa dalam rasan-rasanya di warung kopi sering mencemooh dosen, menertawai gaya jalan dosen, bahkan menirukan gaya bicara dosen lalu terbahak-bahak sampai kentut. Dosen dianggap tidak punya kompetensi untuk mengajar sehingga menyebabkan mahasiswa pasif dan gagal.

Di sisi lain, dosen-dosen yang berkumpul di ruang makan mewah dengan uang kampus -uang mahasiswa juga- tidak membahas teori terbaru atau praktikum apa yang menarik buat mahasiswa. Mereka membicarakan mahasiswa yang manja ketika diberi tugas, mahasiswa yang sok pintar di kelas lalu sok membuat pertanyaan yang menyulitkan dosen, juga meledek mahasiswa yang tidak pernah masuk kelas tapi minta nilai bagus.

Mahasiswa mengejek dosen, dosen mendikte mahasiswa, karyawan menyumpahi bos, dan bos selalu tidak puas dengan kinerja pegawainya; adalah realita kehidupan yang sedang kita jalani. Jangan heran banyak mahasiswa sok cerdas dan kritis di warung kopi tapi gagap ketika berhadapan dengan dosen, dan jangan heran juga dosen yang menjadi raja kecil di ruang kelas yang titahnya tidak boleh ditolak karena bisa menyebabkan angka merah di raport mahasiswa.

Catatan Penting: jika ingin berhasil selama menempuh pendidikan tinggi, jangan banyak alasan. Melimpahkan kesalahan pada dosen dan sistem pendidikan, menuding fasilitas dan pelayanan kampus, tidak akan membuat mahasiswa sukses. Mahasiswa harus berusaha mati-matian untuk membaca banyak buku, mahasiswa juga musti bergerak, berfikir, berorganisasi, bentrok dengan pemikiran orang lain, sehingga kepalanya tidak berisi debu peradaban.

Mahasiswa yang sudah banyak membaca, bisa menulis dengan baik, bergeraklah dalam dunia tulisan dan sebarkan pikiran kritis melalui berbagai media. Jika kalian jurusan komunikasi, maka lulus lah ketika sudah bisa menulis berita yang baik, luluslah ketika sudah bisa berbicara di depan publik yang jago, atau bisa bikin film meskipun sendirian. Kebanyakan kita tidak dapat mencapai target dari perkuliahan, tapi sudah berani lulus dan mengecam kampus yang tidak memberinya apa-apa.

Yang dapat saya temui saat ini, hanya 3-5 orang di kelas yang bisa diandalkan. Selebihnya adalah pasir di lautan, buih yang terombang-ambing di gelombang. Mereka hanya datang ke kampus untuk kuliah, ke kantin, ngopi, shopping, main game, pulang ke kos wifian youtub-an, lalu setiap akhir pesan bersama pacar ke car free day dan pantai. Bagaimana mungkin mereka akan lulus dengan kualitas seperti yang tertera dalam visi prodi?

Jadi inti yang paling inti dari suksesnya pendidikan adalah pada mahasiswanya sendiri. Dosen, sebagai entitas suci di dalam kelas memang susah-susah gampang dijinakkan. Kepada mereka cukup lah kalian berhormat karena mereka adalah orang yang berilmu. Berbicara yang santun dengan tata krama sebagaimana murid kepada guru. Dosen tidak meminta mahasiswa harus menyembahnya. Jika ada dosen yang keliru maka dia adalah manusia biasa yang dapat diingatkan dengan cara yang baik.

2019-07-10

Mendamba Menteri Usia Muda



(Dimuat di Malang Post, edisi 6 Juli 2019)

Berbicara pemuda mengingatkan kita pada ungkapan presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno; “Beri aku seribu orang tua, niscaya kucabut semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda niscaya kuguncang dunia”. Quote tersebut mampu menggambarkan semangat pemuda yang luar biasa sehingga banyak orang berharap besar terhadapnya. Karena itulah, Presiden ke 7 Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dalam pemberitaan akhir-akhir ini juga berkeinginan merangkul pemuda untuk menjadi menteri di dalam kabinetnya.

Jika melihat perhelatan politik tanah air, dominasi senior memang sangat terlihat. Sebut saja misalnya; Jokowi (58), Prabowo Subianto (67), Ma’ruf Amin (76), Jusuf Kalla (77), Mahfud MD (62), Wiranto (72), SBY (69), dan Luhut (71). Karena itu, melihat Jokowi ingin mengangkat generasi muda dan menggeser para veteran ini merupakan berita yang heboh meski tidak terlalu mengagetkan. Pemuda selama ini selalu diasosiasikan sebagai anak-anak yang tanpa pengalaman, labil, sluman-slumun-slamet, dan emosional. Sehingga kontroversi dari isu yang direncanakan oleh presiden asli Solo tersebut pasti ada.

Tetapi Jokowi tampaknya memiliki rencana khusus sehingga memilih pemuda untuk menjadi menteri di kabinetnya yang kedua. Dalam pemberitaan di Malang Pos (Rabu, 3 Juli 2019) disebutkan, Jokowi menginginkan pemuda karena mereka bisa mengeksekusi program-program pemerintah dengan cepat, tepat, dan kuat. Ungkapan ini bisa dimaknai bahwa Jokowi ingin mengubah birokrasi pemerintah yang selama ini dikritik karena lamban dalam menanggapi berbagai masalah. Pemerintah lebih tercermin seperti pemadam kebakaran tetapi tidak tanggap untuk mencegah datangnya api.

Sehingga keberadaan pemuda dalam jajaran menteri tersebut, akan mengubah kebiasaan menjalankan program pemerintah yang awalnya terseok menjadi trengginas. Sebagai mantan pengusaha, Jokowi menginginkan pemerintahan bekerja seefektif mungkin dengan memangkas seluruh birokrasi yang menyulitkan gerak kerja. Di sanalah dibutuhkan pemuda yang fleksibel, bekerja dengan cepat, lebih berorientasi hasil dari pada berpusing dengan prosedur. Dengan alasan yang demikian, pilihan Jokowi untuk mengakomodir pemuda menjadi penting dan masuk akal.

Namun memilih pemuda untuk menjadi menteri juga harus hati-hati. Jangan sampai pemuda yang dipilih semuanya berasal dari partai koalisi atau dari organisasi masyarakat yang ketat menghitung untung-rugi. Sehingga memilih pemuda yang berasal dari kalangan profesional dan akademisi memiliki argumentasi lebih kuat, dan bakal menepis anggapan bahwa pemerintahan selalu bagi-bagi kursi menteri. Karena sosok yang menjadi menteri seringkali dipilih berdasarkan pilihan politis, bukan kapasitas dan kapabilitas. Dengan langkah ini, Jokowi akan membuat negara mendapatkan legitimasi dari masyarakat sehingga memperkuat posisi pemerintahan.

Surplus Pemuda

Pemuda memang bukan malaikat penolong yang akan mengubah wajah birokrasi Indonesia seperti jin aladin, bim salabim. Tetapi ini adalah salah satu ikhtiar memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang masih memegang idealisasi bangsa dan belum tercemar oleh intrik politik praktis. Tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru sepanjang percobaan ini telah dilakukan kajian yang matang. Apalagi pemilihan menteri ini bukan untuk mendampingi Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di perguruan tinggi, tetapi di sebuah negara sehingga tidak mungkin percobaan ini bersifat asal-asalan.

Mengapa pemuda bisa menjadi salah satu solusi mempercepat kemajuan bangsa? Karena pemuda bisa membunuh salah satu penyakit birokrasi negara Indonesia; berbelit-belit. Mantan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Asman Abnur, pernah mengungkapkan bahwa organisasi pemerintah di pusat maupun daerah seringkali membesarkan struktur organisasinya padahal tidak dibutuhkan dalam tugas nyata keseharian. Struktur yang terlalu besar ini cenderung memperlambat proses kerja serta berbanding terbalik dengan reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintah.

Indonesia mengalami surplus pemuda yang jauh lebih banyak dibanding dengan negara lain di dunia ini. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2018 menyebutkan, seperempat penduduk Indonesia adalah pemuda, yaitu sekitar 63,82 juta jiwa. Ini angka yang besar mengingat pemuda adalah calon pemimpin di masa mendatang. Yang lebih mengesankan dari jumlah tersebut adalah angka partisipasi sekolah (APS) mencapai 71,99 persen sehingga bisa dikatakan pemuda Indonesia adalah pemuda berpendidikan. Dengan pendidikan ini diharapkan kualitas pemuda di masa mendatang akan melampaui generasi baby boomer yang cenderung menyukai hierarki dalam tatanan pemerintahan.

Kenyataan ini membuat kita yakin dan bisa dengan bebas mengungkapkan ‘mengapa tidak jika pemuda diberi peran lebih di bidang sosial, politik, dan kenegaraan?’. Menguatkan hal itu, majalah bergengsi seperti Forbes memasukkan 23 pemuda Indonesia menjadi pemuda yang memiliki prestasi penting di Asia pada tahun 2019. Padahal sebelumnya, di tahun 2018 hanya ada 10 pemuda yang masuk dalam program ‘Forben 30 Under 30 Asia’ itu. Kondisi ini menunjukkan bahwa surplus pemuda di Indonesia tidak hanya bergerak di statistik (kuantitatif) tetapi juga di kualitas.

Usia dan Pengalaman

Data dan argumen di atas bisa jadi tidak cukup untuk meyakinkan berbagai pihak agar lebih banyak memasukkan pemuda dalam jajaran menteri. Alasan yang sederhana dan mencurigakan adalah karena yang berpendapat yang demikian rata-rata berusia di atas 50 tahun. Sehingga ketika pemuda banyak mendapat jatah menteri dan atau minimal posisi-posisi selevel dengan menteri, maka generasi tua tidak akan mendapatkan kesempatan lagi. Memang banyak alasan yang menghubungkan usia muda sama dengan kurang pengalaman. Atau usia muda cenderung masih labil sehingga tidak cocok di posisi pengambil kebijakan.

Perlu ditagaskan bahwa pemuda memiliki pemikiran yang terus berkembang dan tidak stagnan pada satu titik. Hidup itu tidak berjalan linier dan transaksional sehingga siapapun di posisi manapun akan belajar. Sehingga pemuda juga pasti belajar dari sistem yang telah berjalan di kementrian lalu mengembangkannya menjadi lebih efektif dan efisien. Paling tidak itulah yang kita damba dari pemuda yang digadang-gadang bisa memperbaiki kinerja pemerintah. Itu pun jika memang pemuda yang diambil oleh tim Jokowi menggunakan pemuda non-pengalaman –yang menurut hemat saya kondisi itu tidak akan terjadi.

Sebaliknya, Jokowi yang sudah berpengalaman menjadi presiden selama lima tahun, Wali Kota Solo, juga Gubernur DKI, akan lebih selektif dalam memilih menteri yang bisa bekerja seirama dengannya. Tentu saja orang-orang profesional sebagaimana Jokowi, akan memilih partner kerja yang dapat menjalankan visi-misi negara dengan tangkas. Tidak heran Jokowi memiliki tekat ‘kerja! kerja! kerja!’ yang identik dengan pemuda dalam bayangan Jokowi; cepat, tepat, kuat.

Apalagi dalam kabinet jilid dua-nya ini, Jokowi ingin mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang berdaya saing sehingga pemuda-pemuda pilihan Jokowi akan dapat berperan penting. Jika pertanyaannya kembali pada kurangnya pengalaman pemuda untuk berinteraksi, membaur, dan memerintah di lingkungan kementrian, maka Jokowi sudah punya jawabannya : akan ada Menteri Koordinator yang memberi arahan. Dari sini sudah tepat jika pemuda diberi kesempatan untuk melakukan perubahan dari dalam sistem, bukan luar sistem sehingga Indonesia dapat cepat berubah dari industri 4.0 menuju 5.0.

*Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Tribhuwana Tunggadewi, Malang. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di www.fathulqorib.com