Semakin kita tahu, semakin kita tidak berdaya. Kalimat itu
beberapa tahun terakhir membuatku benar-benar tidak berdaya. Premis di atas
tidak berarti aku membenarkan bahwa kalimat motivasi semacam “aku bisa” akan
membuatmu menjadi manusia serba bisa. Ini tidak ada hubungannya, hanya saja ini
adalah sebuah kebenaran yang menyakitkan.
Kita tahu perselisihan di dunia ini tidak bisa diselesaikan
oleh PBB meskipun dia adalah kumpulan dari bangsa-bangsa. Kita tahu bahwa
masyarakat Indonesia tidak pernah ikut menikmati tambang emas di Papua. Kita
tahu bahwa pemerintah Indonesia adalah sarang koruptor. Kita tahu rakyat
Indonesia tumbuh dalam kemiskinan. Kita tahu bahwa pendidikan rakyat Indonesia
di sebagian besar wilayah tidak bisa mencapai pendidikan wajib 9 tahun. Kita
tahu bahwa dimana bumi dipijak, di situ langit djunjung, tapi kekerasan berada
di mana-mana.
Pilih satu saja dari permasalahan mendasar itu, dan pikirkan
solusinya. Kita tidak akan mampu memikirkan solusinya meskipun kita mengadakan
penelitian selama 100 tahun. Karena penelitian tinggal penelitian, tinggal
menjadi telaah dalam naskah akademik, menjadi mata kuliah, dikutip sana-sini dengan
kebanggaan, kemudian Indonesia tetaplah seperti itu.
Kita tahu Madura misalnya, berapa banyak professor sosial, baik
yang dalam negeri sekelas Koenjaraningrat hingga professor luar negeri,
mendapat gelar kehormatan karena melakukan penelitian di Madura. Atau di Papua
dan perbatasan Kalimantan, berapa ratus orang telah melakukan telaah dan
kajian, tapi rakyat Indonesia yang kusebutkan itu masih saja tetap seperti
seratus tahun yang lalu.
Bahkan, menurut orang Papua, semasa dijajah Belanda,
pendidikan lebih terjamin dan lebih dsiplin daripada ketika bergabung Indonesia
dalam kondisi merdeka. Guru-guru masih rajin mengajar dan diperhatikan
kesejahteraannya. Buku-buku dan Al Kitab disediakan sehingga siswa-siswa rajin
membaca dan beribadah. Sedang ketika merdeka (katanya merdeka) guru-guru banyak
yang menghabiskan waktu di kota dan menerima gaji buta. Menyakitkan bukan?
Itulah makanya semakin kita tahu, semakin kita lumpuh.
Menyerah atau
Berjuang Sendirian
Untuk pengetahuan yang menjebak seperti yang kusebutkan
diatas, rasa-rasanya lebih baik menyerah dan melarikan diri. Seidealis apapun
kita, ketika dihadapkan pada kebuntuan birokrasi pemerintahan, kita akan tepar dan sebagai cacing kepanasan.
Seberapapun kuatnya hati kita, akan segera membusuk ketika berhadapan dengan
orang-orang yang bekerja sama dengan kita, ternyata hanya memanfaatkan
kesempatan itu untuk mendapat keuntungan yang lebih besar buat dirinya sendiri.
Lebih baik menyerah dan melarikan diri sejauh-jauhnya, lalu
sibuk berada di kantor, bekerja, pulang ke rumah, mengurusi anak-anak, dan
rutinitas seperti itu.
Tapi ada kalanya tekad baja itu ada pada beberapa orang yang
tidak pernah kita duga. Di mana ada kemiskinan maka di sana pasti akan ada
orang yang bertekad baja mengurusi orang-orang tersebut. Mereka sendirian,
berjalan pelan sambil tersenyum, mengacuhkan setiap godaan untuk mendapatkan
hidup yang lebih layak. Mereka berjuang seorang diri tanpa pamrih, pelan-pelan
melafalkan huruf abjad, a, b, c, d, mengajari anak-anak, menyeka ingus yang
menempel sehari semalam dihidungnya sehingga membuatnya susah bernafas.
Siapapun yang menyerah dengan kondisi Indonesia, adalah
manusia normal. Manusia yang memang diciptakan dari akal dan nafsu. Manusia
yang secara kodrati memiliki hasrat kehewanan yang tidak ingin hidup susah
serta bisa makan dan minum tanpa banyak basa-basi. Kita memaklumi mereka karena
mereka manusia yang terdiri darah dan daging. Mereka yang menyerah dan
melarikan diri, atau bahkan menutup mata dengan kondisi sekitar yang begitu
mengerikan ini, adalah wajar dan memang bisa dimaklumi oleh logika. Silahkan,
silahkan berada di kawasan nyaman yang tidak perlu lalat mengerubuti makanan
kalian karena sudah kadaluarsa beberapa bulan.
Bagi mereka yang berjuang sendirian, mereka memang bukan
manusia. Mereka adalah bintang-bintang yang ada di muka bumi. Sebagaimana
penggambaran suatu ayat, ketika dilihat dari langit, mereka yang baik adalah
seperti bintang yang berkelap-kelip, bisa dilihat oleh penduduk langit sembari
tersenyum dan penuh haru. Kemudian penduduk langit menangis dan meneteskan air
mata, lalu terjadilah hujan yang disebut sebagai rahmat tuhan.
Bagaimanapun bintang itu, dia bisa terbakar, bisa juga tetap
utuh. Dan itu yang menjadikannya manusia.
0 comments:
Posting Komentar
semoga artikel ini berniat baik pada pembaca, komentar pembaca akan membangun blog ini.